[Peringatan: Tulisan ini mengandung konten eksplisit dan dapat memicu pengalaman traumatis; kami menyarankan anda tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan]
“Jadi survivor tuh rasanya kayak punya 2 jiwa. Satu jiwa kita yang memang punya nyawa, satu lagi jiwa kita yang menyimpan luka dan trauma,” Rhesya (35), anggota Lentera Sintas Indonesia.
Maraknya pemberitaan di media sosial mengenai kekerasan seksual telah membuat tindakan ini menjadi sebuah fenomena global. Sebagaimana yang terlihat di media hanyalah puncak dari gunung es, tak semua korban kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual di Indonesia berani melaporkan peristiwa yang dialaminya.
Di Indonesia sendiri, angka kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 12 tahun terus mengalami peningkatan sebanyak 792% atau meningkat sebanyak delapan kali lipat. Adanya peningkatan yang signifikan mengindikasikan belum adanya perlindungan dan keamanan terhadap korban, bahkan dianggap telah terjadi pembiaran sehingga berdampak pada korban yang enggan melaporkan kasusnya.
Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia. Sumber: komnasperempuan.go.id
Hal ini sama seperti yang dirasakan oleh Rhesya, penyintas kekerasan seksual yang mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya sedari usia 7 tahun. “Ketika aku sadar (mengalami kekerasan seksual), aku memilih untuk diam. Daripada melaporkan, aku malah memikirkan bagaimana caranya untuk self defense,” ujar Rhesya.
Terpaksa Meninggalkan Rumah
“Pada awalnya aku kebingungan, aku belum bisa mengidentifikasi sentuhan yang aku alami adalah sebuah pelecehan seksual,” ujar Rhesya. Kesadarannya berawal ketika Rhesya duduk di bangku SMP, saat itu ia mulai dapat mengidentifikasi sentuhan yang dialami teman sekolahnya yang sudah memiliki kekasih. “Dari situ aku sadar, berarti apa yang aku alami selama ini merupakan sebuah bentuk sentuhan yang tidak sehat,” tutur Rhesya.
Sejak saat itu, Rhesya mulai merasa tidak aman tinggal di dalam rumah dan mencoba berbagai upaya untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, seperti menduplikasi kunci kamarnya. “Yang aku pikirkan pokoknya aku jangan sampai diperkosa,” katanya. Rhesya menyayangkan bahwa ia memahami bentuk kekerasan seksual dari pengalamannya sendiri. “Sayangnya aku tidak dididik (pendidikan seks), sehingga ketabuan dan ketidakpahaman kita membuat pencegahan kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah menjadi sulit,” tambahnya.
Kekhawatiran Rhesya sempat hilang ketika ayah tirinya meninggalkan rumah. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena ayah tirinya kembali ke rumah dan ibunya menerima hal itu dengan senang. Merasa tidak nyaman serumah dengan ayah tirinya lagi, Rhesya pun memberitahu ibunya apa yang terjadi dan mulai menjelaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja apabila mereka hidup tanpa ayah tirinya. “Aku berharap mamaku akan memilih aku. Namun, kenyataanya mamaku merasa bahwa tidak memiliki suami akan menjadi lebih berat daripada harus kehilangan anak,” tuturnya.
Menerima kenyataan bahwa ibunya lebih memilih ayah tirinya, Rhesya pun memutuskan untuk pergi dari rumah di usia 19 tahun. Di usianya saat itu, Rhesya bersusah payah melakoni pekerjaan demi membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. “Pulang kuliah aku menjaga warnet, Sabtu-Minggu aku ngamen. Semua hal aku lakukan agar aku bisa kuliah,” tutur Rhesya. Menurut Rhesya, tindakan yang dipilih oleh ibunya saat itu mencerminkan sistem tatanan masyarakat Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki.
Attempted Rape yang dialami KP
Di sisi lain, ada KP (19) yang merupakan korban kekerasan seksual dalam bentuk attempted rape (percobaan perkosaan) yang dilakukan oleh senior kampusnya saat ia masih menjadi mahasiswi baru. Peristiwa bermula ketika KP berkenalan dengan pelaku (senior kampus) melalui akun Instagram. Setelah beberapa hari berkenalan, pelaku ingin bertemu dengan KP dengan dalih mengajaknya makan bersama. Usut punya usut, ternyata setelah itu pelaku mengajak KP menonton film di kos-kosan milik pelaku. Ketika film sedang diputar, pelaku mulai melancarkan aksinya dengan cara merangkulnya namun usaha pelaku gagal karena KP langsung memberontak.
Tidak sampai di situ, pelaku kemudian memutuskan untuk memutarkan sebuah lantunan musik lalu pergi meninggalkan KP ke kamar mandi. KP sontak terkejut ketika pelaku keluar kamar mandi dengan keadaan tanpa busana dan sudah mengenakan kondom. “Di situ posisinya gue duduk, karena kamarnya sempit banget jadinya gue mesti duduk di kasur,” ujar KP. Dari situ pelaku mencoba untuk mencium leher KP namun dengan sigap ia menolak. “Gue gak mau kak,” tolak KP pada saat itu.
Namun, pelaku tetap berusaha untuk melancarkan aksinya dengan mendongakkan badan KP ke kasur dengan kencang. Pelaku terus memaksa KP dengan menahan tangannya, mencoba mencium lehernya, mencium bibirnya, memaksanya membuka baju namun KP tetap cekal menolak, pelaku juga berusaha untuk terus memasukan kelaminnya terhadap mulut KP. “Disitu gue udah setengah nangis, tapi dia masih tetap maksa dan mengulangi perbuatannya,” tutur KP. Berkali-kali KP memberontak dan meminta untuk pulang namun pelaku masih berdalih, “yaudah sebentar saja,” ujar pelaku. Hingga ketika mata KP sudah berkaca-kaca akhirnya pelaku mengizinkan untuk pulang.
Relasi Kuasa sebagai Penyebab Utama Kekerasan Seksual
Pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 yang dilaporkan pada 2020 terdapat 14.719 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Di antara kasus tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak dilaporkan berada pada ranah personal yang mencapai angka 75% (11.105 kasus). Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah turut memberikan pandangannya terkait penyebab kekerasan seksual, “Secara umum, penyebab kasus kekerasan seksual di ranah personal lebih banyak dilaporkan karena masih terdapatnya relasi kuasa di dalam suatu hubungan,” katanya.
Indonesia saat ini masih menjadi negara penganut budaya patriarki yang sangat kental. Budaya tersebut menjadikan adanya ketidaksetaraan gender yang memposisikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan ditempatkan pada posisi subordinat atau inferior terhadap laki-laki. Adanya relasi kuasa ini juga yang menyebabkan banyak korban kekerasan seksual yang enggan melaporkan kasusnya. Sebut saja seperti Rhesya dan KP, keduanya memilih untuk tidak melaporkan lantaran pelaku merupakan orang yang cukup memiliki kuasa, seperti ayah tiri nya serta senior kampusnya.
Selain itu, kentalnya budaya patriarki di Indonesia juga turut mendorong adanya kasus pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape). Alimatul menyatakan konsep marital rape di Indonesia saat ini masih belum dipahami oleh masyarakat secara luas. “Sudah lama menjadi perbincangan, tetapi belum banyak dibicarakan,” tutur Alimatul.
Marital rape adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangannya masing-masing. Kasus ini kerap kali terjadi (umumnya) pada keluarga konservatif yang menganggap ketundukan istri terhadap suami adalah hal yang mutlak.
Marital rape mungkin terjadi apabila kedua pasangan suami-istri belum pernah berdiskusi mengenai relasi yang setara antara suami-istri dalam persoalan seksualitas. Kemudian, hal ini menjadi bagian dari ketundukan istri terhadap suami sehingga banyak korban tidak menyadari ketika dirinya sedang mengalami kekerasan. Ditambah lagi dengan doktrin yang berbau misoginis, seperti melayani suami adalah surganya perempuan, menjadikan angka pada kasus marital rape ini menunjukan jumlah yang tidak sedikit.
Kendati demikian, angka marital rape yang dilaporkan pada tahun 2019 mengalami penurunan dibanding sebelumnya. Keberanian penyintas melaporkan kasus kepada lembaga pelayanan menunjukkan langkah maju perempuan yang selama ini cenderung menutup dan memupuk imunitas pelaku anggota keluarga.
Penurunan ini didukung juga dengan adanya pergeseran paradigma di kalangan wanita Indonesia mengenai ketundukan mutlak hanyalah terhadap Tuhan. Konsep Tuhan, suami, dan isteri yang sebelumnya dipercayai berada dalam urutan garis lurus ke bawah kemudian silih berganti menjadi adanya kesetaraan kedudukan antara suami dan isteri yang digambarkan dengan konsep segitiga, dimana Tuhan berada di atas keduanya. “Hal ini sudah disebutkan dalam Q.S An-Nisa 4:1 bawah kedudukan laki-laki dan perempuan diciptakan dari suatu zat yang sama,” tambah Alimatul.
Lelaki Juga Bisa Jadi Korban
Secara umum memang pelecehan seksual identik dengan laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Namun berdasarkan berbagai data yang dihimpun, meskipun mayoritas kekerasan dan pelecehan seksual dialami oleh perempuan, terdapat juga kasus dimana laki-laki yang menjadi korban.
Menurut hasil survei nasional Koalisi Ruang Publik Aman (KPRA), 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual. Kebanyakan korban laki-laki masih menggunakan seragam (masih berstatus anak). Sejalan dengan hal tersebut, Putu Elvina, Komisioner Penanggung Jawab Anak Berhadapan dengan Hukum—Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan bahwa terjadi peningkatan angka kekerasan seksual yang lebih tinggi terhadap anak laki-laki dibanding anak perempuan yang disebabkan oleh satu kasus kekerasan seksual dengan banyaknya jumlah korban anak laki-laki.
“Jika pada 10-15 tahun yang lalu kelompok rentan didominasi oleh anak perempuan sebagai korban kekerasan seksual, namun untuk saat ini anak perempuan maupun anak laki-laki sama-sama memiliki kerentanan sebagai korban kekerasan seksual,” ujar Putu.
Perihal Sexual Consent
Dalam melakukan aktivitas seksual, syarat yang harus dipenuhi agar aktivitas seksual tersebut tidak berubah menjadi kekerasan seksual adalah adanya sexual consent. Sexual consent dipahami sebagai persetujuan untuk melakukan kegiatan seksual antara kedua belah pihak yang terlibat. Menurut definisi dari Sexual Assault Prevention and Awareness Center University of Michigan, perihal sexual consent ini tentu saja tidak bisa diasumsikan, tetapi harus jelas dinyatakan melalui kata-kata dan tindakan yang tidak ambigu antara kedua pihak. Hal tersebut menjadi sangat penting karena dapat terjadi perbedaan persepsi sexual consent antara kedua pasangan seksual.
Riset oleh Humphreys (2007) yang telah dikonfirmasikan oleh literatur-literatur umum, menyatakan bahwa ada perbedaan dalam hal menginterpretasikan sexual consent yang eksplisit menurut jenis kelamin. Perempuan menganggap bahwa sexual consent yang eksplisit itu lebih penting daripada laki-laki. Akan tetapi, masalah kerap muncul karena masih terdapat ambiguitas dalam sexual consent. Contohnya, dalam kasus kekerasan seksual, banyak pelaku yang mengartikan diam sebagai tanda setuju atau menjadikan hubungan (misalnya: pacaran, menikah) sebagai landasan persetujuan atas setiap tindakan seksual.
Ambiguitas dalam sexual consent ini juga dirasakan oleh KP ketika mantan pacarnya pertama kali melakukan perilaku seksual terhadapnya. “Gue pas pertama kali dicium sama mantan gue itu gue kaget dan gue nangis karena itu terjadi tanpa persetujuan gue,” terangnya, “tiba-tiba dia lanjut ke daerah dada gue di situ gue kaget dan gue nangis. Gue gak mau, tapi gue gak tau nolaknya harus gimana, ini pacar gue lagi,” lanjutnya.
KP pun memberitahu pacarnya saat itu kalau ia tidak nyaman dengan perilaku tersebut. Pacarnya meminta maaf, tetapi hal ini tidak cukup untuk membuat pacarnya berhenti melakukan perilaku seperti itu di lain waktu. “Bahkan gue pernah lagi sakit terus dia datang ke rumah, bisa-bisanya dia minta oral sex ke gue padahal gue lagi sakit,” ucap KP. Ia juga memilih diam dan tidak menceritakan hal tersebut kepada teman-temannya pada saat itu. “Apalagi pacar gue ini tuh kelihatan alim banget di sekolah dan orang-orang mikir gue yang lebih agresif, padahal kebalikan banget,” lanjutnya.
Awalnya KP merasa bingung apakah tindakan tersebut termasuk ke dalam bentuk pelecehan seksual karena pelaku adalah pacarnya pada saat itu. Ia pun mempertanyakan kepada dirinya sendiri apakah tindakan tersebut tergolong normal dalam sebuah hubungan. “Menurut gue sekarang, apa yang dilakukan mantan gue itu termasuk pelecehan karena setiap gue bilang gak mau dia pasti maksa. Kalau gak gue turutin, dia bakal marah,” jelas KP.
KP sendiri mengakui bahwa ia sebenarnya telah lama merasa hubungannya dengan mantan pacarnya itu tidak sehat. “Tapi gak tau kenapa susah banget gue tinggalin karena gue merasa gue udah dipegang-pegang jadi gue mikir udahlah gue sama dia aja,” jelasnya. Seiring berjalannya waktu, KP pun menyadari bahwa mantan pacarnya hanya memanfaatkan KP demi memuaskan nafsunya saja dan akhirnya KP bisa memutuskan hubungan tersebut.
“Buat cewek-cewek yang ada di hubungan toxic, kalau misalnya ada pikiran tapi gue udah terbiasa sama dia, udah putus aja dulu. Ternyata gak sesusah itu kok,” ungkap KP, “pasca putus itu memang sulit, tapi tidak semenakutkan yang dibayangkan,” lanjutnya.
Memilih Diam untuk Self Defense
Adanya relasi kuasa dan ambiguitas terhadap sexual consent itulah yang menyebabkan kebanyakan korban kekerasan seksual memilih untuk diam dan tidak melaporkan ke pihak berwajib. “Sebagai survivor kita punya burden, rasa empati dan simpati yang tinggi sampai kadang we put ourselves second,” ujar Rhesya.
Rhesya sempat berpikir untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwajib, tetapi hal itu tidak pernah ia lakukan. “Aku sempat cerita ke temen aku kalau mau ngelapor, terus dia ngerespon ‘ya lu harusnya bersyukur lah lu kan ga di perkosa, terus lo malu ngelapor apa?’’ jelasnya. Rhesya pun mengurungkan niatnya untuk melapor karena ia merasa tidak memiliki hak untuk melapor karena kekerasan seksual yang ia alami tidak sampai pemerkosaan. Oleh karena itu, Rhesya memilih untuk self defense—meninggalkan rumahnya untuk menghindari pelaku.
Sama halnya dengan Rhesya, KP pun tidak berupaya melaporkan tindakan asusila seniornya tersebut ke pihak berwajib maupun kampus lantaran ia masih menjadi mahasiswi baru dan masih belum cukup berani untuk mengambil tindakan. Terlebih, seniornya dianggap sebagai orang yang memiliki pengaruh di kampusnya. Tak bisa dipungkiri jika KP memutuskan untuk melaporkan perbuatannya, akan ada sebagian orang yang akan menyalahkan tindakannya. “Yang ada gue cuma jadi biang gosip saja,” tuturnya. Menceritakan kisahnya kepada orang terdekat baginya sudah lebih dari cukup. Di titik ini, KP merasa sudah cukup beruntung karena bisa survive dan tidak mengalami tekanan traumatis yang mendalam.
Meskipun begitu, pikiran-pikiran negatif kadang masih suka terbayang dalam diri KP yang menyalahkan dirinya sendiri atas semua kejadian yang menimpanya. “Sampai sekarang gue masih mikir apa yang salah dengan diri gue sampai harus jadi korban kekerasan seksual—banyak yang bilang muka gue nakal atau menggoda padahal gue diem doang, gue rasanya pengen ganti muka aja tau gak,” ucap KP.
Bangkit dari Rasa Traumatis
Bukan hal mudah bagi para penyintas kekerasan seksual untuk dapat menyembuhkan diri dari luka masa lalu mereka. Bagi Rhesya, trauma pasca kekerasan seksual yang dialami nya sedari kecil tidak berhenti begitu saja ketika ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Sejak saat itu, Rhesya mengalami masalah dalam interaksi hubungan sosial seperti kesulitan berbicara di depan publik dan bersosialisasi.
“Sejak kecil aku berusaha untuk tidak diperkosa, dan ternyata trauma itu sebegitu dalamnya, sampai untuk hubungan intimasi dengan suamiku sendiri kadang aku masih menganggap itu sebuah threat,” tuturnya, “I treated him like a rapist, bahkan aku bisa nendang-nendang dia. Untungnya saat ini semua sudah berkurang, aku tidak lagi mengalami panic attack,” lanjutnya.
“Aku juga pernah coba untuk berdamai dengan kondisi aku dengan pulang ke rumah pas lebaran dan bertemu pelaku—aku salaman dan ternyata itu malah men-trigger aku selama berbulan-bulan yang membuat diriku merasa kotor,” ucap Rhesya, “akhirnya aku ngomong ke ibu dan keluargaku kalau aku tidak ingin berhubungan sama sekali dengan pelaku, dari situ aku mulai bisa berdamai dengan caraku sendiri,” lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, Rhesya perlahan dapat memperbaiki faktor-faktor yang menghambatnya dalam berfungsi normal, terbukti dengan karir yang dimilikinya dan juga dirinya yang sedang melanjutkan kuliah S2. Di titik ini, Rhesya sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya, ia mengaku sudah tidak mengalami panic attack lagi ketika ingin berhubungan intim dengan suaminya. Bagi Rhesya, memiliki support system itu penting untuk membantu para penyintas melewati masa traumatis. “Aku sendiri merasa beruntung karena memiliki suami yang pengertian, teman-teman yang tergabung di Lentera Sintas, bahkan dari adik tiriku sendiri,” ujarnya.
Rhesya meyakini bahwa dirinya dapat pulih dari trauma dengan bantuan orang disekitarnya, seperti suaminya, para survivor yang tergabung dalam Lentera Sintas Indonesia, serta psikiater yang membantunya memulihkan rasa traumatisnya. Ditambah, kondisi hubungan sosial Rhesya yang jauh lebih baik dari sebelumnya membuat ia semakin percaya dirinya bisa pulih seutuhnya. Lentera Sintas Indonesia, komunitas tempatnya tergabung dengan para penyintas kekerasan seksual, sudah dapat menjadi sebuah ruang aman untuk saling bercerita dan berbagi untuk dirinya. Bersama-sama dengan penyintas, menjadikan dirinya lebih kuat sehingga membuatnya merasa bahwa ia tidak sendiri.
“Kita (penyintas) bisa ngomong ke orang terdekat tentang kondisi kita apabila itu dapat membuat kita merasa lebih baik,” ungkap Rhesya, “tapi kita tidak bisa berharap respon (orang) sesuai yang kita harapkan,” lanjutnya. Masih banyak orang bingung harus bereaksi seperti apa ketika seseorang bercerita tentang kekerasan seksual yang dialami. Hal ini dipaparkan Rhesya karena Lentera Sintas setiap hari menerima banyak email yang berisi ‘Kak, temenku cerita tapi aku gatau harus jawab apa’.
“Kalau ada teman kalian yang cerita, dengerin aja. Kadang-kadang kita gak butuh respon, kita cuma butuh didengerin aja,” pesannya, “apabila ingin memberi respon, beri yang sejujur-jujurnya dan tanya kebutuhannya apa—are you okay? Maafin gue gak ngerti harus gimana sekarang, lu mau gue gimana? Udah, gitu aja tapi dengerin mereka,” tutup Rhesya. (Baca Selanjutnya: Memerangi Normalisasi Kekerasan Seksual di Ranah Publik)
Editor: Renadia Kusuma, Ruthana Bithia, Rani Widyaningsih
Foto: Unsplash/Ahmed Ashhaadh
REFERENSI
Komnas Perempuan. (2019). Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019. Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan.
Humphreys, T. (2007). Perceptions of Sexual Consent: The Impact of Relationship History and Gender. Journal of Sex Research, 44(4), 307–315. doi:10.1080/00224490701586706
Discussion about this post