“Di level penentu kebijakan masih belum berani (menerapkan kurikulum formal pendidikan seks), karena masih terbawa wacana dari kelompok tertentu yang hanya melihat pendidikan seks sebagai isu moral dan bukan sebagai kebutuhan,” ujar Sri Wiyanti, Ketua Law and Gender Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Pembicaraan tentang seks di masyarakat Indonesia tidak henti-hentinya menjadi perbincangan yang tabu. Sifat tabu ini diturunkan pula pada muatan pendidikan yang membahas tentang seksualitas dan reproduksi manusia. Saat ini sekolah memang mengajarkan aspek-aspek kesehatan reproduksi, namun masih terbatas pada ancaman untuk tidak melakukan seks sebelum menikah. Materi yang fokus pada seksualitas, persetujuan hubungan badan dan sentuhan (consent), dan isu lain mengenai gender masih sangat minim. (Baca juga: Sexual Consent: Hal yang Wajib Dibicarakan Sebelum Berhubungan)
“Persepsi publik yang masih menganggap bahwa pendidikan seks lebih memberikan dampak negatif dibandingkan dampak positif membuat penolakan terhadap pendidikan seks menjadi opini yang kuat di kalangan masyarakat,” ujar dr. Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Pendidikan Seks vs. Pendidikan Reproduksi
Menurut dr. Hasto, masyarakat masih banyak yang salah memahami konsep pendidikan seksual. Pendidikan seks seringkali dipukul rata atau disamakan dengan pendidikan kesehatan reproduksi, padahal kenyataannya tidak demikian. Pendidikan seksual merupakan bagian dari pendidikan reproduksi. Dalam penyampaian tentang pendidikan kesehatan reproduksi, konten mengenai seksualitas juga dapat disampaikan.
“Kesehatan reproduksi memiliki banyak aspek, salah satunya seksualitas. Namun, jangan dipukul ratakan antara pendidikan seks dan pendidikan reproduksi,” pungkas dr. Hasto. Apa yang disampaikan kepada para siswa di sekolah sejatinya merupakan pendidikan reproduksi. Pada dasarnya, pendidikan reproduksi dapat disampaikan kepada siapa saja, termasuk anak-anak. Tetapi untuk pendidikan seksual, dr. Hasto menilai target penyampaiannya perlu dibatasi karena secara awam masyarakat masih menganggap seks hanya sebatas sexual intercourse. “Penyampaian pendidikan seks perlu dibatasi karena pandangan masyarakat yang masih awam ini menjadi sebuah constraint dalam pembahasannya,” jelas dr. Hasto. Perbedaan kedua konsep ini juga dapat menjadi pemahaman bagi para konselor yang hendak menyampaikan pendidikan seks ini, sehingga nantinya dapat menyambungkan public knowledge dan academic knowledge.
Tidak Adanya Pemisahan State dan Religion
Menurut seorang aktivis sekaligus mantan anggota DPR Komisi VIII, Rahayu Saraswati yang akrab dipanggil Sara, sulitnya penyampaian pendidikan seksualitas di Indonesia ini juga akibat tidak adanya pemisahan antara state dan religion. Artinya, semua kebijakan akan ada kaitannya dengan iman dan keyakinan, termasuk kebijakan tentang pendidikan seksual. Ajaran agama yang melarang berhubungan seks sebelum menikah juga menjadi salah satu resistensi penyampaian pendidikan seksual secara komprehensif.
“Masalah dari pendidikan seksualitas dan reproduksi adalah masyarakat yang sering mengkonotasikannya sebagai ajakan untuk melakukan seks atau semacamnya, yang tentunya bertentangan dengan ajaran agama,” ujar dr. Hasto. Ia pun menilai muatan pendidikan seks di Indonesia harus dengan strategi penyampaian yang tidak terlalu vulgar agar dapat diterima setiap tokoh masyarakat. “Karena besar kemungkinan jika terlalu vulgar maka akan mendapat penolakan dari masyarakat,” tambah dr. Hasto.
Sara juga berbagi cerita mengenai proses penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di DPR yang juga tak luput dari persoalan state dan religion ini. Dalam prosesnya, DPR sempat menghadirkan neuropsychologist dan akademisi yang menyatakan akan bahayanya pengesahan RUU PKS karena akan melegalkan LGBT di Indonesia. “Jadi, ini bukan hanya dari sisi pemerintah (anggota DPR), melainkan juga akademisi yang memiliki pemahaman berbeda,” pungkas Sara. Menurutnya, satu-satunya cara adalah dengan menunjukkan bagaimana beberapa suku di Indonesia mengakui adanya lebih dari dua gender secara budaya. “Tetapi, pasti hal tersebut juga akan dinyatakan sesat oleh tokoh-tokoh agama di pemerintahan,” tambahnya.
Penyesuaian dan Modifikasi Pendidikan Seksual
Menurut dr. Hasto, di tengah pola pikir masyarakat yang masih dominan dengan doktrin agama dan budaya sehingga seks masih dianggap tabu, penting untuk bisa memilah apa yang sebaiknya disampaikan secara eksplisit maupun implisit agar tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Menurutnya, materi pendidikan seks dan reproduksi ini harus dikemas secara menarik agar dapat diterima masyarakat. “Alangkah lebih baik kita menggodok topik secara intense baru disampaikan kepada masyarakat setelah dikemas dengan baik,” tuturnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Sara juga berpendapat bahwa untuk dapat masuk ke dalam kurikulum sekolah, pendidikan kesehatan reproduksi harus disesuaikan secara multilevel, yaitu dengan memperhatikan usia dan konteks level kritis dari setiap daerah di Indonesia karena setiap daerah memiliki tanggapan yang berbeda-beda akan pendidikan seksual. “Pendidikan reproduksi sebaiknya ada di seluruh jenjang pendidikan, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan tahap pengembangan anak,” ujar Sara. Untuk menentukan materi dalam setiap tahapannya, Sara menilai sebaiknya hal ini diserahkan kepada ahli dari segi psikologis, karena psikolog lebih mengerti development stage dari setiap generasi. Hal ini senada dengan pendapat dr. Hasto yang mengatakan bahwa kuncinya adalah penguasaan konten dan konteks dengan baik.
Mengacu pada International Technical Guidance of Comprehensive Sexuality Education (CSE) dari United Nations Population Fund (UNFPA), dr. Hasto mengatakan hal tersebut dapat diaplikasikan, namun perlu ada sebuah modifikasi dengan strategi penyampaian yang tidak terlalu vulgar agar tidak terjadi penolakan di masyarakat. “Kita harus mengadaptasi apa yang kita adopsi dari materi UNFPA tersebut. Perubahan bukan karena pemerintah, tetapi karena masyarakatnya yang berkeinginan untuk berubah,” pungkasnya.
Seksolog Zoya Amirin pun turut menanggapi hal ini. Menurutnya, penerapan pendidikan seksual tidak seharusnya masuk ke dalam kurikulum pendidikan—melainkan ekstrakurikuler. “Kalau dimasukkan ke kurikulum, nanti ada penilaian raport misalnya nilai 9 atau 10. Tapi apakah artinya seseorang yang mendapat nilai 10 lebih sehat (terkait pendidikan seks) dibanding seseorang yang mendapat nilai 8? Pendidikan seks itu lebih kualitatif daripada kuantitatif,” jelasnya.
Pendidikan Seksual dalam Menjawab Kekerasan Seksual
Menurut Rahayu Saraswati, pendidikan kesehatan reproduksi juga perlu mencakup perlindungan dari kekerasan seksual, kelanjutan penyelesaian kasus kekerasan seksual, serta apa yang harus dilakukan sebagai korban kekerasan seksual. “Pendidikan kesehatan reproduksi sendiri berkaitan dengan pencegahan kekerasan seksual,” ujarnya.
Ia memberikan contoh anak berusia di bawah 18 tahun melakukan kekerasan seksual karena mempelajari hubungan seks melalui pornografi. “Mereka belajar dari konteks pornografi yang keras hingga menyerupai pemerkosaan, lalu hal tersebut dinormalisasi. Mereka tidak dapat membedakan antara konsensual dan paksaan,” ujar Sara. Ia pun berpendapat jika dalam pendidikan kesehatan reproduksi perlu mengajarkan tentang consent, sehingga masyarakat bisa membedakan mana yang boleh dan tidak.
Comprehensive Sexuality Education menekankan pentingnya menempatkan consent dan etika berhubungan dengan orang lain sebagai fondasi kurikulumnya. Namun pada kenyataannya di Indonesia, pembicaraan tentang consent adalah sesuatu yang masih menuai perdebatan. Menurut Sara, akar dari perdebatan ini adalah ideologi, dimana lagi-lagi tidak adanya pemisahan antara state dan religion. “Sulit untuk move on dari (pendidikan seksual) abstinence ke consent kalau memang ideologi Indonesia tidak dipisahkan antara state dan religion,” tuturnya.
Dalam hal ini, Sara menilai jika konsep consent penting dalam konteks perlindungan hak seseorang terhadap kekerasan seksual. Tindak kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan dalam hal apapun karena melanggar konsep consent ini. “Contohnya, beberapa negara sudah mengesahkan jika hubungan intim dalam kondisi mabuk dapat dikenakan pasal pemerkosaan karena orang yang berhubungan intim tidak memiliki kendali penuh atas kesadarannya, sehingga dianggap false consent. That’s how far they protect the victims,” jelas Sara.
Sejatinya, tujuan dari pendidikan kesehatan reproduksi adalah mengajarkan tentang hak dan perlindungan korban, serta mengajarkan bagaimana mereka bisa mengumpulkan bukti jika mendapatkan kekerasan. Senada dengan Sara, Kepala BKKBN juga menyampaikan bahwa edukasi tentang kesehatan reproduksi juga akan mencakup aspek-aspek emotional disorder yang berkaitan dengan kekerasan seksual , salah satunya pedofilia.
“Sebenarnya, yang paling komprehensif itu adalah memberikan rehabilitasi dan intervensi kepada korban, demikian juga hal yang sama untuk si pelaku supaya si pelaku tidak melakukan perbuatan itu lagi. Kalau pelaku dipenjara tetapi tidak ada rehabilitasi, bisa jadi dia akan melecehkan di penjara juga,” tutur Zoya. Ia pun memberi contoh dari suatu konferensi terapis seksualitas di Denver, Amerika Serikat tahun 2018, yang memiliki panel berjudul “Sex Education for Sexual Predators”. “Sebagian besar pelaku seks menyimpang (atypical sexual behaviour/sex predator) itu tidak memiliki social skills seperti mengetahui kapan harus mengekspresikan hasrat seksualnya karena tidak pernah diedukasi, “ ujar Zoya.
Meskipun perilaku seks yang menyimpang adalah salah satu dampak dari minimnya pendidikan seks, hal ini tetap tidak bisa dijustifikasi sebagai alasan untuk melakukan pelecehan seksual. “Alasannya adalah you need to own it. Kita perlu mengakui bahwa sebelum adanya pendidikan seksual, ada pembelajaran etika dari keluarga—mengenali batasan. Kalau sampai mereka melecehkan karena tidak mendapatkan pendidikan seks, pertanyaannya bagaimana boundaries yang diajarkan di rumah?” jelas Zoya.
Pendidikan Seksual dalam Menjawab Pernikahan Anak
Permasalahan tingginya angka pernikahan anak di Indonesia seharusnya juga dapat dicegah dengan pendidikan seksual. Hal ini selaras dengan opini dr. Hasto yang mengatakan, “Pernikahan usia dini seharusnya dicegah, dan jika memang tidak bisa dicegah maka pendidikan seksualitas perlu diberikan kepada mereka yang memang ingin serius menikah, sehingga pembahasan yang berkaitan dengan sexual intercourse bisa disampaikan.” BKKBN sendiri memiliki program kerja yang menargetkan remaja dan mereka yang ingin menikah, yakni berupa situs web bernama siapnikah.org. Situs ini berisikan layanan edukasi untuk mempersiapkan pasangan-pasangan yang ingin menikah.
Rahayu Saraswati merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan batas usia minimum perkawinan dinaikkan. Ia mengatakan jika di jajaran DPR pun banyak yang tidak setuju akan pembatasan usia pernikahan. “Artinya memang ada beberapa anggota (DPR) yang setuju dengan perkawinan anak. Alasan yang mereka gunakan adalah bahwa pernikahan anak dilakukan untuk menghindari dosa dan hal tersebut merupakan hak mereka,” ungkap Sara. Senada dengan pernyataan tersebut, dr. Hasto berpendapat jika menghalalkan pernikahan dini untuk mencegah zina merupakan sesuatu yang salah dan sangat merugikan.
Dalam sebuah penelitian mengenai “Implementasi Pendidikan Seks berbasis Sekolah”, dinyatakan bahwa program pendidikan seks meningkatkan pengetahuan siswa, mengubah sikap terhadap seks pranikah, dan mengurangi intensi untuk terlibat dalam seks pranikah. Hal ini dapat menjadi faktor pencegah kasus pernikahan anak akibat kehamilan di luar pernikahan karena hubungan seks pranikah. Senada, dr. Hasto menjelaskan jika memang materi kesehatan reproduksi ini bertujuan untuk mencegah pernikahan dini dan menjelaskan risiko jika terjadi hubungan seks di usia dini.
Pendidikan Seksual dalam Isu Gender
Mengenai isu gender seperti misalnya orientasi seksual lain di luar heteroseksual, Sara dengan tegas menyatakan opininya bahwa masyarakat Indonesia tidak akan pernah bisa menerima hal tersebut (orientasi seksual lain selain heteroseksual). “Selama state dan religion masih satu kesatuan, tidak akan pernah bisa. Sulit untuk mencari validasi dari ajaran agama yang mengizinkan atau tidak menyatakan hal tersebut (LGBT) sebagai dosa,” tuturnya.
Dr. Hasto sendiri mengatakan, “Ini (isu orientasi seksual) sebenarnya sudah termasuk ke dalam pendidikan kesehatan reproduksi yang mencakup patologi (ilmu yang mempelajari penyakit) reproduksi, yang salah satunya bisa anatomis maupun psikis.” Ia kemudian memaparkan bahwa orientasi seks non-heteroseksual tergolong deviasi seksual, yang kemudian dapat digolongkan ke dalam gangguan jiwa ringan.
Di sisi lain, Zoya menyebutkan bahwa berdasarkan Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorders (DSM) yang ke-3, sudah tidak ada lagi klaim yang menyebut klasifikasi seksualitas non-hetero sebagai disorder, melainkan sudah termasuk sebagai orientasi seks. Mengutip dari Alm. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, Zoya menyebutkan bahwa orientasi seksual non-hetero termasuk ke dalam kategori penyimpangan normal (sosial)—bukan berarti disorder. Penyimpangan sosial yang dimaksud adalah tekanan masyarakat terhadap kaum minoritas yang tidak bisa menerima keberagaman (homofobia). Pendidikan seks yang beragam, tambah Zoya, bukan berarti mengajar seseorang untuk menjadi LGBT melainkan mengajar tentang keanekaragaman; tentang Bhinneka Tunggal Ika.
Editor: Ruthana Bitia, Renadia Kusuma, Rani Widyaningsih
Foto oleh Gaelle Marcel di Unsplash
Referensi
Maimunah, S. (2019). Implementasi pendidikan seks berbasis sekolah. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 7(2). doi:10.22219/jipt.v7i2.8989
New survey shows violence against women widespread in Indonesia. (2017, May 10). Retrieved September 10, 2020, from https://www.unfpa.org/news/new-survey-shows-violence-against-women-widespread-indonesia
Sasongko, J. (2016, May 21). Kemdikbud: Pendidikan Seks Sudah Masuk Kurikulum. Retrieved September 10, 2020, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160521083036-20-132374/kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum
Yi, B. (2016, July 25). Over 90 percent rape cases go unreported in Indonesia: Poll. Retrieved September 10, 2020, from https://www.reuters.com/article/us-indonesia-crime-women/over-90-percent-rape-cases-go-unreported-in-indonesia-poll-idUSKCN1051SC
Discussion about this post