“Minimalisme adalah gaya hidup yang berarti kita mengurangi jumlah barang yang kita miliki sampai pada tingkat paling minimum. Hidup minimalis berarti hidup dengan hanya barang paling pokok yang kita perlukan. Manfaatnya tidak hanya memberi sebatas permukaan —ruang yang rapi atau kemudahan membersihkan rumah, tetapi juga menciptakan perubahan yang mendasar. Bagi saya, cara hidup ini memberi saya kesempatan untuk merenungi arti bahagia.” – Fumio Sasaki.
Sampul buku Goodbye Things, Hidup Sederhana ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki. (Sumber: Gramedia.com)
Buku Goodbye Things, Hidup Sederhana ala Orang Jepang merupakan buku yang diterjemahkan dari bahasa Jepang, yakni Bokutachini, Mou Mono Wa Hitsuyou Nai. Buku ini ditulis oleh Fumio Sasaki, seorang penulis yang berasal dari Jepang dan menganut paham minimalis dalam kehidupannya. Di usianya yang menginjak kepala tiga, ia tinggal di apartemen kecil di Tokyo dengan tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki, dan beberapa benda lainnya.
Dalam buku diceritakan bahwa Sasaki dahulu orang yang pemalas, tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas bahkan untuk bekerja sekalipun. Sasaki menganggap dirinya orang yang paling terpuruk dan tidak bahagia karena selalu membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih sukses, lebih tinggi derajatnya, dan memandang uang adalah segala-galanya. Jika memiliki uang yang banyak dan barang-barang mewah, maka kebahagiaan hidup akan terjamin, begitulah pandangannya kala itu.
Oleh karena itu, Sasaki gemar sekali membeli barang-barang yang sebetulnya sama sekali tidak ia butuhkan. Barang-barang itu ia beli hanya karena merasa iri dengan orang lain sehingga kehidupannya seakan-akan dikendalikan oleh barang-barang miliknya. Semuanya dibiarkan menumpuk, berdebu, berserakan, dan memenuhi ruang apartemennya.
Lalu, kehidupan Sasaki berubah 180 derajat setelah ia pindah dari apartemen lama yang sudah ia tempati selama sepuluh tahun. Ia membuang, menjual, dan menyumbangkan semua barang-barang yang dulu pernah dibeli hanya karena gengsi dengan orang lain. Lalu, apa yang ia rasakan? Sasaki merasa jauh lebih bersemangat menjalani hidup dan tidak pernah lagi membandingkan dirinya dengan orang lain. Sasaki kini menyukai dirinya apa adanya.
Sasaki membagikan 55 kiat berpisah dengan barang dan 15 kiat tambahannya menuju hidup yang benar-benar minimalis. Bagi saya, terdapat 3 kiat yang membuat saya merenung dan tertarik untuk belajar hidup minimalis. Pertama, membuang barang yang sudah setahun menganggur. Kedua, menemukan tampilan khas dari diri kita sendiri, bukan hanya ikut-ikut orang lain hanya untuk dianggap keren. Ketiga, membedakan mana keinginan dengan kebutuhan. Selain itu, Sasaki juga menjelaskan hal-hal apa saja yang berubah sejak Sasaki berpisah dengan barang. Perubahan itu pun sangat inspiratif!
Buku ini memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya menarik untuk dibaca. Pertama, dari sampulnya yang simpel dan warna dasar yang halus sehingga sudah cukup mengaplikasikan kata ‘minimalis’. Lalu dari segi isi, perubahan hidup Sasaki dari maksimalis menjadi minimalis diceritakan secara menarik, memiliki alur cerita yang mudah dipahami, dan penggambaran tekadnya yang kuat untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik, membuat pembaca dapat merasakan hal serupa.
Gambaran perubahan hidup Sasaki kerap ditampilkan dalam beberapa cuplikan foto perbandingan ruangan apartemen Sasaki dari maksimalis menjadi minimalis yang ada di halaman awal buku. Ada juga beberapa foto dari penganut paham hidup minimalis lain yang tidak kalah menarik sehingga pembaca merasakan kenyamanan dan rasa tentram untuk tinggal di dalamnya walau hanya tergambar secara visual.
Fumio Sasaki di ruang kerjanya yang sangat minimalis (Sumber: medium.com)
Namun, dalam buku ini juga memiliki beberapa kekurangan. Dalam penjelasannya, buku ini sedikit banyak menggunakan kalimat tersirat sehingga perlu dibaca ulang untuk memahami maksudnya. Oleh karena itu, buku ini tidak disarankan untuk dibaca sekali duduk. Selain itu, masih terdapat beberapa penjelasan yang bertele-tele dan sudah dijelaskan di halaman sebelumnya. Perlu diperhatikan kembali terkait pemilihan kata dan pesan yang ingin disampaikan agar pembaca lebih mudah memahami. Efektivitas dari setiap penjelasan pun juga perlu ditingkatkan.
Secara keseluruhan, buku ini cukup bagus dan recommended bagi pembaca yang ingin hidup dengan sederhana dan belajar untuk mencintai diri apa adanya. Belajar untuk tidak memikirkan pendapat orang lain dan membuang barang-barang yang tidak penting. Sasaki mengajarkan bahwa bahwa hidup itu sederhana, namun terkadang pikiran kita sendirilah yang memperumitnya.
Barang-barang tidak penting yang ada di sekitar kita, secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola pikir dan emosi kita. Sasaki percaya bahwa dengan hidup minimalis, maka seseorang akan mampu membebaskan diri, “minimalism is freeing”.
Editor: Rani Widyaningsih
Foto: Bench Accounting, Unsplash
*Tulisan ini adalah karya yang diterbitkan dalam kolom Pojok Sastra, dikurasi langsung oleh redaksi economica.id.
Discussion about this post