Untuk sebagian orang, bermain video games adalah kegiatan relaksasi dan hiburan. Bermain video games bukanlah sesuatu yang berbahaya, namun, jika dilakukan dalam intensitas yang berlebihan, dapat memicu permasalahan baru. Salah satunya ketika kehidupan pemain sudah rancu dan masuk ke dalam tahap gaming disorder—keadaan di mana pemain sudah tidak bisa membedakan antara kehidupan nyata dan permainan.
Mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1980, video games mengalami banyak perkembangan dan perubahan peran di kehidupan sosial. Pada awal kemunculannya, gaming dikategorikan sebagai hobi niche yang selalu diasosiasikan dengan “nerd” atau“si kutu buku”. Namun, setelah kemunculan permainan-permainan fenomenal seperti DOTA, Call of Duty, dan Fortnite dengan didukung pemasaran yang lebih universal serta penjualan konsep-konsep permainan yang semakin kreatif dan menarik, gaming menjadi hobi yang mainstream di masyarakat.
Perkembangan industri game sudah memfasilitasi para gamer dengan game-game berkualitas tinggi, bahkan mereka dapat menarik loyalti dan dukungan dari pemainnya. Menurut perusahaan data konsumen Jerman bernama Statista, angka pemain video game yang aktif akan mencapai 2.7 miliar orang di tahun 2021. Namun, dibalik angka yang sangat tinggi, ada risiko berbahaya yang telah menjadi isu kontroversial di kalangan para gamer yaitu gaming disorder.
Pengaruh Video Games terhadap Perilaku Pemainnya
Pada tahun 2019, World Health Organization (WHO) mengidentifikasi Gaming disorder yang dijabarkan pada 11th Revision of International Classification of Diseases (ICD-11) sebagai pola perilaku gaming. Pola perilaku ini ditandai dengan kenaikan prioritas terhadap gaming dibanding kegiatan sehari-hari lainnya dan terus meningkat walau terjadi konsekuensi negatif akibat hal tersebut.
Video games sendiri memiliki banyak genre dan konsep permainan sehingga tidak semua konten merangsang hal yang sama. Beberapa konsep permainan menuntut pemain untuk lebih sigap, tanggap, dan teliti untuk menyelesaikan misi yang ada. Hal ini tentu dapat melatih kecepatan dan ketepatan berpikir pemain di kehidupan nyata.
Meskipun begitu, semua pemain tetap harus berhati-hati terhadap lama waktu yang mereka habiskan untuk bermain. Walaupun gaming disorder hanya terjadi pada proporsi kecil di antara para pemain, intensitas bermain yang terlalu lama dapat mempengaruhi psikologis pemainnya menjadi lebih agresif, apatis, dan tidak produktif.
Beberapa konten video games juga mengandung hal-hal berbahaya seperti kekerasan ataupun terorisme. Hal tersebut juga menjadi kontroversi karena konten dari video games pada dasarnya bertujuan sebagai hiburan, bukan untuk dilakukan. Kondisi ini dikhawatirkan dapat berubah menjadi doktrin baru ketika pemain mendapatkan adrenalin dan rasa puas saat berhasil menembak target dalam suatu game.
Mungkin terlintas di pikiran pemain akan sensasi menembak di kehidupan nyata, apakah sama dengan permainan atau tidak. Namun, pada akhirnya, hal ini bergantung pada kedewasaan seorang pemain dan pengawasan orang-orang sekitarnya. Oleh karena itu, perusahaan game menetapkan batasan umur yang direkomendasikan untuk memainkan video games tertentu, khususnya yang mengandung unsur kekerasan. Dengan demikian, pemain diharapkan sudah cukup dewasa untuk membedakan hiburan dan kenyataan.
Video Games sebagai Narkoba Digital
Video games dapat menjadi sangat adiktif karena secara teknis bekerja dengan cara yang sama seperti narkoba terhadap otak. Dilansir dari sebuah artikel Addiction Center terkait dengan kegemaran masyarakat terhadap permainan, bermain video games dapat melepaskan dopamine—zat kimia yang merangsang perilaku tertentu pada otak yang membuat pemain bersemangat dan bahagia. Hal ini tentunya dapat menjadi stimulus yang bersifat adiktif.
Seseorang yang sudah sampai tahap kecanduan, umumnya akan menunjukkan gejala putus perilaku, yakni apabila dihentikan kegiatannya (bermain game) maka akan timbul energi negatif, mulai dari emosi yang tidak stabil, marah, sakit kepala, insomnia, tindakan agresif, mengancam orang lain, menyakiti diri sendiri, dan keinginan tinggi untuk kembali bermain.
Seperti halnya dengan kecanduan alkohol, seseorang yang kecanduan game membutuhkan video games untuk bisa merasa senang dan akan merasa menderita saat tidak bermain. Meskipun lama bermain game merupakan salah satu indikator kecanduan, tetapi tidak semua orang yang bermain game dalam kurun waktu lama dapat dinyatakan kecanduan.
Para gamer profesional, streamer, orang yang berprofesi sebagai gamer, serta orang yang hanya sebatas mengisi waktu libur, tahu kapan harus berhenti bermain game dan dapat dengan mudah melakukannya. Sebaliknya, orang yang kecanduan bermain game tidak dapat berhenti bermain game meskipun mereka tahu kapan seharusnya berhenti. Sama seperti dampak kecanduan lainnya, kecanduan bermain video games menyebabkan para pecandunya menelantarkan hubungan dengan sesama, keluarga, teman, pekerjaan dan juga pendidikan.
Video games merangsang adrenalin pada pemainnya terutama saat menyelesaikan misi. Loftus dan Loftus (1983) dalam Mind at Play menjelaskan paradigma operasi dalam karakteristik struktur video games di mana variabel, rasio, dan fixed-interval ditujukan untuk membuat video games yang adiktif. Dalam beberapa kondisi, pemain dituntut agar melakukan permainan yang benar, sehingga pemain mendapat penghargaan dan merasa berhasil setelah menyelesaikan tuntutan dalam permainan tersebut. Akan tetapi, hal ini juga dapat menciptakan penyesalan kognitif di mana pemain merasa harus mengoreksi kesalahan mereka saat kalah di video game sehingga terus mengulang permainan tanpa henti dan mengalami kecanduan.
Where is the X Button?
Selnow (1984) mengemukakan teori bahwa bermain game dapat membuat seseorang terlepas dari kesendirian tanpa harus menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain. Seorang pemain yang awalnya memiliki hubungan interpersonal yang kuat dengan teman di dunia nyata dapat tergerus hubungannya setelah menghabiskan waktunya untuk bermain game.
Tak hanya itu, dalam dunia online games, seakan-akan terjadi reset identitas. Hal ini terjadi karena terdapat kondisi dimana semua pemain diberi kesempatan yang sama untuk menang, memulai dari garis start yang sama, dan memiliki status tinggi. Berbeda dengan realita di mana semua orang memulai dari garis start, sarana, alur cerita, serta pencapaian yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan pemain dapat sesuka hati dalam menentukan karakter mereka di dunia permainan tanpa diketahui orang lain.
Konsep ini semakin rentan dengan munculnya kategori permainan Massive Multiplayer Online Role Playing Games (MMORPG). Kategori ini mudah diakses karena gratis dan tidak memerlukan perangkat-perangkat tambahan. Di dalam permainan tersebut juga berisi pemain lain yang dapat diajak bersosialisasi dalam menciptakan relasi virtual di dunia online game.
MMORPG sendiri merupakan kategori yang paling sering dimainkan. Di sini, pemain tidak bermain sendirian, mereka membuat relasi virtual untuk memainkan permainan tersebut. Para pemainnya dapat membentuk kepribadian yang diinginkan, mengontrol karakternya, melakukan pembagian tugas, serta berinteraksi dengan pemain lain secara virtual. Dalam sistem MMORPG atau online games lainnya, bila pemain absen dalam waktu lama dari permainan tersebut, ia akan kehilangan pengaruh dan kekuatannya. Oleh karena itu, sangat sulit bagi para pecandu games untuk berhenti dengan sepenuhnya dari jeratan bermain video game, di mana mereka terperangkap dalam siklus datang, pergi, lalu datang kembali.
Bagi kebanyakan orang, bermain video games adalah relaksasi dan penghilang jenuh. Namun, untuk sebagian kecil dari mereka, video games adalah pelarian dari kehidupan nyata ke kehidupan kedua yang lebih ideal. Narkoba digital ini semakin difasilitasi dengan kemajuan perangkat elektronik di sekitar kita dan akses internet yang semakin menyeluruh. Video games sekarang dapat diakses di mana saja dan kapan saja melalui gawai sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada tombol keluar dari fenomena ini. Dalam hal ini, pemainlah yang dituntut untuk lebih cerdas dalam mengontrol intensitas bermain untuk menghindari konsekuensi negatif dari bermain game. (Baca juga: Cara Lepas dari Adiksi? (Belajar Berhenti dari Kecanduan))
Referensi
Collier, J., Liddell, P., & Liddell, G. (2008). Exposure of Violent Video Games to Children and Public Policy Implications. Journal of Public Policy & Marketing, 27(1), 107-112. Retrieved September 11, 2020, from http://www.jstor.org/stable/25651584
King, D., Delfabbro, P., & Griffiths, M. (2010). The Role of Structural Characteristics in Problem Video Game Playing: A Review. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 4(1), Article 6. Retrieved from https://cyberpsychology.eu/article/view/4229/3272
Sublette, V. A., & Mullan, B. (2012). Consequences of Play: A Systematic Review of the Effects of Online Gaming. International Journal of Mental Health and Addiction, 10(1), 3- 23.
Alexandra Henning, Alaina Brenick, Melanie Killen, Alexander O’Connor, & Michael J. Collins. (2009). Do Stereotypic Images in Video Games Affect Attitudes and Behavior? Adolescent Perspectives. Children, Youth and Environments, 19(1), 170-196. Retrieved September 11, 2020, from http://www.jstor.org/stable/10.7721/chilyoutenvi.19.1.0170
Bezrutczyk, et al. (2019). Understanding Video Game Adiction. Adiction Center. Retrieved September 11, 2020, https://www.addictioncenter.com/drugs/video-game-addiction/
Editor: Qurratu Aina, Tesalonika Hana, Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Fadhli Rahman Jamal
Discussion about this post