Pagi itu datang, ditemani oleh cahaya matahari yang masuk ke kamar melalui kaca jendela dan suara alarm tetangga kos yang tidak kunjung dimatikan. “Ah, sial, ketiduran!” lagi-lagi aku ketiduran saat sedang mengerjakan tugas malam-malam. Ralat, subuh-subuh. Dengan sekuat tenaga kuangkat badan ini dari tempat tidur dan bangun–percayalah, saat bangun tidur berat badanku seperti bertambah 20 kilogram, ya 20 kilogram kemalasan. Kulihat jam di handphone yang sudah menunjukkan pukul 7.30, tiga puluh menit sebelum kelas pertamaku hari ini. Tanpa basa-basi langsung aku bersiap-siap berangkat kuliah.
Di kelas aku terganggu dengan berbagai pikiran aneh yang muncul dan membuatku khawatir. Aku sendiri tidak tahu apa yang aku khawatirkan, aku hanya merasa gelisah, aku hanya merasa… tidak bisa berhenti berpikir. Kejadian seperti ini sudah sering aku alami sejak disibukkan oleh dunia perkuliahan, tetapi aku memilih untuk membiarkannya hidup bersamaku. Toh, kupikir pikiran ini tidak terlalu menghambat aktivitasku. Aku masih bisa mendengarkan dosenku dan mengikuti materi yang dipelajari di kelas, bahkan bercanda tawa dengan teman-temanku.
Aku mungkin terlihat normal di luar, tetapi berantakan di dalam. Ingin rasanya rehat, tenang untuk beberapa saat dan tidak memikirkan apa pun. Namun, berdasarkan pengalamanku, semakin aku berusaha tenang, semakin aku tidak tenang.
Kuliah – rapat organisasi – rapat panitia – kegiatan keagamaan – persiapan lomba, aku seperti memiliki 40 SKS dalam satu semester. Orang-orang sering melihatku sebagai sosok yang ambisius dan sangat sibuk. Aku tidak menyalahkan mereka, karena sejak kecil aku memang memiliki target besar dan berusaha mencapainya apa pun bayarannya.
Saat kecil, orang tuaku mendidik aku untuk menjadi yang terbaik. Ya, aku tahu itu adalah didikan yang wajar dari orang tua yang ingin anaknya menjadi sukses. Tetapi dalam kasusku, aku benar-benar merasa dituntut untuk menjadi yang terbaik – menjadi si nomor satu. Berkat tuntutan mereka, dahulu aku berprestasi di sekolah dan orang-orang juga berkata aku adalah orang yang pintar dan selalu berpikir kritis.
Namun, sepertinya prestasiku tidak cukup untuk memuaskan kedua orang tuaku. Aku pernah beberapa kali mendapat peringkat kedua di kelas dan yang ada hanya lah sebuah pertanyaan “Kok tidak ranking satu?”. Aku juga pernah sekali mendapat nilai di bawah standar yang harus membuatku mengulang di ulangan harian dan menghadapi amarah besar dari kedua orang tuaku.
Jika kau melihatnya sebagai peristiwa normal, biar kuperjelas, peristiwa yang dianggap normal ini sudah membekas sangat dalam di pikiranku. Aku sebegitunya tidak suka terhadap kegagalan. Namun, dibalik itu semua, sebenarnya yang kuinginkan hanya satu hal, ucapan yang melambangkan kebanggaan orang tua kepada anaknya. Bagaimanakah ucapan itu? Aku tidak tahu, belum pernah mendengarnya, karena itu aku tidak mengutipnya. Saat ini, aku tetap berjuang dan merelakan beberapa hal, bahkan waktu tidur dan mainku, untuk menjadi si nomor satu. Ralat, untuk mendapat pengakuan diri dari orang tuaku.
Hari itu akhirnya kelas pertamaku selesai. Aku pergi ke kantin bersama beberapa kawanku. “Lo sibuk banget dah sekarang. Kemaren pas diajak ke kantin, lo bilang ada urusan organisasi, terus abis ini katanya lo ada rapat. Keren banget dah, lo!” cetus seorang temanku. “Iya emang sibuk banget nih orang sekarang. Udah pinter, aktif organisasi, kurang gandengan cewek aja nih anak, hahaha!” seru teman lainnya sambil bergurau. Saat itu, aku hanya ikut tertawa “Bacot lo dasar, hahaha!”. Ingin rasanya bercerita kepada mereka betapa pikiranku lebih sibuk dari tubuhku.
Tubuhku memang masih bermain bersama mereka dan beristirahat, tetapi pikiranku terlalu sulit untuk berhenti. Ada beberapa hal yang terlalu aku pikirkan seperti kegagalanku. Ya aku takut gagal, karena si nomor satu tidak pernah gagal bukan? Oleh karena itu, sekalinya gagal, seringkali aku terus-menerus memikirkannya sampai berhari-hari. Bahkan pikiran itu membuat aku terpuruk dan aku membiarkan kegagalan itu mendefinisikan aku sebagai “Si bodoh yang tidak mungkin menjadi si nomor satu”.
Aku sebenarnya berniat menceritakan apa yang terjadi kepada beberapa orang. Tetapi saat aku menceritakan masalahku yang lebih sederhana, jawaban mereka sama sekali tidak membantu. “Ah, apa sih? Makanya yang fokus kalau belajar” kata orang tuaku yang justru memarahi, “Ooh, santai aja laa. gw ngerti kok, itu lo harus istirahat aja,” kata temanku yang justru meremehkan dan sok tahu mengenai masalah ini–kalau solusinya hanya istirahat maka sudah kulakukan sejak dulu–, “Ooh, itu mah Lo kurang doa kali, Bro. Udah jarang doa Lo ya?” kata seseorang di tempat ibadah yang justru menceramahi dan menghakimi.
Jawaban yang monoton dan mudah diprediksi dari orang-orang sekitar membuat aku kehilangan nafsu untuk berbagi cerita dengan mereka. Tidak heran bila respon mereka seperti mengecilkan masalah ini, bahkan aku sering kali menganggap ini masalah biasa, tetapi kadang aku kembali berpikir “Kalau ini masalah biasa, kenapa gak selesai sampai sekarang?” ucapku dalam hati.
Setelah dari kantin, aku berpisah dengan teman-temanku dan mengurusi urusan perkuliahan masing-masing. Malam hari pun tiba, sebelum pulang ke kost, aku menyempatkan diri pergi makan dengan seorang teman dekat. Kami berjanji untuk bertemu di salah satu warung makan tempat kami biasa berkumpul.
Malam itu, aroma tanah sehabis hujan disertai angin sepoi-sepoi terasa menyejukkan suasana. Suara canda dan tawa di warung makan selalu berhasil menggambarkan hangatnya persahabatan di tengah dinginnya malam. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sambil meregangkan badan, berusaha merehatkan tubuh dan pikiran yang sudah letih setelah hari yang sibuk ini.
“Waduh, capek banget nih Bos hari ini? Puas banget itu akhirnya bisa istirahat,” seru temanku. “Hahaha, iya nih, capek banget gue,” ucapku mengakui keletihan yang tidak mungkin ditutupi lagi.
“Bro, are you enjoy it?” tanya temanku. “Maksudnya?” tanyaku yang membenarkan posisi badan dari beristirahat menjadi siap untuk berbincang. “Iyaa. Lo sibuk banget kan? But, are you enjoy it? pasti capek kalau sibuk seharian, tapi akan lebih capek lagi kalau lo gak enjoy ngelakuinnya,” ucapnya. Aku tersentak, bingung harus menjawab apa. Aku sering mendengar pertanyaan-pertanyaan berat dan bisa menjawabnya dengan pengetahuan yang aku punya. Namun, pertanyaan sederhana yang kupikir hanya perlu dijawab ya atau tidak ini merupakan pertanyaan yang jarang aku terima.
“Iyaa, enjoy aja sih. Kan ini buat ngembangin skill gue sendiri juga,” hanya ini jawaban yang terpikirkan oleh ku. “Kalau gitu, apa lu nikmatin proses ngembangin skill lu itu?” dia kembali bertanya. “Ya iya lah. Ini kan buat…” jawabku, “Buat ???” potongnya tiba-tiba. “Itu intinya kan? Orang akan rela melakukan apapun saat punya alasan, buat sesuatu atau seseorang. Tapi orang baru bisa enjoy melakukan sesuatu saat punya alasan yang meaningfull. Jujur, gue merasa ga enjoy mengejar hal-hal yang hanya mengenyangkan mata dan ego gue. Belakangan ini gue udah menang beberapa kompetisi dan itu membuat gue seneng, tapi hanya sebentar aja gitu. Piala itu akhirnya cuma pajangan di kos gue,” tuturnya.
Jujur kali ini aku hanya bisa terdiam karena tidak menyangka dia akan bercerita seperti itu. “Bro… boleh cerita?” merasa mempunyai masalah yang sama, akhirnya aku memutuskan untuk bercerita dengannya. Suasana malam yang tenang dan keletihan untuk menutupi masalah memaksaku untuk bicara sejujur-jujurnya. Saat itu, setelah bercerita panjang lebar, ketenangan seperti kawan lama akhirnya kembali. “Lega gue, akhirnya bisa cerita ke orang,” ucapku dalam hati. Seiring berjalannya waktu, masalah anxiety ini sesekali masih muncul. Namun, kali ini aku tahu bahwa cara meredam kegelisahan dan ketakutan ini adalah justru dengan menceritakannya.
Cerita ini berlanjut dengan aku yang semakin mengerti apa artinya kegagalan yang selama ini membangun rumah di pikiranku dan bagaimana cara mengatasi kedua orang tuaku. Aku tidak berusaha mengubah mereka, tetapi menerimanya, karena itu lebih mudah. Aku kini berusaha jujur dengan diriku sendiri, semakin mengerti kekuranganku dan menerimanya, serta menemukan alasan yang lebih berarti untuk dikejar – yang pasti bukan lagi pengakuan diri.
Oh ya, aku juga belajar menerima kekurangan teman-temanku dengan respon payah mereka. Mungkin mereka memang kurang mengerti karena tidak mengalaminya, tetapi aku berharap suatu saat orang-orang seperti itu tahu bahwa orang dengan masalah seperti ini hanya ingin didengarkan dan diterima.
Cerita ini selesai saat aku sadar bahwa menjadi nomor satu bukan tentang menang atas kekalahan orang lain, tetapi menang atas kekalahan diri sendiri, yang berarti aku tidak membiarkan kegagalan mendefinisikan aku sebagai si bodoh, tetapi justru aku mendefinisikan kegagalan sebagai bagian dari kesatuan perjalanan yang perlu kunikmati.
Editor: Rani Widyaningsih
Foto: Fauzan Saari di Unsplash
Discussion about this post