Saat ini, kata “produktif” menjadi hal yang begitu diglorifikasi di tengah-tengah masyarakat, khususnya kaum muda. Slogan-slogan mengenai “pantang istirahat sebelum sukses” banyak digaungkan. Di tengah lingkungan yang semakin kompetitif, orang-orang berlomba untuk menjadi yang paling sibuk di antara yang lain. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
Hustle culture—begitulah fenomena ini disebut—berasal dari kata hustle yang berarti terus-menerus. Istilah ini menggambarkan seseorang yang terus-menerus bekerja, menghasilkan sesuatu, atau produktif.
Menurut Lugina Setyawati, dosen Sosiologi Universitas Indonesia, hustle culture adalah budaya yang membuat seseorang menganut workaholism atau “gila kerja.” Gila kerja yang dimaksud tidak selalu mengacu kepada pekerjaan formal di sebuah institusi atau perusahaan, tetapi dapat juga mengacu pada seseorang yang aktif dan selalu sibuk melakukan aktivitas apapun. Contohnya mahasiswa bisa menjadi hustler ketika ia sangat sibuk melakukan kegiatan kemahasiswaan.
Hustle Culture: Imbas Kemajuan Industri
Lugina mengatakan bahwa hustle culture tidak muncul dengan sendirinya. Fenomena ini merebak sebagai imbas dari beberapa kondisi yang ada, contohnya industri. Saat ini sektor jasa telah meluas, ditandai dengan banyaknya start-up yang dirintis. Perusahaan start-up sejatinya mengedepankan inovasi dan kreativitas sehingga terdapat tuntutan untuk selalu bekerja dan menghasilkan sesuatu, terlebih apabila perusahaan tersebut beroperasi di bidang jasa. Seolah tidak ada ‘jam kerja’ tertentu yang membatasi, terjadi pergeseran pemaknaan waktu kerja yang sebelumnya 9 to 5, menjadi 24 hours.
Fenomena gig economy dimana tren pekerja lepas dan freelance merebak pun erat kaitannya dengan kemunculan hustle culture. Saat ini, mayoritas tenaga kerja berstatus sebagai pekerja independen, pekerja kontrak sementara, ataupun pekerja tidak tetap. Keadaan ekonomi dengan dinamika yang sangat tinggi serta masa depan yang tidak pasti mengharuskan masyarakat di dalamnya untuk berkompetisi.
Selain itu, perkembangan teknologi berperan banyak dalam pembentukan workaholism. Lugina menjelaskan, kemajuan teknologi yang pesat melahirkan gagasan techno-capitalism atau kemunculan sektor teknologi baru dalam perkembangan kapitalisme. Techno-capitalism ini kemudian memicu komodifikasi—keadaan ketika semua hal dapat dijadikan komoditas yang bisa dijual. Hal ini tentunya menjadi pemicu bagi setiap orang untuk lebih giat bekerja, mengembangkan gagasan serta kreativitas untuk menghasilkan komoditas tersebut. Contohnya endorsement dan content creator YouTube yang menjual ide mereka untuk menghasilkan uang. “Semua ini kan lewat teknologi, ga harus memiliki perusahaan. Teknologi memfasilitasi untuk bisa melakukan hustle culture,” ungkap Lugina.
Bekerja sebagai Tujuan Hidup
Sebelumnya, bekerja dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan memiliki pondasi finansial yang kokoh. Namun, berbeda bagi hustle culture, konsepsi tersebut tidak menjadi patokan. Dalam hustle culture, bekerja bukanlah cara untuk memperoleh kepuasan dalam segi ekonomi, melainkan telah menjadi gaya dan tujuan hidup itu sendiri sehingga latar belakang ekonomi seseorang tidak terlalu mempengaruhi.
Di Amerika, terdapat situs bernama “Thank God It’s Monday!” yang memuat beberapa pandangan mengenai hari Senin. Hari Senin yang sebelumnya dikonotasikan sebagai momok menyeramkan bagi orang-orang ketika akhir pekan telah berakhir, kini seolah menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Meskipun “Thank God It’s Monday!” hanyalah sebuah frasa, tetapi hal ini mampu memberikan makna dan dampak yang begitu dalam. Frasa ini memberikan pandangan baru bahwa hari Senin bukan lagi hari yang dihindari, tetapi justru dinantikan untuk kembali memulai pekerjaaan.
“Jadi ketika ngomongin hustle culture, ga cuma tentang culture, tapi ada konteks masyarakat yang ikut berkontribusi membangun kultur tersebut. Kerja itu bukan lagi sekadar cara untuk mencapai tujuan, tapi kerja itu adalah tujuan itu sendiri. Mereka bekerja karena memang suka kerja. Jadi, ada interaksi antara bagaimana konteks ekonomi dan sosial dalam membentuk hustle culture ini,” ujar Lugina.
Hustle Culture dan Media Sosial
Selain terdapat pergeseran konsepsi mengenai hari Senin, konsepsi mengenai kerja dan produktivitas pun berubah. Saat ini bekerja tidak lagi berkaitan dengan duduk di kantor. Dahulu, seseorang dikatakan bekerja apabila pergi ke kantor ataupun tempat kerja. Namun, saat ini bekerja dapat dilakukan dalam bentuk apapun, dimanapun, dan kapanpun. Bahkan, mengomersialisasikan video di YouTube pun dapat dikategorikan sebagai pekerjaan.
Menurut Lugina, ukuran-ukuran keberhasilan dalam bekerja pun tidak lagi hanya mengenai jenjang dan jabatan yang ada di perusahaan. Terdapat citra baru yang tumbuh dari budaya hustle ini, orang yang terlihat sibuk dan selalu produktif dinilai sebagai orang yang ideal.
Media sosial tentunya berjalan beriringan dengan hustle culture. Di samping memfasilitasi hal-hal materialistis, terdapat immaterial gain yang didapat, seperti ketenaran. Penggunaan Instagram, YouTube, maupun media lainnya membuat penganut hustle culture dapat dengan mudah mempertontonkan image hustler-nya kepada khalayak ramai.
Slogan-slogan dengan bunyi semacam “pantang istirahat sebelum berhasil” pun banyak bertebaran di dunia maya. Terlebih, kalimat-kalimat ini dipopulerkan oleh para public figure yang memiliki kekayaan di atas rata-rata. Dampaknya, masyarakat semakin terpapar dengan budaya ini.
Pro dan Kontra Hustle Culture
Hustle culture yang erat kaitannya dengan etos kerja yang tinggi, tingkat kompetitif yang tinggi, serta inovasi dan kreativitas yang terus berkembang, membuat hustle culture berbuah manis bagi pelaku. Bekerja secara terus-menerus dapat membuat mereka memiliki jenjang karir dan kesuksesan yang gemilang.
Meskipun begitu, hustle culture juga menuai banyak kontra sebab dipandang terlalu berlebihan dan hanya berorientasi pada hal duniawi. Jika ditelisik lebih dalam, perilaku hustling mengharuskan seseorang bekerja terus menerus untuk memenuhi tuntutan korporasi, ambisi diri sendiri, serta hasrat untuk dipandang. Bahkan penganutnya akan merasa bersalah apabila sedang beristirahat atau tidak melakukan sesuatu, karena dianggap membuang-buang waktu dan menghilangkan kesempatan untuk menjadi produktif.
Jika dilakukan secara terus menerus, bekerja akan terasa melelahkan, tidak enjoy, bahkan bisa mencapai burnout (kondisi tertekan secara psikologis akibat terlalu banyak bekerja). Menurut World Health Organization (WHO), burnout sudah termasuk ke ranah masalah mental. Bahkan, orang yang mengalami burnout dapat berujung kepada depresi yang tentunya membahayakan dirinya. Selain itu, hal penting lain akan mudah terabaikan apabila terlalu banyak bekerja. Contohnya, intensitas interaksi dengan orang-orang terdekat seperti keluarga akan berkurang.
Akan lebih baik jika hidup tidak semata-mata mengenai pekerjaan dan hal materialistis. Sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik. Ada banyak hal lain yang tidak kalah penting dan perlu diprioritaskan agar hidup menjadi seimbang.
Editor: Qurratu Aina, Tesalonika Hana, Rani Widyaningsih
Discussion about this post