Ridho dan Lani adalah dua sejoli yang sudah berpacaran cukup lama. Mereka pun sudah saling mengenal satu sama lain bagai telapak tangan dan punggung tangan. Apabila ditanya, “kapan nikah?”, jawaban mereka selalu sama: “secepatnya”. Hanya satu hal yang membuat “secepatnya” itu belum menjadi “sudah sah”, yaitu karena mereka berbeda agama. Ridho bingung, Lani pun ikut bingung. “Bukannya Tuhan yang nyiptain cinta? Kok kita susah nikah karena agama– yang juga notabene diciptakanNya?” ujar Ridho. Lani pun manggut-manggut saja.
Sejatinya, pernikahan merupakan sebuah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana ditulis dalam Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 bab 1 pasal 1 tentang perkawinan 1UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan | Jogloabang. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-1-1974-perkawinan. Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan tersebut ialah tujuan pernikahan itu sendiri, yakni membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Tidak disebutkan harus seagama dan tidak ditekankan harus seagama. With that being said, saya sangat setuju terhadap pernyataan ini.
Mengapa kita “harus” menikah?
Dalam sebuah survei yang dilakukan di Iran, yang merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, menunjukkan bahwa 96 persen dari total 858 responden mengatakan ingin menikah. Alasan utama mereka ialah karena emosi (cinta), ajaran agama, dan kebutuhan seksual— yang juga merupakan salah satu fitrah manusia dalam agama Islam2Fallahchai, R., Fallahi, M. & Badiee, M. Intent, attitudes, expectations, and purposes of marriage in Iran: a mixed methods study. Curr Psychol (2019). https://doi.org/10.1007/s12144-019-00477-6. Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2010 menemukan bahwa alasan utama seseorang memutuskan untuk menikah adalah karena cinta. Alasan lainnya yang mengikuti rasa cinta secara berurutan adalah komitmen, persahabatan, fungsi reproduksi, dan untuk menciptakan stabilitas finansial3Kirana, F. (2020). Selain Cinta, Orang Menyebut 4 Hal Ini sebagai Alasan Menikah. Retrieved 6 June 2020, from https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/4161581/selain-cinta-orang-menyebut-4-hal-ini-sebagai-alasan-menikah. Faktor tak kasat mata lainnya yang memengaruhi keinginan untuk menikah ialah faktor tuntutan sosial, dimana orang yang tak menikah akan dicap “gak laku” atau label lainnya yang serupa, ditambah lagi, tuntutan dalam konstruksi sosial yang seakan-akan memberi “syarat-syarat yang absurd” dalam melaksanakan pernikahan seperti dalam peribahasa “bibit, bebet, bobot”, yang menyatakan harus menikah dengan yang sama suku, sama agama, dan kriteria-kriteria lainnya yang dianggap baik secara sosial. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pernikahan kemudian menjadi suatu hal yang dianggap harus dilakukan.
Namun kenyataannya, pernikahan semakin tidak mudah dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Berbagai kendala seringkali mereka rasakan, misalnya pernikahan tidak diterima Kantor Catatan Sipil, tidak diperbolehkan menikah di KUA, penolakan dari keluarga, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Tak jarang pula, demi menghindari pernikahan beda agama, si pria menggoda si wanita, menghamilinya, dan kemudian memaksa si wanita tersebut mengikuti agamanya supaya dinikahi, seperti yang dikatakan oleh seorang pengacara asal Kalimantan bernama Bapak Elia (35 tahun) yang sering menghadapi kasus demikian4Connolly, J. (2009). Forbidden Intimacies: Christian–Muslim Intermarriage in East Kalimantan, Indonesia. American Ethnologist, 36(3), 492-506. Retrieved May 26, 2020, from www.jstor.org/stable/40389805. Selain itu, dalam sebuah survei yang dilakukan pada 3000 siswa SMA di lima provinsi di Indonesia, lebih dari separuh jumlah responden (51,9 persen) menyatakan mereka tidak setuju dengan pernikahan beda agama dengan alasan bahwa agama mereka melarangnya. Lebih lanjut, 41,5 persen responden menyatakan netralitas mereka akan pernikahan beda agama dan 6,6 persen sisanya tidak mempermasalahkannya5Parker, L., & Hoon, C.-Y. (2014). Young People’s Attitudes towards Inter-Ethnic and Inter-Religious Socializing, Courtship and Marriage in Indonesia. South East Asia Research, 22(4), 467–486. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0230.
Negara kita sebenarnya tidak melarang pernikahan beda agama secara eksplisit. Namun Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan, bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian. Sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani, tetapi juga unsur rohani di mana keagamaan juga mempunyai peranan yang sangat penting6UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan | Jogloabang. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-1-1974-perkawinan.
Bagaimana keenam agama di Indonesia menyikapi pernikahan beda agama?
Saat ini, beberapa agama seperti Katolik, Buddha, dan Konghucu sudah memperbolehkan pasangan beda agama untuk menikah secara bebas. Vatikan telah mengeluarkan aturan untuk hal ini pada tahun 1965 dan Konsili Vatikan II juga telah memberikan dispensasi bersyarat terhadap pernikahan beda agama, sebagaimana dituangkan dalam Kitab Hukum Kanonik no. 1125 dan 1126 7stefanus, s. (2020). PERNIKAHAN CAMPUR BEDA AGAMA (dalam pandangan Katolik). Retrieved 6 June 2020, from http://st-stefanus.or.id/berita/detail/pernikahan-campur–beda–agama-dalam-pandangan-katolik8Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik. (2020). Retrieved 6 June 2020, from http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1125-11269Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama, agama Konghucu justru menghendaki umatnya untuk menikahi orang yang berbeda marga. Perbedaan marga dalam ajaran Konghucu ini dapat ditafsirkan juga sebagai perbedaan agama, sehingga pernikahan beda agama tidak akan menjadi masalah10Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama. “Perbedaan paham, golongan, bangsa, budaya, etnis, politik, maupun agama, tidak menjadi penghalang dilangsungkannya perkawinan,” ujar Wakil Ketua Umum Majelis Tinggi Konghucu, Uung Sendana, saat memberikan keterangan dalam sidang pleno di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (24/11/2014)11Media, K. (2020). Majelis Tinggi Khonghucu: Perbedaan Agama Tak Jadi Penghalang Perkawinan. Retrieved 6 June 2020, from https://nasional.kompas.com/read/2014/11/24/15470501/Majelis.Tinggi.Khonghucu.Perbedaan.Agama.Tak.Jadi.Penghalang.Perkawinan.
Demikian pula agama Buddha yang tidak memusingkan perkara pernikahan beda agama. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bidang Ajaran, Suhadi Sendjadja, mengatakan bahwa pernikahan beda agama merupakan bagian dari garis jodoh manusia. Menurutnya, agama Buddha tak berada dalam posisi menolak atau menerima pernikahan beda agama. Hukum perkawinan dalam Buddha dilandaskan pada karma, dan karma untuk perkawinan adalah hukum yang berlangsung begitu saja sesuai dengan hukum sebab-akibat12tnr, S. (2020). Bagi Buddha, Nikah Beda Agama Itu Jodoh. Retrieved 6 June 2020, from https://nasional.tempo.co/read/619769/bagi-buddha-nikah-beda-agama-itu-jodoh/full&view=ok. Agama Kristen juga tidak mempermasalahkan pernikahan beda agama melalui keputusan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) pada tahun 1972. Namun, keputusan ini tidak serta merta diterima oleh semua gereja Kristen di Indonesia karena yang memperbolehkan hanya Gereja Kristen Indonesia (GKI), itupun tidak seluruhnya13Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama14PGI Sebut Pernikahan Beda Agama Tidak Dilarang, Kenapa? |Republika Online. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/12/nbsmw0-pgi-sebut-pernikahan-beda-agama-tidak-dilarang-kenapa.
Yang menjadi urusan pelik adalah ketika ada agama yang melarang praktik ini. Seperti agama Hindu yang masih belum memperbolehkan pernikahan dengan non-Hindu. Umat Hindu harus menikah dengan non-Hindu yang sudah menjalani Sudi Wadani (pindah agama) terlebih dahulu, baru pemangku bisa melakukan pawiwahan (pemberkatan pernikahan)15Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama.
Selain agama Hindu, agama Islam pun memiliki aturan yang cukup ketat terhadap pernikahan beda agama. Agama Islam menyatakan bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang seiman. Misalnya dalam terjemahan dari QS al-Rum:21: ”dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir”16Surat Ar-Rum Ayat 21. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-21. Namun, tidak semua mazhab Islam melarang pernikahan beda agama, ada mazhab yang memperbolehkan pernikahan beda agama seorang pria muslim dengan seorang wanita yang dibatasi hanya memeluk agama Nasrani atau orang Yahudi. Selain mazhab itu, ada juga mazhab lainnya yang memperbolehkan pernikahan antara pasangan beda agama dan praktik ini telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan Nabi pun memiliki 2 istri yang beragama non-Islam (sebelum dinikahi) yakni Mariah al-Qibthiyah dan Shafiyah binti Huyay17Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama. Hal ini menyebabkan kebingungan karena mazhab-mazhab tersebut tidak memiliki satu ajaran yang pasti mengenai praktik ini, jadi boleh atau tidak?
Selain karena ajaran agama, penolakan lain terhadap praktik pernikahan beda agama biasanya datang dari masyarakat dan keluarga pasangan itu sendiri. Umumnya, masyarakat masih memiliki pandangan yang konservatif terhadap hal ini yang dapat dilihat dari adanya kekecewaan anggota keluarga calon mempelai yang melakukan perpindahan agama. Kekecewaan itu terjadi umumnya karena perasaan “gagal” orangtua; juga keluarga, dalam mendidik anak yang pindah agama tersebut, karena sampai saat ini, perpindahan agama dianggap sesuatu yang disayangkan karena menyalahi aturan agama yang sakral itu sendiri. Di sisi lain, anggota keluarga yang menganut agama tujuan pindahnya tersebut merasa senang karena “keberhasilan penyebaran agama” mereka18Connolly, J. (2009). Forbidden Intimacies: Christian–Muslim Intermarriage in East Kalimantan, Indonesia. American Ethnologist, 36(3), 492-506. Retrieved May 26, 2020, from www.jstor.org/stable/40389805. Masyarakat umumnya masih berpikiran bahwa pernikahan beda agama itu akan lebih memunculkan konflik dalam rumah tangga ketimbang harmoni. Pertanyaan-pertanyaan keluarga seperti “anaknya nanti agama apa?”, “ibadahnya di mana?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang meragukan pernikahan beda agama juga sering diterima oleh para pasangan berbeda agama.
Namun, keraguan semacam ini bisa dikatakan wajar datang dari masyarakat dan keluarga karena mereka tidak mengalami secara langsung hubungan tersebut maupun merasa penasaran mengenai proses menjalaninya. Faktanya, komunikasi yang konstruktif antara pasangan yang berbeda agama dalam mengatasi pertentangan agama keduanya, merupakan salah satu sumber pendongkrak kepuasan pernikahan para pasangan beda agama19Patrick C. Hughes & Fran C. Dickson (2005), 5:1, 25-41, DOI: 10.1207/s15327698jfc0501_2.
Lebih lanjut lagi, agama tidak secara langsung menentukan tingkat kepuasan pernikahan secara signifikan maupun perilaku para mempelai di kemudian hari. Efek interaksi juga menunjukkan bahwa tingkat “religiusitas” salah satu pihak pasangan tidak akan terlalu memengaruhi tingkat kepuasan pernikahan, tetapi apabila kedua pihak pasangan adalah orang yang religius, maka agama akan memengaruhi kepuasan pernikahan mereka secara signifikan– pasangan akan lebih puas dengan pernikahan apabila keduanya menganut agama yang sama, lebih tidak puas apabila keduanya menganut agama yang berbeda– dibandingkan dengan pasangan yang kurang religius ataupun pasangan yang hanya satu pihaknya yang religius20Perry, S. (2015). A Match Made in Heaven? Religion-Based Marriage Decisions, Marital Quality, and the Moderating Effects of Spouse’s Religious Commitment. Social Indicators Research,123(1), 203-225. Retrieved May 26, 2020, from www.jstor.org/stable/24721598.
Kalau saya tetap mau menikah beda agama, bagaimana caranya?
Meskipun undang-undang di Indonesia tidak melarang pernikahan beda agama, kantor-kantor pencatatan sipil umumnya ogah untuk mencatat pernikahan beda agama karena keyakinan mereka bahwa pernikahan beda agama itu dilarang. Maka dari itu, untuk menyiasatinya, umumnya pasangan berbeda agama di Indonesia menempuh beberapa cara untuk melaksanakan pernikahannya.
Cara pertama ialah menikah di luar negeri, kemudian pulang ke Indonesia dan mencatatkan akta pernikahannya di Kantor Catatan Sipil (KCS). Mereka biasanya menikah di negara-negara yang memisahkan antara agama dan urusan negara sehingga pernikahan tidak akan dibatasi oleh pernikahan agama. Negara terpopuler untuk melakukan hal ini adalah Singapura, Hong Kong, Australia dan Negara-negara lainnya; ditambah Las Vegas, Amerika Serikat. Cara kedua adalah salah satu pihak harus mengalah dan berpindah ke agama lainnya untuk memudahkan pernikahan mereka. Cara lainnya ialah dengan meminta bantuan yayasan yang membantu pasangan berbeda agama untuk menikah, seperti Yayasan Harmoni Mitra Madania dan aktivis di LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)) yang menawarkan jasa mediasi berupa konseling, advokasi, fasilitasi dan konsultasi dalam hal pernikahan beda agama21Connolly, J. (2009). Forbidden Intimacies: Christian–Muslim Intermarriage in East Kalimantan, Indonesia. American Ethnologist, 36(3), 492-506. Retrieved May 26, 2020, from www.jstor.org/stable/4038980522Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama23Uluran Tangan Mediator Nikah Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://kumparan.com/millennial/uluran-tangan-mediator-nikah-beda-agama-1rHQAalUfDn
Setelah nikah apa yang akan dihadapi?
Pernikahan beda agama tidak disarankan sebenarnya bukan tanpa sebab. Sebuah penelitian yang dilakukan di Utah, Amerika Serikat menunjukkan tingkat perceraian akibat pernikahan beda agama dapat mencapai 9 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pernikahan satu agama pada umumnya, meskipun agama bukan menjadi satu-satunya faktor instabilitas pernikahan tersebut. Dengan mengambil sampel pasangan dari berbagai agama di Utah seperti Katolik, Kristen, Mormonisme, dan yang dikategorikan “lain-lain”, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda bergantung agama apa yang terlibat dalam pernikahan tersebut, juga agama apa yang dianut para pasangan dan “mantan pasangan” terkait24Bahr, H. (1981). Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the Mountain States. Journal for the Scientific Study of Religion,20(3), 251-261. doi:10.2307/1385547.
Dalam penelitian lain yang dilakukan di Indiana25Christensen, H., & Barber, K. (1967). Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana. Journal of Marriage and Family, 29(3), 461-469. doi:10.2307/349583 dan Iowa26Lee B. Burchinal, Loren E. Chancellor, Survival Rates Among Religiously Homogamous and Interreligious Marriages, Social Forces, Volume 41, Issue 4, May 1963, Pages 353–362, https://doi.org/10.2307/2573280, Amerika Serikat, para peneliti justru menemukan bahwa tingkat perceraian pernikahan beda agama hanya berbeda sangat sedikit dibandingkan pernikahan satu agama, sehingga korelasi antara perbedaan agama dan tingkat perceraian masih menyisakan keraguan yang besar bagi para peneliti27Christensen, H., & Barber, K. (1967). Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana. Journal of Marriage and Family, 29(3), 461-469. doi:10.2307/34958328Lee B. Burchinal, Loren E. Chancellor, Survival Rates Among Religiously Homogamous and Interreligious Marriages, Social Forces, Volume 41, Issue 4, May 1963, Pages 353–362, https://doi.org/10.2307/2573280.
Faktor kesehatan mental juga menjadi salah satu variabel pembeda dalam pernikahan beda agama dan pernikahan satu agama. Kesehatan mental (dengan variabel penentunya antara lain perilaku, gejala psikosomatik, dll) pasangan yang menikah beda agama menunjukkan keadaan yang sedikit lebih buruk (6.25 persen lebih buruk) dibandingkan kesehatan mental pasangan yang menikah satu agama. Namun, sekali lagi, hal ini sangat subjektif terhadap agama dan nilai yang dianut para pasangan serta kepribadian dan “kecocokan” antar pasangan. Maka dari itu, mustahil untuk mendapatkan satu kesimpulan yang relevan mengenai keterkaitan pernikahan beda agama dan hasil pernikahan atau marital outcome29Heiss, J. (1961). Interfaith Marriage and Marital Outcome. Marriage and Family Living, 23(3), 228-233. doi:10.2307/346966.
Lalu anaknya bagaimana?
Berkebalikan dengan tebakan yang mungkin ada dalam pikiran Anda yang membaca tulisan ini, anak dari pasangan yang menikah beda agama justru menunjukkan identifikasi kultural yang lebih baik dibandingkan anak yang lahir dari pasangan yang menikah satu agama. Selain itu, mereka juga memiliki rasa toleransi dan keterbukaan terhadap perbedaan budaya dan agama yang lebih tinggi dibandingkan anak dari pasangan yang menikah satu agama. Terkait dengan kesehatan psikologis anak tersebut, mereka tidak menunjukkan perbedaan kondisi psikologis dan kesehatan mental yang berarti dibandingkan anak yang lahir dari pasangan satu agama30Leher, M. (2004). Psychological well-being, religious affiliation, and cultural identification in adult children of Jewish-Gentile interfaith marriages. Retrieved 27 May 2020, from https://core.ac.uk/display/132924232.
Patut dicatat pula, hasil itu dapat dicapai apabila kedua orang tua yang menikah beda agama dapat mencapai satu konsensus terhadap cara pengajaran agama terhadap anak mereka. Tahap meniru (Play Stage) dalam tahapan sosialisasi yang dikemukakan oleh George Herbert Mead menjelaskan bahwa tahap ini akan membuat anak belajar akan dunia melalui peniruan. Hal ini berarti, anak akan membutuhkan sesuatu yang jelas untuk dipelajari dan ditiru 31Mead, G., Morris, C., Huebner, D., & Joas, H. (1934). Mind, self, and society.. Tanpa adanya konsistensi dalam pengajaran orangtua, anak tidak akan mampu mengembangkan identitas religiusnya.
Apabila kedua orangtua yang berbeda agama itu tidak dapat mencapai konsensus dan menunjukkan kesatuan tujuan kepada anak mereka, masalah rumah tangga terkait keagamaan pasti akan muncul dan hal ini akan mendorong anak tersebut untuk memiliki masalah kepercayaan diri, insecurity, depresi dan masalah perilaku lainnya. Sebaliknya, orangtua yang mampu mendidik anaknya dan menjadi orangtua yang dapat diandalkan akan menciptakan anak yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan kesehatan psikologis yang baik secara keseluruhan32Leher, M. (2004). Psychological well-being, religious affiliation, and cultural identification in adult children of Jewish-Gentile interfaith marriages. Retrieved 27 May 2020, from https://core.ac.uk/display/132924232.
Penutup?
Berbicara soal pernikahan beda agama memang tiada habisnya. Cinta dan emosi merupakan variabel tak terukur dari kompleksitas manusia, dan berangkat dari situ-lah manusia menemukan konsep pernikahan yang pada akhirnya diyakini sebagai jawaban atas perasaan “ada yang kurang” dalam hidup mereka. Sebagai sebuah produk kebudayaan dan kepercayaan, pernikahan tidak dapat menjadi sebuah intimasi dua orang saja karena pernikahan yang dianggap sakral akan selalu menjadi bagian dari institusi keagamaan, bahkan lebih jauh lagi, menjadi bagian dari institusi pemerintahan dan hal inilah yang kemudian menjadi penghalang bagi yang merasakannya.
“LDR paling jauh itu bukan beda kota, beda kabupaten, atau bahkan beda provinsi, tapi beda agamalah LDR paling jauh”, kata seseorang di bumi ini. Meskipun tantangan aturan negara sudah bisa dilewati, masih ada lapisan tantangan berikutnya, yakni peraturan agama. Tantangan aturan agama sudah terlewati, masih ada tantangan penerimaan masyarakat. Romantisme pernikahan beda agama menyajikan pemandangan teatrikal dua orang yang bersatu melawan dunia. Perasaan yang terlalu kuat menghalangi kekakuan logika dalam mengambil keputusan. “Dilan dan Milea yang sangat romantis dan seagama saja putus, memangnya agama memengaruhi cinta kita?” tanya Ridho. Lani pun masih manggut-manggut saja, seperti di pembukaan tulisan ini.
Editor : Rama Vandika Daniswara, Muhammad Daffa Nurfauzan, Miftah Rasheed Amir, Islamilenia
Illustrator : Syskia Anellis
Artikel ini adalah bagian dari kerja sama dengan Satu Persen. Baca juga artikel Satu Persen – Pentingnya Self Love dalam Pernikahan (https://satupersen.net/pentingnya-self-love-dalam-pernikahan/)
Referensi
↵1, ↵6 | UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan | Jogloabang. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-1-1974-perkawinan |
---|---|
↵2 | Fallahchai, R., Fallahi, M. & Badiee, M. Intent, attitudes, expectations, and purposes of marriage in Iran: a mixed methods study. Curr Psychol (2019). https://doi.org/10.1007/s12144-019-00477-6 |
↵3 | Kirana, F. (2020). Selain Cinta, Orang Menyebut 4 Hal Ini sebagai Alasan Menikah. Retrieved 6 June 2020, from https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/4161581/selain-cinta-orang-menyebut-4-hal-ini-sebagai-alasan-menikah |
↵4, ↵18, ↵21 | Connolly, J. (2009). Forbidden Intimacies: Christian–Muslim Intermarriage in East Kalimantan, Indonesia. American Ethnologist, 36(3), 492-506. Retrieved May 26, 2020, from www.jstor.org/stable/40389805 |
↵5 | Parker, L., & Hoon, C.-Y. (2014). Young People’s Attitudes towards Inter-Ethnic and Inter-Religious Socializing, Courtship and Marriage in Indonesia. South East Asia Research, 22(4), 467–486. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0230 |
↵7 | stefanus, s. (2020). PERNIKAHAN CAMPUR BEDA AGAMA (dalam pandangan Katolik). Retrieved 6 June 2020, from http://st-stefanus.or.id/berita/detail/pernikahan-campur–beda–agama-dalam-pandangan-katolik |
↵8 | Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik. (2020). Retrieved 6 June 2020, from http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1125-1126 |
↵9, ↵10, ↵13, ↵15, ↵17, ↵22 | Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://magdalene.co/story/ruang-nyaman-dilema-pernikahan-beda-agama |
↵11 | Media, K. (2020). Majelis Tinggi Khonghucu: Perbedaan Agama Tak Jadi Penghalang Perkawinan. Retrieved 6 June 2020, from https://nasional.kompas.com/read/2014/11/24/15470501/Majelis.Tinggi.Khonghucu.Perbedaan.Agama.Tak.Jadi.Penghalang.Perkawinan |
↵12 | tnr, S. (2020). Bagi Buddha, Nikah Beda Agama Itu Jodoh. Retrieved 6 June 2020, from https://nasional.tempo.co/read/619769/bagi-buddha-nikah-beda-agama-itu-jodoh/full&view=ok |
↵14 | PGI Sebut Pernikahan Beda Agama Tidak Dilarang, Kenapa? |Republika Online. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/12/nbsmw0-pgi-sebut-pernikahan-beda-agama-tidak-dilarang-kenapa |
↵16 | Surat Ar-Rum Ayat 21. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-21 |
↵19 | Patrick C. Hughes & Fran C. Dickson (2005), 5:1, 25-41, DOI: 10.1207/s15327698jfc0501_2 |
↵20 | Perry, S. (2015). A Match Made in Heaven? Religion-Based Marriage Decisions, Marital Quality, and the Moderating Effects of Spouse’s Religious Commitment. Social Indicators Research,123(1), 203-225. Retrieved May 26, 2020, from www.jstor.org/stable/24721598 |
↵23 | Uluran Tangan Mediator Nikah Beda Agama. (2020). Retrieved 6 June 2020, from https://kumparan.com/millennial/uluran-tangan-mediator-nikah-beda-agama-1rHQAalUfDn |
↵24 | Bahr, H. (1981). Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the Mountain States. Journal for the Scientific Study of Religion,20(3), 251-261. doi:10.2307/1385547 |
↵25, ↵27 | Christensen, H., & Barber, K. (1967). Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana. Journal of Marriage and Family, 29(3), 461-469. doi:10.2307/349583 |
↵26, ↵28 | Lee B. Burchinal, Loren E. Chancellor, Survival Rates Among Religiously Homogamous and Interreligious Marriages, Social Forces, Volume 41, Issue 4, May 1963, Pages 353–362, https://doi.org/10.2307/2573280 |
↵29 | Heiss, J. (1961). Interfaith Marriage and Marital Outcome. Marriage and Family Living, 23(3), 228-233. doi:10.2307/346966 |
↵30, ↵32 | Leher, M. (2004). Psychological well-being, religious affiliation, and cultural identification in adult children of Jewish-Gentile interfaith marriages. Retrieved 27 May 2020, from https://core.ac.uk/display/132924232 |
↵31 | Mead, G., Morris, C., Huebner, D., & Joas, H. (1934). Mind, self, and society. |
Discussion about this post