Perilaku group loyalty terlihat jelas dalam aktivitas politik. Pendukung tokoh-tokoh politik mempercayai nilai “kelompok” anutannya sebagai yang paling ideal dan sebaiknya orang-orang ikut mendukung tokoh tersebut, yang dimana semakin banyak pendukung, maka dianggap sebagai kesuksesan kolektif dalam memajukan kelompok mereka. Atas dasar pemahaman inilah, tak jarang orangtua dengan sikap keberpihakan (partisan) yang kuat mulai mengenalkan pandangan politik pada anak dengan menyematkan konsep sederhana “baik” dan “jahat” pada tokoh-tokoh, dan terus mengekspos anak pada lingkungan politik. Dengan begitu, diharapkan anak akan mengikuti pandangan orangtua, bergabung pada “kelompok” dan turut mensukseskan agenda politik kelompok.
Tetapi, apakah memberdayakan pendidikan politik sejak dini pada anak memang akan mengokohkan fondasi preferensi politik anak mengikuti orang tuanya? Dan apakah melepas anak ke lingkungan yang heterogen dapat mempengaruhi orientasi politiknya?
Preferensi Politik Dapat Berubah
Satu hal yang pasti: preferensi politik tidak diturunkan dari orangtua kepada anak. Belum ada bukti kuat dimana genetik bermain dalam ideologi dan pola pikir politik seseorang. Peran genetik dalam politik baru terbukti lewat perilaku partisan yang dimiliki pemegang paham politik. Namun, melalui penelitian yang dilakukan oleh Elias Dinas pada tahun 2013, anak yang besar di keluarga dengan pandangan politik yang kuat justru cenderung untuk menyimpang dari afiliasi politik orang tuanya ketika menginjak usia dewasa.
Dalam masa pertumbuhan, terjadi dua hal pada anak yang senantiasa ditanamkan nilai politik olehorangtuanya; sifat partisan muncul namun tanpa dasar yang kuat, dan anak menjadi lebih familiar dengan pesan politik yang disampaikan orang tuanya sehingga memicu ketertarikan pada bidang politik.
Ketika seorang anak menginjak umur dewasa dan bersosialisasi dengan masyarakat luas, informasi dan perspektif baru bermunculan. Anak yang sudah terbiasa dengan percakapan politik cenderung lebih peka terhadap perspektif politik yang ada di masyarakat dibandingkan anak yang tidak familiar dengan lingkungan politik. Dari sinilah, anak bisa memilih preferensi politiknya sendiri karena tidak ada barrier atau sekat informasi, sehingga anak cenderung untuk menggeser keberpihakan politiknya dari apa yang dianut oleh orang tuanya.
Dinas menyebutkan bahwa ketika anak tumbuh besar, kejadian politik dan nilai politik baru memberikan stimulus pada mereka. Saat itu, orangtua bukan lagi berperan sebagai agen sosialisasi dominan, sehingga penanaman nilai politik oleh orangtua berkurang. Tanpa adanya pihak yang menanamkan nilai politik sesuai keberpihakannya, anak menjadi terdorong untuk membentuk pilihannya sendiri dan meninggalkan afiliasi politik orangtuanya.
Seseorang yang sudah terbiasa dengan topik politik sejak kecil akan memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan terkait bidang politik dibanding yang baru dikenalkan politik di usia dewasa. Sebaliknya, anak yang dibesarkan di lingkungan yang tak sarat dengan percakapan politik menjadi tidak terlalu peka dengan diskusi politik dan cenderung tidak akan mengubah keberpihakannya di usia dewasa (Kroh & Selb, 2009). Artinya, mereka memiliki sifat partisan yang stabil.
Dinas menjelaskan bahwa sifat partisan yang stabil tersebut dapat dijelaskan lewat partisipasi mereka pada pemilihan umum (pemilu). Pada individu yang kurang tertarik dengan politik, pilihan kandidat pertama mereka saat pertama kali ikut pemilu berada di bawah pengaruh orangtuanya. Setelah dewasa, sifat partisannya tidak berubah karena ketidak-pekaannya terhadap kegiatan politik.
Peer Group dan Orientasi Politik
Selain dipengaruhi oleh orangtua, anak yang beranjak dewasa akan dipengaruhi juga oleh peer group mereka dalam orientasi politiknya. Peer group dapat berfungsi sebagai kanal informasi yang membuat seseorang lebih peka dengan suasana politik di luar yang dikenalkan orangtuanya.
Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Camila Campos (2017) menjelaskan bahwa peer group tidak mampu serta merta mengubah pandangan politik seseorang. Hal ini dikarenakan seorang anak telah terekspos dengan pemahaman politik berbeda setiap hari. Perbedaan pandangan politik yang membentuk heterogenitas di sebuah lingkungan dapat memicu individu untuk mencari tahu informasi sendiri dan turut serta dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindari diri mereka dari golpput.
Melalui penelitian yang sama pula, ditemukan bahwa peer group tidak terbentuk karena anggota kelompok yang memiliki kesamaan bertemu dan membentuk ikatan, melainkan sifat konformitas yang ada muncul dari dinamika yang terbentuk dari perbedaan antar individu dalam kelompok. Memiliki persamaan belum tentu menjadikan orang dekat. Justru, menerima perbedaan lah yang membentuk ikatan antara satu sama lain.
Terlepas dari usaha orang-orang untuk menarik pendukung bagi tokoh politik favorit mereka, tidak ada yang bisa pasti mengontrol pilihan politik seseorang, bahkan dengan paksaan. Faktor terbesar dari penentu preferensi politik dan pemimpin yang diinginkan adalah diri mereka sendiri (Franklin, 1984). Pengaruh eksternal dari orang tua dan peer group berfungsi semata sebagai bumbu pelengkap seseorang dalam perjalanan orientasi politiknya.
Maka dari itu, agak disayangkan jika orangtua tetap memaksakan pilihan politik mereka pada anaknya, yang nampaknya adalah fenomena umum di Indonesia, terlebih ketika musim pilkada menjelang. Selain tidak etis, tujuan jangka panjang agar sang anak sepemikiran dengan orangtua juga tidak akan tercapai.
Editor: Rani Widyaningsih
Foto: Chris Boese, Unsplash
Discussion about this post