Proses pacaran yang belum genap 1 tahun dan usia yang belum berkepala 2 tidak menghentikan Nadya Scott untuk menikahi laki-laki yang ia cintai. Setelah 8 bulan Nadya bertemu dengan kekasihnya, mereka mengikat janji di hadapan Yang Maha Kuasa untuk menjadi suami istri. Walaupun Nadya masih berumur 18 tahun, pilihannya untuk menikah muda sepenuhnya didasari keinginan pribadinya. Sekarang, Ia menunggu saat datangnya si kecil yang akan membuatnya tidak hanya menjadi seorang istri namun juga seorang ibu.
Mengambil data dari BPS, di tahun 2018 sebanyak 190,553 anak di bawah umur 16 tahun menikah. Bersama dengan UNICEF, BPS memperkirakan 1 dari 6 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Indonesia menempati peringkat ke-7 dalam banyaknya kasus pernikahan anak di dunia, dan peringkat ke-2 tertinggi di Asia.
Infografis perkawinan anak di Indonesia. Sumber: Unicef
Berbicara tentang perkawinan anak, penjelasannya telah tercantum di Undang-Undang. Pada bulan September 2019, batas usia menikah dinaikkan menjadi 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, dari sebelumnya laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Perkawinan anak ini diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga perkawinan anak didefinisikan sebagai perkawinan yang melibatkan anak berumur 18 tahun ke bawah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pengasuhan, Ibu Rita Pranawati, mengungkit 2 jenis perkawinan anak, formal dan informal. Jenis perkawinan anak formal adalah kasus perkawinan yang dimintakan dispensasi terkait batas minimal usia laki-laki dan perempuan yang ingin menikah kepada pengadilan. Sedangkan, jenis perkawinan anak informal adalah yang tidak tercatat secara hukum. Jumlah kasus perkawinan anak informal ini lebih banyak dibanding yang formal.
Nadya Scott, sampai pada saat wawancara dengan Economica dilakukan, belum mendapatkan dispensasi perkara dari pengadilan sehingga perkawinannya dilakukan secara informal. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan proses permohonan dispensasi yang rumit dan panjang.
Mengapa Kasus Perkawinan Anak di Indonesia Tergolong Tinggi?
Menurut Ibu Rita, masih banyak masyarakat yang berpikir keliru tentang bagaimana anak dikawinkan muda oleh orang tuanya karena terjadinya kehamilan di luar nikah. Dari data mengenai Pertimbangan Hakim dalam Dispensasi Perkawinan, dapat diketahui bahwa tidak semua perkawinan anak disebabkan karena kehamilan. Ada lebih banyak kasus perkawinan anak disebabkan oleh budaya, ekonomi, norma agama, atau pengetahuan dan pendidikan, daripada karena situasi kehamilan anak tersebut atau kesehatan produksinya.
Ibu Rita memberi contoh ketika ia magang di Plan International Melbourne pada tahun 2010 dan melakukan suatu riset mengenai berbagai daerah di Indonesia, ia mengetahui tentang kasus ketika terjadi paceklik dan mereka tidak memiliki uang maka ketika ada seseorang menyumbang untuk perkawinan anak mereka, mereka harus mengembalikannya di perkawinan anak orang tersebut di masa depan.
Satu norma yang sangat berpengaruh pada tingginya kasus perkawinan anak di Indonesia adalah norma agama yang mengatakan “daripada mendekati zina lebih baik dikawinkan”. Nadya sendiri berkata bahwa alasan utama ia menikah di usia muda adalah karena pandangan agama yang ia anut.
‘’Aku pandangannya lebih ke agama kan. Karena kalau di agamaku (islam), zina adalah penghalang semuanya,” ujarnya. Opini ini didukung oleh satu ayat pada kitab Al-Qur’an; “Dan Janganlah Kalian Mendekati Zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra [17]: 32).
Namun, Ibu Rita tidak setuju dengan pernyataan itu karena menurutnya masih ada solusi lain untuk menghindari zina daripada perkawinan anak, misalnya: anak seharusnya lebih diedukasi tentang bagaimana cara untuk menjauhi zina.
Ibu Rita juga berpendapat mengenai korelasi antara pendidikan kesehatan reproduksi yang masih belum efektif dan perkawinan anak. Akibat pendidikan yang belum merata, kesedaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi masih bersifat parsial. Hal menarik yang ditemukan oleh riset Plan International 2011-2012 menyatakan bahwa bidan di desa adalah agen yang baik untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi. Diakibatkan lebih banyak anak di desa yang ketika hamil lebih sering bertanya kepada bidan atau perawat di puskesmas sekitar mereka daripada bertanya kepada dokter.
Nadya mengaku mendapatkan pendidikan tentang topik-topik seksual sejak kecil oleh Alm. ibunya. Ibu dari Nadya selalu mengarahkan Nadya untuk tidak sembarangan menyentuh anggota tubuh orang lain. Sedangkan untuk pembelajaran lebih lanjut mengenai fungsi, bagaimana cara bekerjanya organ seksual atau kesehatan reproduksi, Nadya tidak memperoleh pembelajaran tersebut semasa di sekolah.
‘’O ya pernah, iya aku .. kalo pendidikan seksual dari mamah aku sih, dari kecil sih, udah diajarin udah dikasih tau gitu, bener bener dari kecil dari masih TK ‘ini bagian yang ga boleh disentuh’ kalo sekolah sih gaada, paling pelajaran pas SD dan itu juga menurut aku bukan pelajaran seksual ya, itu cuma belajar tapi bukan yang ngasih tau, kita tau itu apa itu apa tapi ga diajarin itu apanya,’’ terangnya.
Selain aspek agama dan pendidikan, aspek sosial pun dapat menjadi pendukung keputusan seorang anak menikah muda. Unsur sosial yang berpengaruh besar adalah teman, keluarga, dan sosok role model dalam dunia entertainment. Setelah Nadya melihat teman-temannya dan influencers Indonesia yang menikah muda, ia semakin yakin akan pilihannya untuk menikah secepatnya. Dari penglihatannya, menikah muda bisa membawa kebahagiaan ke dalam hidup teman-temannya.
Tidak hanya itu, menurut Nadya, pemerintah pun ikut berperan dalam meningkatnya angka perkawinan anak. Memang benar bahwa untuk mengurus perkawinan di bawah umur harus melalui beberapa proses yang panjang, tetapi tidak ada kesulitan yang ditemui. Proses ini seakan hanya menjadi formalitas dan tidak benar-benar diimplementasikan. Ditambah pula, seperti yang sudah kita pelajari dari Ibu Rita, peraturan-peraturan ini tidak melindungi perkawinan anak informal.
Sejalan dengan hal tersebut, Dewa Sukma Trinanda Adhitya, peraih penghargaan Aktor Pelopor Pencegahan Perkawinan Anak Indonesia oleh BBC Indonesia, berpendapat pula mengenai penyebab banyaknya perkawinan anak. Ia melihat dari kejadian yang ada di daerahnya sendiri yaitu Kabupaten Bondowoso, dimana angka pernikahan dini menjadi tinggi akibat budaya seks bebas.
“Jadi kalau yang tahun 2018 itu dari kabupaten saya sendiri, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Itu merupakan kabupaten yang memang angka Pernikahan Dini nya sangat tinggi,” ujar Dewa. Pada tahun 2018 Kabupaten Bondowoso masuk kedalam 5 besar kabupaten dengan tingkat kasus pernikahan dini terbanyak di Jawa Timur.
“Memang berdasarkan dari permasalahan remajanya sih yang pacaran itu, tapi dari permasalahan-permasalahan menikahinya (yang ada di Bondowoso itu) kebanyakan disebabkan oleh adanya tradisi dan seks bebas, “ terangnya. Menurutnya ada sebuah pola pikir pada masyarakat di pedesaan daerah Bondowoso yang mewajarkan serta menyarankan muda-mudi untuk menikah dini. Hal ini diperparah juga dengan banyaknya seks bebas di kalangan anak hingga remaja.
Tingkat pernikahan dini yang tinggi di Bondowoso membuat banyak anak harus putus sekolah. Selain karena rasa malu akibat mengandung, pernikahan dini juga menambah beban mental bagi anak karena di usianya yang belum matang ia harus berhadapan dengan urusan-urusan rumah tangga lainnya.
Dampak Perkawinan Anak
Tidak hanya beban mental, lebih spesifik lagi, Ibu Rita membagi dampak yang dirasakan anak apabila dikawinkan sebelum usianya matang menjadi beberapa aspek: kesehatan, SDM, psikologis, serta sosial ekonomi.
Pertama, dari segi kesehatan, organ reproduksi anak tidak siap. Semakin muda atau belia waktu anak menikah, maka semakin rentan organ reproduksi yang dimiliki anak tersebut. Sehingga, potensi Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia akan semakin tinggi.
Kedua, dari segi sumber daya manusia, banyak anak perempuan yang akhirnya putus sekolah karena dikawinkan. “Jumlah anak yang disekolahkan lagi setelah hamil itu masih sedikit sekali,” jelas Ibu Rita. Dewa pun bercerita bagaimana di Bondowoso, banyak anak yang datang ke sekolah saat mengandung. Bukan hanya keadaan tersebut dapat merusak konsentrasi anak dalam belajar, hal itu juga bisa mengganggu proses kehamilan di beberapa kasus. Karena saat sekolah, mungkin anak merasa lelah atau bahkan stress, yang pastinya tidak baik untuk kandungannya.
Seperti halnya dengan Nadya, yang setelah lulus SMA langsung menikah, sekarang menunda keinginannya untuk melanjutkan kuliah karena sedang menunggu datangnya buah hati. “Sekarang lagi program untuk hamil sih. Nanti kalau misalnya udah punya anak, aku tetap mau kuliah tapi ambil kelas karyawan yang jadwalnya setiap hari Sabtu,” jelasnya.
Ketiga, dari segi psikologis, anak belum siap untuk menghadapi persoalan baru dan lebih rumit yang terjadi setelah menikah. Hal ini juga menimbulkan masalah lain seperti masalah mengelola rumah tangga, ataupun mengasuh anak. Oleh karena itu, anak perlu beradaptasi lebih cepat. Nadya pun mengaku dalam proses belajar tentang bagaimana menjadi istri yang baik, yang dapat melayani suaminya dengan baik dibantu oleh mertuanya. Jika anak tidak memiliki figur yang membantunya melewati kehidupan yang jauh berbeda ini, akan lebih sulit bagi anak untuk beradaptasi.
Terakhir, jika anak dikawinkan dalam modal sosial dan ekonomi yang terbatas maka potensi anak untuk berkembang akan kecil. Bagi Nadya, hal ini bukanlah masalah baginya. “Aku masih sering main sama teman-teman aku,” ujar Nadya, “kalau untuk ekonomi juga tidak ada masalah sih karena kami punya tempat tinggal dan punya usaha bareng juga,” lanjutnya.
Yang Harus Dilakukan
Dewa bercerita tentang bagaimana fenomena banyaknya perkawinan anak di Indonesia ditanggapi dengan kiprah masyarakat umum serta pemerintah untuk terjun dalam bidang kesehatan pada remaja dan anak-anak melalui Forum Anak Nasional (FAN) serta Insan Generasi Berencana (Duta Genre) yang dibawahi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Menurutnya, organisasi yang bergerak di masyarakat bisa menjadi organisasi dinas yaitu organisasi yang turun langsung mengatasi bidang kesehatan anak remaja. Seperti contohnya di Bondowoso, Forum Anak Bondowoso (FAN) dan Insan Generasi Berencana (Genre). Masing-masing mengatasi kesehatan anak 0-18 tahun dan remaja di atas 18 tahun.
Selain itu, menurutnya, sekolah juga perlu memberikan pendidikan seks yang memadai. Setidaknya, sekolah harus terbuka dengan organisasi penggerak yang berkeinginan untuk memberikan pendidikan seks kepada murid-muridnya.
Pendidikan seksual pun perlu diterapkan secara komprehensif, bukan abstinensi saja. Selain organ reproduksi, perlu ada juga edukasi terkait bahaya menikah di usia dini kepada para remaja dan orangtua. Seperti halnya yang dilakukan Kampung KB di Bondowoso.
Kampung KB di Bondowoso merupakan program besutan BKKBN yang bertugas untuk melakukan edukasi seks kepada para warga, juga melakukan edukasi tentang bahaya pernikahan dini pada anak. “Kalau misalnya Kampung KB itu kan pasti remaja Indonesia mikirnya ‘dua anak cukup’ ya.. di sisi lain ada kita bukan hanya pendidikan ke ibu-ibunya saja, tapi kita juga ada pendidikan ke remaja dan anak di situ. Pendidikannya berupa forum (antara) anak dan ibunya, masuk materi sesuai dengan pembagiannya (usia),” ujar Dewa.
Dengan edukasi menyeluruh kepada orang tua dan anak, angka pernikahan dini di Bondowoso pun menurun. Penurunan tingkat kasus pernikahan dini terjadi secara signifikan di Kabupaten Bondowoso—terlihat pada kurun waktu 2017 ke 2018, ditandai dengan perolehan predikat ‘Kabupaten Layak Anak” oleh Kementerian PPA pada tahun 2017.
“Kabupaten layak anak membuktikan apakah kabupaten itu sudah melakukan progress yang baik terhadap terkait dengan pemerhatian anak atau tidak,” tutur Dewa. Adanya kegiatan edukasi dan pemantauan berkala yang dilakukan ke sekolah-sekolah membantu anak-anak di Kabupaten Bondowoso mengurangi pengaksesan terhadap konten negatif di internet dan tertarik berkegiatan positif baik dalam tingkat sekolah hingga kabupaten. (Baca Selanjutnya: Kisah Penyintas Kekerasan Seksual: Memilih Diam untuk Self-Defense)
Editor: Ruthana Bithia, Renadia Kusuma, Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Magdalene.co
Discussion about this post