Disclaimer: Pemikiran penulis tidak merefleksikan pemikiran organisasi secara keseluruhan
“Aku cuma menginginkan keadilan.” Ujarnya kepayahan dari balik jeruji.
“Memangnya ‘keadilan’ seperti apa yang membuatmu mendekam di penjara begini?” tanyaku.
“Sebulan yang lalu, seorang tetangga mengambil sepatu milikku tanpa izin, ya mencuri. Aku lihat sendiri bagaimana dengan cepat ia mengambil sepatu dari teras rumahku, lalu secara sigap memasukkannya ke dalam ransel sebelum lari tunggang-langgang melesat entah kemana. Sempat kukejar selama beberapa menit, tetapi larinya terlalu kencang untuk kedua kaki yang memang tidak pernah kulatih untuk melesat cepat. Akhirnya aku menghentikan pengejaran dan memutuskan untuk melapor kepada pihak berwenang. Di kantor pihak berwenang aku disambut oleh seorang pak pegawai, entah namanya siapa, aku lupa. Karena dengan segera ia menyuruhku pulang, beralasan saat itu adalah jam makan siang mereka, kalau tidak salah ia ingin makan donat atau soto ayam, ‘Besok datang lagi aja.’ katanya.
Keesokan harinya, aku datang pada pukul 08.00, dengan maksud menghindari alasan ‘jam makan siang.’ Benar saja, pak pegawai yang sama menyambutku lagi. Kemudian memersilahkanku duduk, menanyai keterangan-keterangan yang diperlukan, dan mencatatnya dengan rapih pada sebuah buku, tak lupa menawariku minum segelas air mineral. ‘Ya, semua keterangan sudah saya catat, terimakasih sudah mau melapor. Adik tunggu saja ya kelanjutan kasus ini, nanti akan saya hubungi lagi. Terimakasih sekali lagi atas kerjasamanya.’–
“Sebentar, kalau begitu kenapa malah kamu yang dihukum begini?” Tanyaku memotong.
“Dengarkan dahulu, aku belum selesai bercerita. Setelah melaporkan kejadian itu, aku hanya menunggu, menunggu, dan menunggu selama kurang lebih dua minggu.
Karena kesal tidak dihubungi lagi perihal kelanjutan kasus, akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi kantor pihak berwenang untuk kali kedua. Dan lagi, aku disambut oleh pak pegawai yang sama. Sempat sedikit berandai-andai, dimana pegawai-pegawai lain? Ah, nampaknya tidak penting.
‘Ya, dik. Saat ini kasus adik sedang kami proses. Mohon bersabar.’
‘Yah, kok lama sekali, pak. Mohon maaf sebelumnya kalau saya sedikit lancang. Apa sulitnya menyelesaikan kasus ini? Kan bapak tinggal bertamu kerumah tertuduh pelaku, lakukan penggeledahan, kemudian jika terbukti keberadaan sepatu saya disana, bapak tinggal seret dia ke kantor, lalu ke kejaksaan, lalu ke balik jeruji. Pokoknya tinggal ikuti perundang-undangan yang ada.’ Jawabku sedikit ketus.
‘Tidak bisa begitu dik, ada serangkaian proses yang harus dilewati sebelum bisa menangkap pihak tertuduh. Ada penyelidikan, penyidikan-’
‘Wah, kelamaan nih.’ pikirku. Segera saja aku melengos dari kantor pihak berwajib itu, tanpa meninggalkan salam-salam dan sapa-sapa.”
“Oh, iya-iya. Apakah kamu dihukum karena berlaku tidak sopan terhadap pihak berwajib yang harus kita hormati itu?”
“Bukan, bodoh. Sudah kubilang, dengarkan dulu ceritaku sampai selesai.
Lepas dari kantor tersebut, aku termenung sendiri di atas meja. Sadar bahwa aku tidak bisa berharap terlalu banyak pada pihak berwajib, (proses ini lah, itu lah, ono lah, apa lah, mbulet. Kelamaan, keburu sepatu milikku hilang entah kemana, barangkali dijual lagi atau koyak-koyak karena dijadikan mainan anjing) kuputuskan untuk bergerak sendiri. Jika pihak berwenang tidak bisa membawa keadilan, maka aku sendiri yang akan mengantarkan keadilan itu ke depan mukanya. Minggu depan, akan kucuri sepatu miliknya, yang terletak di teras rumah juga. Biar kami impas.”
“Sepertinya aku tahu akan mengarah kemana ceritamu ini.” timpalku.
“Singkat cerita, tibalah kita pada hari dimana aku mengantarkan keadilan. Sesampainya di teras rumahnya, tanpa ba-bi-bu langsung saja kugondol sepatunya, sepasang, tidak lebih. Biar dia tau rasa. Tapi ada satu hal yang saat itu tidak kusadari, teras rumahnya berhiaskan CCTV. Nampaknya–sehari setelah itu–ia langsung melaporkan aku kepada pihak berwenang. Lengkap dengan video rekaman kejadian. Tiga hari berselang, di sinilah aku.” Tutupnya sambil menunduk meratapi nasib.
Mendengar ceritanya membuatku bingung. Aku tidak bisa menyalahkan ia sepenuhnya karena ia hanya menginginkan keadilan. Tetapi, main hakim sendiri tampaknya juga tidak tepat. Seandainya saja, pihak berwenang bertindak lebih cepat dan tepat. Pasti saat ini dia sedang jalan-jalan mengenakan sepatunya yang raib dicuri itu… Cerita tersebut sedikit banyak mirip dengan isu pelecehan seksual yang sedang marak-maraknya di media sosial. Kondisi dimana inkompetensi pihak berwenang dalam menyelesaikan masalah, baik secara normatif maupun struktural, menyebabkan korban mengambil jalan “keadilan” mereka sendiri–melalui penghakiman dunia maya.
Landasan Struktural Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia
Secara struktural, hukum di Indonesia sendiri memang belum memayungi isu pelecehan seksual ini dengan baik. Sejauh ini di Indonesia, baru ada KUHP pasal 280 sampai dengan pasal 296 yang membahas tentang hal tersebut, meskipun tidak begitu spesifik dan belum cukup kuat dalam mengakomodir korban. Menurut data statistik kriminal yang dirilis oleh BPS pada 2018, rata-rata setiap tahunnya terjadi 5.327 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Forum Pengada Layanan (FPL) menambahkan, hanya 40 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Polisi. Bahkan dari 40 persen tersebut hanya 10 persennya yang berlanjut ke pengadilan. 1Adam, W., 2020. Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota – Tirto.ID. [online] tirto.id. Available at: <https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW> [Accessed 4 September 2020].
Dengan jenis-jenis pelecehan seksual yang kian bertambah, diperlukan payung hukum yang lebih tegas, lugas, dan jelas untuk dapat menjerat pelaku pelecehan seksual dan melindungi korban dengan baik. Di lingkup kampus, meski isu pelecehan seksual begitu marak dan bahkan mungkin sudah jadi rahasia umum, belum ada aturan yang secara khusus mengatur isu ini. Sebagai contoh, Universitas Indonesia hanya memiliki Buku Saku SOP Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus, disusun oleh FIB dan FH pada tahun 2019 silam2Fakultas Hukum & Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia 2019. SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. (2019). https://drive.google.com/file/d/19ez5C3vwNB1M3whAuRD3s_SrX_p1cetE/view. Masih sebatas buku saku, belum sebagai bentuk aturan konkrit. Ditambah lagi, secara normatif, nampaknya belum ada keseriusan dari pihak berwenang dalam menyelesaikan masalah seputar pelecehan seksual.
Buktinya, dalam sebuah kasus yang melibatkan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebenarnya pelaporan sudah terjadi selama beberapa waktu. Tetapi pihak kampus dan pihak-pihak lain yang terlibat tidak terlihat mengambil tindakan apapun, sampai kasus tersebut menjadi gembar-gembor di media sosial, barulah mereka terlihat “bertindak”3Paramayoga, N. and Ardhie, B., 2020. Menanggapi Kasus Pelecehan Seksual Di Kampus, Dekanat FEB UI: “Pihak Kampus Tidak Tinggal Diam” – Economica. [online] Economica. Available at: <https://www.economica.id/2020/08/03/menanggapi-kasus-pelecehan-seksual-di-kampus-dekanat-feb-ui-pihak-kampus-tidak-tinggal-diam/> [Accessed 8 September 2020].. Universitas Indonesia memang belum menyediakan layanan pengaduan resmi dari Rektorat, sehingga korban pelecehan biasanya mengirimkan pengaduan mereka ke Hope Helps UI, lembaga pihak ketiga, yang baru kemudian akan meneruskan kasus ke pihak-pihak terkait. Lalu, kasus akan mengambang lama berkelit-kelit, karena adanya “kekosongan” hukum atau karena adanya hal-hal lain. Hingga kasus tersebut viral di media sosial dan kampus merasa nama baiknya sedikit banyak tercoreng, barulah pedal gas akan diinjak sekencang-kencangnya.
Reaksi Masyarakat dan Penegakan Keadilannya
Masyarakat mulai melek terhadap isu ini semenjak para korban maupun penyintas berani angkat bicara melalui media sosial. Sejak itu pula, beragam respon ditunjukkan oleh masyarakat. Beberapa menyatakan dukungan kepada korban, beberapa mencibir korban, beberapa menjadikannya pembelajaran, dan lebih banyak lagi yang tanpa ampun menghakimi pelaku. Reaksi terakhir adalah sangat wajar, mengingat pelaku kejahatan memang harus diadili, dan nampaknya pihak berwajib lalai dalam menegakkan keadilan. Tapi, layakkah masyarakat memberi keadilan?
Dalam penyelesaian suatu perkara (penegakan keadilan), ada dua jalan yang bisa ditempuh: keadilan restoratif dan keadilan retributif. Keadilan retributif adalah sistem hukum (pidana) yang kita tahu selama ini: siapa melakukan kejahatan (pelanggaran terhadap hukum), akan dihukum dengan tujuan memberi rasa kapok sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan keadilan restoratif merupakan jalur yang lebih menekankan kekeluargaan–seperti namanya yang berasal dari kata restorasi–bertujuan untuk “memperbaiki” pihak-pihak terkait, baik korban maupun pelaku4Daly, K., 2005. Restorative versus Retributive Justice. Criminal Justice Matters, 60(1), pp.28-37..
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merujuk pada hukum internasional, keadilan restoratif adalah suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang5United Nations Development Programme. (2018). Human Development Indices and Indicators. 2018 Statistical Update. United Nations Development Programme, 27(4), 123. http://hdr.undp.org/sites/default/files/2018_human_development_statistical_update.pdf%0Ahttp://www.hdr.undp.org/sites/default/files/2018_human_development_statistical_update.pdf%0Ahttp://hdr.undp.org/en/2018-update. Keadilan restoratif memberi korban kesempatan untuk berkomunikasi dengan pelaku, dan menentukan sendiri bagaimana penyelesaian perkara supaya “sama-sama enak,” tentunya dengan keterlibatan pihak ketiga. Dalam penyelesaian kasus, keterlibatan masyarakat–bila diminta–adalah sebagai mediator atau fasilitator bagi kedua belah pihak. Sebenarnya, (menurut penulis) cara ini adalah cara terbaik dalam penyelesaian kasus pelecehan seksual (meski belum tentu ‘adil’ karena cara memandang keadilan begitu luas). Meninjau penyelesaian kasus yang berfokus pada akibat di masa depan dan restorasi kedua belah pihak. Karena pada kenyataan kehidupan bermasyarakat sekarang, cara masyarakat memandang keadilan cenderung menggunakan moto “mata untuk mata” dimana ketika korban mengalami trauma seumur hidup, maka pelaku juga harus mengalami trauma seumur hidup pula. Alternatifnya adalah untuk berfokus pada penyembuhan trauma yang dialami korban demi masa depannya dan integrasi kembali pelaku ke dalam masyarakat; Meski begitu, menurut survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co yang difasilitasi oleh Change.org, bahkan 93 persen penyintas kekerasan seksual saja tidak pernah membuat laporan tentang kejadian yang menimpa mereka karena takut “dipandang” buruk (dianggap melebih-lebihkan, dianggap ‘kotor’, dan lain sebagainya) oleh masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek tentang masalah ini. Hal ini tentunya akan berdampak pada negosiasi penyelesaian masalah antara korban dan pelaku. (Tentu bakal alot jika kedua belah pihak tidak benar-benar memahami kasus.)
Bentuk penyelesaian kedua adalah melalui keadilan retributif, proses yang melalui rangkaian pelaporan, penyidikan, pemeriksaan, dan pelaksanaan putusan oleh kejaksaan. Jalur yang dapat ditempuh apabila dengan jelas ada hukum tertulis yang dilanggar6Grover, L. (2019). Transitional justice, international law and the United Nations. Nordic Journal of International Law, 88(3), 359–397. https://doi.org/10.1163/15718107-08803002. Bicara mengenai hukum tertulis, menurut mazhab positivisme, hukum yang tertulis adalah kesepakatan masyarakat, sebuah “kontrak sosial”, dan dijadikan pedoman hidup dalam bermasyarakat. Artinya, setiap pelanggaran terhadap kesepakatan akan dikenai hukuman sesuai yang sudah disepakati pula. Bukankah itu bisa dikatakan ‘adil’? Apabila sudah ada kanal hukum yang baik, pagar-pagar yang jelas, apa yang dilanggar dan bagaimana sanksi yang didapat, niscaya 93 persen penyintas kekerasan seksual tadi tidak perlu merasa ragu lagi untuk melayangkan laporan ke pihak berwenang7Asmarani, D., 2020. 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan Yang Dialami: Survei. [online] Magdalene.co. Available at: <https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei> [Accessed 8 September 2020].. Tanpa ini, masyarakat yang tergerak oleh ketiadaan kerangka keadilan yang jelas terpaksa berperan sebagai ‘pengawal’ kasus. Entah sebagai penonton di pengadilan atau sebagai ‘alarm’ bagi pihak berwenang, seperti yang sudah dibahas di awal. Pada saat yang sama, masyarakat memiliki keterbatasan (kurangnya edukasi atau kemampuan bersikap objektif) dalam memberikan “keadilan” terhadap si terduga pelaku. Bagaimana khalayak umum dapat menimbang fakta-fakta yang ada dengan lengkap dan objektif, melalui media-media sosial yang tidak menjamin kelengkapan (atau bahkan kebenaran) informasi? Bagaimana menakar proporsionalitas hukuman (dalam hal ini, sanksi sosial) yang dijatuhkan? Siapa yang mau bertanggung jawab, apabila dampak sanksi sosial yang didapat terduga pelaku–yang seharusnya agar pelaku tidak mengulangi kesalahannya lagi–lebih besar daripada dampak terhadap terduga korban?
Meskipun demikian, perlu diingat: Masyarakat tidak diminta untuk menjadi hakim. Pemberian hukuman tambahan berupa sanksi sosial kepada pelaku adalah sesuatu yang bisa dimaklumi, didorong oleh empati terhadap korban, tentunya kita pun ingin pelaku mendapat ganjaran yang sesuai. Tetapi apakah ganjaran yang kita berikan itu ‘adil’?
Tinjauan Filosofis terhadap Keadilan dan Perlunya Moralitas Universal
Menurut Aristoteles, esensi dari keadilan terletak pada penegakan yang tidak berlebih, maupun kekurangan. Dalam hal ini, Aristoteles menyatakan bahwa keadilan merupakan aktivitas memberikan sesuatu kepada orang lain (kewajiban) setara dengan apa yang kita dapatkan dari orang lain (hak). Lain lagi menurut Plato, keadilan merupakan apa yang ada di luar kemampuan manusia biasa, yang mana kondisi ini hanya dapat tercapai dengan cara menjalankan hukum dan juga undang – undang yang dibuat oleh para ahli. Masih banyak lagi perbedaan-perbedaan definisi lainnya menurut para ahli, dan perbedaan itu adalah sebuah kewajaran karena memang pada kenyataannya, keadilan adalah sesuatu yang subjektif, sesuatu yang diukur dengan moralitas.8Pengertian dan Definisi. 2020. Pengertian Keadilan Dan Jenis-Jenisnya Menurut Para Ahli. [online] Available at: <https://pengertiandefinisi.com/pengertian-keadilan-dan-jenis-jenisnya-menurut-para-ahli/> [Accessed 4 September 2020]. Moralitas antar manusia pun berbeda-beda satu dengan lainnya. Maka dari itu, dalam penegakannya di kehidupan bermasyarakat, diperlukan sebuah “moralitas universal,” sesuatu yang menyetarakan moralitas Anda dan saya. Moralitas universal ini termanifestasikan dalam–mengulang pernyataan Plato– hukum dan undang-undang yang memformulasikan moralitas tersebut secara konkret. Dewan Perwakilan Rakyat beserta pada ahli hukum, dan Presiden. Mereka, orang-orang yang kita pilih dan kita percayai untuk melaksanakan tugas mereka. Orang-orang yang telah belajar banyak mengenai hukum itu sendiri memiliki kapasitas dalam pembuatan undang-undang, dan menentukan hukuman-hukuman apa yang paling tepat bagi pelanggar-pelanggarnya.
Tanpa pemahaman yang menyeluruh, masyarakat juga sulit untuk menetapkan pertanggungjawaban kepada suatu individu, dalam hal ini pelaku. Bisa dibilang pelaku tersebut bersalah karena melanggar ‘norma’ atau ‘regulasi’ yang baru. Namun karena informasi belum menyeluruh didapatkan masyarakat, pelaku mungkin baru mengetahui kesalahannya setelah kesalahan tercipta. Oleh karena itu belum tentu pelaku dengan sukarela akan mengambil pertanggungjawaban atas tindakannya (atau, dalam kata lain, mengakui dan menerima kesalahannya)9Tanudjaya, E., 2020. Aku, Kamu, Dan Dia Dalam #Metoo – Economica. [online] Economica. Available at: <https://www.economica.id/2020/08/17/aku-kamu-dan-dia-dalam-metoo/> [Accessed 5 September 2020]..
Selain itu, kebiasaan pemberian sanksi sosial–yang meskipun dapat dimengerti–akan menyebabkan keabu-abuan dalam moralitas masyarakat. Dorongan empati tadi menyebabkan kita bergerak menurut insting, atau setidaknya mengikuti insting orang lain atau kelompok sendiri. Penjatuhan hukuman berupa pengucilan dari masyarakat sebagai tindak lanjut dari perbuatan lancang pelaku, sejatinya tidak perlu dibebankan terlebih dahulu, karena terdapat asimetri informasi–bermodal informasi parsial–di sana. Jika kebiasaan ini terus dipelihara, bisa-bisa di masa yang akan datang, pemberian sanksi sosial secara langsung dapat menjadi suatu kewajaran. Tanpa menggunakan hukum sebagai moralitas universal, hanya melalui moral serangkaian kalangan, palu penghakiman akan diketok, dan “pelaku” kejahatan bakal merana hingga akhir hayat. Sebagai contoh; oleh moralitas serangkaian kelompok, pelaku pelecehan meraba-raba area dada akan dikenai hukuman yang sama dengan pelaku pemerkosaan. Tetapi menurut kelompok lain, pelaku pemerkosaan pantas mendapatkan hukuman yang lebih berat. Ada pula yang sebaliknya. Contoh perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan kita memerlukan moralitas universal.
Akhir Kata
Sebagai penutup; untuk saat ini, mungkin kegiatan penegakan hukum menggunakan moralitas serangkaian golongan terhadap pelaku kejahatan seksual adalah sesuatu yang masih bisa diterima. Pada akhirnya, pihak universitas hanya akan memberikan hukuman berupa pencabutan IKM. Dalam praktiknya, hukuman yang diberikan sangatlah terbatas karena belum ada wadah hukum spesifik yang dapat menangani kasus pelecehan seksual. Hal tersebut juga belum dapat dibawa ke meja hijau karena belum disahkannya Undang-Undang yang mengatur yaitu UU-PKS. Oleh karena itu, daripada pelaku kejahatan tidak diganjar apa-apa, masyarakat turun tangan untuk turut mengadilinya. Namun, untuk kedepannya, diperlukan sebuah moral universal yang menaungi kasus-kasus tersebut, agar keadilan benar-benar bisa ditegakkan.
Editor: Miftah Rasheed Amir, Rama Vandika Daniswara, Anugrah Pekerti Islamilenia, M Daffa Nurfauzan
Illustrator: Batrisya Izzati Ardhie
Referensi
↵1 | Adam, W., 2020. Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota – Tirto.ID. [online] tirto.id. Available at: <https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW> [Accessed 4 September 2020]. |
↵2 | Fakultas Hukum & Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia 2019. SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. (2019). https://drive.google.com/file/d/19ez5C3vwNB1M3whAuRD3s_SrX_p1cetE/view |
↵3 | Paramayoga, N. and Ardhie, B., 2020. Menanggapi Kasus Pelecehan Seksual Di Kampus, Dekanat FEB UI: “Pihak Kampus Tidak Tinggal Diam” – Economica. [online] Economica. Available at: <https://www.economica.id/2020/08/03/menanggapi-kasus-pelecehan-seksual-di-kampus-dekanat-feb-ui-pihak-kampus-tidak-tinggal-diam/> [Accessed 8 September 2020]. |
↵4 | Daly, K., 2005. Restorative versus Retributive Justice. Criminal Justice Matters, 60(1), pp.28-37. |
↵5 | United Nations Development Programme. (2018). Human Development Indices and Indicators. 2018 Statistical Update. United Nations Development Programme, 27(4), 123. http://hdr.undp.org/sites/default/files/2018_human_development_statistical_update.pdf%0Ahttp://www.hdr.undp.org/sites/default/files/2018_human_development_statistical_update.pdf%0Ahttp://hdr.undp.org/en/2018-update |
↵6 | Grover, L. (2019). Transitional justice, international law and the United Nations. Nordic Journal of International Law, 88(3), 359–397. https://doi.org/10.1163/15718107-08803002 |
↵7 | Asmarani, D., 2020. 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan Yang Dialami: Survei. [online] Magdalene.co. Available at: <https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei> [Accessed 8 September 2020]. |
↵8 | Pengertian dan Definisi. 2020. Pengertian Keadilan Dan Jenis-Jenisnya Menurut Para Ahli. [online] Available at: <https://pengertiandefinisi.com/pengertian-keadilan-dan-jenis-jenisnya-menurut-para-ahli/> [Accessed 4 September 2020]. |
↵9 | Tanudjaya, E., 2020. Aku, Kamu, Dan Dia Dalam #Metoo – Economica. [online] Economica. Available at: <https://www.economica.id/2020/08/17/aku-kamu-dan-dia-dalam-metoo/> [Accessed 5 September 2020]. |
Discussion about this post