Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Ikatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah mengadakan diskusi publik secara daring pada Sabtu (2/5) lalu melalui media virtual Zoom. Diskusi ini membahas tentang efektivitas tes massal dan karantina sebagai bentuk penanganan di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Berbagai sudut di ibukota saat ini telah mengalami penurunan konsentrasi taraf perkumpulan penduduk. Instansi-instansi resmi dan berbagai sekolah sudah meliburkan siswanya, kantor-kantor mulai memberlakukan kerja bergilir dan bekerja dari rumah, restoran dan kedai kopi sudah tidak melayani makan ditempat, semua diberlakukan begitu terbitnya perintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Terhitung sudah 25 hari DKI Jakarta memberlakukan PSBB. Dikutip dari CNN Indonesia, selain DKI Jakarta, pada 6 Mei mendatang, Pemerintah berencana menetapkan PSBB di seluruh Jawa Barat. Setelah sekian lama, apakah PSBB sudah dilakukan dengan efektif? Evaluasi terhadap pemberlakuan PSBB dan pelaksanaan rapid test atau tes masal benar-benar diperlukan untuk mengidentifikasi langkah penanganan selanjutnya.
Maka dari itu, diskusi daring yang diadakan ini mencoba membahas efektivitas PSBB dan rapid test melalui sudut pandang tiga narasumber, antara lain dr. Siswanto, MPH, DTM selaku perwakilan dari Kementrian Kesehatan, dr. Syahrizal Syarif, MPH, Ph.D (Ahli Epidemiologi FKM UI,) dan yang terakhir adalah Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K) sebagai perwakilan dari Tim Covid-19 RSUP Persahabatan.
Efektivitas pemberlakuan PSBB dan pertimbangannya
Sesi pertama dimulai dengan pemaparan alasan pemberlakuan PSBB alias “karantina longgar” oleh dr. Siswanto. Siswanto memaparkan bahwa PSBB dilaksanakan dengan menyeimbangkan pertimbangan antara epidemiologi dan non-epidemiologi. Aspek non-epidemiologi seperti aspek perekonomian masyarakat menjadi faktor yang dititikberatkan dalam pertimbangan ini. Sehingga, meskipun ada karantina, efek ‘longgar’ memungkinkan masyarakat keluar rumah dan menjalankan aktivitas ekonomi.
Penjelasan dr. Siswanto disambut dengan kritik oleh narasumber lainnya terhadap kebijakan PSBB tersebut yang disinyalir tidak akan ampuh karena terganjal rumitnya birokrasi pemerintahan itu sendiri. Pasalnya, penegakan PSBB dinilai lemah dan belum mencakup zona-zona merah penyebaran secara langsung. “Seharusnya, pemberlakuannya ditangani langsung oleh pemerintahan kota/kabupaten, agar langsung melingkupi zona-zona merah penyebaran,” ujar dr. Syahrizal.
Mengenai lemahnya penegakan PSBB “Sebaiknya pemerintah mulai menerapkan dan segera mempertegas sistem denda PSBB, dendanya tidak harus bernilai besar, yang penting memberi efek jera bagi para pelanggar,” pungkas Syahrizal.
Kesiapan fasilitas kesehatan di Indonesia
Setelah itu, pada sesi berikutnya, para narasumber membahas seputar kurangnya kesiapan peralatan kesehatan di Indonesia untuk menghadapi pandemi ini. Dr. Erlina Burhan bahkan memberi perhitungan “Semisal angka pasien Covid-19 di Indonesia sudah mencapai satu juta orang, kita anggap 80%-nya merupakan kasus ringan dan 20% kasus berat. Lima persen dari golongan kasus berat itu akan membutuhkan ventilator, sementara ketersediaan alat di Indonesia sendiri tidak mencapai jumlah tersebut,” jelas Erlina.
Belum lagi masalah alat rapid test yang jumlahnya kurang dan tidak tersebar secara merata, menyebabkan angka pasien yang sampai saat ini sudah menyentuh angka 10.843 (per tanggal 2 Mei). Hal ini diperburuk dengan sistem klasifikasi kasus di Indonesia dinilai lebih rumit karena tidak mengikuti definisi WHO. Akumulasi dari sekian banyak permasalahan dan segelintir masalah lainnya, semakin mengukuhkan ketidaksiapan pemerintah dalam menangani pandemi ini.
Masyarakat sebagai ‘garda terdepan’
Bagaimanapun, terlepas dari segala ketidaksiapan pemerintah dalam menangani pandemi dan segala kebadungan masyarakat dalam menaati PSBB, ada sebuah hal yang disepakati ketiga narasumber diskusi ini. Terdapat sebuah kesalahan mendasar dalam pemahaman masyarakat. Pemahaman dan kesadaran masyarakat perihal siapa garda terdepan dalam menghadapi pandemi ini.
Bukan para dokter dan perawat dirumah sakit, melainkan masyarakatlah yang menjadi garda terdepan dalam menghadapi pandemi ini. Masyarakatlah yang menjaga benteng pertahanan di hulu sungai, menghalau Covid-19 agar jangan sampai mengalir ke hilir, untuk berhadapan dengan garda terakhir pertahanan, begitulah pandangan dokter tersebut.
Terlepas dari semua kerumitan tersebut, pemberlakuan PSBB dinilai masih belum efektif, hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19 di berbagai kota di Indonesia. Hal ini jugalah yang membuat Pemerintah terus memperpanjang masa PSBB. Diperlukan kerja sama dari semua pihak agar kasus Covid-19 dapat mereda.
Editor: Haikal Qinthara, Fadhil Ramadhan, Rani Widyaningsih.
Foto: Rangga Cahya Nugraha on Unsplash
Discussion about this post