Kapitalisme dan perkembangan artistik sebagaimana hubungan dua kekasih di mana seorang hanya mengatakan hal yang kau kira ingin kau dengar, tidak ada alasan untuk membantah atau marah padanya sebab pasanganmu selalu sejalan dengan segala kemauanmu, harusnya kau bahagia namun tetap saja merasa hampa.
note*) Penulis kerap merepresentasikan pihak perantara seperti galeri, penerbitan, maupun label musik sebagai art dealer untuk kepentingan simplifikasi penulisan.
Karya seni adalah manifestasi ekspresi, ide atau perasaan dari pembuatnya dengan tujuan keindahan1ABELL, C. (2012). Art: What it Is and Why it Matters. Philosophy and Phenomenological Research, 85(3), 671-691.2https://plato.stanford.edu/entries/art-definition/3Oxford English Dictionary. Tanpa definisi yang absolut, hampir semua hal dapat disebut seni dan tidak ada yang bisa membantahnya karena seni dapat dikaitkan dengan banyak hal, mulai dari produk, teknik, ekspresi ataupun pengaplikasian pemikiran, isi hati dan kreativitas manusia yang telah lama menemani kehidupan4Carney, J. (1982). What Is a Work of Art? Journal of Aesthetic Education, 16(3), 85-92.5https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/art6Oxford English Dictionary. Beberapa penemuan bersejarah sendiri merupakan penemuan seni, mulai dari masa Paleolitikum, sekitar 40.000 tahun yang lalu menggunakan cangkang kerang, batu dan cat oleh Homo Sapiens dengan pesan simbolik. 7https://www.nytimes.com/2018/09/12/science/oldest-drawing-ever-found.html Perkembangan karya seni, khususnya seni murni, kerap menunjukkan perkembangan peradaban manusia karena jati diri dari seni sendiri.

Jati Diri Seni
Meskipun terdapat banyak klasifikasi dari seni itu sendiri, namun seni murni, seperti namanya, memegang nilai kemurnian tertinggi8CLOWNEY, DAVID (2011). “Definitions of Art and Fine Art’s Historical Origins”. The Journal of Aesthetics and Art Criticism. 69 (3): 309–320.. Seni murni atau fine art dalam bahasa Inggris menggunakan kata ‘Fine’ tidak untuk menentukan seni yang baik atau tidak, melainkan terfokus pada seni yang murni atau tidak. Berbeda dengan jenis seni lainnya, (Contoh: seni terapan yang dituntut untuk mempertimbangkan aspek penggunaan produk tersebut), idealisme seni murni sepenuhnya diciptakan untuk berekspresi dan memberi kesan kepada konsumen. Identitas seni murni tidak hanya ditentukan dari bentuknya, melainkan juga konsep suatu karya tercipta9Guyer, P. (1994). Kant’s Conception of Fine Art. The Journal of Aesthetics and Art Criticism, 52(3), 275-285. doi:10.2307/431427. Lukisan, ukiran, pertunjukan, puisi, musik, bahkan arsitektur adalah seni murni saat mereka diciptakan sebagai seni murni.
“Fine art is what you can get away with.”

Andy Warhol, seorang seniman Amerika dengan berbagai karya fenomenal seperti Shot Marilyns, mendefinisikan seni murni sebagai seni bebas tanpa batas, di mana seniman dapat menuangkan idenya tanpa tuntutan eksternal yang harus dipertimbangkan. Meskipun begitu, pembuatan suatu karya seni kerap dipengaruhi hal-hal eksternal secara langsung maupun tidak. Mulai dari lukisan purba di dinding gua prasejarah, karya era klasik yang agamis, hingga karya seni renaissance pada masa enlightenment, perjalanan seni murni dipengaruhi oleh situasi dunia pada masanya. Pernyataan ini sesuai dengan definisi seni oleh Plato di mana seni merupakan imitasi dari alam dan kenyataan10https://plato.stanford.edu/entries/art-definition/. Sebagai imitasi alam dan realita, terdapat proses pengolahan pengalaman menjadi karya seni yang sepenuhnya dilakukan oleh seniman, atau disebut juga personalisasi. Walaupun seniman perlu berpegang pada fakta ketentuan sesuai realita, namun seniman tetap memiliki kebebasan untuk mengolah imitasi tersebut sesuai preferensinya. Fakta bukan menjadi batasan absolut, namun justru menjadi alat seniman dalam berekspresi sesuai preferensi seniman yang diskriminatif11Taine, H., & Durand, J. (1874). The ideal in art. New York: Holt..
Saat Van Gogh melukiskan Starry Night, ia meletakkan langit berbintang versinya pada lukisan fenomenal tersebut. Meskipun komentar orang lain akan rupa langit yang sesungguhnya berbeda, tujuan utama Van Gogh dalam lukisannya bukan untuk mengimitasi langit sesempurna mungkin, melainkan menjadikan langit tersebut sebagai media ekspresi. Personalisasi ini yang membentuk suatu ciri khas dari tiap-tiap seniman.

Rumah Tangga Komersialisasi dan Seni
Keunikan dan keindahan dari seni tersebut menarik perhatian masyarakat dan menciptakan permintaan untuk karya seni, baik produk maupun jasa seni. Permintaan yang kuat menciptakan komersialisasi yang cukup intim dengan dunia seni. Seniman melakukan komersialisasi seni murni melalui beberapa metode, mulai dari penjualan produknya secara langsung oleh seniman, penerimaan komisi dari konsumennya atau dari patronage.
Dalam sejarah seni, patronage merupakan salah satu hal dominan untuk seniman dalam berkarir di mana mereka bekerja langsung di bawah perlindungan para orang berkuasa seperti bangsawan, kerajaan, maupun gereja. Istilah “patronage” menjadi umum digunakan pada abad ke 16 di Eropa, namun praktiknya sendiri sudah terjadi sebelum masa tersebut di berbagai negara lainnya seperti China12Flora, H. (2012). PATRONAGE. Studies in Iconography, 33, 207-218.13Anderson, J. (1996). Rewriting the history of art patronage. Renaissance Studies, 10(2), 129-138.. Mereka menjadi pelukis, penyair ataupun pemusik kerajaan dan mendapatkan uang, (dalam beberapa kasus) tempat tinggal, perlindungan dan juga pendidikan dari pihak yang membiayai mereka. Selain itu, seniman mendapatkan uang dari pesanan komisi konsumennya, mereka membuatkan apa yang diinginkan oleh kliennya. Pada konsep ini, nilai jual seniman terletak pada keterampilan dan kemampuan teknis dalam menciptakan karya seni. Dalam kata lain, mereka menjual jasanya. Para seniman tidak dapat lepas dari sistem tersebut karena sarana yang tersedia untuk menunjukkan karyanya pada jangkauan luas di masa itu sangat terbatas. Mereka tidak dapat menjual karyanya kepada tetangga mereka, yang untuk makan saja sulit, sehingga mereka butuh dilihat dan diminati oleh kalangan atas untuk meneruskan karirnya.

Kepemilikan karya seni tersebut kemudian menjadi indikator ‘kelas’ atau status di masyarakat, menjadikan karya seni produk mewah dan dihargai oleh masyarakat luas14DiMaggio, P. (1987). Classification in Art. American Sociological Review, 52(4), 440-455.. Melihat permintaan di masyarakat, terciptalah sebuah pasar seni terbuka. Salah satu pasar seni pertama yang berhasil mengubah sistem perdagangan seni di dunia terjadi di Antwerp, Belanda.
Penelitian Sejarah Peradaban Eropa mendapati proses komersialisasi seni mengalami ekspansi besar-besaran di Antwerp pada abad ke-16 oleh kemunculan pasar seni. Antwerp berhasil mengekspor lukisan, ukiran, buku dan berbagai produk mewah lainnya menuju daerah Baltik hingga Mediterranean Basin pada periode tersebut. Kunci kesuksesan Antwerp terletak pada tradisi artistik yang telah lama berakar di bagian selatan Belanda, juga pergantian metode pemesanan karya berdasarkan komisi menjadi produksi untuk pasar terbuka15Studies in European Urban History (1100-1800) (SEUH 2) F. Vermeylen Painting for the Market : Commercialisation of Art in Antwerp’s Golden Age,, 200316Vermeylen, F. (1999). Exporting Art across the Globe: The Antwerp Art Market in the Sixteenth Century. Nederlands Kunsthistorisch Jaarboek (NKJ) / Netherlands Yearbook for History of Art, 50, 12-29.. Dengan begitu, siapa saja dapat menjual dan siapapun dapat membeli. Berkembangnya pasar seni merupakan hasil dari peningkatan permintaan akan produk mewah. Perkembangan pesat ini menyebabkan peningkatan komoditas karya seni.
Art dealer mulai masuk ke pasar dan meningkatkan profesionalisme dalam penjualan karya seni pada paruh kedua abad ke-16. Mereka menghubungkan para seniman dengan calon-calon pembeli, menyesuaikan pemberian harga pada produk agar tidak jatuh, dan mempertahankan kekuatan seniman di pasar. Mereka berhasil menjadi tempat masyarakat kelas atas berbelanja seni, sehingga menjadi sarana para seniman untuk menjajakan karyanya. Kali ini, para seniman dapat berkarya dengan bebas untuk karirnya.
Pada lukisan sendiri, komersialisasi berhasil menciptakan diversifikasi akan aliran dan genre sebagai inovasi untuk mendapatkan permintaan baru. Seniman mendapat kebebasan lebih dalam berkarya. Peran vital Antwerp pada alur perdagangan di Eropa ini memperkenalkan teknik komersial kapitalis dalam pemasaran dan pembuatan karya seni.

Komersialisasi menjadi alat apresiasi dan perkembangan seni di dunia. Hal ini tidak hanya terbatas pada karya seni rupa saja, melainkan musik dan juga literatur. Proses komersialisasi berhasil membantu perkembangan dunia seni, mulai dari aliran, jumlah, ataupun jangkauannya. Mengikuti fenomena ini, ketika jenis atau genre komoditas yang tersedia di pasar masih sedikit, maka kapitalisme akan memasuki mode ekstensif, atau tahap awal dalam kapitalisme, di mana produksi dilaksanakan dengan mengembangkan jenis-jenis baru untuk menjangkau permintaan-permintaan baru seluas mungkin. Hal ini terjadi karena sedikitnya barrier to entry ke dalam pasar terbuka sehingga semua orang dapat masuk ke dalam pasar, baik untuk menjual ataupun membeli karya17Ross, E. (1920). Commercialization–Increasing or Decreasing? International Journal of Ethics, 30(3), 284-295.18Reuten, G. (2019). The capitalist mode of production: The capitalist economy in general: The production of monetary value and the enterprises’ appropriation of surplus-value. In The unity of the capitalist economy and state: A systematic-dialectical exposition of the capitalist system (pp. 27-82). LEIDEN; BOSTON: Brill..
Perbenturan Dua Kepentingan dalam Industri
Seiring waktu, banyaknya variasi di pasar seni menyebabkan mudahnya barang untuk masuk ke pasar sehingga terbentuk segmentasi pasar untuk memudahkan pengelompokan produk dan permintaan. Meskipun sistem ini membuka kesempatan bagi seluruh seniman, namun kapitalisme tetaplah kapitalisme. Ketika memasuki periode komoditas yang variatif, industri dapat melihat pola penjualan, ‘mana yang lebih menguntungkan?’ Di tahap ini, pasar akan masuk ke mode intensif, di mana pasar tidak kuat menanggung seluruh variasi yang ditawarkan oleh seniman19Ross, E. (1920). Commercialization–Increasing or Decreasing? International Journal of Ethics, 30(3), 284-295.20Reuten, G. (2019). The capitalist mode of production: The capitalist economy in general: The production of monetary value and the enterprises’ appropriation of surplus-value. In The unity of the capitalist economy and state: A systematic-dialectical exposition of the capitalist system (pp. 27-82). LEIDEN; BOSTON: Brill.. Pada akhirnya terjadi penyisihan karya yang ‘tidak menguntungkan’ bagi pihak perantara.
Koons, Damien Hirst, Yayoi Kusama dan sebagian kecil seniman lainnya sangat diuntungkan, karena produk mereka dan segmentasi pasarnya menemukan keselarasan. Begitu juga dengan pemusik terkenal ataupun penulis buku terkenal. Namun bagaimana dengan para seniman tanpa nama? Kebanyakan seniman kerap berjuang bahkan hanya untuk masuk ke pasar. Barrier to entry pasar yang tadinya rendah menjadi sangat tinggi bagi para seniman itu sendiri. Menemukan pasar atau pameran yang sesuai dengan karyanya sangat sulit, sebab karya seni pada dasarnya sangat personal dan autentik, sedangkan pasar seni cenderung fokus terhadap laba sehingga sangat selektif untuk menerima produk yang akan dijual. Oleh karena itu metode ini sering kali berlangsung kebalikannya, di mana seniman yang harus menyesuaikan karyanya dengan pasar. Fokus seniman berpindah dari apa yang ingin dibuat, menjadi apa yang akan terjual.

Fokus terhadap laba, terutama pada era kebebasan komersialisasi barang dan jasa, semakin kentara. Jeremy Rifkin, seorang ekonom Amerika, menyatakan kapitalisme mengerucutkan pasar sesuai dengan diminishing consumer base for very specialised products and services. Salah satunya terjadi pada lukisan beraliran romantisme; galeri-galeri yang menerima lukisan romantisme mulai menurun karena idealisme seni yang menyempit di masyarakat. Idealisme ini merupakan konsep di mana seorang seniman memandang dan menggunakan seninya sesuai dengan sugesti dari emosinya, namun tidak semuanya dapat masuk dalam industri seni21Borgmeyer, C. (1917). Emotion in Pictures and Idealism in Art.Fine Arts Journal, 35(11), 18-40. doi:10.2307/25587503. Karakteristik kapitalisme ini dijelaskan dalam teori Culture industry, di mana industri memanipulasi selera masyarakat terhadap seni. Yang mana yang seni? Yang mana yang seharusnya saya suka?22Horkheimer, Max; Adorno, Theodor W.; Ed. by Gunzelin Schmid Noerr. Transl. by Edmund Jephcott (2002). Dialectic of enlightenment philosophical fragments (PDF) ([Nachdr.] ed.). Stanford, Calif.: Stanford Univ. Press. p. 107. ISBN 978-0804736336..
Kultur ini menumbuhkan false psychological needs (Kebutuhan psikologis palsu) yang hanya bisa dipenuhi dengan produk kapitalisme. Dealer berusaha menyamakan idealisme masyarakat terhadap seni sehingga variasi permintaan semakin menurun dan terpusat pada beberapa aliran saja. Pemusatan produk ini didasari pada dominasi permintaan masyarakat yang ada di pasar. Hal ini mendorong produk menjadi khusus dan langka karena menghadapi permintaan yang tinggi, sehingga menyebabkan meroketnya nilai dan harga dari suatu karya23Codeluppi, V. (2017). The Integrated Spectacle: Towards Aesthetic Capitalism. In Briziarelli M. & Armano E. (Eds.), The Spectacle 2.0: Reading Debord in the Context of Digital Capitalism (pp. 51-66). London: University of Westminster Press. . Sistem ini meletakkan pihak ketiga, dealer, pada posisi utama dalam industri. Meskipun terkesan spektakuler saat seni diberi harga jutaan dolar, pasar justru menjadi semakin eksklusif untuk para seniman. Apakah ini adalah hal yang baik bagi industri seni? Terdapat banyak sudut pandang yang harus dipertimbangkan untuk menentukan baik atau tidaknya, namun secara konsep, karya seni yang dijual sebagai ‘seni murni’ tidak lagi sepenuhnya berdasarkan orisinalitas, ekspresi, maupun kebebasan seniman sendiri, melainkan menyesuaikan karyanya terhadap kriteria pasar yang sudah dimanipulasi menuju suatu ‘kesamaan’24Horkheimer, M., Adorno, T. W., & Cumming, J. (1972). Dialectic of enlightenment.. Pada akhirnya, seni mati dalam permainannya sendiri.
Menyeberang ke dunia literatur, Anthony Trollope, seorang penulis asal Inggris di abad 19, bereksperimen untuk menerbitkan buku dengan dua identitas yang berbeda. Meskipun memiliki aliran dan konsep yang sama dengan buku-buku sebelumnya, penjualan karyanya gagal memenuhi target penjualan, dengan jarak 500.000 eksemplar dengan penjualan normalnya. Eksperimen ini mendukung hipotesis Trollope bahwa kekuatan impersonal pasar akan permintaan dan penawaran menghambat munculnya nama dan bakat baru serta membatasi seniman lama demi mencapai very specialised products (produk yang sangat terspesialisasi).25COHEN, M. (2014). The Paradox of Literary Commercialism in Trollope’s “Nina Balatka”. NOVEL: A Forum on Fiction, 47(3), 383-402.. Pasar tidak sensitif dalam menyambut hal baru. Tidak hanya terhadap pendatang, namun masyarakat juga memiliki fetish terhadap ‘kesamaan’ atau ciri khas dari seniman yang sudah terkenal. Hal tersebut menambah tuntutan bagi seniman terkenal dalam berkarya, bahkan kita tidak membahas pemberian batas waktu pengumpulan bagi para seniman di sini.
Karena pada kenyataanya, indikator pemberian harga suatu karya seni di pasar adalah reputasi senimannya sebagai branding terkuat dari suatu karya. Apresiasi seni rentan berujung pada kausalitas melingkar, di mana seniman menjadi terkenal karena karyanya, namun karya juga mendapat apresiasi yang dipengaruhi oleh reputasi senimannya. Status dealer, seperti galeri seni, label musik, dan penerbit, juga menjadi bagian indikator dari reputasi26Vox, “The formula for selling a million-dollar work of art”, Oct 5, 2016 https://www.youtube.com/watch?v=rCT-UL2M8Gc. Selain itu, status dari target konsumen dan ukuran dari karya tersebut bahkan dapat turut memengaruhi harga seni tersebut.
Bagaimana dengan keindahan? Penilaian terhadap estetika bersifat kontroversial dan tidak memiliki indikator yang universal, atau singkatnya keindahan itu subjektif27https://plato.stanford.edu/entries/aesthetic-judgment/. Saat keindahan tidak menjadi hal utama dalam pemberian harga pada suatu karya seni, kekuasaan pasar seni tidak lagi berada di tangan seniman melainkan di tangan pihak ketiga, mereka yang punya kuasa dalam menentukan arah pasar kedepannya.
Seniman hanya bisa berharap pada pseudo-professionalism dari marketplace, tempat mereka menggantungkan fatamorgana konsumennya untuk bertahan hidup. Kapitalisme mendorong peran dan dominasi pihak perantara dalam industri seni sehingga pada akhirnya meninggalkan seniman kembali berjuang sendirian untuk seninya. Pihak yang tadinya membuka barrier telah menjadi barrier itu sendiri, sebagai ‘moderator’ dan penentu haluan pasar seni.
Industri Seni yang Inklusif 2.0

Culture Industry merupakan indikator dari evolusi industri seni di masyarakat. Seniman terjebak dalam ketergantungannya terhadap pasar yang eksklusif. Namun, apakah tidak ada cara lain untuk para seniman menarik diri dari kultur tersebut dan bebas berkarir dalam industrinya? Untuk itu kita perlu kembali menjabarkan fungsi pihak ketiga hadir di antara seniman dan konsumennya. Pada dasarnya, para dealer hadir untuk menghubungkan seniman dengan calon konsumennya; menyediakan suatu marketplace sebagai sarana permintaan dan penawaran karya seni bertemu. Namun, apakah hal tersebut adalah satu-satunya alur yang harus ditempuh seniman dalam berkarya pada zaman ini? apakah seniman masih terjebak dalam industri? apakah akan selalu.
Terdapat perkembangan-perkembangan di dunia, salah satunya dengan hadirnya internet yang menghubungkan semua orang yang dapat mengaksesnya. Meski pengaruh antara pihak ketiga, seperti galeri, label musik, ataupun penerbitan, dengan internet tidak dapat disamakan, namun internet dapat menggantikan mereka secara fungsional. Tujuan awal untuk mempertemukan para seniman dengan calon konsumennya dapat terjadi di internet, tanpa perlu pihak perantara, hanya sarana saja. Marketplace untuk industri seni mulai berkembang meninggalkan gaya ortodoksnya, terutama secara daring. Para penggiat seni dapat menjajakan produknya di banyak tempat, mulai dari media sosial, blog, ataupun platform langganan. Dengan begitu, para seniman punya alur lain yang dapat ditempuh untuk berkarir selain lewat dealer sebagai pihak ketiga.
Internet menyediakan pasar dengan variasi dan segmentasi pasar yang tidak terhingga. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi permintaan terhadap jenis/aliran seni tertentu tetap tercipta. Hal ini terjadi karena kontrol utama pada akhirnya terletak pada masyarakat sendiri. Kembali ke jati diri seniman secara personal, apa ingin mengikuti arus atau mempertahankan idealismenya. Dengan barrier yang rendah, apapun pilihan yang diambil, persaingan tetap terbuka bagi semua orang dan semua permintaan. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk menawarkan karya tanpa harus mengorbankan idealismenya untuk masuk ke segmentasi pasar tertentu. Penerapan konsep tersebut merupakan salah satu karakteristik dari kapitalisme yang sempurna itu sendiri. Hal ini menandakan seniman dituntut untuk menyesuaikan diri agar tidak terdominasi oleh pihak lain dalam arena kapitalisme ini. Produk yang gagal dapat diperbaiki, sistem dapat dimanipulasi, jati diri dapat diraih kembali. Sekarang pertanyaannya: bisnis dan seni, siapa yang lebih kuat dalam industri ini?
Editor: Muhammad Daffa Nurfauzan, Rama Vandika Daniswara, Miftah Rasheed Amir, Anugerah Pekerti Islamilenia
Illustrator: Batrisya Izzati Ardhie
Referensi
↵1 | ABELL, C. (2012). Art: What it Is and Why it Matters. Philosophy and Phenomenological Research, 85(3), 671-691. |
---|---|
↵2, ↵10 | https://plato.stanford.edu/entries/art-definition/ |
↵3, ↵6 | Oxford English Dictionary |
↵4 | Carney, J. (1982). What Is a Work of Art? Journal of Aesthetic Education, 16(3), 85-92. |
↵5 | https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/art |
↵7 | https://www.nytimes.com/2018/09/12/science/oldest-drawing-ever-found.html |
↵8 | CLOWNEY, DAVID (2011). “Definitions of Art and Fine Art’s Historical Origins”. The Journal of Aesthetics and Art Criticism. 69 (3): 309–320. |
↵9 | Guyer, P. (1994). Kant’s Conception of Fine Art. The Journal of Aesthetics and Art Criticism, 52(3), 275-285. doi:10.2307/431427 |
↵11 | Taine, H., & Durand, J. (1874). The ideal in art. New York: Holt. |
↵12 | Flora, H. (2012). PATRONAGE. Studies in Iconography, 33, 207-218. |
↵13 | Anderson, J. (1996). Rewriting the history of art patronage. Renaissance Studies, 10(2), 129-138. |
↵14 | DiMaggio, P. (1987). Classification in Art. American Sociological Review, 52(4), 440-455. |
↵15 | Studies in European Urban History (1100-1800) (SEUH 2) F. Vermeylen Painting for the Market : Commercialisation of Art in Antwerp’s Golden Age,, 2003 |
↵16 | Vermeylen, F. (1999). Exporting Art across the Globe: The Antwerp Art Market in the Sixteenth Century. Nederlands Kunsthistorisch Jaarboek (NKJ) / Netherlands Yearbook for History of Art, 50, 12-29. |
↵17, ↵19 | Ross, E. (1920). Commercialization–Increasing or Decreasing? International Journal of Ethics, 30(3), 284-295. |
↵18, ↵20 | Reuten, G. (2019). The capitalist mode of production: The capitalist economy in general: The production of monetary value and the enterprises’ appropriation of surplus-value. In The unity of the capitalist economy and state: A systematic-dialectical exposition of the capitalist system (pp. 27-82). LEIDEN; BOSTON: Brill. |
↵21 | Borgmeyer, C. (1917). Emotion in Pictures and Idealism in Art.Fine Arts Journal, 35(11), 18-40. doi:10.2307/25587503 |
↵22 | Horkheimer, Max; Adorno, Theodor W.; Ed. by Gunzelin Schmid Noerr. Transl. by Edmund Jephcott (2002). Dialectic of enlightenment philosophical fragments (PDF) ([Nachdr.] ed.). Stanford, Calif.: Stanford Univ. Press. p. 107. ISBN 978-0804736336. |
↵23 | Codeluppi, V. (2017). The Integrated Spectacle: Towards Aesthetic Capitalism. In Briziarelli M. & Armano E. (Eds.), The Spectacle 2.0: Reading Debord in the Context of Digital Capitalism (pp. 51-66). London: University of Westminster Press. |
↵24 | Horkheimer, M., Adorno, T. W., & Cumming, J. (1972). Dialectic of enlightenment. |
↵25 | COHEN, M. (2014). The Paradox of Literary Commercialism in Trollope’s “Nina Balatka”. NOVEL: A Forum on Fiction, 47(3), 383-402. |
↵26 | Vox, “The formula for selling a million-dollar work of art”, Oct 5, 2016 https://www.youtube.com/watch?v=rCT-UL2M8Gc |
↵27 | https://plato.stanford.edu/entries/aesthetic-judgment/ |
Discussion about this post