Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia menyebabkan Pilkada Serentak 2020, yang sedianya akan digelar pada 23 September 2020, ditunda pelaksanaannya. Sejak Selasa (31/3), Kemendagri, KPU, Bawaslu, Komisi II DPR, DKPP telah berkoordinasi dengan Sekretariat Negara guna memulai penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada 2020 sebagai perubahan UU 10/2016, yang mengatur Pilkada 2020. Keputusan ini mengundang tanya oleh berbagai pihak terkait bagaimana nasib hak politik masyarakat ketika penundaan Pilkada dilakukan.
Menanggapi hal tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengadakan diskusi publik yang bertemakan “Pemilu dalam Pandemi Covid-19: Perspektif Global, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia” pada Senin (6/4) lalu. Diskusi publik dilakukan melalui media daring berupa Google Meet yang diikuti oleh 70 peserta. Diskusi ini dimoderatori oleh Heroik Mutaqin Pratama selaku Peneliti Politik dan Pemilu Perludem dan diisi beberapa narasumber, antara lain Adhy Aman selaku Senior Programme Manager International IDEA’s Asia and the Pacific Regional Programme, Amiruddin Al Rahab selaku Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, Hurriyah selaku Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, dan Nurul Amalia Salabi selaku Peneliti Perludem.
Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggeser waktu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 ditakutkan akan menggeser hak politik masyarakat. Selain itu, berbagai pertanyaan terkait bagaimana Pilkada 2020 akan dilaksanakan di tengah pandemi pun bermunculan. Menanggapi hal itu, Adhy berpendapat bahwa persoalan ini perlu didiskusikan oleh stakeholder yang terkait, mengingat dalam dunia politik tidak hanya pejabat yang berkepentingan. “Semua punya peran, semua punya kepentingan, dan masalah ini perlu didiskusikan bersama,” ujar Adhy.
Amiruddin kemudian menjelaskan bahwa penundaan pemilu yang dicanangkan oleh KPU merupakan suatu kebijakan yang tepat. Dilihat dari segi Hak Asasi Manusia, hak pilih masyarakat tidak bergeser dan terdapat hak yang jauh lebih utama yang perlu dilindungi, yaitu kesehatan para masyarakat. “Untuk kondisi situasional seperti ini, hak politik bisa ditunda. Hal ini sah-sah saja karena penundaan ini juga berupaya untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat dan juga para penyelenggara. Kalau semuanya terjangkit (Covid-19 -red), maka kita tidak bisa melaksanakan ini (Pilkada 2020 -red) dalam waktu yang panjang nanti,” tegas Amiruddin.
Menurutnya, Pemerintah juga perlu menyiapkan aturan lanjutan terkait penundaan pemilu ini. “Saya harap KPU sedari sekarang sudah langsung menulis draf Perppu terkait ini tidak harus menunggu dari pusat yang bisa memakan waktu lama,” ujarnya.
Kemudian, terkait penundaan Pilkada 2020, Hurriyah berpendapat bahwa Pemerintah perlu memperhatikan konstitusi yang terkait, terutama dalam masa jabatan Kepala Daerah dan pejabat yang terkait. Apakah akan ada ekstensi terhadap pejabat yang berkuasa atau digantikan oleh pejabat sementara.
Hurriyah menambahkan bahwa dalam menentukan penundaan pemilu terkait kondisi luar biasa, seperti pandemi, Pemerintah perlu memperhatikan kesiapan infrastruktur yang memadai jika Pemerintah ingin melaksanakan pemilihan umum secara elektronik dan dampak penerapannya terhadap konstitusi.
Bicara tentang infrastruktur teknologi, Nurul Amalia Salabi berpendapat bahwa dalam kondisi pandemi, peran teknologi informasi sangat penting dalam mengakomodasi kebutuhan politik seperti pemilu. Teknologi memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan hak suaranya dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengklarifikasi dokumen para pemilih. Terlebih lagi, pengembangan rekapitulasi elektronik saat ini, dapat menjadi pintu masuk dalam adopsi teknologi tersebut.
Editor: Rani Widyaningsih dan Tesalonika Hana
Discussion about this post