“I ain’t proud of all of it, but I’d do it all again, ‘Cause it’s all been hella fun”
Kurang lebih begitulah definisi Guilty Pleasure menurut rapper asal Amerika Serikat, Bryce Ross-Johnson atau yang beken dengan nama ‘Bryce Vine’. Ia bahkan sampai menggunakan kata Guilty Pleasure untuk menamai lagunya yang rilis di tahun 2014 tersebut.
Lalu, apa sebenarnya Guilty Pleasure tersebut?
Untuk memahami terminologi guilty pleasure, kita harus memahami arti dari dua kata pembentuknya, yaitu ‘guilty’ dan ‘pleasure’. Menurut Dr. phil. Edo Sebastian Jaya, M.Psi, ahli psikologi klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, guilt merupakan respons tidak menerima (unacceptance) manusia terhadap sesuatu yang telah terjadi. Guilt secara psikologis tergolong dalam ranah besar kesedihan (sadness). Sedangkan pleasure merupakan respon kesenangan atau kebahagiaan orang terhadap sesuatu.
Seseorang dapat merasakan guilt saat merasa melanggar suatu aturan. “Jika kita percaya bahwa makan coklat itu jelek, terus kita tetap makan, kita (merasakan) guilt. Kalau kita percaya bahwa belanja pakai kartu kredit berlebihan itu buruk, tetapi kita tetap lakukan kita (merasakan) guilt,” jelas Edo. Perasaan guilt dan pleasure muncul saat sesuatu yang dipercayai buruk membawa kesenangan.
Meskipun begitu, guilty pleasure tidak sama bagi setiap orang. Hal itu bergantung pada kepercayaan masing-masing orang terhadap aturan yang ia buat sendiri. Contohnya, seorang yang sedang diet mungkin akan merasa bahwa makan coklat adalah guilty pleasure-nya karena ia menganggap bahwa coklat dapat menggagalkan upaya dietnya, sehingga harus dihindari. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi pendiet yang justru menganggap coklat sebagai mood therapy, ketimbang sebagai pantangan yang harus dihindari.
Jika kita simpulkan secara psikologis, guilty pleasure merupakan suatu perilaku yang kebetulan menimbulkan emosi guilt dan juga emosi pleasure secara bersamaan.
Guilty pleasure, rantai yang membelenggu
Banyak hal di dunia ini yang berhubungan dengan guilty pleasure. Bahkan, bisa jadi tanpa disadari hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di keseharian kita. Mulai dari kebiasaan berbelanja, makan cokelat ketika diet, rebahan di kala work from home, kecanduan bermain game, kebiasaan selingkuh, hingga tindakan tak dibenarkan secara norma seperti voyeurism—tindakan tidak senonoh di depan publik—termasuk dalam guilty pleasure ini.
Mas Edo melanjutkan, seseorang dapat merasakan peningkatan pleasure pasca mengalami guilt, akibat adanya bias reseptor sinyal pada diri manusia. Analoginya seperti ini: ketika kita berada di luar ruangan yang suhunya sangat panas, kemudian masuk ke ruangan ber-AC, kita merasa seolah-olah dingin sekali. Padahal sebenarnya ruangan ber-AC tersebut suhunya tidak jauh berbeda dengan suhu kamar pada umumnya. Namun, karena adanya lonjakan suhu yang cukup jauh dari luar ruangan ke ruang ber-AC tersebut kita jadi merasa bahwa ruangan ber-AC tersebut luar biasa dingin.
Demikian halnya dengan fenomena guilty pleasure, kita akan merasa kepuasaan kita semakin meningkat setelah merasakan rasa bersalah karena adanya lonjakan yang cukup besar pada emosi kita. Sehingga seakan-akan, semakin kita merasa bersalah, hal tersebut akan menjadi semakin terasa menyenangkan bagi kita.
Sebuah penelitian menggunakan permainan kata dilakukan untuk mencari kebenaran apakah rasa bersalah akan meningkatkan kepuasaan seseorang. Tahap pertama, orang-orang yang diteliti dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama diperintahkan untuk mengatur kalimat yang di dalamnya terdapat kata-kata berkonotasi negatif seperti “Sin”, “Guilt”, atau “Remorse”. Sementara, kelompok kedua mengatur kalimat dengan kata-kata yang lebih netral. Pada tahap berikutnya, mereka harus melengkapi kata rumpang seperti “E N _ _ _” atau “P L _ _ _ _ _ _”.
Mereka yang sebelumnya mengatur kalimat berisi kata-kata berkonotasi negatif cenderung mengisi kata rumpang tersebut dengan kata-kata yang menggambarkan keinginannya seperti “Enjoy” atau “Pleasure” daripada mengisinya dengan kata netral seperti “Enter” atau “Pleading”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bukannya menjauhkan seseorang dari guilty pleasure, perasaan bersalah justru meningkatkan keinginan untuk melakukannya.
Dampak dari guilty pleasure
Ayunda Zikrina, advisor di Pijarpsikologi.org, mengatakan bahwa dampak positif dan negatif dari guilty pleasure tidak dapat terjadi secara bersamaan dan bergantung pada fokus seseorang. Ketika seseorang fokus pada rasa bersalah, dia akhirnya akan melakukan hal-hal yang bisa menutupi rasa bersalah tersebut, yaitu dengan berusaha mendapat kepuasaan dari aktivitas guilty pleasure yang akhirnya malah memunculkan kembali rasa bersalahnya dan membuat siklus berulang dari guilt dan pleasure.
Dampaknya, dia semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Sementara, orang yang fokus pada kepuasaan, akan memiliki kesadaran bahwa dia melakukan sesuatu untuk mendapat kesenangan sehingga ia akan semakin bisa mengontrol dirinya dan mencukupkan diri saat kesenangan yang didapat sudah memenuhi standar tertentu.
Contohnya pada kasus mood therapy. Jika seseorang belanja untuk merasa lebih baik, dia akan mendapat sisi positifnya berupa kesenangan karena dapat memikirkan dengan matang apa yang perlu dibelanjakan untuk membuat dirinya merasa lebih baik, seperti membeli baju dengan model yang disukai. Tetapi, jika dia fokus ke perasaan bersalah, ia akan bertindak sembarangan dan bersikap “bodo amat” sehingga justru berbelanja terlalu banyak dan akhirnya rasa bersalahnya timbul lagi.
“Dia nyari rasa happy-nya, tapi ga fokus nyari, akhirnya dia lebih banyak nyeselnya karena tadi ga sadar, (ketidaksadarannya itu dalam hal) mengambil barang seenaknya abis itu yauda nyesel kemahalan dan uangnya jadi habis. Impulsive-nya mungkin sudah take over jadi ya begitu,” jelas Ayunda.
Lepas dari kekangan guilty pleasure
Oleh karena itu, hal pertama untuk mengatasi lingkaran setan guilty pleasure, kita perlu mengubah fokus kepada kepuasaan sehingga menghilangkan rasa bersalah—dengan asumsi bahwa perilakunya memang tidak salah (secara umum) dan wajar. Kita juga perlu menyadarkan diri sebenarnya apa tujuan kita melakukan sesuatu dan apakah kita ingin melakukan hal secara berulang atau tidak. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah kita harus mencari dasar perilaku kita – akar masalah – sebab sering kali guilty pleasure merupakan wujud pelarian diri. Kita perlu mengetahui sumber masalahnya, apa yang membuat kita tidak senang atau merasa kurang, itu lah yang perlu diperbaiki. Jika hal tersebut sudah teratasi atau terpenuhi, seseorang tidak akan melakukan aktivitas guilty pleasure lagi karena merasa sudah cukup dan lebih bahagia.
Alih-alih merasa bersalah, ada baiknya seseorang merasa menyesal. “Menyesal itu berarti kita tahu kita tidak akan melakukan sesuatu lagi. Sudah sampai titik di mana ‘okay, this is the last. I’m not going to do that again.’ (Hal tersebut) berbeda dengan rasa bersalah di mana kita masih berpikir untuk mengulang perbuatan kita walaupun kita tahu hal tersebut salah.
‘Tapi enak lho kayak gini, besok lagi lah’. Sebab ketika kita ngerasa bersalah kita akan terus cari sesuatu untuk menutupi rasa bersalahnya,” jelas Ayunda. Menyesal berarti seseorang sepenuhnya sadar dengan akar masalah yang dihadapi. Guilty pleasure sendiri sebenarnya tidak selalu menjadi sebuah adiksi apabila seseorang mempunyai banyak sumber kepuasaan sehingga memiliki coping mechanism yang bervariatif. Contohnya adalah saat kita merasa bersalah sudah bermain game sampai tidak bekerja, kita menutupi rasa bersalah tersebut dengan kepuasaan dari aktivitas lain, seperti mandi air hangat atau berolahraga sejenak lalu kembali bekerja saat mood kita sudah baik.
Untuk membuat hidup lebih teratur, tidak kecanduan dan tidak terkendali secara berlebihan, diperlukan self-control dalam porsi yang tepat dengan cara menjadi mindful. “Mindfulness itu kunci segala kunci,” tutur Ayunda. Mindful berarti kita sadar dan fokus apa yang kita lakukan saat ini. “Kalau misalnya kita makan cokelat, makan itu dinikmati. Oh cokelat itu rasanya gimana, oh bentuknya gimana, oh warnanya ini, bentuknya ini, rasanya seperti ini ya,” ujar Ayunda.
Ketika mindful, maka kita akan lebih dapat merasakan sisi kenikmatannya dan memaknai pleasure yang kita dapat. Sebaliknya, jika tidak mindful maka kita tidak menikmati dan akhirnya merasa bersalah, lalu melarikan diri dengan melakukan hal yang sama atas dasar kepuasaan yang didapat. Menjadi mindful dapat mencegah kecanduan dan kendali berlebih serta menjaga diri kita sehingga melakukan sesuatu pada porsi yang tepat. “Ga akan jadi lingkaran setan kalau kita bisa mindful sama apa yang kita lakukan,” pungkas Ayuda mengakhiri wawancara.
Editor: Haikal Qinthara, Philipus Susanto, Rani Widyaningsih
Foto: Eric McClean, Unplash
Discussion about this post