Tidak!” Jawab Ipah sambil membelakangi Hasim.
“Mengapa demikian, Ipah?” Hasim menahan tangis.
“Kau tidak akan siap dengan alasannya. Tidak akan pernah siap.”
“Aku pasti siap atas segala alasan! Yang penting ada penjelasan keluar dari bibir mungilmu itu! Atau jangan-jangan… kau menolakku karena perbedaan di antara kita?” Tanya Hasim, kali terakhir dengan isak tangis dan banjir lelehan ingus.
***
Semua orang tahu tentangnya. Ia pahlawan kampung, bukan dalam artian ia pernah ikut berperang melawan belanda dan membebaskan kampung itu dari penjajahan, tapi dalam artian lain, yang jauh lebih heroik. Penahbisan atas gelar pahlawannya datang pada suatu sore, di tengah lapangan bola, dalam gelaran turnamen sepakbola antar kampung se-Kecamatan Kalong Ireng.
Saat itu waktu normal pertandingan sudah hampir habis, dan tepat pada detik ke-20 sebelum pertandingan berakhir, Davit menyilangkan sebuah umpan ciamik tepat ke tengah kotak enam belas. Dua detik kemudian, sejarah tercipta. Peluit sangat panjang ditiupkan. Lengkingan akhir itu menjadi tanda dimulainya parade besar-besaran kampung Turen, yang untuk kali pertama dalam dua puluh tahun, menjadi kampiun turnamen tersebut.
Semua kegembiraan warga sekampung membuncah karena gol semata wayang, gol bunuh dirinya, sang pahlawan kampung Turen, ialah Hasim Mastur, anak kampung sebelah.
Ada hal lain yang membuatnya begitu terkenal. Fakta bahwa kecamatan Kalong Ireng hanya memiliki satu buah gereja dan satu orang pendeta, membuat semua orang tahu siapa pendeta tersebut. Ia adalah Aiman, ayah Hasim.
Sejak kecil, Hasim sudah biasa duduk dan menunggui ayahnya di pekarangan gereja, menyapai semua jemaat yang ibadah pada hari minggu, atau pada kebaktian-kebaktian di hari lainnya. Itulah yang membuatnya dikenal oleh seluruh umat kristen se-kecamatan. Lalu bagaimana umat non-kristiani bisa tahu tentang Hasim? Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi masyarakat selain menggunjingkan ironi kehidupan seseorang.
Adalah sebuah ironi bahwa meski berayahkan seorang pendeta, seorang kristen yang taat, Hasim adalah seorang ateis. Bahkan lebih dari sekedar tidak percaya Tuhan, ia membenci Tuhan. Ya, ironi tersebutlah yang ramai jadi buah bibir masyarakat.
“Aiman gagal mendidik anaknya.”
“Aiman mengajarkan kristenitas kepada orang lain, tapi tidak kepada anaknya sendiri.”
“Kita pantas menertawakan Aiman. Si pendeta gagal.” Bla.. Bla.. Bla.. dan lain sebagainya.
Bukan tanpa sebab, seorang anak pendeta berkhianat menjadi seorang pembenci Tuhan. Hasim kecil selalu diajarkan untuk berdoa sejak lahirnya, selalu diajarkan untuk meminta apapun kepada Tuhan, bahkan sang ayah sering mengutip ayat Alkitab dari Matius 7:7 yang berbunyi demikian: “Mintalah, dan kamu akan menerimanya; carilah, dan kamu akan mendapatnya; ketuklah pintu, dan pintu akan dibuka untukmu.”
Hasim kecil selalu berdoa dan berdoa untuk permintaan apapun, sampai-sampai jika ia ingin pipis, ia akan berdoa terlebih dahulu agar pipisnya dilancarkan. Sampai suatu hari Tuhan tidak mengabulkan sebuah permohonan yang krusial menurut Hasim. Kisah ini terjadi ketika ia duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar.
Selepas sebuah pertemuan orang tua, teman-teman sekolah Hasim (dan ia juga berada disana tentunya) yang saat itu sedang menunggu di depan kelas akhirnya melihat bagaimana perawakan ibu Hasim.
Mukanya sangat jelek, mungkin terlampau jelek untuk bisa disebut sebagai ibu dari Hasim, yang mukanya tidak jelek-jelek amat. Dan setiap hari teman-teman Hasim selalu meledek wajah jelek ibunya. Ibu Hasim buruk rupa, anak si buruk rupa, pantas mukamu jelek, dan semacamnya adalah ledekan yang didengar Hasim setiap hari.
Pada awalnya ia acuh tak acuh terhadap ledekan tersebut, hingga ketika Ipah, gadis cantik yang dicintai mulai meledeknya. “Semoga kita tidak berjodoh, aku tidak sudi kawin dengan seseorang yang membawa genetik orang jelek. Nanti anakku jadi jelek,” kata Ipah di lorong kelas sepulang sekolah.
Mendengar kalimat tersebut dari orang yang dicinta lantas membuat tangisnya pecah. Ia berlari sekencang-kencangnya ke arah gereja. Lantas berlutut di depan altar, ia berdoa begitu khusyuk:
“Ya Tuhan, jika engkau memang sayang padaku, ubahlah wajah ibuku menjadi cantik. Jika engkau keberatan, paling tidak ubahlah supaya mukanya tidak jelek,” pintanya dalam hati.
Entah karena Tuhan tidak sayang padanya atau barangkali doanya terlalu aneh atau mungkin posturnya saat berdoa kurang tegak, wajah ibu Hasim kemudian memang tidak pernah berubah. Maka, ledekan terhadap wajah ibunya berlanjut terus sampai hari kelulusan SD.
Anak SD yang sakit hati menahan beban selama tiga tahun itu akhirnya memutuskan untuk menganggap bahwa Tuhan dan kroni-kroninya, termasuk segala sesembahan dan doa-doa cuma omong kosong belaka.
“Persetan dengan omong kosong berkedok agama tersebut. Tuhan? Pfft, kalau memang dia maha segalanya sudahlah pasti wajah ibuku berubah jadi mirip Jennifer Aniston, atau paling tidak mirip Sarah Azhari,” pungkasnya.
***
Singkat cerita, setelah bertahun-tahun hanya meledek Hasim, akhirnya Ipah mulai berlaku baik kepadanya. Titik balik hubungan mereka terjadi tidak lama seusai parade perayaan juara kompetisi sepakbola sekecamatan.
Sebagaimana warga kampung lainnya, Ipah merasa begitu bersyukur atas gol bunuh diri Hasim, “Terima kasih ya, berkatmu kami jadi bisa berparade seperti ini,” kata Ipah di sebuah persimpangan jalan yang dilalui oleh arak-arakan. Meski tidak seharusnya merasa senang, hati mana yang tidak gembira mendengar pujian dari orang yang dicinta?
Satu kalimat tadi dinilai cukup untuk menjadi lampu hijau bagi Hasim. Akhirnya beberapa pendekatan untuk menaklukkan hati Ipah dimulai.
Saat ini mereka duduk di bangku kelas 2 SMA, kebetulan mereka sekelas.
Ipah sendiri adalah anak seorang ustad paling terkenal sekecamatan Kalong Ireng, (bahkan mungkin juga satu-satunya ustad disana?). Hal itu membuatnya selalu menjaga nama baik dan martabat ayahnya.
Berlanjut dengan drama sepulang sekolah, setiap hari Hasim selalu menemani Ipah jalan kaki pulang ke rumah. Dan di sela-sela adegan jalan kaki tersebut (atau mungkin Hasim terlalu meromantisasi bagian ini) ia selalu menyelipkan adegan romantis dengan harapan hati si wanita bisa luluh. Mulai dari membelikannya Es Puter, melindunginya dari preman-preman jahat, sampai adegan petik bunga, semua pernah dilakukan Hasim.
Hal yang belum dilakukan kini tinggal berpegangan tangan dan berciuman. Yang mana keduanya takut dilakukan Hasim karena ia begitu kecut untuk menanyakan kesediaan dari pihak lain alias consent. Jika tidak, tindakannya akan masuk klasifikasi pelecehan seksual. Mana ada orang yang mau melecehkan seseorang yang dicintainya?
Kepercayaan diri seorang Hasim membludak setelah tiga bulan lamanya melakukan sandiwara cinta-cintaan dengan Ipah. Pada suatu hari di bulan ke-4, perempuan itu akhirnya mau diajak bertamu kerumahnya. Rumah cukup besar yang dibeli dari uang pemberian para jemaat.
Karena sang ayah kebetulan tidak ada kebaktian hari itu, ialah yang menyambut sepasang teman sejawat itu (masih teman, karena belum ada yang menyatakan perasaan.)
Setelah memersilahkan Ipah untuk duduk di ruang tamu, Hasim segera pergi ke kamarnya dengan maksud mengganti pakaian. “Ah, rebahan sebentar tidak apa-apa lah. Satu menit sepertinya cukup,” Pikirnya.
Sementara itu di ruang tamu, sebuah perbincangan terjadi:
“Pak Aiman, apakah ibu anda alias nenek-nya Hasim berwajah jelek?”
“Hmmm, jelek atau tidak kan penilaian subjektif, jadi kalau kau tanya pendapatku, jelas saja aku akan jawab tidak. Mana mungkin kubuat pernyataan bahwa ibuku berparas buruk, ada-ada saja kamu ini,” canda Aiman.
“Maaf pak kalau saya sedikit lancang, kenapa bapak menikahi istri bapak? Padahal kan mukanya jelek..” tanya Ipah malu-malu.
“Oh, kalau itu saya terlambat menyadarinya, dulu saya kira istri saya cantik adanya. Saya baru sadar ketika tidak sengaja mendengar doa Hasim di gereja. Akhirnya, setelah berpikir selama bertahun-tahun, tekad saya untuk menceraikannya sudah bulat. Kasihan juga Hasim punya ibu bermuka jelek seperti itu,” kekeh Aiman sembari menenggak teh yang tadi ia bawa saat menyambut dua anak muda itu.
Tidak terasa, Hasim sudah rebahan selama dua jam, luar biasa sekali daya tarik kasurnya. Ketika menyadari bahwa hari sudah malam, ia langsung berlari tunggang-langgang ke arah ruang tamu hanya untuk mendapati bahwa temannya itu sudah pulang. “Kamu sih rebahannya kelamaan, akhirnya ayah antarkan si Ipah pulang. Omong-omong, cantik juga ya temanmu itu.”
***
Hari ini adalah hari dimana Hasim akan menyatakan cintanya. Dua bulan sejak Ipah bertamu ke rumah sudahlah dianggap cukup baginya. Lagipula saat ini dia sudah benar-benar dimabuk cinta, rasa-rasanya hanya ada Ipah di dunia ini.
Banyak sekali hal yang sudah dilalui Hasim dan Ipah selayak sepasang kekasih selama dua bulan kebelakang, berdua-duaan di ruang kelas, di angkot, di lapangan bendera, di atas becak, bahkan sepertinya kalau Hasim punya roket, mereka akan berdua-duaan di atas bulan. Sampai-sampai pria itu tidak sadar bahwa orangtuanya sudah resmi bercerai.
“Maafkan aku Hasim, tapi kenyataannya sekarang, aku sudah punya kekasih,” ungkap Ipah membelakangi Hasim.
“Brengsek, kalau kau sudah punya kekasih, kenapa kau masih mau berdua-duaan denganku!” Kali ini Hasim merasa jantungnya mau pecah karena ledakan emosi.
“Perlu kau ketahui Hasim, aku sayang padamu sebagaimana seorang ibu menyayangi anaknya. Dan aku ingin mengenal calon anakku lebih dekat,” ungkapnya lembut. Ipah pun langsung memeluk Hasim, yang seketika langsung menjadi patung hidup.
“Maksudmu… Apa maksudmu…?”
“Kekasihku tidak lain dan tidak bukan adalah ayahmu. Dan sebentar lagi kami akan menikah,” tutup Ipah.
Editor: Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Haikal
Discussion about this post