Aku masih ingat dengan jelas, lima tahun yang lalu, ayah mengajak kami untuk pindah ke negara lain untuk mendapatkan nasib yang lebih baik. Kehidupan lebih layak yang dijanjikan ayah langsung kami setujui. Apalagi mengingat cita-cita saya sebagai dokter bukanlah cita-cita yang murah untuk digapai. Sesampainya di sana, ayah tidak bisa menepati janjinya, kehidupan kami tidak lebih baik dari segi ekonomi ditambah ayah ikut berperang bersama anggota ISIS lainnya. Tentu, aku juga tidak bisa melanjutkan studiku, cita-cita itu harus kubuang di saat aku belum sempat untuk berjuang. Satu-satunya hal yang bisa aku impikan saat ini adalah keselamatan bagi keluargaku dan pergi dari tempat neraka ini..
Ialah Nada Fedulla, salah satu dari banyak anak-anak Indonesia di perkemahan ISIS yang harus kehilangan cita-cita dan ikut dihukum akibat kesalahan orang tuanya. Kisahnya sempat menghebohkan publik setelah diliput oleh CNN pada Februari silam.
Diliputi Ketidakpastian Hukum
Pada 11 Februari 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan untuk tidak melakukan pemulangan atas WNI (Warga Negara Indonesia) eks ISIS. Persoalan ini menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Ada pihak yang simpati dan menginginkan kesempatan kedua bagi korban, ada pula yang resah oleh rencana pemulangan eks-ISIS. Selain itu, payung hukum terhadap WNI Eks-ISIS ini pun juga belum jelas. Jika mengacu pada HAM, setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Selain itu, belum ada pasal mana pun yang dapat menjelaskan pencabutan kewarganegaraan mereka secara yuridis.
Akan tetapi, dalam pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007, dinyatakan bahwa mereka yang masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden akan secara otomatis kehilangan status kewarganegaraannya secara administratif, bukan berupa pancabutan.
Dinyatakan juga bahwa “Menteri menetapkan Keputusan Menteri tentang nama orang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.” Daftar tersebut kemudian diajukan kepada Presiden hingga “Presiden menetapkan keputusan mengenai kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia” (pasal 38 ayat 2). Terkecuali untuk status kewarganegaraan anak-anak di bawah 18 tahun yang diatur dalam pasal berbeda. Namun hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan keputusan berisi nama-nama tersebut.
Terlepas dari ketidakpastian hukum atas perlakuan WNI Eks-ISIS ini, M. Faisal Aslim Magrie, Project Manager SEARCH for Common Ground—organisasi nirlaba internasional dalam manajemen konflik dan perdamaian—memberikan tanggapannya dari kacamata psikologi atas fenomena tersebut. Menurutnya, pemerintah terlalu terburu-buru untuk menolak pemulangan WNI eks ISIS sebab merekalah kaum yang paling rentan trauma di antara para penganut paham radikalisme ini.
Perlu Penilaian Bertahap
Untuk menjelaskan pernyataannya, Faisal memaparkan bahwa terdapat tiga skala bagi orang-orang yang terpapar radikalisme. Pertama, orang-orang yang sudah mengikuti pengajian islam ekstrimis tentang oasis ISIS, tetapi belum berniat untuk “jihad” ke Suriah. Kedua, orang-orang yang sudah berniat ke Suriah, sudah mencari jalan untuk pergi, tetapi di deportasi oleh negara lain yang disebut deportee. Ketiga, orang-orang yang sudah ada di Suriah dan merasakan apa yang dilakukan oleh ISIS yang disebut returnee.
Returnee yang telah melihat pembunuhan, pemerkosaan, pengeboman, dan aksi brutal lainnya yang telah dilakukan ISIS selalu jadi sorotan. Sementara itu, deportee masih memiliki semangat yang menggebu-gebu untuk melakukan “jihad”-nya—yang dinilai lebih berbahaya—luput dari sorotan media dan pemerintah. Kacamata media yang selalu membahas dari sisi returnee yang dramatis membuat kita lupa bahwa ada ancaman lebih berbahaya dari kaum rentan trauma ini.
Maka dari itu, perlu adanya proses penilaian yang dilakukan oleh negara di mana deportee dan returnee berada. Terdapat empat kriteria prioritas untuk menilai siapa saja orang-orang yang pantas dipulangkan, yaitu tingkat bahaya, trauma, tekanan kejiwaan, serta radikalisme.
Jikalau seseorang yang memiliki tingkat bahaya dan radikalisme yang rendah serta tingkat trauma dan kejiwaan yang tinggi, maka orang itu akan menjadi prioritas awal untuk dikembalikan ke tanah air dan ditempatkan ke panti-panti yang telah disiapkan untuk menunjang program deradikalisasi. Selain itu, pemulangannya pun dilakukan secara bertahap.
“Ideologi adalah suatu kepercayaan yang dianut manusia dan memengaruhi bagaimana ia mengambil keputusan. Kita tidak memiliki hak untuk menghilangkan kepercayaan seseorang dan juga mustahil bagi seseorang untuk menghilangkannya,” ujar Faisal.
Pada dasarnya, tujuan program yang dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bekerja sama dengan Kemensos dan beberapa organisasi nirlaba lainnya, seperti SEARCH adalah untuk mengajak orang-orang agar meninggalkan kekerasan, berkolaborasi dengan masyarakat lainnya, dan menerima perbedaan yang bersifat integrasi individual, bukannya memaksa seseorang untuk mengganti ideologinya.
Proses Deradikalisasi
Pada program deradikalisasi yang dikerjakan Faisal, ia menggunakan metode disonansi kognitif untuk mengubah nilai-nilai yang lama yang ia pegang. Disonansi kognitif adalah sebuah studi psikologi di mana seseorang akan mengalami stres saat ia memegang dua atau lebih nilai yang bertolak-belakang. Adanya inkonsistensi ini mendorong manusia untuk menyelesaikan dan mengubahnya menjadi konsisten kembali.
Untuk menjelaskan bagaimana metode ini bekerja, Faisal selanjutnya memberikan sebuah analogi akan seseorang yang hanya menyukai kopi sepanjang hidupnya. Orang ini, ketika ditawari minuman lain, ia selalu menolaknya. Kemudian, pada suatu ketika, seorang teman membawakan teh berbentuk kopi sehingga ia pun bersedia meminumnya. Selama temannya tidak memberi tahu identitas asli minuman itu, ia tetap menikmatinya. Selesainya, sang kawan memberi tahu bahwa yang diminumnya bukanlah kopi melainkan teh. Ia tidak marah, tetapi ia merasa malu karena harus mengakui bahwa tidak hanya kopi yang enak.
“Pemberian teh yang dibalut identitas kopi adalah analogi untuk disonansi yang diberikan kepada para peserta. Melalui disonansi tersebut, diharapkan para peserta rehabilitasi dapat menerima nilai-nilai baru dan mengubah nilai lama yang ekstrimis menjadi lebih moderat,” jelasnya.
Sejak tahun 2005, dari seluruh percobaan program deradikalisasi, metode dengan menciptakan disonansi pada manusia memberikan tingkat keberhasilan yang paling tinggi. Dari penelitian tim SEARCH, dari 100 orang narapidana eks-teroris yang telah direhabilitasi, hanya ada 5 orang yang kembali ke penjara dengan alasan yang tidak berhubungan dengan terorisme.
Pentingnya Berempati
Menurut Faisal, pemerintah tidak seharusnya melarang pemulangan, tetapi menunda. Sebab, dengan kondisi pandemi saat ini pemerintah dinilai kurang siap untuk menghadapi pemulangan 600 lebih returnee ISIS. Pemerintah seharusnya fokus dalam membenahi agen mikro, seperti panti-panti yang harus disiapkan untuk menampung dan juga masalah panjangnya birokrasi harus diselesaikan demi kelancaran proses ini.
Namun, tanggung jawab pengintegrasian tidak hanya berada di tangan pemerintah, tetapi juga ada di tangan warganya. Kerja sama masyarakat untuk menerima kembali orang-orang itu pun diperlukan. Kecenderungan masyarakat untuk mengucilkan sebagai bentuk hukum sosial dapat menghambat proses reintegrasi. Sebab, orang-orang yang dikucilkan akan cenderung berkumpul bersama lagi, hal ini membuat mereka semakin kuat dan kembali percaya pada ideologi ekstrim yang telah berusaha dihilangkan pada program reintegrasi.
“Apakah kita pernah membayangkan kalau kita adalah orang yang mengalami keadaan traumatis di Suriah dan ditolak untuk dipulangkan ke negara? Bagaimana kalau orang tersebut adalah salah satu dari keluarga kita? Apakah kita rela kalau mereka ditelantarkan? Pemikiran seperti itu belum terpikirkan secara mandiri oleh kita dalam menanggapi permasalahan ini,” jelas Faisal.
“Padahal, kunci dari menerima mereka kembali adalah dengan berempati,” tambahnya. Belum adanya pemantik yang tepat untuk meningkatkan empati kepada WNI eks ISIS juga menjadi salah satu alasan penerimaan dari masyarakat belum dapat terwujud. Faisal juga berharap pada media untuk lebih mengangkat isu Hak Asasi Manusia (HAM) para returnee untuk meningkatkan empati masyarakat
“Pada akhirnya tanggung jawab untuk reintegrasi berada di kedua pihak. Masyarakat tidak usah menentukan siapakah korban dan pelaku pada peristiwa ini, hilangkan sifat intoleransi. Marilah kita sama-sama membenahi komunikas kita,” tutupnya.
Editor: Rani Widyaningsih
Foto: unsplash.com
Referensi:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Retrieved April 28, 2020 from https://ditjenpp.kemenkumham.go.id
Conway, D. (Producer). (2020, February 6). Bisakah kamu memaafkan ayah yang jadi anggota ISIS?’- BBC News Indonesia [Video file]. Retrieved April 28, 2020, from https://www.youtube.com/watch?v=GbjMdAFZhJk&t=20s
Hakim, R. N. (2020, February 11). Pemerintah Tak Akan Pulangkan WNI Eks ISIS ke Indonesia (I. Rastika, Ed.). KOMPAS. Retrieved April 28, 2020, from https://nasional.kompas.com/read/2020/02/11/17255511/pemerintah-tak-akan-pulangkan-wni-eks-isis-ke-indonesia
Indo, C. (2020, February 3). BNPT Akan Pulangkan 600 WNI Eks ISIS, Polri Terjun Verifikasi. CNN Indonesia. Retrieved April 28, 2020, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200203213512-20-471329/bnpt-akan-pulangkan-600-wni-eks-isis-polri-terjun-verifikasi
Embu, W. S. (2020, February 5). Bakar Paspor, WNI Gabung ISIS Dianggap Bukan Orang Indonesia Lagi. Merdeka. Retrieved April 28, 2020, from https://www.merdeka.com/peristiwa/bakar-paspor-wni-gabung-isis-dianggap-bukan-orang-indonesia-lagi.html
Azis, A. P. (2020, February 12). Dapatkah Menolak Eks Anggota ISIS Pulang ke Indonesia? [Review]. Hukum Online. Retrieved April 28, 2020, from https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5e3d017b5916a/dapatkah-menolak-eks-anggota-isis-pulang-ke-indonesia
Discussion about this post