Topik itu masih belum berani menunjukkan batang hidungnya di muka umum, hanya omongan yang berkaitan tersebar dari mulut ke mulut. Semacam legenda, pamali mungkin? Mungkin kata “tabu” masih terlalu populer untuknya, lebih layak disebut sebagai teori konspirasi. Dongeng sebelum tidur. Cautionary tale. Bergidik orang mendengarnya, seakan-akan makhluk buas yang akan menculik anak kecil kala ia bermain terlalu jauh selang Maghrib. Oh Tuhan, apakah memuja iblis semenyeramkan itu?
Di Indonesia, pembahasan ajaran yang berkaitan dengan setan belum sepopuler saudara sesama agama Ardhi lainnya—agama yang berkembang berdasarkan budaya, daerah, dan pemikiran seseorang yang kemudian diterima secara global. Membahas orang yang memuja setan, tidak akan jauh-jauh dari jubah hitam, ritual sesembahan, pengorbanan darah kambing, tumbal anak kecil, dan masih banyak lagi. Tak terbantahkan pula, sebagian besar proyeksi masyarakat lokal terhadap kata “memuja setan” dipengaruhi oleh potret media hiburan dan film-film horor yang akhirnya membentuk stereotip aliran tersebut. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, apakah satanisme sebenarnya seakurat bentukan media massa? Apakah alurnya tak jauh berbeda dari agama Abrahamik, “please your god and you shall reach eternal bliss”?
LaVeyan Satanism, yang umumnya disebut sebagai satanisme adalah salah satu percabangan agama dan aliran filosofi didasari dari keterkaitan dengan iblis yang diprakarsai oleh Anton Szandor LaVey, melalui publikasinya “The Satanic Bible” pada tahun 1969. Aliran ini sudah memiliki pengikut dan rutin mengadakan perkumpulan sejak 30 April 1966. Pendiri dari Church of Satan itu pula mengakui bahwa ajarannya berat dipengaruhi oleh berbagai filsuf tersohor pada abad 20, bahkan terang-terangan menjiplak sebagian “Might is Right” oleh Ragnar Redbeard, “Objectivism” dari Ayn Rand, dan “Der WIlle zur Macht” karya Friederich Nietzche juga menjadi rujukan utama dari kitabnya. Lantas, tak heran bila satanisme menjadi ajaran yang menekankan kodrat jasmaniah manusia, menolak entitas lain yang bisa membatasi kemampuan manusia untuk meraih sebanyak mungkin kepuasan individual. Lain kata, mengejar hasrat dan nafsu tanpa perlu mempertanyakan adanya sang maha kuasa yang mengawasi dan mengontrol seluruh aspek kehidupan manusia.
“Setan”?
Satanisme secara de facto adalah aliran atheisme.1“What, the Devil? | Church of Satan.” What, the Devil?. Accessed 7 Dec. 2020 Alih-alih menyembah, penganut satanisme justru tidak mengakui adanya setan, Tuhan, kehidupan setelah mati, dan hal lainnya yang bukan di dimensi alam sadar. Lalu, apa yang “satan” dari “satanisme”?
Setan dalam pelukisan dari banyak literatur religi, digambarkan sebagai sosok yang sombong, menolak untuk tunduk kepada orang lain, dan mempertanyakan wewenang yang ada. Sifat setan inilah yang diadopsi oleh Anton LaVey sebagai simbol dari ajarannya; pemahaman bahwa manusia ialah bebas, tidak terikat oleh kebohongan indah belaka, serta memiliki seluruh hak untuk mendahulukan diri sendiri sebelum orang lain.
Penggambaran ini lebih lanjut dicanangkan menjadi gagasan formal dalam The Nine Satanic Statements. The Nine Satanic Statements menggagaskan representasi dari setan dalam ajaran satanisme. Sebagian besar pernyataan tersebut menekankan setan adalah sifat dari “apa yang ada” dibandingkan apa yang “seharusnya”, contohnya adalah pernyataan “Setan adalah kenyataan pahit dibandingkan kebohongan indah,” atau “Setan melambangkan kebijaksanaan yang tidak tercemar dibandingkan menipu diri sendiri,” serta tujuh lainnya yang memiliki nada serupa.
Anton Lavey mempercayai bahwa dasar fundamental dari ajarannya bertujuan selain membuka pintu kebebasan kepada umatnya, juga mempertanyakan legitimasi dari moralitas kristiani.2“What, the Devil? | Church of Satan.” What, the Devil?. Accessed 7 Dec. 2020.3Hal ini didukung dari banyak karakteristik gereja yang diejek oleh LaVey melalui berbagai publikasinya. Dalam The Nine Satanic Statements, poin terakhir menyebutkan “Satan has been the best friend the Church has ever had, as He has kept it in business all these years!”. Pentagonal Revisionism secara eksplisit menggiatkan pengikutnya untuk mengadvokasikan diberlakukannya pajak untuk semua gereja. Di program yang sama satanisme juga tidak mentolerir integrasi kepercayaan religius dalam institusi hukum, dimana disebutkan institusi keadilan saat ini terlalu mengikuti standar yahudi-kristiani, “To re-establish “Lex Talionis” would require a complete overturning of the present in-justice system based on Judeo-Christian ideals, where the victim/defender has been made the criminal.” Melalui publikasi dan kitabnya pula, Lavey mempertanyakan hal-hal kontradiktif yang ada di ajaran Abrahamik, seperti eksistensi neraka, “memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan”, dan hal-hal serupa yang pada akhirnya berkembang menjadi kekaguman kepada setan; sebuah ikon heroik simbol perlawanan kezaliman.
Carpe Diem
Jika melihat laman media sosial orang-orang konservatif, tak jarang mereka memiliki pandangan skeptis terhadap hiburan modern seperti games, televisi, teknologi, dinamika selebritis, artificial intelligence, dan semacamnya sebagai cara halus setan menggoda umat manusia untuk menjauhi ajaran Tuhan—pada batas tertentu, ada benarnya. Kesamaan dari ajaran satanisme dan hiburan terletak pada esensinya yang merupakan kenikmatan duniawi. Kedua hal tersebut menuntun manusia untuk mewajarkan hedonisme, gratifikasi instan, indulgensi, dan kebebasan dari makhluk lain.
Mengedepankan hasrat manusia sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, satanisme mempercayai bahwa manusia sudah kodratnya untuk memiliki nafsu dan sangat disayangkan jika dalam usaha mencapai pemuasan nafsu ini, ada hal lain yang menahannya. Bagi mereka, manusia dan hewan lain tidak ada bedanya kecuali urutan pada rantai makanan. Nine Satanic Statements juga menyebutkan manusia sebagai “Hewan Paling Ganas dari Semuanya”, karena memiliki akal dibanding hewan lain. Pentagonal Revisionism (Lima program utama satanisme) secara singkat menjelaskan tujuan dari Church of Satan, dimana salah satunya adalah mengedepankan kebebasan setiap manusia untuk hidup di lingkungan yang mereka inginkan.
Dengan pembawaan dari ajarannya yang self-centrist, tiap penganut satanisme melihat dirinya sendiri sebagai orang yang paling penting di dalam hidupnya. Berangkat dari ajaran tersebut, setiap penganut dapat membentuk hirarki kepentingan dan keputusan yang mengikuti standar dari tiap masing-masing orang. Banyak publikasi dari Church of Satan yang mengatakan dirinya sendiri adalah Tuhan bagi dirinya.
Satanisme dan Moralitas
“Satanism is not for everyone.” – Peter H. Gilmore
Jika prioritas utama adalah kepuasan diri, bagaimana para satanis menempatkan dirinya di antara masyarakat? Hal ini diatur dalam “Eleven Satanic Rules of the Earth”, sebelas aturan yang harus diikuti oleh para satanis. Hal ini mengatur dasar-dasar berperilaku umatnya terhadap diri sendiri dan orang lain. Selama ini media membentuk gambaran bahwa satanisme merupakan aliran yang sarat dengan darah, pengorbanan hewan, penyiksaan anak kecil, dan semacamnya, yang justru berkebalikan dengan Eleven Satanic Rules of the Earth. Menyiksa hewan dan menyakiti anak kecil secara jelas dilarang di beberapa poinnya. Selain itu, peraturan ini juga menekankan pentingnya menyeimbangkan kenikmatan dan kontrol diri. Contohnya menghormati orang lain, dengan implikasi sebagaimana tiap individual menghormati dirinya sendiri, melarang memberi opini kepada orang lain kecuali dibutuhkan, serta tidak menceritakan masalah, kecuali orang lain memang ingin mendengarnya. Lebih lanjut, peraturan ini juga melarang untuk melakukan kegiatan seksual tanpa konsensus.
Selain Eleven Satanic Rules of the Earth, dalam the Satanic Bible terdapat poin yang mengemukakan sembilan karakteristik yang harus dihindari satanis (Nine Satanic Sins). Namun, satanisme tidak mempercayai adanya entitas di luar dunia jasmaniah. Lalu apa bentuk konsekuensi dari dosa yang dikemukakan oleh Anton Lavey ini? Hal tersebut dijawab oleh Peter H. Gilmore, salah satu pendeta tinggi di Church of Satan. “With Satanism they are things where you kick yourself and say, “Why did I do something stupid? I shouldn’t do that next time.” It’s better for you,” ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa inti dari pernyataan dosa tersebut sebenarnya untuk kebaikan tiap umatnya sendiri; sebuah pedoman untuk tidak menjadi orang berengsek, “It doesn’t matter about anybody else on that level: you’ve got to not be an ass.”4“Satanism: An interview with Church of Satan High Priest Peter ….” 5 Nov. 2007, https://en.wikinews.org/wiki/Satanism:_An_interview_with_Church_of_Satan_High_Priest_Peter_Gilmore. Accessed 7 Dec. 2020.
Jika ada sifat yang sangat berlawanan dengan intisari ajaran satanisme, kata itu adalah altruisme. The Nine Satanic Statements merepresentasikan setan sebagai simbol dari indulgensi, kesombongan, kenyataan pahit, tanggung jawab dan kebaikan hanya untuk yang berhutang, balas dendam, dan seluruh yang disebut sebagai dosa. Pengikut satanisme tidak akan segan untuk membalas dendam untuk siapapun, dan akan selalu mengedepankan kepuasan pribadi. Eleven Satanic Rules of the Earth juga menetapkan segala perbuatan tidak menyenangkan bisa dibalas dengan lebih buruk lagi dan tanpa ampun.
Walaupun doktrin bahwa hakikat diri sendiri tidak bisa dibatasi oleh orang ataupun makhluk lain sangat kuat, nampaknya penganut satanisme tetap harus memiliki self constraint—yang selalu dijustifikasi implikasinya terhadap keuntungan diri sendiri. Pada akhirnya, satanisme masih serupa dengan agama lainnya. Jika dilihat secara objektif, semua agama juga memiliki cara non-ortodoks dalam “ritual”nya dan pemikirannya yang tak bisa diterima oleh seluruh masyarakat.
Eksistensi dari satanisme mempopulerkan pandangan penggunaan setan sebagai sebuah simbol, alih-alih sebagai objek pemujaan atau semata antitesis dari Tuhan. Ajaran kontemporer ini mengubah stigma tentang satanisme sebagai ajaran mistis menjadi sebuah paham yang menginternalisasi sifat-sifat umum setan kepada diri sendiri. Singkat cerita, satanisme tidaklah menuhankan iblis, tetapi diri mereka sendiri.
Editor: Tesalonika Hana, Qurratu Aina, Rani Widyan
Referensi
↵1 | “What, the Devil? | Church of Satan.” What, the Devil?. Accessed 7 Dec. 2020 |
---|---|
↵2 | “What, the Devil? | Church of Satan.” What, the Devil?. Accessed 7 Dec. 2020. |
↵3 | Hal ini didukung dari banyak karakteristik gereja yang diejek oleh LaVey melalui berbagai publikasinya. Dalam The Nine Satanic Statements, poin terakhir menyebutkan “Satan has been the best friend the Church has ever had, as He has kept it in business all these years!”. Pentagonal Revisionism secara eksplisit menggiatkan pengikutnya untuk mengadvokasikan diberlakukannya pajak untuk semua gereja. Di program yang sama satanisme juga tidak mentolerir integrasi kepercayaan religius dalam institusi hukum, dimana disebutkan institusi keadilan saat ini terlalu mengikuti standar yahudi-kristiani, “To re-establish “Lex Talionis” would require a complete overturning of the present in-justice system based on Judeo-Christian ideals, where the victim/defender has been made the criminal.” |
↵4 | “Satanism: An interview with Church of Satan High Priest Peter ….” 5 Nov. 2007, https://en.wikinews.org/wiki/Satanism:_An_interview_with_Church_of_Satan_High_Priest_Peter_Gilmore. Accessed 7 Dec. 2020. |
Discussion about this post