Emergency Meeting! Apakah kamu selalu merasa tidak cukup baik dalam apa yang kamu lakukan? Pernah berpikir bahwa semua yang kamu dapatkan hanya faktor keberuntungan saja? Apakah kamu pernah mendapat sesuatu yang rasanya kamu tidak layak mendapatkannya? Mungkin kamu lah impostor-nya!
Impostor syndrome adalah sebuah kondisi di mana seseorang merasa bahwa segala pencapaian yang telah didapatkannya sebenarnya tidak layak ia dapatkan, bahkan berpikir telah menipu orang-orang sehingga terlihat kompeten.1Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241. Seorang impostor sulit untuk menerima keberhasilan mereka sebagai buah dari kemampuan dan kerja kerasnya. Orang tersebut berpikir dirinya tidak cukup kompeten sehingga segala yang telah mereka capai hanyalah faktor keberuntungan.
Meski awalnya impostor syndrome ditemukan pada perempuan berprestasi tinggi,2Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241. sebenarnya peristiwa ini juga didapati dalam beberapa kalangan lainnya. Pauline Rose Clance dan Gail Matthews mengestimasi bahwa 70% manusia pernah mengalami gejala impostor syndrome selama hidupnya.3Sakulku, J. & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, Vol. 6, No.1, 75-97, ISSN: 1906-4675. Masalah yang dihadapi orang-orang ini adalah keberhasilan yang diraih tidak mengubah pikiran mereka, malah membuat mereka semakin berpikir mereka telah menipu orang-orang. Sementara itu, mereka akan melebih-lebihkan kegagalan dan ketidaksempurnaan yang mereka miliki. Oleh karena itu, tidak heran beberapa figur publik dengan prestasi gemilang seperti CEO Starbucks, Howard Schultz; pemenang piala oscar, Jodie Foster; pemeran Black Swan, Natalie Portman pernah berada pada titik di mana mereka merasa tidak layak menerima yang telah mereka raih dan tidak sebaik yang orang pikirkan tentang mereka.
Karakter Seorang Impostor
Pauline Rose Clance menjabarkan enam karakteristik potensial dimiliki oleh impostor.4Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241. Jika seseorang memiliki minimal dua karakteristik tersebut, maka orang tersebut mengalami impostor syndrome. Enam karakteristik tersebut adalah mengalami impostor cycle, kebutuhan menjadi sempurna atau yang terbaik, cenderung perfeksionis, takut mengalami kegagalan, menyangkal kompetensi pribadi dan mengabaikan pujian, serta takut atau bahkan merasa bersalah saat sukses.
Impostor cycle adalah sebuah siklus yang terjadi dalam impostor syndrome. Siklus ini dimulai ketika seorang impostor mendapat tugas yang berhubungan dengan prestasi, seperti tugas akademik, lalu terganggu dengan perasaan takut, gelisah, dan khawatir yang muncul. Perasaan khawatir tersebut akan menghasilkan dua output berbeda.
Pertama, seorang impostor akan bekerja terlalu keras sebagai usaha untuk menutupi ketidaksempurnaannya. Kedua, impostor tersebut menunda pekerjaan karena merasa tidak mampu melakukannya. Saat telah berhasil menyelesaikan tugas dan mendapat tanggapan positif, impostor akan mengabaikan tanggapan tersebut. Mereka lebih memaknai kesuksesannya sebagai hasil dari bekerja terlalu keras atau keberuntungan semata. Oleh karena itu, mereka merasa telah menipu orang lain dan akhirnya ketakutan mereka bertambah. Siklus ini kembali berulang saat impostor menerima tugas baru.
Dari sudut pandang orang ketiga, seseorang impostor yang selalu merasa tidak cukup baik dalam melakukan sesuatu tak jarang dilihat sebagai seorang trapper atau penipu. Hal ini dikarenakan ucapan mereka berbeda dengan kenyataannya. Mereka berkata tidak bisa melakukan sesuatu padahal sebenarnya sangat kompeten. Sebagai contoh, sering kita jumpai seorang teman yang berkata bahwa dirinya tidak menguasai materi, tetapi pada akhirnya mendapat nilai sempurna dalam ujian, termasuk juga kalimat “Saya masih tidak ada apa-apanya” yang keluar dari mulut seseorang dengan prestasi melimpah. Meskipun demikian, pada kenyataannya, orang-orang tersebut belum tentu mengalami impostor syndrome. Tidak menutup kemungkinan, mereka memang dengan licik berbohong atau sedang merendahkan hati.
Karakter-karakter tersebut dapat berdampak pada kehidupan seorang impostor. Tindakan bekerja terlalu keras akan menjadi masalah jika waktu dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan kualitas pekerjaan yang dihasilkan, bahkan mengganggu prioritas hidup yang lain. Selanjutnya, sikap kurang menghargai kesuksesan yang dicapai akan membuat seseorang menjadi depresi, cemas, dan tidak puas terhadap hidup.5Sakulku, J. & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, Vol. 6, No.1, 75-97, ISSN: 1906-4675.
Keluarga, Kesempurnaan, dan Keraguan
Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan seseorang mengalami impostor syndrome dalam hidup mereka. Alasan pertama datang dari faktor keluarga. Lingkungan keluarga dan pola asuh orang tua dapat mempengaruhi cara anak-anak menilai dan menghadapi kesuksesan maupun kegagalan.6Sakulku, J. & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, Vol. 6, No.1, 75-97, ISSN: 1906-4675. Keluarga yang terlalu menggilakan prestasi dan kesuksesan, kurang menghargai pencapaian, serta kurang melatih respon anak dalam menanggapi kesuksesan atau kegagalan adalah tempat impostor syndrome tumbuh subur. Seorang anak yang kurang mendapat dukungan dan pengakuan oleh keluarga akan sulit menerima keberhasilannya sehingga cenderung menjadi seorang impostor ketika dewasa.
Alasan kedua, yaitu faktor kepribadian dan sifat individu. Sifat perfeksionis dan neurotisme—cenderung gelisah, depresi, dan meragukan diri sendiri—dalam kepribadian seseorang akan memicu impostor syndrome.7Sakulku, J. & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, Vol. 6, No.1, 75-97, ISSN: 1906-4675. Hal ini berhubungan dengan impostor cycle di mana seorang impostor ingin mengerjakan sesuatu dengan sempurna, tetapi justru gairah akan kesempurnaan tersebut membuatnya menjadi semakin takut, gelisah, dan ragu pada diri sendiri sehingga tidak menerima kesuksesan sebagai buah dari kemampuannya.
Sifat perfeksionis seringkali meningkat saat seseorang mendapat peran baru, seperti menjadi mahasiswa baru atau karyawan baru.8Cuncic, A., 2020. What is Impostor Syndrome?. [online] Verywell Mind Oleh karena itu, kalangan tersebut lebih cenderung mengalami impostor syndrome daripada orang-orang yang sudah lama berada pada jenjang tersebut. Kepribadian perfeksionis akan akan semakin bertumbuh dalam sebuah lingkungan yang kompetitif dan berstandar sosial yang tinggi. Semakin tinggi budaya kompetitif suatu kelompok maka semakin tinggi pula tingkat impostor syndrome yang dialami anggota kelompok tersebut.9Canning, E. A., LaCosse, J., Kroeper, K. M., & Murphy, M. C. (2020). Feeling like an imposter: The effect of perceived classroom competition on the daily psychological experiences of first-generation college students. Social Psychological and Personality Science, 11(5), 647-657.
Fokus pada Proses Pembelajaran Bukan Hasil
Dampak negatif yang ditimbulkan impostor syndrome, seperti depresi dan kekhawatiran berlebih, membuat masalah ini perlu dihadapi dan diminimalisir. Terdapat beberapa cara dalam menghadapi impostor syndrome yang dikategorikan menjadi internal dan eksternal.10Molinsky, A., 2016. Everyone Suffers From Impostor Syndrome — Here’S How To Handle It. [online] Harvard Business Review. 11Barr-Walker, J., Werner, D. A., Kellermeyer, L., & Bass, M. B. (2020). Coping with impostor feelings: Evidence based recommendations from a mixed methods study. Evidence Based Library and Information Practice, 15(2), 24-41. Secara internal, seseorang dapat melakukan refleksi, menyadari, serta menerima segala kemampuan dan kelemahan yang ada. Hal ini membantu kita untuk menjadi sepenuhnya sadar atas keadaan kita saat ini dan lebih mengapresiasi diri sendiri.
Secara eksternal, seseorang dapat berfokus pada proses pembelajaran daripada hasil yang didapat. Hal ini membantu kita untuk menikmati proses yang kita lakukan sehingga lebih menghargai hasil yang kita capai. Berikutnya adalah membicarakan hal ini dengan orang yang dipercaya. Dengan menceritakannya ke orang lain, secara tidak langsung, kita membuka “penipuan” yang kita lakukan sehingga menghilangkan rasa takut kita. Dengan saling bercerita, kita juga dapat menyadari bahwa kita bukanlah satu-satunya orang yang mengalami gejala ini. Selain itu, kita juga bisa melakukan terapi atau konsultasi dengan psikolog. Cara eksternal ini terbukti lebih signifikan mengurangi tingkat impostor syndrome.12Barr-Walker, J., Werner, D. A., Kellermeyer, L., & Bass, M. B. (2020). Coping with impostor feelings: Evidence based recommendations from a mixed methods study. Evidence Based Library and Information Practice, 15(2), 24-41
Dalam pidatonya di kelulusan Harvard, Natalie Portman membagikan pengalamannya menghadapi impostor syndrome. “Kadang, ketidakpercayaan diri dan perasaan kurang berpengalaman mengarahkan kamu untuk mengamini ekspektasi, standar, atau nilai orang-orang lain. Namun, kamu perlu mengendalikan perasaan tersebut agar bisa mengukir sendiri jalanmu, jalan yang bebas dari beban mengetahui bagaimana sesuatu seharusnya menjadi. Jalan yang didefinisikan sendiri atas dasar alasan-alasan tertentu. Prestasi akan tampak indah saat kamu tahu kenapa kamu melakukan sesuatu untuk memperolehnya. Dan bila kamu tidak mengetahuinya, prestasi bisa jadi jebakan mengerikan,” ungkapnya.13Harvard University. (2015, May 27). Natalie Portman Harvard Commencement Speech | Harvard Commencement 2015[Video]. https://www.youtube.com/watch?v=jDaZu_KEMCY
Editor: Tesalonika Hana, Qurratu Aina, Rani Widyan, Philipus Susanto
Tulisan ini telah disunting setelah diterbitkan. Kata “Black Widow” diubah menjadi “Black Swan”.
Referensi
↵1, ↵2, ↵4 | Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241. |
---|---|
↵3, ↵5, ↵6, ↵7 | Sakulku, J. & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, Vol. 6, No.1, 75-97, ISSN: 1906-4675. |
↵8 | Cuncic, A., 2020. What is Impostor Syndrome?. [online] Verywell Mind |
↵9 | Canning, E. A., LaCosse, J., Kroeper, K. M., & Murphy, M. C. (2020). Feeling like an imposter: The effect of perceived classroom competition on the daily psychological experiences of first-generation college students. Social Psychological and Personality Science, 11(5), 647-657. |
↵10 | Molinsky, A., 2016. Everyone Suffers From Impostor Syndrome — Here’S How To Handle It. [online] Harvard Business Review. |
↵11 | Barr-Walker, J., Werner, D. A., Kellermeyer, L., & Bass, M. B. (2020). Coping with impostor feelings: Evidence based recommendations from a mixed methods study. Evidence Based Library and Information Practice, 15(2), 24-41. |
↵12 | Barr-Walker, J., Werner, D. A., Kellermeyer, L., & Bass, M. B. (2020). Coping with impostor feelings: Evidence based recommendations from a mixed methods study. Evidence Based Library and Information Practice, 15(2), 24-41 |
↵13 | Harvard University. (2015, May 27). Natalie Portman Harvard Commencement Speech | Harvard Commencement 2015[Video]. https://www.youtube.com/watch?v=jDaZu_KEMCY |
Discussion about this post