Pendidikan seksual saat ini masih dianggap tabu bagi sebagian orang. Namun, dibalik stigma tabu tersebut, terdapat banyak manfaat bagi seseorang yang teredukasi seks dengan baik. Untuk mendapatkan manfaat tersebut, pendidikan seks harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dari setiap kelompok usia dan dengan penyampaian yang sesuai pula.
Pendidikan seksual, pada dasarnya, adalah segala bentuk pengajaran terkait dengan organ-organ seksual dan bagaimana manusia mengelola organ-organ tersebut. Namun, masyarakat sering salah kaprah dalam menanggapi pendidikan seksual. Pendidikan seksual masih dianggap tabu dan tidak layak diperbincangkan oleh sebagian masyarakat, khususnya untuk diperbincangkan sejak usia dini.
Terdapat anggapan bahwa pendidikan seksual sejak dini akan membuat anak terpapar dengan hal-hal ‘berbau’ seks. Hal ini dianggap dapat memicu rasa ingin tahu mereka lebih tinggi tapi justru berdampak negatif. Seperti peningkatan angka seks di luar nikah, yang berujung pada kehamilan di luar nikah maupun penyakit menular seksual.
Sebaliknya, anggapan tersebut dibantah dengan tegas oleh Jennyfer, seorang psikolog klinis muda. Menurutnya, pendidikan seksual sejak dini justru akan membantu dalam mengurangi dampak buruk dari seks di luar nikah. Pendidikan seksual dapat dijadikan sebagai sebuah pendekatan untuk lebih mengenal bagian-bagian tubuh anak, khususnya organ seksual, sehingga anak lebih sadar dan bisa menjaganya dengan baik. Pendidikan seksual tidak membuat anak semakin terpapar karena di dalamnya dijelaskan juga mengenai dampak buruk ketika seseorang memutuskan untuk berhubungan seks, seperti hamil di luar nikah hingga timbulnya penyakit menular seksual.
Senada dengan pendapat tersebut, Efriyani Djuwita, M.Psi., seorang dosen psikologi Universitas Indonesia menyatakan bahwa pada usia balita, rasa keingintahuan anak akan anggota tubuhnya sangatlah besar. Tak jarang, anak-anak mengeksplorasi tubuhnya dengan memegang alat kelaminnya, bahkan di tempat umum sekalipun. Untuk itu, pendidikan sangat diperlukan untuk memfasilitasi anak sejak dini, bukan malah membuat anak-anak terpapar hal-hal buruk terkait seksualitas.
Semua Perlu Bertahap
Pendidikan seksual sangatlah penting disampaikan, tetapi penyampaiannya perlu kehati-hatian dan harus disesuaikan dengan usianya. Menurut Jennyfer, tahapan pendidikan seksual adalah sebagai berikut. Ketika usia 3 sampai 5 tahun dilakukan pengenalan bagian tubuh, termasuk organ-organ intim, seperti dada, vagina, dan penis. Pada tahap ini pula, anak diajarkan untuk menjaga organ intim mereka agar tidak disentuh orang lain, selain dirinya sendiri dan orang tuanya.
Kemudian pada usia remaja dilakukan pengenalan akan masa pubertas, seperti menstruasi, mimpi basah, dan perubahan tubuh lainnya. Dan untuk usia di atas 17 tahun perlu adanya pengenalan akan hubungan seksual antara suami istri, termasuk di dalamnya menyangkut konsekuensi jika melakukan hubungan seks sebelum menikah, atau berganti-ganti pasangan.
“Jadi, pendidikan seks itu bertahap, bukan serta merta dari kecil kita udah jejelin seks seperti apa. Tetap perlu dibimbing. Ajak anak untuk berpikir. Anak kan bisa berpikir, kalau diberikan info yang jelas, anak bisa mengerti itu,” ungkap Jennyfer.
Mahasiswa Masih Perlu Dibimbing
Jennyfer menganggap bahwa pendidikan seksual masih sangat dibutuhkan bagi remaja, tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa seringkali merasa bebas melakukan apapun karena pengawasan orang tua yang mulai longgar. Hal ini justru membuka peluang terjadinya seks bebas yang lebih tinggi.
Disamping itu, masih banyak pula mahasiswa yang belum mengetahui seks karena satu dan lain hal, seperti minimnya komunikasi mengenai seks di lingkungannya, yang membuat mereka tidak mengerti dan mungkin menjadi sasaran bagi para predator. “Dengan adanya pendidikan seks, kita bisa lebih berjaga-jaga. Apa yang perlu dilakukan, apa yang gak perlu dilakukan,” tutur Jennyfer.
Media Sosial Ambil Bagian
Bak dua sisi mata logam, media sosial memiliki dua sisi positif dan negatif yang tidak dapat terpisahkan terkait dengan edukasi seksual. Menurut Efriyani, media sosial bisa menjadi sebuah ancaman seksual, khususnya bagi anak dan remaja karena terdapat konten yang tidak layak ditonton (pornografi) serta banyak predator seksual yang mengintai aktivitas di media sosial.
Maka dari itu, untuk menghindari predator seksual di media sosial, perlu diajarkan bahwa tidak semua hal bisa dilihat dan diunggah ke dalam media sosial. Orang tua perlu mengingatkan serta memantau kegiatan anak di media sosial guna menghindari dampak buruk tersebut.
Bagaimanapun juga, di sisi lain, Jennyfer memandang media sosial sebagai media yang efektif untuk menyebarkan informasi terkait dengan pendidikan seksual. Menurutnya, masyarakat cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya di media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya. Dengan demikian, pemanfaatan media sosial akan menjangkau seluruh usia. Selain itu, melalui media sosial, penyampaian informasi akan lebih mudah karena tidak terbatas bentuk, bisa berupa foto, video, cerita, atau apapun yang sesuai dengan preferensi masing-masing.
Editor : Rani Widyaningsih, Haikal Qinthara
Ilustrasi oleh Dhea Monica
Discussion about this post