Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap harinya terdapat lebih dari satu juta orang di dunia didiagnosis Infeksi Menular Seksual (IMS).
Perkembangan konsep seksual scientia sexualis menjadi ilmu seksologi memperkaya pengetahuan-pengetahuan baru tentang pendidikan seks. Pengetahuan tentang seks kini tidak sebatas pada pencarian kenikmatan saja, tetapi juga pendalaman fakta-fakta tentang reproduksi manusia. Oleh karena itu, minimnya pengetahuan tentang pendidikan seks dapat membawa pada permasalahan serius terkait organ reproduksi, seperti infeksi menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, hingga tindak aborsi yang mengancam nyawa.
Sexually Transmitted Infection (STI) atau Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan dari satu orang ke orang lainnya melalui hubungan seksual. Menurut Djiwandono, penularan IMS sebagian besar melalui hubungan seksual sebesar 90%, sedangkan sisanya melalui transfusi darah, jarum suntik, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan lain-lain.
Seks Tanpa Kondom
“Ya menurut gua seks adalah sebuah hal yang intimate aja gitu loh. Tapi, terkadang ga harus juga sama pacar. Kadang tuh bukan form of affection juga tapi ya untuk stress reliever atau relaksasi aja,” ungkap FR, mahasiswa berusia 21 tahun.
“Gua pertama kali melakukan itu (sexual intercourse) saat kelas 2 SMP sama mantan pacar dan saat itu gua gak memakai kondom,” tutur FR.
FR yang saat melakukan hubungan seks pranikah kala menduduki bangku SMP mengaku bahwa ia sebenarnya sudah paham harus menggunakan kontrasepsi seperti kondom untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, contohnya infeksi menular seksual dan risiko kehamilan. Namun, pengalaman hubungan seksual pertama yang dilakukan FR saat itu dilakukan tanpa rencana, sehingga ia pun tidak memiliki persiapan kontrasepsi. “It just happened in an instant,” ungkapnya, “anak SMP mana sih yang punya kondom di dompet?” lanjut FR.
Perilaku remaja yang melakukan hubungan seksual pra-nikah memang sering terjadi di Indonesia—tidak hanya dialami oleh FR. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh SDKI (Survei Demokrasi Kesehatan Indonesia) pada tahun 2012, pria berumur 15-19 tahun pertama kali berhubungan seks ketika mereka berumur 17 tahun yaitu dengan persentase sebesar 1,4%. Sementara, pria berumur 20-24 tahun pertama kali berhubungan seks ketika mereka berumur 18 tahun yaitu dengan persentase sebesar 2,8%.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia menunjukan bahwa 33% remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi dimana 58% dari mereka melakukan penetrasi pertama kali di usia 18-20 tahun.
FR mengaku memiliki pemahaman yang cukup mengenai hubungan seksual, kesehatan reproduksi, dan kontrasepsi. Orang tuanya juga cukup terbuka mengenai hal-hal tersebut terutama ketika ia berada di masa-masa pubertas. Ia pun mengaku mendapat pendidikan seksual di sekolah, tetapi pendidikan seksual yang diberikan hanya sebatas proses biologis dalam seks itu sendiri dan tidak mencakup konteks sosialnya. Meskipun orang tua FR cukup terbuka soal hal-hal yang berbau seksual saat ia remaja, ia tetap mencari tahu hal-hal tersebut lebih dalam lagi melalui jurnal-jurnal yang ia dapatkan melalui internet.
“Pengetahuan gua terhadap hal-hal yang berbau seksual belum cukup tinggi. Namun, sudah cukup memadai untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” ungkap FR. Merasa memiliki pengetahuan seksual yang cukup memadai membuat FR berani untuk tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seksual dengan pacarnya, dengan catatan bahwa ia sebelumnya telah memastikan kebersihan dirinya dan juga pacarnya, serta mengetahui masa subur pacarnya. Lain halnya apabila FR berhubungan seks dengan wanita selain pacarnya, FR pasti menggunakan kondom.
Selain itu, FR juga mengaku bahwa ia pernah memiliki 3 pasangan seksual (selain pacar) dalam jarak waktu yang sama “Ketakutan akan tertular IMS pastinya ada. Tapi, gua sudah melakukan semua tindakan preventif terutama jika melakukan hubungan seks dengan stranger. Gua menggunakan kondom dan segera melakukan tes HIV/AIDS kalau gua merasa stranger yang berhubungan seks dengan gua ‘kotor’,” tutur FR.
Risiko Berhubungan Seksual Tanpa Pengetahuan yang Cukup
Memiliki pengetahuan yang cukup ketika melakukan hubungan seksual merupakan suatu hal yang diperlukan. Seperti yang dipaparkan oleh dr. Melyawati Hermawan selaku dokter spesialis kulit dan kelamin, seseorang yang melakukan hubungan seksual tanpa pemahaman yang cukup memiliki risiko tinggi terkena Infeksi Menular Seksual (IMS), hamil di luar nikah, dan bahkan gangguan psikologis seperti depresi.
“Misalkan ada yang melakukan hubungan seksual tanpa pengetahuan yang cukup, dia pasti akan merasa paranoid—merasa dirinya tertular padahal itu perasaannya saja. Akhirnya itu mempengaruhi psikis dia, jadinya kepikiran terus dan bisa jadi tidak produktif di kehidupan sehari-harinya,” tambah dr. Melyawati.
Mengenai siapa yang lebih paham antara pria atau wanita terkait pengetahuan seksual, dr. Melyawati mengatakan bahwa pria umumnya lebih unggul dibandingkan perempuan karena pria cenderung lebih aktif mencari tahu akan hal-hal yang berbau seksual. Faktor yang membuat perempuan lebih tertinggal terkait hal tersebut antara lain adalah faktor tabu yang membuat seolah-olah hal yang berbau seksual tidak pantas dipelajari oleh perempuan.
Pemahaman pengetahuan seksual yang tidak seimbang inipun membuat setiap individu memiliki definisi ‘hubungan seksual’ yang berbeda-beda. Misalnya, beberapa orang menganggap bahwa melakukan oral sex berarti mereka tidak melakukan hubungan seksual karena tidak akan menyebabkan kehamilan. Menanggapi hal tersebut, dr. Melyawati mengatakan bahwa oral sex memang tidak akan menyebabkan kehamilan. Namun, oral sex tetap bisa menularkan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), contohnya orofaringitis gonore.
Orofaringitis gonore adalah kondisi di mana seseorang memiliki bakteri gonore di dalam mulutnya. Apabila seseorang terpapar penyakit ini, maka orang tersebut akan merasakan keluhan seperti batuk berdahak, mengeluarkan nanah, dan mengalami radang secara terus-terusan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa penyakit IMS tidak hanya mengganggu area genital tetapi juga dapat mengganggu area organ tubuh lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa macam IMS yang umum ditemukan oleh dr. Melyawati selama ia menjalani praktik sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin. Gonore dan kutil kelamin merupakan IMS yang paling sering dikeluhkan oleh pasien karena penyakit ini menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pasien sehingga mudah untuk terdeteksi. Penyakit ini menyebabkan keluarnya cairan atau nanah dari kelamin sementara, kutil kelamin menimbulkan luka seperti sariawan pada daerah kelamin.
Terdapat juga sifilis, salah satu IMS yang sulit untuk terdeteksi pada tahap awal karena hanya menimbulkan luka yang tidak menyebabkan rasa sakit sehingga hal ini cenderung diabaikan oleh pasien. Pasien cenderung memeriksakan diri ke dokter ketika sifilis telah menimbulkan ruam merah di sekujur tubuh.
Selain itu, dr. Melyawati juga mengungkapkan bahwa melakukan hubungan seksual saat periode menstruasi dapat meningkatkan risiko terkena IMS. Hal ini karena ketika menstruasi, vagina menjadi lebih lembab yang menyebabkan mukosa lebih tipis dan lebih rentan untuk terluka. Hal ini menyebabkan risiko masuknya virus dan bakteri menjadi lebih tinggi sehingga memungkinkan wanita untuk tertular IMS. Namun, dapat dipastikan bahwa berhubungan seksual ketika wanita sedang menstruasi, tidak akan menyebabkan kehamilan.
Infeksi Menular Seksual (IMS) yang Mematikan
Gonore dan kutil kelamin merupakan IMS yang tidak mematikan dan masih bisa disembuhkan secara total. Sifilis sendiri di beberapa kasus dapat mematikan apabila sudah mencapai stadium akhir, meskipun masih bisa disembuhkan asalkan pasien segera ditangani. Berbeda dari gonore, kutil kelamin, dan sifilis, HIV belum bisa disembuhkan secara total dan tergolong IMS yang mematikan.
“Kalau HIV/AIDS sendiri sudah jelas dapat menyebabkan kematian karena penyakit ini menyerang sel darah putih sehingga mengganggu daya tahan tubuh si penderita,” ungkap dr. Melyawati Hermawan. Sel darah putih yang terus berkurang akan menyebabkan penderita HIV memiliki daya tahan tubuh yang lemah serta rentan terhadap penyakit. Daya tahan tubuh yang lemah ini pun mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi seperti Infeksi Oportunistik (IO).
IO adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk. Jenis IO antara lain seperti radang paru-paru, gangguan syaraf, jamur, dan kanker kulit. Ketika seseorang dengan HIV terserang IO, maka orang tersebut dikatakan mengidap AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), yaitu sekumpulan penyakit yang menyerang imunitas penderita HIV sehingga kondisinya tidak mampu lagi melawan infeksi.
Hingga saat ini, penawar untuk menyembuhkan HIV/AIDS secara total belum ditemukan. Sehingga, satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh penderita HIV agar tidak mengidap AIDS adalah dengan menjaga kekebalan tubuh. Apabila penderita HIV tidak dapat menjaga kekebalan tubuhnya, kekebalan tubuh yang semakin menurun inilah yang menyebabkan kematian.
Realita Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) merupakan sebutan yang diberikan kepada penderita HIV/AIDS. ODHA seringkali menerima stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat. Masyarakat mempercayai bahwa penyakit HIV/AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Selain itu, masyarakat seringkali beranggapan bahwa ODHA layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri sehingga mereka jugalah yang harus bertanggung jawab. Mereka seringkali mendapat penolakan dalam berbagai lingkup kegiatan masyarakat, baik dunia pendidikan, dunia kerja, maupun layanan kesehatan. Terlebih karena pemberitaan media yang membuat seolah-olah HIV/AIDS adalah hal yang paling menakutkan, menyebabkan para ODHA menyembunyikan statusnya. Semua hal ini dialami oleh Nining Ivana, salah satu ODHA yang bersedia kami wawancarai.
Kisah Nining sebagai ODHA berawal ketika ia melamar pekerjaan di salah satu perusahaan elektronik di Malaysia pada tahun 2004—tepatnya pada bulan Desember. Saat proses lamaran pekerjaan tersebut, Nining harus melakukan beberapa tes dan tes terakhir adalah medical check-up. “Saya tidak lolos medical check-up karena dinyatakan unfit. Kemudian saya pun periksa kembali ke dokter yang sama (saat melakukan medical check-up), dan saya didiagnosa mengidap HIV,” jelas Nining. Kemudian, dokter tersebut menyarankan Nining untuk periksa kembali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Awalnya Nining mengira ia tertular HIV dari pacarnya karena mereka telah melakukan hubungan seksual berisiko—tidak menggunakan kontrasepsi. Ia pun memutuskan untuk melakukan tes HIV di RSCM bersama pacarnya. Hasilnya, Nining dinyatakan positif HIV sedangkan pacarnya negatif. “Kemungkinan besar saya tertular HIV dari perilaku berisiko saya yang lain, yaitu menggunakan jarum suntik bergantian bersama teman-teman saya pada saat saya aktif menggunakan narkoba,” jelasnya.
Nining mengaku menggunakan narkoba pertama kali ketika masih Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada sekitar tahun 1997-an. “Pertama hanya ganja,” lanjut Nining, hingga akhirnya ia menggunakan obat-obatan lain seperti heroin. Nining pun menjadi candu dan harga heroin yang semakin mahal membuat dirinya terpaksa melakukan perilaku berisiko seperti menggunakan jarum suntik bergantian—demi memuaskan kebutuhan dosisnya yang terus meningkat kala itu.
Saat Nining pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi HIV pada tahun 2004, ia tidak memberikan informasi tersebut kepada siapapun—termasuk keluarganya. Hanya pacarnya yang mengetahui kondisinya saat itu.
“HIV masih menjadi momok yang menakutkan dan informasinya cenderung negatif di kalangan masyarakat. Jangankan masyarakat, bahkan dokter pada saat itu masih banyak yang belum bisa menerima pasien pengidap HIV,” tutur Nining.
Oleh karena itu, Nining memilih untuk menutup rapat statusnya sebagai ODHA agar dirinya tidak semakin terpuruk akibat stigma negatif yang diberikan oleh orang di sekitarnya. Terlebih, karena keterbatasan informasi dan ekonomi saat itu, Nining tidak langsung melakukan pengobatan.
Hingga pada bulan Maret 2005, kondisi tubuh Nining semakin memburuk dan ia merasa telah memiliki gejala AIDS. Kondisinya saat itu kehilangan berat badan sekitar 20% dan memiliki demam tinggi hingga 41°C selama satu bulan. Nining merasa tidak berdaya dan ia pun dibawa keluarganya berobat ke klinik dan beberapa dokter, tetapi tidak ada yang bisa menangani dan keluarganya pun mulai menanyakan kondisi Nining yang sebenarnya, “Mungkin sudah waktunya untuk saya meninggalkan dunia,” pikir Nining saat itu.
Pikiran tersebut pun sirna ketika Nining melihat sebuah iklan di televisi—MTV yang pada saat itu masih ada di Indonesia. “Iklan tersebut menjelaskan bahwa HIV bukan sesuatu yang menakutkan dan para pengidap masih bisa hidup normal seperti orang biasa,” tuturnya, “dari iklan tersebut saya merasa semangat untuk hidup saya kembali lagi.” Melalui iklan tersebut pula, Nining akhirnya mulai memberanikan diri untuk menghubungi beberapa LSM. Setelah menemukan LSM yang cocok dengannya, Nining pun mulai dibantu untuk berobat di rumah sakit yang tepat dan kondisi tubuhnya berangsur-angsur membaik.
“Keluarga saya baru tahu 6 bulan setelah saya mengidap HIV, itu pun secara tidak sengaja ketika mereka menemukan botol obat saya yang berlabel obat untuk HIV,” ujar Nining. Ia pun mengira bahwa ia akan diusir dari rumah karena keluarganya akan takut dengan HIV—nyatanya tidak. “Mereka menerima dan mendukung kondisi saya, meskipun beberapa keluarga saya masih memiliki pandangan yang salah terhadap penularan HIV. Tetapi lambat laun, mereka akhirnya mengerti bahwa penularan HIV tidak semudah itu,” ungkapnya.
Di sisi lain, berbeda dari Nining, beberapa orang ternyata tidak takut untuk mengungkapkan statusnya sebagai ODHA. Seperti yang dialami oleh Suksma Ratri ketika pertama kali mengetahui dirinya mengidap HIV pada tahun 2006. Kisahnya bermula ketika mantan suaminya, pengguna narkoba dengan jarum suntik bergantian, dinyatakan positif HIV. Meskipun telah berpisah dengan suaminya, Ratri dan anaknya ikut menjalani pemeriksaan HIV—Voluntary Counselling and Testing (VCT). Hasilnya, Ratri dinyatakan positif HIV dan anaknya dinyatakan negatif. “Saya tidak merasa panik atau ketakutan ketika pertama kali mengetahui saya positif HIV karena saya memiliki sedikit pemahaman,” ungkapnya.
Hal pertama yang Ratri lakukan setelah melakukan pemeriksaan dan berkonsultasi adalah memberitahu kondisinya kepada orang-orang terdekatnya. Setelah memberitahu tentang kondisinya, Ratri mengaku tidak mendapatkan perubahan perilaku dari sahabat-sahabatnya melainkan menerima feedback yang sangat positif, seperti memberikan informasi kepada Ratri mengenai vitamin, suplemen, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan HIV/AIDS walaupun saat itu informasi akan HIV/AIDS masih sangat minim. Ratri merasa bahwa dirinya mendapat dukungan dari kerabatnya karena ia menyampaikan kondisinya dalam keadaan tenang sehingga kerabatnya pun tidak panik ketika mendengar kabar tersebut.
Stigma terhadap ODHA
Menurut Nining, pandangan masyarakat terhadap HIV/AIDS maupun ODHA saat ini lebih progresif dibandingkan pada tahun 2004. Pada tahun 2004, masyarakat memandang ODHA sebagai hal yang sangat mengerikan. Sampul buku tentang HIV/AIDS dan iklan yang ditampilkan oleh pemerintah menggambarkan para ODHA dalam kondisi yang sangat buruk, seperti ODHA diilustrasikan dengan tubuh yang sangat kurus menyerupai tengkorak ataupun memiliki banyak luka di tubuh.
Meski begitu, terdapat perubahan signifikan yang dirasakan Nining saat ini, seperti bertambahnya rumah sakit dan puskesmas yang memberikan layanan pengobatan kepada para pengidap HIV/AIDS. Dahulu, akses pengobatan HIV/AIDS masih sangat minim dan biaya pengobatan pun sangat mahal sehingga memperparah kondisi para ODHA. “Bahkan dulunya negara sempat melakukan sterilisasi secara paksa bagi wanita hamil yang positif HIV, sekarang sudah tidak lagi,” ujar Nining, “dokter pasti menanyakan kepada pasien terlebih dahulu apakah ingin melakukan sterilisasi atau tidak, jadi prosedur kesehatan saat ini jauh lebih baik,” ungkapnya.
Meskipun Nining merasakan adanya perubahan signifikan terhadap beberapa layanan kesehatan, ia tidak menutup realita bahwa beberapa ODHA lainnya masih mengalami diskriminasi hingga saat ini. “Ada yang tidak diperbolehkan untuk menyewa kos karena dia adalah pengidap HIV dan juga seorang waria—stigma negatifnya menjadi dua kali lipat,” ujar Nining.“Ada juga yang diberhentikan dari pekerjaannya hanya karena ia mengidap HIV walaupun dirinya sangat berpotensi di pekerjaan tersebut,” jelasnya.
Nining berpendapat bahwa tidak seharusnya ODHA diperlakukan seperti itu karena mereka tidak akan menularkan HIV semudah yang orang-orang pikirkan. Penularannya harus melalui kontak dengan darah, air mani (sperma dan cairan vagina), dan air susu ibu. Virus ini tidak dapat menular lewat alat makan bergantian, air mata, ataupun keringat. Selama mereka (ODHA) menjalani pengobatan yang baik dan menghindari perilaku berisiko, mereka tidak akan menularkan HIV kepada orang lain.
Mengenai perilaku hubungan seksual bagi pengidap HIV, Nining menuturkan bahwa kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa berhubungan seksual dapat menyebarkan HIV. “Padahal, pengidap HIV yang viralutnya tidak terdeteksi (undetect) tidak akan menularkan virusnya asalkan mengikuti pengobatan yang baik dan tidak gonta-ganti pasangan seksual,” jelasnya. Hal ini dialami oleh Nining sendiri, sebelum mengetahui dirinya mengidap HIV, ia telah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Setelah melakukan pemeriksaan HIV yang dipaparkan sebelumnya, hanya Nining yang positif HIV sedangkan pacarnya negatif. “Bisa dibilang pasangan saya negatif karena jumlah viralut saya tidak bisa menularkan ke orang lain (undetect),” ungkap Nining.
Sehubungan dengan hal tersebut, Nining juga mengatakan bahwa beberapa orang di Indonesia tidak mengetahui bahwa pengidap HIV sebenarnya masih bisa memiliki keturunan yang negatif HIV—seperti yang dialami oleh Ratri dan mantan suaminya. Berdasarkan informasi yang diperoleh oleh Ratri, terdapat dua teori yang mendasari hal ini. Pertama, Ratri tertular HIV setelah ia melahirkan. Kedua, anak Ratri negatif karena proses kelahiran dilakukan secara caesar. Hal ini juga ditegaskan oleh dr. Melyawati bahwa tidak semua antibodi dapat melalui plasenta. Sehingga, ketika antibodi tersebut terlalu besar dan tidak dapat menembus plasenta maka penyakit tersebut tidak akan tertular ke anak. “Yang penting mereka (wanita hamil yang positif HIV) dipantau oleh dokter sesuai dengan prosedur yang jelas,” tambah Nining.
Mencegah Penularan IMS dan HIV
Seperti yang dipaparkan oleh dr. Melyawati, penularan IMS dapat dicegah apabila seseorang melakukan hubungan seksual dibekali dengan pengetahuan yang cukup. Ia pun memaparkan langkah “ABCDE” sebagai salah satu cara yang umum digunakan untuk mencegah IMS. Pertama, Abstinensia (A) yang berarti tidak melakukan hubungan seksual sama sekali sehingga tidak mungkin tertular IMS. Kedua, Be Faithful (B) dengan cara setia pada pasangan dan tidak bergonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Ketiga, Condom (C)—menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual. Terakhir, Detect Early (DE), yaitu mawas diri dengan cara memeriksakan diri ke dokter ketika merasa terdapat potensi tertular IMS.
Selain itu, kesiapan psikis (mental) pun merupakan hal terpenting apabila ingin berhubungan seksual. Menurut dr. Melyawati, selama pelaku sudah dewasa dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai resiko dan konsekuensi yang ditimbulkan maka itu merupakan hak setiap orang untuk melakukan hubungan seksual. “Pengetahuan mengenai masa subur juga perlu, jangan sampai pria salah persepsi bahwa masa setelah haid merupakan masa yang tidak memungkin kan wanita untuk hamil,” tambahnya.
Bagi para pengidap HIV, Ratri sendiri menyarankan mereka untuk bersikap terbuka kepada orang-orang terdekat mereka. “Selama saya bekerja sebagai manajer kasus di Rumah Cemara, saya kerap kali melihat ODHA yang tidak terbuka kepada kerabatnya justru mengalami kesulitan saat sakit,” ujar Ratri. Sikap terbuka ini pun disarankan agar para ODHA dapat ditangani di rumah sakit yang tepat.
Sejalan dengan hal tersebut, Nining pun berpesan untuk ODHA yang masih menyembunyikan statusnya agar tidak bersedih terlalu lama. “Tidak usah takut tidak usah malu tidak usah beranggapan bahwa HIV adalah penyakit moral. HIV ya virus, bukan penyakit moral,” ujar Nining.
Nining menambahkan pesan untuk para orang di luar sana yang tidak memiliki HIV agar selalu waspada dan tidak melakukan perilaku yang berisiko. “Jangan salah loh, itu virus gak milih milih. Gak milih mau nularinnya di hotel, gak milih nularinnya di tempat-tempat hiburan, tapi HIV juga dapat tertular di hubungan rumah tangga yang sudah sah. Sebaiknya sih buat orang-orang yang belum tahu status HIV tapi sudah melakukan perilaku berisiko periksakanlah secara dini karena akan banyak untungnya. Kalau hasilnya negatif kita dapat terus menjaga agar hasilnya terus negatif. Tetapi kalau hasilnya positif, kita bisa tetap sehat dengan segera melakukan pengobatan agar kita tidak melakukan penularan kepada orang lain,” tutup Nining. (Baca Selanjutnya: Perkawinan Anak Dampak Literasi Rendah Pendidikan Seks)
Editor: Renadia Kusuma, Ruthana Bithia, Rani Widyaningsih
Photo by Jair Lázaro on Unsplash
Referensi
Arjani, Ida Ayu Made Sri. 2015. Identifikasi Agen Penyebab Infeksi Menular Seksual. Jurnal Skala Husada, Vol. 12, No. 1
Shaluhiyah, Zahroh et al. 2015. Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 9 No. 4
Survei Demograsi dan Kesehatan Indonesia 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja. http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/SDKI-2012-Remaja-Indonesia.pdf
Rahmawati, Nadia et, al. 2018. Pengetahuan Remaja Laki-laki dan Kebutuhan Pendidikan Kesehatan Tentang Infeksi Menular Seksual (IMS). Berita Kedoteran Masyarakat, Vol. 34, No. 9
Prasasti, Giovani Dio. 2019. Riset: 33 Persen Remaja Indonesia Lakukan Hubungan Seks Penetrasi Sebelum Menikah. https://www.liputan6.com/health/read/4016841/riset-33-persen-remaja-indonesia-lakukan-hubungan-seks-penetrasi-sebelum-nikah#
Putri, Adelia. 2019. Riset: 84 Persen Remaja Indonesia Belum Mendapatkan Pendidikan Seks. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4629842/riset-84-persen-remaja-indonesia-belum-mendapatkan-pendidikan-seks
Discussion about this post