“Hari itu di sebuah pelataran masjid besar di Kota Bandung. Saat itu aku sedang duduk sendiri, tepat di depanku ada tangga masjid yang menuju ke lantai dua. Di ujung sana seorang pria sedang duduk melihat ke arahku. Aku yang merasa diperhatikan pun turut melihat balik ke arah pria itu. Saat itu juga dia mengeluarkan alat kelaminnya dan menggosok-gosok menggunakan tangannya. Dia tetap melihatku seolah aku menjadi bahan pemuas nafsunya. Aku yang merasa sangat risih langsung pergi karena aku tidak tahu harus berbuat apa. Masih teringat sampai saat ini, dan cukup membuatku trauma”
—cerita dikutip dari laman Hollaback! Jakarta, sebuah komunitas anti kekerasan seksual.
Kekerasan seksual tidak mengenal indikator-indikator tertentu untuk memilih korbannya. Siapa saja bisa mengalaminya dan dapat terjadi di mana saja. Tidak hanya perempuan saja, laki-laki, bahkan anak-anak pun dapat mengalami hal ini. Terjadinya pun bisa di tempat yang dianggap paling religius—sebut saja di pelataran sebuah masjid besar—masih saja ada yang berani untuk melakukan perbuatan asusila tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 1 dari 3 wanita di dunia pernah mengalami kekerasan berbasis gender seumur hidupnya. Kekerasan yang dialami dapat berupa kekerasan fisik/seksual oleh pasangan intim atau non-pasangan seksual. Terdapat 7% wanita di dunia yang pernah berhubungan seksual diserang oleh orang lain selain pasangannya. Walaupun terbilang sedikit, namun bukti yang ada mengungkapkan bahwa wanita yang pernah mengalami bentuk kekerasan ini 2,3 kali lebih mungkin untuk memiliki gangguan penggunaan alkohol dan 2,6 kali lebih mungkin mengalami depresi atau kecemasan.
Normalisasi Kekerasan Seksual di Ranah Publik
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2019, jumlah kekerasan di ranah publik atau komunitas berada di urutan kedua mencapai 58% (3.602 kasus). Kekerasan tersebut mencakup pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), pelecehan seksual (520 kasus), dan lain-lain. Menurut Alimatul—Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan, walaupun kasus kekerasan di ranah publik berada di urutan kedua setelah kekerasan di ranah personal, namun ketika fokusnya tertuju pada kekerasan seksual, angka paling tinggi justru ada pada ranah publik.
Hal tersebut sejalan dengan gagasan Anindya Restuviani, Co-director Hollaback! Jakarta, sebuah gerakan global yang mempunyai tujuan untuk mengakhiri kekerasan seksual dengan memberikan ruang aman, khususnya di ruang publik. “Hollaback dibentuk atas dasar kekerasan seksual di ruang publik yang terlalu sering dinormalisasi sehingga akhirnya banyak korban yang tidak melapor,” katanya.
Vivi, begitu ia disapa, menjelaskan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan oleh Hollaback yang juga bergabung dengan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), dari 62.240 responden terdapat 64% perempuan dan 54% laki-laki maupun gender lainnya yang pernah mengalami kekerasan seksual di ruang publik. Angka yang sangat tinggi tersebut dapat menunjukkan bahwa kekerasan di ruang publik sama maraknya dengan kekerasan di ruang personal.
Namun sayangnya, jenis kekerasan seksual di ranah publik seringkali dinormalisasi dan dianggap remeh dibandingkan dengan kekerasan ranah personal. Adapun bentuk kekerasan seksual di ruang publik adalah pelecehan fisik (body shaming), pelecehan verbal (catcalling), pelecehan mental (gaslighting), dan sebagainya. Adanya normalisasi dan penyepelean pelaporan kasus yang menjadikan banyak korban pelecehan seksual ranah publik enggan melaporkan tindakan kekerasan seksual yang mereka alami.
Kasus Kekerasan Seksual di Sosial Media
“Kasus kekerasan seksual yang sedang marak saat ini adalah kekerasan seksual berbasis cyber,” ujar Alimatul. Pernyataan tersebut didukung data yang tercatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) bersama Komnas Perempuan yang menyebutkan terdapat peningkatan 75% kasus kekerasan seksual sejak pandemi COVID-19.
Bentuk kekerasan berbasis cyber yang paling marak terjadi adalah revenge porn, kegiatan menyebarkan konten seksual baik dalam bentuk foto maupun video tanpa seizin orang yang muncul di dalam foto dan video tersebut. Tujuannya bisa untuk balas dendam (revenge) atau menjelekkan orang tersebut.
Sejalan dengan hal itu, saat ini kasus-kasus kekerasan seksual yang diekspos melalui utas (thread) di Twitter juga sedang ramai diperbincangkan. Bagi masyarakat mungkin sudah tidak asing lagi menemukan utas di Twitter menceritakan kisah korban yang mengalami pelecehan & kekerasan seksual, bahkan tak segan juga untuk membeberkan identitas dari si pelaku kekerasan seksual tersebut.
Menurut Vivi, fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk frustasi masyarakat karena tidak mendapat keadilan dari sistem hukum yang ada. Belum adanya payung hukum yang jelas dari hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia merupakan salah satu dampak fenomena ini semakin lazim di masyarakat. Masyarakat merasa tidak percaya kepada hukum dan aparat hukum di Indonesia untuk menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dianggap masih tingkat kecil. Dinilai sebagai hal yang sepele, membuat beberapa masyarakat beranggapan bahwa pemerintah masih belum bisa mengakomodir kasus ini dengan baik. Dari situ, mulai timbul rasa ingin menyalurkan perhatian mereka (pemerintah) terhadap kasus ini lewat media sosial sehingga mendapatkan perhatian lebih dan demi keadilan.
Victim Blaming dan False Accusation
Walaupun fenomena kasus kekerasan seksual yang diekspos melalui sosial media dapat menjadi alat keadilan sosial, respon yang diberikan publik mungkin tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Contohnya, respon yang mengarah ke victim blaming—menyalahkan korban terhadap kesalahan yang menimpa dirinya sendiri—menjadi salah satu alasan permasalahan kekerasan seksual di ranah publik yang tidak pernah terselesaikan.
KP (19), mahasiswi yang pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh senior kampusnya mengaku tidak memiliki niatan untuk melaporkan ataupun membeberkan peristiwa yang dialaminya di sosial media. “Gak berguna, nyatanya tidak ada kasus pelecehan seksual di kampus gue yang berhasil diangkat dan menjerat si pelaku,” tutur KP. Adanya kesulitan dalam membuktikan tindakan pelecehan yang dialami oleh korban juga menjadikan korban memutuskan untuk bungkam. KP sendiri merasa takut mendapatkan reperkusi dari pelaku atau bahkan justru disalahkan masyarakat akibat kasus yang menimpanya tidak lebih merupakan kesalahannya sendiri.
“Gue setuju sama kasus yang diekspos ke sosial media demi keadilan asalkan identitas korban disamarkan dan kalau bisa ceritanya ga usah terlalu detail supaya gak ada yang tahu korbannya siapa,” ungkap KP, “karena nih ya walaupun nanti ada yang dukung, tapi pasti ada aja netizen lain yang nyari korbannya tuh siapa dan ujung-ujungnya malah victim blaming yang membahayakan korban,” lanjutnya.
Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan terjadinya false accusation—tuduhan yang terbukti salah, terhadap terduga pelaku di beberapa kasus kekerasan seksual yang terekspos di sosial media. Contohnya adalah kisah TC (21), yang mengatakan bahwa dirinya dituduh atas tindakan pemerkosaan berdasarkan utas yang beredar di Twitter.
“Apa yang terjadi sebenarnya itu emang gue melakukan hubungan seksual dengan dia tapi atas dasar consent, bukan pemerkosaan,” jelas TC. “Gue beneran nanya kok sampai 3 kali—is it okay? Terus dia ngangguk. Gue gak maksa atau nekan dia, gak ngerti kenapa tiba-tiba gue dituduh gitu,” lanjutnya.
TC sendiri memiliki beberapa kecurigaan (berdasarkan beberapa informasi dari seorang teman yang masih berkomunikasi dengan terduga korban) atas motif terduga korban mem-blow-up kasus ini di Twitter. Namun, TC merasa bahwa motif para terduga semata-mata hanya ingin merusak nama baik dan kehidupan sosial TC. “Kalau tidak, mereka (yang membuat tuduhan) harusnya langsung melaporkan kasus ke pihak berwenang,” ujar TC.
Terkait melakukan pembelaan atas namanya sendiri, TC masih merasa ragu karena ia sendiri mengakui tidak memiliki bukti untuk membantah tuduhan tersebut. “Kalaupun misalnya punya bukti, gue yakin publik gak akan percaya dan cuma memperkeruh suasana mempertanyakan semua hal,” ungkapnya. “Gue jadi punya trust issue. Kedepannya kalau ingin berhubungan seksual gue pastiin ada consent yang tertulis supaya ga dituduh kayak gini,” lanjutnya.
Sulitnya pembuktian yang objektif terhadap kasus kekerasan seksual membuat masalah ini tak kunjung terselesaikan. Menurut Putu Elvina, Komisioner penanggung jawab KPAI bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), hal yang membuat kasus kekerasan seksual berjalan di tempat yaitu adanya kekurangan bukti dan tidak adanya saksi. Adapun dari pihak korban yang tidak mau menjadi saksi karena mengalami trauma sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk kembali puluh. Alih-alih terselesaikan justru baik korban maupun pelaku, keduanya tidak mendapatkan keadilan.
Belum adanya Payung Hukum yang Jelas
Tingginya kasus kekerasan seksual di ranah publik turut diperkeruh dengan ketiadaan payung hukum yang jelas. Hukum perundang-undangan Indonesia yang berlaku saat ini dinilai belum adil karena terdapat kontroversi antara hukum dan keadilan yang semestinya diperoleh oleh korban pelecehan seksual.
Seperti yang diketahui, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah menjadi polemik perbincangan sejak tahun 2014, kemudian sudah mulai menjadi prioritas pada tahun 2016, dan belakangan muncul kembali sebagai perbincangan. Sayangnya, pengesahan RUU PKS hingga kini belum juga menemui titik terang. Hal ini menjadi penghambat bagi adanya perlindungan terhadap korban dan sebagai alat pencegahan agar tidak terjadi kasus serupa di kemudian hari.
Bagi Vivi, RUU PKS dinilai sebagai sistem yang tepat untuk diterapkan kepada masyarakat terkait isu kekerasan seksual. “Sistem yang ramah terhadap korban harus diutamakan. Seringkali, ketika membahas isu kekerasan seksual hanya fokus terhadap pidana pelaku, padahal untuk menyelesaikan keadilan tentu harus mempertimbangkan apakah hak-hak korban terpenuhi atau tidak,” jelas Vivi.
RUU PKS menawarkan sebuah sistem yang bukan hanya ramah terhadap korban, tetapi juga mencakup antusiasme restorative justice yang di dalamnya mencakup pendidikan seksual dan reproduksi yang komprehensif. Hal ini menjadi solusi bagi sebuah masalah bukan hanya dari segi pidana, tetapi juga pencegahan dalam bentuk edukasi kepada masyarakat dan penegak hukum.
Wacana Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Komnas Perempuan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang mengupayakan untuk membuat Permen (Peraturan Menteri) terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kebanyakan Perguruan tinggi umum saat ini masih merujuk ke kode etik (mahasiswa/dosen) jika terjadi permasalahan kekerasan seksual, tetapi belum ada penanganan yang sifatnya khusus terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.
Komnas Perempuan sedang berupaya mendorong agar hal tersebut dapat menjadi indikator dalam akreditasi. Contohnya, kampus dengan akreditasi yang baik adalah kampus yang dapat menyelesaikan kekerasan seksual di kampusnya. “Salah satu akreditasi yang baik di kampus itu adalah kampus yang dapat menyelesaikan kekerasan seksual di kampusnya,” tutur Alimatul. Harapannya, nanti akan menjadi IKU (Indikator Kinerja Utama) Rektor. Rektor yang baik adalah rektor dengan salah satu IKU-nya dapat menyelesaikan kekerasan seksual di perguruan tingginya masing-masing.
Peran Pendidikan Seks dalam Kekerasan Seksual
Terkait maraknya isu kekerasan seksual di ranah publik dan yang berbasis cyber, Alimatul menekankan bahwa pendidikan seksualitas yang mengajarkan jenis sentuhan harus dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang. Saat ini, jenis sentuhan yang diajarkan kepada anak-anak diidentifikasi sebatas sentuhan menyenangkan, menyedihkan, dan membingungkan/saru, seperti menyentuh dada dan kemaluan.
Namun memasuki era digital, dibutuhkan adanya perubahan cara berpikir terkait definisi sentuhan yang bukan hanya sekedar sentuhan oleh tangan melainkan juga sentuhan rekaman kamera. Anak-anak serta remaja saat ini perlu ditanamkan pemahaman untuk tidak merekam area sekitar dada dan kemaluan mereka serta tidak pula memberikan rekaman tersebut kepada siapapun lawan pasangannya, sedekat apapun hubungan yang dijalin, bahkan untuk suami-istri sekalipun. “Hal itu sungguh berbahaya, karena ketika terjadi permasalahan, rekam digital tersebut akan menjadi senjata yang ampuh,” tutur Alimatul.
Mengenai kasus kekerasan seksual yang diekspos melalui media, Alimatul sendiri tidak menyarankan korban untuk menggunakan media sebagai pihak yang pertama kali diajak bicara. Alimatul berpendapat bahwa apabila tujuannya untuk mengumpulkan data (korban) lainnya, dipersilahkan. Tetapi, jika korban sudah memiliki data lebih baik dilaporkan langsung kepada lembaga layanan ataupun pihak yang memiliki otoritas agar menemukan solusi. “Jangan hanya membeberkan kasus ke media sosial dan kemudian tidak melaporkannya ke lembaga layanan,” ucap Alimatul.
“Jika dalam waktu yang lama tidak kunjung menemukan titik terang, advokasi melalui media boleh dilakukan (sebagai jalan terakhir). Strategi advokasi sendiri sangatlah beragam (audiensi, demo, media, surat terbuka, dll), maka dari itu kebijaksanaan dalam memilih strategi advokasi juga diperlukan,” lanjutnya.
Vivi pun berpendapat bahwa banyak aspek yang harus diperhatikan apabila ingin menaikkan kasus kekerasan seksual di sosial media seperti mendapat persetujuan dari korban (apabila yang menyebarkan adalah pihak ketiga). Selain itu, perlu juga memberikan informed consent (kemungkinan yang terjadi ketika menaikkan kasus ke sosial media dilakukan, kelebihan dan kekurangannya), karena terdapat risiko berupa ancaman dari pelaku yang akan langsung tertuju kepada korban.
Rhesya, anggota Lentera Sintas Indonesia, mencoba menanggapi fenomena yang sedang marak ini. “Tidak mudah untuk membicarakan sesuatu kejadian pahit yang dialami para survivor, dibutuhkan keberanian dalam dirinya dan tentunya beresiko untuk dirinya,” ujar Rhesya. Berbicara menjadi sebuah langkah awal bagi survivor dalam mempercepat proses pemulihan traumanya. “Karena jika dipendam terus akan berdampak buruk bagi dirinya,” tambah Rhesya. Dalam arti lain, maraknya fenomena kasus kekerasan seksual di sosial media seharusnya dapat menjadikan kasus tersebut lebih cepat ditindak oleh pihak berwajib sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Berdasarkan yang dipaparkan oleh Alimatul, pemerintah Indonesia sedang dalam upaya menggalakan pendidikan seksual yang dilakukan oleh beberapa kementerian diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Agama, dan Kementrian Pendidikan. Terdapat wacana sistem edukasi seksual yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Tentunya Pendidikan seksual yang dimaksud bukan hanya sekadar pendidikan penjagaan organ reproduksi melainkan berbagai pemahaman dan upaya preventif dalam pencegahan kekerasan seksual.
Menanggapi wacana tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Hollaback! Jakarta memiliki pandangan yang sejalan dengan gagasan tersebut. Pendidikan ini juga bukan hanya ditujukan kepada masyarakat tetapi juga kepada para penegak hukum. “Karena percuma apabila masyarakat diedukasi, mereka sudah paham apa itu kekerasan seksual, kemudian mereka lapor polisi. Tapi kepolisian, kejaksaan, serta hakim nya masih victim blaming,” tutur Vivi. (Baca Selanjutnya: Keterbukaan Pendidikan Seks di Indonesia: Hambatan dan Implementasi)
Editor: Renadia Kusuma, Ruthana Bithia, Rani Widyaningsih
Foto: florinroebig.com
REFERENSI
Komnas Perempuan. (2019). Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019. Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan.
World Health Organization. (2013). Global and regional estimates of violence against women: Prevalence and health effects of intimate partner violence and non-partner sexual violence. Department of Reproductive Health and Research.
Discussion about this post