Tidak dapat dipungkiri bahwa media memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam membentuk masyarakat di era modern ini. Apa yang ditampilkan di media merupakan hal yang krusial karena secara tidak langsung akan membentuk persepsi seseorang. Di Indonesia sendiri—negara yang memiliki beragam budaya—televisi adalah media dengan rata-rata pemakaian tertinggi. Namun, tayangan yang tersedia sama sekali tidak merepresentasikan keberagaman tersebut.
Jakarta = kemakmuran, kesuksesan dan keberhasilan
“Jakarta ibukota Indonesia… Jakarta kota kebanggaan kita… Apa yang Anda mau ada di sana dari garam sampai mobil paling mewah…” begitulah Rhoma Irama menggambarkan kota dengan penduduk terpadat di Indonesia, Jakarta. Walau dirilis 48 tahun silam, rasanya lagu berjudul Jakarta itu masih sangat merepresentasikan persepsi masyarakat Indonesia terhadap Jakarta.
Jakarta yang diumpamakan sebagai lambang kemakmuran, kesuksesan dan keberhasilan dalam benak masyarakat Indonesia membuat orang “berbondong-bondong” bermigrasi ke sana setiap tahunnya. Tidak hanya itu saja, banyak masyarakat yang berada di daerah lain meniru gaya hidup dan berbahasa ala anak Jakarta dan meninggalkan budayanya. Hal ini karena ketika seseorang yang berasal dari luar jakarta memakai ragam Jakarta, mereka merasa terangkat dan dinilai lebih keren.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi persepsi dan perilaku ini, seperti ekonomi dan pendidikan. Akan tetapi, salah satu faktor yang paling besar adalah kurangnya akses informasi. Akses informasi memberikan andil dalam membentuk persepsi Jakarta yang unggul dan keren bagi sebagian orang. Namun, itu terjadi karena ketidaktahuan atas kondisi perkotaan yang sebenarnya dan juga kurangnya representasi daerahnya sendiri di berbagai media informasi yang ada. Media informasi saat ini agaknya lebih condong kepada informasi-informasi di ibukota dibanding daerah lain.
Jakartasentris bias media penyiaran
Salah satu media informasi yang masih sering digunakan banyak orang adalah televisi. Berdasarkan studi yang dilakukan Nielsen pada 2018, rata-rata durasi menonton TV masyarakat Indonesia adalah 4 jam 53 menit setiap harinya, tertinggi dibandingkan media lainnya. Artinya, televisi masih mendominasi media informasi di Indonesia. Karena itu, program-program yang ditampilkan televisi sangatlah penting sebab program-program tersebutlah yang akan membentuk opini dan persepsi masyarakat.
Namun, dalam pelaksanaannya, ada ketimpangan dalam penayangan berbagai program televisi, mulai dari berita sampai konten non-berita yang diproduksi oleh mayoritas media penyiaran. Ketimpangan yang dimaksud adalah adanya bias konten-konten media penyiaran yang sangat didominasi oleh informasi dari dan tentang Jakarta terkesan “Jakartasentris”.
Jakartasentris adalah istilah yang menggambarkan dominasi budaya, ekonomi, dan politik Jakarta terhadap berbagai informasi di media dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Riset yang dilakukan oleh Remotivi terhadap stasiun televisi di Indonesia menunjukan bahwa lebih dari 73% (durasi) berita nasional dan 69% (durasi) berita lokal dihasilkan di Jakarta. Dominasi ini sangat merugikan bagi mereka yang tidak berdomisili dan berkegiatan di Jakarta. Ketidakseimbangan informasi yang ada berpengaruh terhadap berbgai aspek, seperti aspek politik. Bagi mereka yang berada di luar Jakarta, akan kesulitan mendapatkan informasi mengenai calon gubernur, bupati, atau walikota di daerahnya. Konsekuensinya, mereka pun bisa salah memilih pemimpin nantinya.
Masalah lain yang muncul dari sistem penyiaran yang bersifat sentralistis ini, adalah Jakarta telah menjelma lebih dari sekadar ibu kota Indonesia, tetapi juga sebagai reprsentasi paling absah dari Indonesia. Akibatnya, bagi mereka yang berada di luar Jakarta rasa kepemilikan dan kepedulian terhadap daerah yang mereka tinggali memudar. Pudarnya rasa kepemilikan dan kepedulian, akan membuat masyarakat akan meninggalkan budaya yang unik pada daerahnya demi bisa berbaur dengan mereka yang dianggap ‘keren’. Padahal, kearifan lokal merupakan faktor penting dalam memajukan suatu daerah bahkan memajukan Indonesia secara keseluruhan.
Televisi dan konten lokal solusi ketimpangan informasi & dominasi budaya
Akses informasi mengenai isu politik dan sosial pada level nasional dan internasional penting bagi setiap individu. Namun, informasi mengenai kota, desa, atau provinsi tidak kalah penting bagi masyarakat. Karena mereka yang menonton televisi bukan hanya konsumen, melainkan juga warga negara yang sangat bergantung pada informasi dan budaya lokal di daerah yang mereka tinggali sebagai pengetahuan untuk berpikir, bertindak, dan memutuskan sesuai kebutuhannya.
Mengutip dari salah satu jawaban responden pada pertanyaan yang diajukan oleh Poynter—sekolah jurnalisme dan organisasi penelitian nirlaba—melalui websitenya ia menuliskan tujuan dari media lokal, yaitu untuk melihat, mengetahui, dan peduli serta memahami komunitas lokal. Hal-hal ini membangun rasa kepemilikan akan daerah dimana seseorang berdomisili dan ‘melek’ akan isu yang ada sehingga masyarakatnya pun memiliki kemauan untuk memajukan daerahnya dan bukan pergi merantau ke kota. Media lokal juga memungkinkan keberagaman konten dan program, termasuk hal-hal yang sangat niche membuat program televisi semakin berkualitas.
Selain itu, stasiun TV lokal juga berperan dalam melestarikan budaya lokal. Siaran yang berpusat pada isu-isu dan hal-hal menarik di daerah tertentu, membuat TV lokal memiliki peran untuk terus menghidupkan budaya yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Contohnya adalah saluran Jatim TV (JTV) yang menayangkan semua programnya dalam bahasa jawa, turut berperan dalam melestarikan penggunaan bahasa jawa. Lalu Bali TV yang secara konsisten juga menghadirkan beragam acara yang kental dengan kehidupan spiritual masyarakat Bali.
Manfaat lain dari stasiun TV lokal adalah kontribusinya yang besar bagi ekonomi suatu negara. Hal ini ditunjukan dari studi yang dilakukan oleh Woods&Poole Economics dan BIA Advisory Services terhadap dampak televisi dan radio lokal bagi ekonomi lokal dan negara Amerika Serikat, Industri televisi dan radio siaran komersial menghasilkan $ 1,17 triliun Produk Domestik Bruto (PDB) dan 2,47 juta pekerjaan baik secara langsung yang mencakup pekerjaan di stasiun televisi dan radio lokal maupun melalui ripple effect terhadap industri lain seperti telekomunikasi, utilitas publik, manufaktur, dan transportasi terhadap ekonomi Amerika.
Peraturan perundang-undangan yang kacau balau
Untuk meningkatkan manfaat dari adanya stasiun TV lokal—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—adalah dengan melakukan desentralisasi pada industri penyiaran yang ada. Desentralisasi ini sebenarnya bukanlah ide yang baru. Indonesia, melalui Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dengan prinsip keberagaman isi dan keberagaman kepemilikan mendorong desentralisasi industri penyiaran. Atas amanat undang-undang ini juga terbentuklah Komisi Penyiaran Indonesia, lembaga independen yang bertujuan mengelola segala hal terkait penyiaran yang terbebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan serta menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.
Jika melihat data tim Pendataan Pers Nasional bentukan Dewan Pers, terciptanya undang-undang ini nampaknya berdampak baik. Berbagai stasiun televisi swasta baik yang berbasis nasional dan lokal bermunculan dan hingga 2014, tercatat sebanyak 394 stasiun televisi beroperasi di Indonesia. Namun jika diamati lebih baik lagi, angka tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan keberagaman isi, kepemilikan, serta integrasi nasional yang merupakan tujuan yang tertera pada pasal 3 Undang-Undang No. 32 tahun 2002. Pasalnya, ketimpangan konten media dan dominasi Jakarta masih sangat terlihat dan terasa di layar kaca masyarakat Indonesia.
Ketimpangan dalam pelaksanaan siaran lokal ini diakibatkan oleh sistem dan regulasi lama yang diatur dalam UU No. 24/1997 sangat bertolak belakang dengan undang-undang baru (UU No. 32/2002). Indonesia masih mewarisi sistem dan regulasi pada UU No. 24/1997 yang sangat sentralistik. Selain itu, regulasi dari KPI juga kurang terperinci. Contohnya aturan bahwa setiap stasiun televisi harus menampilkan setidaknya 10% konten bersifat lokal, tidak mengatur ketentuan waktu-waktu tertentu siaran lokal harus diudarakan. Akibatnya, siaran lokal selalu diletakkan pada jam-jam yang tidak produktif seperti pukul 02.00 dini hari. Bahkan beberapa lembaga penyiaran swasta tidak memuat siaran lokal. KPI juga selama ini hanya berfokus pada sisi konten saja, sehingga melewatkan aspek waktu penayangan.
Selain itu, menurut Ross Tapsell, peneliti media di Indonesia dalam bukunya Media Power in Indonesia menyatakan bahwa konglomerasi media di Indonesia yang tidak hanya menguasai lanskap media di Indonesia, namun juga pengaruh ekonomi-politik negeri ini. Konglomerasi media ini pada akhirnya justru menciptakan produksi berita yang semakin ‘Jakarta-sentris’. Sebab, tulisnya, pembangunan media yang sudah tersentralisasi di Jakarta membuat semua keputusan media dilakukan oleh orang-orang berdomisili Jakarta dan tentu saja di Jakarta. Hal tersebut, baik langsung atau tidak, akan berpengaruh pada “kepentingan Jakarta” yang seolah-olah jadi isu “nasional”.
Meskipun begitu, industri penyiaran tidak dapat dilihat secara parsial, melainkan harus diamati dan dikaji secara menyeluruh. Representasi yang hanya berfokus pada satu daerah hanya akan menjadikan industri penyiaran penuh dengan konten yang menjenuhkan. Saluran televisi dan konten lokal nantinya tidak hanya membantu masyarakat memahami dunia di sekitar mereka, tetapi juga merepresentasikan industri penyiaran yang kaya dan beragam.
Editor: Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Muhammad Fidyan Genial
Daftar pustaka :
Adam, A. (2018, February 11). Media ‘Nasional’ tapi Rasa Jakarta. Retrieved March 13, 2020, from https://tirto.id/media-nasional-tapi-rasa-jakarta-cEBS
Barthel, M., Holcomb, J., Mahone, J., & Mitchell, A. (2019, December 31). Civic Engagement Strongly Tied to Local News Habits. Retrieved March 18, 2020, from https://www.journalism.org/2016/11/03/civic-engagement-strongly-tied-to-local-news-habits/
Dasar Pembentukan. (n.d.). Retrieved March 29, 2020, from http://www.kpi.go.id/index.php/id/dasar-pembentukan
Fajar, T. (2019, March 5). Studi Nielsen: Pemirsa Indonesia Habiskan 5 Jam Nonton TV, 3 Jam Berselancar di Internet : Okezone Economy. Retrieved from https://economy.okezone.com/read/2019/03/05/320/2025987/studi-nielsen-pemirsa-indonesia-habiskan-5-jam-nonton-tv-3-jam-berselancar-di-internet
Heychael, M., & Wibowo, K. A. (2014). Melipat Indonesia dalam Berita Televisi : Kritik atas Sentralisasi Penyiaran. Melipat Indonesia Dalam Berita Televisi : Kritik Atas Sentralisasi Penyiaran, 1–30. doi: http://www.remotivi.or.id/penelitian/7/Melipat-Indonesia-dalam-Berita-Televisi
Klikbekasi. (2020, March 8). Jumlah Stasiun Televisi di Indonesia Capai 394. Retrieved March 18, 2020, from http://selingan.klikbekasi.co/2015/02/26/jumlah-stasiun-televisi-di-indonesia-capai-394/
Kramer, M. (2015, June 24). Why does local matter? Let’s ask our audience. Retrieved March 14, 2020, from https://www.poynter.org/reporting-editing/2015/why-does-local-matter-lets-ask-our-audience/
Local TV And Radio: A $1.17 Trillion Economic Engine. (2019, September 19). Retrieved March 13, 2020, from https://www.rbr.com/local-tv-and-radio-a-1-17-trillion-economic-engine/
Mappapa, P. L. (2019, June 17). Cerita Surga Dari Jakarta. Retrieved March 12, 2020, from https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20190617/Cerita-Surga-Dari-Jakarta/
Profil KPI. (n.d.). Retrieved March 29, 2020, from http://www.kpi.go.id/index.php/id/profil-kpi
TAPSELL, R. O. S. S. (2018). Media Power In Indonesia: oligarchs, citizens and the digital revolution. Place of publication not identified: ROWMAN & LITTLEFIELD INTE.
Pemerintah Indonesia. 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Discussion about this post