Tahun 1984 Indonesia pernah mencapai swasembada beras, bahkan menyumbangkan 100 ribu ton beras ke Afrika. Presiden Soeharto kemudian diundang oleh Food and Agricultural Organization (FAO) ke konferensi yang diadakan di Roma, Italia tahun 1985 untuk menyampaikan pidato dan diberi penghargaan. Akan tetapi, Indonesia kembali melakukan impor beras dalam jumlah besar pada tahun 1990-an, puncaknya terjadi pada tahun 1999 dengan jumlah impor beras mencapai 3 juta ton 1Raditya, I. N. (2018). Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana. https://tirto.id/swasembada-beras-ala-soeharto-rapuh-dan-cuma-fatamorgana-c2eV. Diakses pada 16 Agustus 2020. Kombinasi peristiwa El Nino yang membuat produksi padi menurun dan krisis ekonomi menjadi penyebabnya2Sawit, M. H. (2006). Indonesia dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras Dunia. Jurnal Pangan, 15(2), 16-23. Retrieved from https://jurnalpangan.com/index.php/pangan/article/view/291.
Pro Kontra Kebijakan Swasembada
Barker dan Hayami (1976) menyatakan bahwa kebijakan swasembada sebenarnya tidak efisien3Nuryanti, S., Hakim, D. B., Siregar, H., & Sawit, M. H. (2018). Political economic analysis of rice self-sufficiency in Indonesia. Indonesian Journal of Agricultural Science, 18(2), 77-86. http//dx.doi.org/10.21082/ijas.v.18.n2.2017.p.77–86. Untuk memahami pernyataan ini, mari ingat kembali salah satu dari 10 Principles of Economics Mankiw (2018), yaitu “trade can make everyone better off”4Mankiw, N. G. (2018). Principles of Economics, 8th edition. Boston: Cengage Learning. Mankiw mengibaratkan negara sebagai sebuah keluarga. Masing-masing keluarga berkompetisi dalam mencari kerja dan mendapat barang terbaik yang tidak semuanya dapat diproduksi sendiri. Setiap keluarga akan better off jika melakukan perdagangan dengan keluarga lain. Perdagangan membuat setiap orang melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya, entah itu menjahit, bertani, atau membangun rumah.
Selain itu, menurut FAO (2008), swasembada pangan tidak menjamin ketahanan pangan. Ketahanan pangan berarti semua orang dalam setiap waktu memiliki akses secara fisik maupun ekonomi pada makanan yang cukup dan bernutrisi serta sesuai dengan preferensinya untuk hidup yang sehat 5FAO. (2008). An introduction to the basic concepts of food security. Food Security Information for Action Practical Guides. EC–FAO Food Security Programme. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-al936e.pdf. Sebuah negara bisa saja mencapai swasembada beras, namun masyarakatnya kelaparan lantaran tak mampu mengaksesnya.
Warr (2011) juga berpendapat bahwa dalam mencapai swasembada, pembuat kebijakan kerap memberlakukan pelarangan impor. Ia mengemukakan Indonesia pernah melakukannya untuk mencapai swasembada beras pada tahun 2004 dan hasilnya harga beras naik sekitar 40%. Kenaikan harga beras akan membahayakan rakyat yang sebagian besar proporsi pendapatannya digunakan kebutuhan pangan6Warr, P. (2011). Indonesia: why food self-sufficiency is different from food security. East Asia Forum. Retrieved from eastasiaforum.org/2011/04/28/indonesia-why-food-self-sufficiency-is-different-from-food-security/.
Di sisi lain, Sawit (2013) punya pendapat berbeda. Sawit berpendapat tanaman pangan yang diproduksi dalam negeri tidak hanya menghasilkan produk pangan, tetapi juga manfaat lain sebagai penggerak ekonomi di desa, peningkatan kemampuan petani, perbaikan lingkungan, hingga menghambat laju urbanisasi. Lee (2001) dan Ohga (1999) mengatakan bahwa manfaat-manfaat tersebut tidak dapat disubstitusi oleh produk pangan impor7Sawit, M. H. (2013). Kebijakan Swasembada Beras: Keinginan Besar yang Kehilangan Fokus (Rice Self-sufficiency Policy: Big Desire but Losing Focus). JURNAL PANGAN, 22(2), 155-168. Retrieved from http://jurnalpangan.com/index.php/pangan/article/view/85.
Swasembada dan Cara Mengukurnya
FAO mendefinisikan swasembada pangan sebagai seberapa jauh suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil produksi domestiknya sendiri8FAO. (1999). Implications of economic policy for food security: A training manual. Retrieved from http://www.fao.org/3/x3936e/X3936E00.htm. Definisi ini diilustrasikan pada Gambar 1, garis diagonal melambangkan 100% swasembada pangan9Clapp, J. (2017). Food self-sufficiency: Making sense of it, and when it makes sense. Food policy, 66, 88-96. Retrieved from https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0306919216305851#b0055. Negara dengan posisi di atas garis tersebut berarti memproduksi makanan lebih dari yang dikonsumsi, sedangkan negara yang berada di bawah garis berarti mengonsumsi makanan lebih dari yang diproduksinya.

Sumber: Clapp (2015)
Clapp (2017) menyatakan definisi tersebut sebenarnya masih kurang jelas. Sebuah negara yang mencapai swasembada bukan berarti tidak melakukan impor sama sekali. Bahkan, negara dengan politik paling terisolasi seperti Korea Utara sekalipun masih melakukan impor pangan10FAO. (2015). The Democratic People’s Republic of Korea: Outlook for Food Supply and Demand in 2014/15. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-i4363e.pdf. Dengan keadaan dunia saat ini yang hampir seluruh negara melakukan perdagangan internasional, pengertian swasembada pangan yang lebih sesuai adalah produksi pangan sama dengan atau melebihi 100% dari konsumsi pangan suatu negara11Clapp, J. (2015). Food self-sufficiency and international trade: a false dichotomy. State of Agricultural Commodity Markets–In Depth FAO, Rome. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-i5222e.pdf. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur swasembada pangan dengan pengertian tersebut adalah self-sufficiency ratio (SSR). Persamaannya adalah:
SSR = Produksi 100/ (Produksi + Impor – Ekspor)
Dalam pengukurannya, SSR biasanya menggunakan satuan kalori dan volume dari produksi pangan12FAO. (2012). FAO Statistical Pocketbook 2012: World Food and Agriculture. Retrieved from http://www.fao.org/3/i2493e/i2493e.pdf. Selain itu, pengukuran menggunakan nilai mata uang juga dapat digunakan. Clapp (2017) menyatakan kapasitas memproduksi suatu komoditas spesifik misalnya beras, jagung, atau kedelai dari suatu negara juga dapat diukur menggunakan SSR untuk mengetahui sejauh mana kebutuhan suatu negara akan komoditas tersebut bisa diproduksi sendiri.
Swasembada Beras Indonesia Kini
Presiden Joko Widodo sudah mengatakan Indonesia harus swasembada dan berhenti impor pangan sejak kampanyenya sebagai calon presiden 2014 lalu13Yasmin, P. A. (2019, Februari 15). Janji Swasembada Pangan Jokowi: Tidak Impor Beras hingga Daging. detikFinance. Retrieved from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4429805/janji-swasembada-pangan-jokowi-tidak-impor-beras-hingga-daging. Pemerintah juga menargetkan Indonesia menjadi eksportir beras dengan target hingga 500 ribu ton14Asmara, C. G. (2019). Titah Jokowi, RI Ekspor Beras Mulai Maret 2020. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/news/20191204202255-4-120402/titah-jokowi-ri-ekspor-beras-mulai-maret-2020. Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi beras Indonesia kini?
Berdasar penghitungan, self-sufficiency ratio beras Indonesia pada tahun 2012-2018 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rerata mencapai 98,6% (Gambar 2). Tahun 2012 dan 2018 menjadi tahun dengan SSR paling rendah dengan angka 97,4%, sedangkan yang paling tinggi adalah tahun 2017 dengan angka 99,6%. Berdasarkan data ini, Indonesia sudah hampir melakukan swasembada beras dengan selisih rata-rata sebesar 1,4% agar 100% swasembada.

Sumber: BPS, FAO, dan Kementan diolah
Namun, bagaimana dengan impian mengekspor ratusan ribu ton hingga menghentikan impor beras? Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa ekspor beras Indonesia masih cukup rendah, hanya rata-rata 988,6 ton beras per tahun dari tahun 2012-201915Kementan. (2020). Basis Data Ekspor-Impor Komoditi Pertanian. Retrieved from http://database.pertanian.go.id/eksim2012/index_ori.php. Masih sangat jauh dari target pemerintah untuk mengekspor ratusan ribu ton beras pada 2020.
Menjaga Ketahanan Pangan
Negara importir beras, seperti Indonesia, menghadapi trade-off antara swasembada dengan ketahanan pangan
Food and Agricultural Organization16FAO. (2013). Geographic determinants of rice self-sufficiency in Southeast Asia. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-aq656e.pdf
Salah satu faktor penting untuk menjaga ketahanan pangan adalah produksi padi17Widada, A. W., Masyhuri, & Mulyo, J. H. (2017). Determinant Factors of Food Security in Indonesia. Agro Ekonomi, 28(2), 205-219. Retrieved from https://jurnal.ugm.ac.id/jae/article/view/26245. Studi yang dilakukan oleh Bashir dan Yuliana (2018) mengungkapkan faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi di Indonesia. Dalam studi tersebut, upah pekerja sektor pertanian menjadi faktor yang paling signifikan memengaruhi produksi padi. Peningkatan upah sebesar 1% akan meningkatkan 0,615% produksi padi. Disusul oleh luas lahan basah di mana 1 hektar peningkatannya akan meningkatkan 0,237% produksi padi. Selanjutnya jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan harga beras juga memengaruhi produksi padi, setiap 1% peningkatan tenaga kerja dan peningkatan harga beras meningkatkan produksi padi masing-masing 0,116% dan 0,101%18Bashir, A., & Yuliana, S. (2018). Identifying Factors Influencing Rice Production and Consumption in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan, 19(2), 172-185. Retrieved from http://journals.ums.ac.id/index.php/JEP/article/view/5939.
Di sisi lain, studi Bahasir dan Yuliana (2018) juga mengungkapkan bahwa populasi urban berkorelasi negatif dengan produksi padi. Peningkatan populasi urban sebesar 1% akan menurunkan produksi padi sebesar 0,670% dalam setahun. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa fenomena urbanisasi sedang marak dalam beberapa dekade terakhir. Sementara itu, mereka mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi tidak berpengaruh signifikan dalam peningkatan produksi padi. Hal ini mengindikasikan penggunaan teknologi oleh petani Indonesia masih minim dan masih bergantung pada alat tradisional.
Kebijakan swasembada pangan serta mimpi menjadi eksportir bukanlah hal yang buruk. Namun, ketahanan pangan perlu dijaga agar masyarakat Indonesia dapat memiliki akses makanan yang cukup dan bernutrisi. Produksi padi dan kenaikan upah petani menjadi salah dua faktor yang perlu diperhatikan agar ketahanan pangan Indonesia tetap terjaga.
Kontributor: Bilal Reginald Putra
Editor: Natsumi J. Putri
Ilustrasi: Yosia Manurung
Referensi
↵1 | Raditya, I. N. (2018). Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana. https://tirto.id/swasembada-beras-ala-soeharto-rapuh-dan-cuma-fatamorgana-c2eV. Diakses pada 16 Agustus 2020 |
---|---|
↵2 | Sawit, M. H. (2006). Indonesia dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras Dunia. Jurnal Pangan, 15(2), 16-23. Retrieved from https://jurnalpangan.com/index.php/pangan/article/view/291 |
↵3 | Nuryanti, S., Hakim, D. B., Siregar, H., & Sawit, M. H. (2018). Political economic analysis of rice self-sufficiency in Indonesia. Indonesian Journal of Agricultural Science, 18(2), 77-86. http//dx.doi.org/10.21082/ijas.v.18.n2.2017.p.77–86 |
↵4 | Mankiw, N. G. (2018). Principles of Economics, 8th edition. Boston: Cengage Learning |
↵5 | FAO. (2008). An introduction to the basic concepts of food security. Food Security Information for Action Practical Guides. EC–FAO Food Security Programme. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-al936e.pdf |
↵6 | Warr, P. (2011). Indonesia: why food self-sufficiency is different from food security. East Asia Forum. Retrieved from eastasiaforum.org/2011/04/28/indonesia-why-food-self-sufficiency-is-different-from-food-security/ |
↵7 | Sawit, M. H. (2013). Kebijakan Swasembada Beras: Keinginan Besar yang Kehilangan Fokus (Rice Self-sufficiency Policy: Big Desire but Losing Focus). JURNAL PANGAN, 22(2), 155-168. Retrieved from http://jurnalpangan.com/index.php/pangan/article/view/85 |
↵8 | FAO. (1999). Implications of economic policy for food security: A training manual. Retrieved from http://www.fao.org/3/x3936e/X3936E00.htm |
↵9 | Clapp, J. (2017). Food self-sufficiency: Making sense of it, and when it makes sense. Food policy, 66, 88-96. Retrieved from https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0306919216305851#b0055 |
↵10 | FAO. (2015). The Democratic People’s Republic of Korea: Outlook for Food Supply and Demand in 2014/15. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-i4363e.pdf |
↵11 | Clapp, J. (2015). Food self-sufficiency and international trade: a false dichotomy. State of Agricultural Commodity Markets–In Depth FAO, Rome. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-i5222e.pdf |
↵12 | FAO. (2012). FAO Statistical Pocketbook 2012: World Food and Agriculture. Retrieved from http://www.fao.org/3/i2493e/i2493e.pdf |
↵13 | Yasmin, P. A. (2019, Februari 15). Janji Swasembada Pangan Jokowi: Tidak Impor Beras hingga Daging. detikFinance. Retrieved from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4429805/janji-swasembada-pangan-jokowi-tidak-impor-beras-hingga-daging |
↵14 | Asmara, C. G. (2019). Titah Jokowi, RI Ekspor Beras Mulai Maret 2020. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/news/20191204202255-4-120402/titah-jokowi-ri-ekspor-beras-mulai-maret-2020 |
↵15 | Kementan. (2020). Basis Data Ekspor-Impor Komoditi Pertanian. Retrieved from http://database.pertanian.go.id/eksim2012/index_ori.php |
↵16 | FAO. (2013). Geographic determinants of rice self-sufficiency in Southeast Asia. Retrieved from http://www.fao.org/3/a-aq656e.pdf |
↵17 | Widada, A. W., Masyhuri, & Mulyo, J. H. (2017). Determinant Factors of Food Security in Indonesia. Agro Ekonomi, 28(2), 205-219. Retrieved from https://jurnal.ugm.ac.id/jae/article/view/26245 |
↵18 | Bashir, A., & Yuliana, S. (2018). Identifying Factors Influencing Rice Production and Consumption in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan, 19(2), 172-185. Retrieved from http://journals.ums.ac.id/index.php/JEP/article/view/5939 |
Discussion about this post