Dalam rangka menyambut Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April, Katadata bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan Earth Day Forum 2021 dengan tema “Gotong Royong #JAGABUMI” pada Rabu (21/4) silam. Salah satu webinar dalam rangkaian acara tersebut mengangkat isu mengenai “Pasar Karbon untuk Investasi Hijau.”

Baca juga: Bincang Iklim: Apa Kabar Janji Emisi Indonesia?
Aset Karbon Melimpah, Potensi Besar Carbon Trading di Indonesia
Dalam webinar, Agus Sari, CEO Landscape Indonesia, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan aset karbon. “Sektor lahan dengan subsektor lahan gambut dan lahan mangrove menjadi alasan mengapa Indonesia berpotensi ikut serta dalam pasar karbon,” imbuhnya. Center for International Forestry Research (CIFOR) menyebutkan bahwa mangrove di Indonesia dapat menyimpan 3,14 miliar ton karbon atau setara dengan sepertiga dari karbon dalam ekosistem pesisir dunia. Sementara itu, lahan gambut di Indonesia diketahui mampu menyimpan 57 gigaton karbon. Dengan aset karbon yang besar ini, akan sangat disayangkan jika Indonesia melewatkan carbon trading.
Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama menuturkan manfaat perdagangan karbon dirasakan cukup nyata dalam 15 tahun terakhir. Proyek pendanaan karbon ini dapat mencegah pelepasan gas rumah kaca setara dengan 7,5 juta ton CO2 dalam setahun. Proyek aset karbon yang berbasis di Mentaya mampu melindungi satu kawasan hutan rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara, seluas lebih dari 157.000 hektar. “Carbon credit pun akan memberikan pola perilaku baru bagi masyarakat di Indonesia, yaitu peningkatan produktivitas tanpa melakukan kegiatan destruktif,” tambahnya.
Agus menganalogikan Nature Based Solution (NBS) sebagai solusi untuk mewujudkan kebutuhan manusia yang tidak terlepas dari alam untuk bertahan hidup. NBS memperlihatkan bagaimana pasar karbon bisa memberikan economic value pada sumber daya alam (SDA) sembari mengaitkan dasar filosofi sustainability. “SDA adalah faktor pendukung pertumbuhan ekonomi, menjaganya pun memiliki nilai. Pasar karbon tidak hanya sebagai alat pencetak uang, menjadi alat untuk memitigasi perubahan iklim adalah utama adanya,” tegas Agus.
“Sebuah paradigma baru muncul membawa pesan bahwa perusahaan dapat ikut serta mencegah terjadinya perubahan iklim sekaligus memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara inklusif,” ungkap Dharsono. Paradigma tersebut tak lain tak bukan berakar pada carbon trading. Sebagian besar permintaan pada pasar karbon ini terbentuk karena adanya keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akibat tuntutan dari berbagai pihak. Keinginan ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara si penghasil karbon dan penyedia carbon credit. Dalam beberapa kasus, keinginan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga segmentasi pasar membesar dan dapat menarik keterlibatan pihak lain seperti perantara, investor maupun layanan bursa.
Tidak Semua Area Bisa Dijadikan Aset Karbon
Dharsono menegaskan bahwa tidak semua area bisa dijadikan aset karbon. Area yang layak dijadikan aset karbon harus memenuhi tiga prinsip dasar, yaitu permanency, additionality, dan leakage. Permanency menekankan pada konsistensi kegiatan dalam area aset karbon minimal selama dua puluh tahun ke depan.
Additionality memiliki makna bahwa area hutan yang dapat dijadikan sebagai aset karbon adalah wilayah yang memang terancam deforestasi atau alih fungsi lahan dan dengan kehadiran project developer hal tersebut dapat dicegah. Taman Nasional misalnya tidak dapat dijadikan aset dasar karena tanpa kehadiran project developer pun telah dilindungi keberadaan hutannya.
Pengurangan deforestasi di sebuah wilayah yang berujung meningkatnya deforestasi di wilayah lain mendefinisikan leakage. Perusahaan harus bisa memastikan mobilitas komunitas pada areal aset karbon tersebut tidak akan melakukan kegiatan destruktif di wilayah lain. Fokus utama perusahaan untuk bermitra dengan masyarakat lokal dalam perubahan transformatif.
Siap Melakukan Carbon Trading, Bagaimana Tantangannya?
Agus menuturkan bahwa carbon trading yang ada sekarang masih bersifat sukarela karena tidak ada peraturan yang mengikat. Agus menjelaskan tantangan pertama dalam melakukan carbon trading adalah mengenai regulasi, dimana keputusan COP26 (nama lain dari 2021 United Nations Climate Change Conference) yang masih akan keluar bulan November. Nantinya keputusan ini akan menjadi buku aturan dalam pasar karbon di seluruh dunia. Kemudian untuk regulasi di Indonesia, Peraturan Presiden mengenai emisi karbon juga masih dinantikan. Tak hanya berhenti di Perpres, Agus menyebutkan bahwa setiap kementerian juga akan menciptakan peraturannya sendiri mengenai emisi karbon ini.
“Tantangan kedua (setelah regulasi) adalah mengenai debirokratisasi, di mana pasar karbon harus benar benar dilihat sebagai pasar dan hasil asetnya itu harus menjadi komoditas. dan karena dia menjadi komoditas, maka dia (pasar karbon) juga harus tunduk dalam aturan aturan pasar,” kata Agus. Agus juga menambahkan bahwa pemerintah harus memberikan ruang dalam komodifikasi (transformasi barang atau jasa menjadi komoditas atau objek dagang) aset karbon ini.
Tantangan terakhir, Dharsono menambahkan bahwa pengalamannya mendirikan PT Rimba sebagai carbon developer diwarnai oleh sejumlah penolakan. “LSM sangat tidak suka istilah ‘carbon credit’. Seakan-akan memperbolehkan offset (penyeimbangan karbon) diperjualbelikan, perusahaan besar bebas melakukan kegiatan polusi sehingga pembelian offset terlihat seperti cuci tangan,” paparnya. Hal ini diperkuat dengan ketidakterbukaan pemikiran masyarakat terhadap carbon trading, bahkan dianggap sebagai “neokolonialisme baru”.
Editor: Haikal Qinthara, Nismara Paramayoga, Muhammad Zaky Nur Fajar, Tahtia Sazwara
Discussion about this post