Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Senin (5/10), memantik amarah dan memicu aksi demonstrasi dari berbagai pihak karena dianggap hanya menguntungkan para investor namun merugikan para buruh dan merusak lingkungan. Kamis (8/10) pagi, seruan aksi #BatalkanOmnibusLaw digaungkan oleh Aliansi BEM se-Universitas Indonesia. Sejumlah massa aksi yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) yang terdiri dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), serta Aliansi BEM kampus lain di Jakarta, seperti Universitas Pancasila, dan UPN Veteran Jakarta, mengadakan aksi demonstrasi untuk menggagalkan Omnibus Law di Jakarta.
Melalui aksi tersebut, massa yang terkonsentrasi di sekitar gedung DPR dan Istana Negara menuntut presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Kronologi Aksi Batalkan Omnibus Law
Sejak pukul 11.19 WIB, 380 orang massa dari Universitas Indonesia yang dibagi berdasarkan fakultasnya masing-masing mulai berkumpul di Kampus UI Depok untuk melangsungkan aksi #BatalkanOmnibusLaw. Namun, Economica mendapat informasi terjadi penghadangan massa aksi UI oleh polisi di Stasiun Universitas Indonesia karena harus mengikuti protokol peraturan di KRL yang mewajibkan hanya 25 orang untuk setiap gerbong. Setelah berdiskusi cukup lama dengan aparat yang ada di Stasiun UI, akhirnya massa aksi UI dapat berangkat walaupun tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Di samping itu, terjadi penghadangan akses di dekat luar wilayah UI untuk jalan dari arah Kelapa Dua menuju Lenteng Agung dan akses menuju Gedung DPR/MPR dari Jalan Gerbang Pemuda.
Menanggapi banyaknya informasi terkait penghadangan aksi, Naufal Anandito, Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda (Akprop) BEM UI, berpendapat bahwa bentuk cara aparat yang menghadang seperti ini membuktikan bahwa masih terjadi upaya pembungkaman hak berpendapat dan berdemokrasi bagi masyarakat. Selaras dengan pendapat Naufal Anandito, Leon Alvinda Putra, Kepala Departemen Kajian Strategis (Kastrat) BEM UI mengatakan, “Gue mengecam semua upaya menghalang-halangi penyampaian aspirasi yang sudah dijamin oleh undang-undang,” ujarnya.
Di sisi lain, telah terjadi konsentrasi massa dari berbagai kalangan masyarakat di sekitar Istana Merdeka. Massa berkumpul sambil berorasi dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Tercatat pada pukul 14.26 WIB, Kapolres Jakarta Pusat, Kombes. Pol. Heru Novianto, S.I.K. memerintahkan massa yang berkumpul di depan Istana Merdeka untuk segera membubarkan diri.
Massa aksi yang awalnya tertib kemudian berangsur-angsur ricuh. Hal ini dipicu oleh beberapa oknum yang mulai meneriaki polisi dan mencoba menerobos barikade. Aksi demonstrasi ini memanas ketika di kawasan Harmoni, pukul 14.35 WIB, massa mulai ricuh dan melempar berbagai barang ke arah polisi. Merespon hal ini, polisi menembakkan gas air mata ke arah massa.
Leon juga bercerita kondisi yang sama juga terjadi ketika Aksi Jogja Memanggil (8/10), “Kalau di Gejayan, sempat terjadi kerusuhan. Itu juga salah satu penyebabnya karena sikap sewenang-wenang polisi dalam menembakan gas air mata,” ungkapnya.
Terlihat pada pukul 15.10 WIB, kepulan asap membumbung tinggi akibat terbakarnya pos polisi dekat Patung Kuda. Pembakaran yang dilakukan oleh massa juga terjadi di pertigaan dan di pos polisi sekitar Tugu Tani pada pukul 16.21 WIB.
Walaupun telah dipukul mundur berkali-kali, massa baru masih terus berdatangan hingga pukul 16.44 WIB. Namun, pada pukul 17.06 WIB, suara tembakan gas air mata semakin sering terdengar. Kepulan gas pekat menutup jalan dan mengurangi jarak pandang membuat keadaan menjadi tidak kondusif.
Naufal Anandito ketika diminta keterangan tentang kondisi massa aksi UI bercerita bahwa pada saat di titik aksi, massa aksi UI berangkat dari Stasiun Cikini memotong ke Jalan Raden Saleh untuk menyusul massa aksi di Jalan Harmoni menuju Tugu Tani. Massa aksi melanjutkan long-march ke Jalan Kebon Sirih dan beristirahat untuk memantau situasi. Koordinator lapangan memantau situasi ke depan yang terlihat ricuh karena banyaknya kepulan asap dan suara tembakan gas air mata.
“Saat kericuhan mulai mendekat ke massa aksi UI, kami mencoba mundur ke Jalan Tugu Tani dan ternyata di Tugu Tani pun sudah terjadi kericuhan massa dengan aparat. Massa UI pun memotong jalan ke Jalan Wahid Hasyim di mana titik penjemputan bus berada,” ujarnya.
Setelah massa di sekitar Tugu Tani dipukul mundur, massa aksi UI memutuskan untuk membubarkan diri dengan posisi akhir di sekitar Gedung DPRD DKI Jakarta demi prioritas keselamatan. “Walaupun massa aksi UI sempat terpengaruh sedikit dari gas air mata yang dikeluarkan oleh aparat, puji syukur tidak ada massa aksi UI yang terdampak oleh tembakan peluru karet dari aparat. Juga, belum ada kabar mahasiswa UI yang ditahan. Tim massa aksi dari UI juga selalu menjaga komunikasi berkala saat aksi sampai sekarang,” jawab Naufal Anandito.
Aksi di kala Pandemi
Aksi demonstrasi ini memicu kekhawatiran dari masyarakat terkait potensi peningkatan persebaran Covid-19 setelah aksi. Merespon hal ini, Aliansi BEM se-Universitas Indonesia menyatakan bahwa sudah mengikuti protokol kesehatan yang cukup baik. Meskipun begitu, tetap saja, protokol jaga jarak tidak dapat dilakukan di tengah padatnya aksi massa.
Naufal mengatakan bahwa dalam menjalankan aksi, pihaknya telah bekerja sama dengan Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) UI untuk menjelaskan serta mengingatkan baik dari segi protokol kesehatan sebelum aksi, saat aksi, dan sesudah aksi. Perlengkapan protokol Covid-19 yang disediakan antara lain tambahan masker yang cukup untuk 2 kali ganti tiap peserta aksi, face shield tiap peserta aksi, hand sanitizer, serta sarung tangan. Koordinator lapangan juga selalu mengingatkan untuk tetap menjaga imunitas tubuh dengan membawa air selama aksi.
Massa aksi UI sendiri dibagi menjadi beberapa kloter terutama terkait peraturan KRL yang mewajibkan hanya 25 orang untuk setiap gerbong. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga jarak pada saat kondusif dan mematuhi protokol kesehatan.
Aksi belum Selesai
Aliansi BEM se-Universitas Indonesia akan tetap mendukung penolakan Omnibus Law dan masih menunggu dinamika di aliansi untuk mengambil langkah selanjutnya. Untuk saat ini fokus memang masih diarahkan untuk advokasi korban kekerasan, korban yang ditangkap, dan lainnya. Namun selanjutnya akan dilakukan konsolidasi lagi, beberapa organisasi di aliansi akan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Editor: Rani Widyaningsih, Nismara Paramayoga, Fadhil Ramadhan
Foto: Rama Vandika
Discussion about this post