“Ini masalah orang jelek Lu, kamu gak bakal ngerti.” Ucap Rara (Jessica Mila) dalam salah satu adegan film Imperfect: Karir, Cinta & Timbangan (2019).
“Hard work is not why I have been successful as a model… The most important part of my job is to show up with a 23-inch waist, looking young, feminine, and white.” – Cameron Russell, model Victoria’s Secret (TEDxMidAtlantic, October 2012)
“Pretty girl privilege is most definitely a thing. I’ve had strangers paying for my food, men letting me cut them in line, getting half off discounts, free desserts at restaurants, A’s on assignments I’ve never turned in, etc etc.” – cuitan dari @mamiidev di media sosial twitter.
Masih banyak kejadian serupa yang jika dijabarkan semua disini, akan menghasilkan satu– atau lebih buku yang tebal. Dari kejadian-kejadian di atas dapat dibuktikan bahwa pepatah “don’t judge book by its cover” tidak berlaku sepenuhnya di dunia nyata ini. Orang dengan paras yang rupawan rupanya menuai banyak keuntungan dibanding yang tidak.
Mengenal Beauty Privilege dan Eksistensinya
Tidak ada jurnal yang menjabarkan secara teori apa definisi dari beauty privilege itu sendiri. Terminologi tersebut lebih sering ditulis sebagai physical attractiveness, yaitu orang yang memiliki daya tarik secara fisik, khususnya dari wajahnya. Dion et al (1972) dalam What is Beautiful is Good, pelopor dalam penelitian di bidang ini, menemukan bahwa orang dengan daya tarik fisik diasumsikan memiliki hidup yang lebih baik, lebih kompeten, dan sukses dalam karir dibanding orang yang tidak memiliki daya tarik fisik. Pandangan orang terhadap mereka membuatnya memiliki keistimewaan tersendiri.
Privilege atau hak istimewa tadi dapat didapatkan oleh seseorang dengan paras yang menarik atau rupawan. Hal-hal baik atau kesempatan itu dimulai berupa pandangan maupun perlakuan orang di sekitar hingga kenaikan jabatan atau gaji. Bahkan dalam beberapa studi (Dipboye et al, 1977; Cash et al, 1977; Watkins dan Johnston, 2000), daya tarik seseorang dapat mempengaruhi proses pekerjaan, meskipun terhadap posisi yang tidak memerlukan daya tarik khusus, misalnya buruh pabrik.
Jika dilihat dari realita, film Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan (2019) yang disutradarai oleh Ernest merupakan adaptasi dari novel berisi kisah nyata istrinya, Meira Anastasia. Kutipan dialog diatas diucapkan tokoh utama ketika dia tidak mendapatkan jabatan yang harusnya didapatkannya dari atasannya hanya karena parasnya yang kurang menarik, serta ketidakpopulerannya di kantor.
Lain lagi kasus cuitan twitter dari pemilik akun @Manusiadakjal yang menyertai template foto berisikan screenshot berita mantan pemain sinetron Madun, Ibnu Rahim, dan aktor Jefri Nichol yang sama-sama terlibat kasus narkoba serta komentar warganet dalam menanggapi berita tersebut. Warganet mencuatkan olokan juga hinaan kepada Ibnu Rahim namun mengujarkan rindu dan kalimat suportif kepada Jefri Nichol dengan tweet berupa “Jefri nichol adalah bukti bahwa beauty privilege itu nyata dan tak terbantahkan.“
Insting Manusia Terhadap Keindahan
Karen Dion dan Ellen Berscheid dari Minnesota University bersama Elaine Waster dari Wisconsin University di tahun 1972 mengadakan eksperimen untuk meneliti apakah orang yang secara fisik menarik diasumsikan memiliki kepribadian yang dapat diterima oleh sosial dan diharapkan memiliki kehidupan yang lebih baik (seperti memiliki pasangan hidup yang memuaskan dan sukses dalam berkarir) dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu menarik secara fisik.
Peserta eksperimen yang merupakan 30 pria dan 30 wanita diberikan 3 amplop yang masing-masing berisi foto lawan jenis yang berparas sangat menarik pada amplop pertama, berparas standar pada amplop kedua, dan berparas kurang menarik pada amplop ketiga. Para peserta dapat memberikan nilai skor 3 jika orang di foto terlihat sangat memiliki kepribadian yg baik dan status yang tinggi, skor 2 jika memiliki kepribadian biasa saja serta status yang standar, dan skor 1 jika memiliki kepribadian yang kurang baik dan status yang rendah.
Hasilnya, pria tampan dan wanita cantik mendapatkan skor tertinggi, hampir dari segala aspek. Sedangkan pria dan wanita yang bertampang standar mendapatkan skor sedang. Terakhir, pria dan wanita berparas kurang menarik mendapatkan nilai terendah dari segala aspek.
Lalu mengapa manusia dapat menilai seseorang berdasarkan penampilannya? Mengutip dari jurnal Harvard yang berjudul “Why Beauty Matters”, fenomena ini terjadi “if someone is easy on eyes, the enjoyment we derive from looking at them colours our perceptions of other attributes,” yang dapat diartikan ketika seseorang sedap dipandang, persepsi kita terhadap orang tersebut akan berubah menjadi lebih baik, dari segala aspeknya, serta dipandang lebih pintar, sehat, dan memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih hanya karena mereka terlihat lebih menarik.
Tak Selalu Baik
Menjadi cantik atau tampan memang didambakan banyak orang, tak jarang produk kecantikan hingga operasi kecantikan digandrungi mereka yang ingin terlihat lebih menarik. Namun apakah terlihat menarik merupakan kunci dari segala hal? Apakah “si Rupawan” memenangkan segala kompetisi dalam kehidupannya?
Dalam studi berjudul “Judging a Book by Its Cover: Beauty and Expectations in a Trust Game” oleh Rick Wilson dan Catherine Eckel menemukan istilah baru yang disebut ‘beauty penalty’, yaitu sebuah penalti yang didapatkan oleh orang-orang yang terlihat menarik setelah gagal memenuhi ekspektasi dari lingkungan sosial kepada mereka. Hal tersebut dapat disebabkan karena ekspektasi-ekspektasi yang orang berikan kepada mereka biasanya terlalu tinggi.
Wilson mengambil contoh seperti misalnya pelayan berparas menarik yang tidak memenuhi ekspektasi pelanggannya bisa saja mendapatkan tips yang kecil. Hal ini dapat dikarenakan pelanggan awalnya sudah berekspektasi terlalu tinggi bahwa ia akan memberikan pelayanan yang luar biasa. Namun, kenyataannya pelayan tersebut hanya melakukan pelayanan sesuai standar atau biasa saja.
Cuitan Jefri Nichol menjadi topik yang paling banyak dibicarakan di Twitter pada Januari lalu. (Sumber: Rania Yolanda)
Penalty hampir serupa didapatkan oleh Jefri Nichol, aktor Indonesia, dalam media sosial Twitter, tak sampai 3 bulan yang lalu. Cuitannya yang berbunyi “Yang ngetweet ‘kalau orang jelek ngelakuin ini pasti blablabla. Kalo orang cakep ngelakuin ini pasti blablabla’, pasti mukanya memang, mohon maaf… jelek” dinilai membandingkan kondisi fisik dengan apa yang diucapkannya.
Tentu saja cuitan itu tidak direspon baik-baik saja oleh pengguna twitter lainnya. Banyak warganet menyudutkan tampangnya yang membuatnya bisa menulis hal seperti itu. Menurut khalayak, parasnya tentu tidak pernah membuatnya mendapatkan diskriminasi seperti mereka yang kurang berparas menarik. Akibatnya, cuitan tersebut menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan di Twitter. Banyak orang yang menyayangkan cuitannya, pun masih ada juga segelintir orang yang mendukungnya.
Asumsi-asumsi positif terhadap orang yang berparas menarik tentu tak akan pernah luput dari kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, terdapat keistimewaan tersendiri dari orang yang berparas menarik. Di sisi lain terdapat juga bayang-bayang ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitarnya, yang mengasumsikan paras menarik dengan semua hal baik, menuntut mereka untuk selalu bercitra baik.
Editor: Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Walter Crane
Referensi:
Anýžová, Petra & Matějů, Petr. (2018). Beauty still matters: The role of attractiveness in labour market outcomes.
Russel, Cameron. (2013). Model Cameron Russell: I get what I don’t deserve, from cnn.com
Dion, Karen., Berscheid, Ellen., & Walster, Elaine. (1972). What is Beautiful is Good. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 24, No. 3, 285-290.
Mobius, Markus M. & Rosenblat, Tanya S. (2006). Why Beauty Matters. American Economic Review 96, No. 1 : 222-235.
Judge, Timothy A., Hurst, Charlie., & Simon Lauren S. (2009). Does It Pay to Be Smart, Attractive, or Confident (or All Three?) Relationships Among General Mental Ability, Physical Attractiveness, Core Self-Evaluations, and Income. Journal of Applied Psychology 2009, Vol. 94, No. 3, 742-755.
Eckel, Catherine C. , & Wilson, Rick K. (2006). Judging a Book by its Cover: Beauty and Expectations in the Trust Game. Political Research Quarterly, Vol. 59, No. 2 (June 2006): pp. 189-202
Discussion about this post