The culture of ignorance atau budaya perilaku abai seringkali dijumpai dalam kehidupan. Di tengah individualisme yang kian tinggi, banyak orang menjadi tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya. Namun, sebenarnya apa arti dari perilaku abai? Mengapa perilaku abai itu dapat terjadi?
Secara alami, seseorang memiliki kecenderungan untuk selalu mencari kesenangan atau kenikmatan dan menghindari segala sesuatu yang menyakitkan atau berbahaya. Sesuatu yang berbahaya ini tidak hanya berbentuk hal fisik, tapi juga non fisik seperti informasi yang mengganggu nilai dan emosi seseorang. Kecenderungan inilah yang membuat seseorang berperilaku abai guna melindungi diri sendiri dari situasi yang lebih buruk.
Winarini Wilmar, dosen Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa perilaku abai atau ignorance dalam teori psikodinamika mirip dengan avoidance—perilaku menghindar dari suatu permasalahan karena timbulnya kekhawatiran akan bertambah buruknya keadaan jika seseorang menaruh perhatian pada masalah yang tengah dihadapi. “Semacam mekanisme pertahanan diri supaya tidak mengalami hal-hal yang lebih buruk lagi,” tutur Winarini.
Dalam teori kepribadian, perilaku abai tergolong ke dalam sifat atau trait seseorang. Sehubungan dengan teori big five personalities, perilaku abai berkaitan erat dengan conscientiousness atau kepedulian. Seseorang dengan sifat consciousness yang tinggi berarti sangat peduli, teliti, dan cermat, begitu pula sebaliknya.
Seseorang yang berperilaku abai memiliki ciri-ciri negatif dan positif. Ciri-ciri negatif tersebut antara lain emosi yang dingin, tidak peduli, kurang bertanggung jawab, kurangnya rasa ingin tahu, dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan, ciri-ciri positifnya, yaitu rasional, memiliki skala prioritas, dan selalu mempertimbangkan baik-buruknya segala sesuatu sehingga tidak ceroboh dalam mengambil keputusan.
Penyebab Perilaku Sengaja Abai
Perilaku abai dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) tidak sengaja abai karena ketidaktahuan akan informasi penting; atau (b) sengaja abai walaupun sudah mengetahui informasi penting tersebut. Penyebab perilaku abai yang disengaja dijelaskan lebih lanjut oleh Bagus Takwin, dosen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam penjelasannya, terdapat beberapa faktor penyebab perilaku abai yang disengaja, di antaranya egosentrisme—tidak mau melihat dari sudut pandang orang lain, adanya asosiasi negatif antara situasi saat ini dengan pengalaman masa lalu, adanya confirmation bias—hanya menerima pendapat yang sesuai dengannya, serta keengganan menambah beban kognitif untuk menerima konsekuensi atau tanggung jawab baru.
Berbeda dengan Bagus yang lebih berfokus pada faktor internal, Winarini melihat perilaku abai dari faktor eksternalnya, yaitu pola asuh orang tua serta lingkungan pergaulan seseorang. Menurut Winarini, kedua faktor tersebut sangat berperan dalam memicu perilaku abai dalam diri seseorang.
Dampak Perilaku Abai
Menurut Winarini, perilaku abai tidak serta merta menimbulkan dampak negatif baik bagi kondisi pribadi maupun lingkungan sekitarnya. Namun, perilaku abai yang dilakukan secara terus-menerus dapat menjadi masalah baru. Senada dengan pendapat tersebut, Bagus berpendapat bahwa berperilaku abai dalam tahap yang lebih berat dapat mengganggu peran seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Apabila dilakukan terus-menerus tanpa adanya perubahan, seseorang dapat menjadi pribadi yang tertutup dan mudah terguncang dengan keragaman serta perubahan situasi yang cepat. Bahkan, hal ini juga bisa mengakibatkan seseorang mudah mengalami stres atau trauma.
Dalam skala kecil, dampak negatif perilaku abai bagi lingkungan yang mungkin terjadi adalah stagnasi, yaitu berhentinya atau tidak adanya perubahan dalam masyarakat. Dalam skala ekstrim, banyaknya individu yang abai dapat membuat masyarakat tersebut terbelakang dan mengalami kehancuran. Perilaku ini sangat berbahaya jika dimiliki oleh orang dengan posisi kunci atau pengambil keputusan.
Tidak Memberi Perhatian: Kritis atau Abai?
Kritis dan abai memiliki satu persamaan, yaitu tidak memberikan perhatian pada suatu hal. Maksudnya, seseorang yang kritis tidak akan memberikan perhatian lebih kepada masalah yang dianggap kurang penting, begitu pula dengan sikap abai. Namun, Bagus menyanggah hal tersebut. Menurutnya, perbedaan orang yang berpikir kritis dengan orang yang abai sangat jelas. Orang yang berpikir kritis itu harus dan sudah mengetahui serta menyimak informasi. Kemudian, baru memilah apakah informasi tersebut baik atau buruk. Kritis juga berarti memilah hal apa yang ingin diperhatikan berdasarkan skala prioritas masing-masing. Sedangkan orang yang abai tidak mengetahui bahkan menolak informasi itu sama sekali.
Menurut Winarini, perilaku abai merupakan bentuk mekanisme seseorang dalam menghadapi masalah. Selain itu juga sebagai bentuk pertahanan bagi seseorang akan ketidaktahuan dan ketidakingintahuan mereka akan sesuatu yang ditakutkan. Ketika seseorang merasa takut, tanpa dibarengi dengan sikap kritis, orang tersebut akan kesulitan dalam menghadapi masalahnya sehingga memiliki kecenderungan untuk mengabaikan keseluruhan masalah yang tengah dihadapi.
Meskipun begitu, Winarini berpendapat bahwa ignorance dapat menjadi sumber kebahagiaan ketika digunakan dalam konteks yang tepat. Salah satunya yaitu konsep deliberate ignorance yang merupakan sikap kesengajaan seseorang untuk tidak mencari atau mengabaikan informasi. Dengan memilih untuk ignorance, seseorang tidak kewalahan dengan banyaknya informasi yang diterima, sehingga menghindari kebingungan atau information overload.
Meminimalkan Potensi Berperilaku Abai
Walaupun perilaku abai memiliki dampak positif, Winarini dan Bagus sependapat bahwa sikap ini perlu diminimalisir. Keduanya setuju bahwa latar belakang pendidikan yang tinggi tidak menjamin seseorang tidak berperilaku abai. Persoalan perilaku abai ini bukan hanya sekedar persoalan kognitif, tetapi juga banyak faktor penyebab lain seperti faktor psikis dan faktor sosial yang dimiliki seseorang.
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalisir perilau abai adalah dengan belajar berpikir kritis. Sejak kecil anak harus diajarkan untuk memilah hal-hal yang perlu dan tidak perlu, baik dan tidak baik, pantas dan tidak pantas, serta bagaimana seharusnya bertindak dalam situasi tertentu. Dari sisi psikologi, kunci dasar perilaku perkembangan manusia dalam skala kecil ada pada pengasuhan anak dan dalam skala besar ada pada lingkungan pergaulan.
Kemudian, seseorang harus memiliki makna dan tujuan hidup yang jelas karena perhatian yang manusia miliki terhadap objek-objek di dunia ini sangat terbatas dan mekanisme yang bekerja dalam pikiran manusia cenderung fokus hanya kepada hal-hal yang dianggap penting. Tidak semua hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan itu akan diberi perhatian yang sama besar terutama dalam situasi saat ini ketika banyak sekali informasi dan masalah yang bertebaran di sekitar manusia. Untuk itu, seseorang harus memiliki dasar makna hidup yang jelas dalam memahami dan menyeleksi hal-hal tersebut.
Terakhir, mentalitas sosial atau kepedulian sosial sebaiknya dikembangkan dalam pribadi masing-masing. Mentalitas sosial memiliki arti bahwa manusia hidup bersama dengan manusia lain dan harus saling peduli pada orang lain selain pada diri sendiri, saling membantu, serta bekerja sama untuk mengembangkan diri sendiri maupun lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan. “Kepedulian kita pada orang lain selain pada diri sendiri itu diperlukan untuk bisa membuat masyarakat, bangsa, dan negara kita berkembang lebih baik,” tutup Bagus.
Editor: Tesalonika Hana, Qurratu Aina, Rani Widyan
Sumber:
Hertwig, R., & Engel, C. (2016). Homo ignorans: Deliberately choosing not to know. Perspectives on Psychological Science, 11(3), 359-372.
Discussion about this post