Diadaptasi dari sebuah novel klasik karya Louisa May Alcott yang telah terbit sejak lebih dari satu setengah abad lalu, film “Little Women” hasil garapan sutradara Greta Gerwig masih terasa sangat relevan hingga saat ini. Pasalnya, intrik dan konflik yang disajikan dalam film ini lekat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Mengambil latar di era perang saudara Amerika pada tahun 1861, film ini menceritakan kisah March bersaudara yang terdiri dari Meg (Emma Watson), Jo (Saoirse Ronan), Amy (Florence Pugh), dan Beth (Eliza Scanien).
Lekat dengan Stigma terhadap Wanita
Dalam film diceritakan, stigma masyarakat mengenai wanita pada saat itu adalah wanita hanya mampu menggantungkan seluruh hidupnya kepada pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sosok Jo (Saoirse Ronan) yang berambisi dan berani muncul sebagai gambaran bahwa seorang wanita pada masa itu juga memiliki kapabilitas untuk mewujudkan setiap impiannya tanpa harus menggantungkannya kepada orang lain. Jo yang bercita-cita menjadi seorang penulis percaya bahwa perempuan tidak hanya ditakdirkan untuk menikah, tetapi juga untuk mengejar cita-cita dan ambisi mereka.
“Para wanita, mereka memiliki pikiran, dan mereka memiliki jiwa, demikian juga hati. Dan mereka punya ambisi, bakat, seperti halnya juga kecantikan. Saya sangat muak dengan orang-orang yang mengatakan bahwa hanya cinta yang cocok untuk wanita. Saya sangat muak dengan itu,” ujar Jo di salah satu adegan film.
Meskipun berulang kali bibi March (Merryl Streep) yang kaya raya selalu meragukan Jo dan sifatnya yang dianggap terlampau berani pada masa itu, Jo tetap teguh pada mimpinya. Hingga akhirnya, bibi March lebih memilih Amy, anak bungsu keluarga March, untuk ikut bersamanya ke Paris. Ia menilai Amy jauh lebih realistis dan juga berpotensi dalam memperbaiki kehidupan keluarganya yang miskin dengan menikahi seorang bangsawan.
Sementara itu, hidup Meg sebagai anak sulung digambarkan begitu sederhana dengan jatuh cinta dan menikahi seorang guru privat tetangganya, meskipun harus hidup dalam kesusahan. Sedangkan saudaranya yang lain, Beth, seorang pecinta musik yang pendiam sudah merasa bahagia hanya dengan tinggal di rumah dan berkumpul bersama keluarganya.
Cinta, Keluarga, dan Ambisi
Di lain sisi, film ini juga menceritakan kisah cinta segitiga antara Jo, Amy, dan Laurie (Timothée Chalamet) yang penuh ironi. Dalam lubuk hatinya, Jo mencintai Laurie, namun ia tidak bisa menikahinya karena ia tidak ingin terjebak dalam pernikahan dan mematahkan mimpinya. Ia kemudian merantau jauh ke New York dari kampung halaman mereka di Massachusetts untuk mempromosikan tulisannya ke berbagai penerbit. Sepulangnya Jo dari New York, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa adiknya, Amy, akan menikah dengan Laurie. Namun, Jo berusaha tegar dan bijak untuk menahan perasaannya kala itu demi kebahagiaan adiknya.
Selain itu, sepeninggal adiknya, Beth, Jo menjadi sangat terpuruk. Untuk mengenang mendiang adiknya, ia kemudian membuat sebuah tulisan yang bercerita tentang perjalanan keempat saudara tersebut. Tulisannya kali ini berhasil diterbitkan dan Jo mendapat hak cipta atas karyanya. Meskipun harus dihadapi dengan lingkungan yang berisikan mayoritas pria dan stigma masyarakat pada saat itu, setiap pengorbanan yang ia lakukan untuk mengejar mimpinya setimpal di akhir cerita.
Film yang dirilis pada akhir tahun 2019 lalu memang bukan film pertama hasil adaptasi dari novel “Little Women”. Terdapat setidaknya lima film yang diadaptasi dari novel tersebut. Salah satunya adalah film karya sutradara Gillian Armstrong yang karyanya berhasil mendapat tiga nominasi dalam Academy Awards atau Oscars di tahun 1995.
Wajah Baru dari Adaptasi Sebelumnya
Banyaknya versi film “Little Women” terdahulu memunculkan skeptis dari berbagai pihak. Terlebih, versi terakhir film “Little Women” yang rilis pada tahun 1994 dengan Winona Ryder yang berperan sebagai Jo March dapat dikatakan sebagai film yang paling mirip dengan versi novel. Jika Gillian mengisahkan Jo yang tidak menikah pada akhirnya, di film ini, Greta mencoba memperlihatkan perjuangan Jo yang merefleksikan sosok sang penulis, May Alcott. Ia berdebat dengan editornya yang mengkritik bukunya karena karakter utamanya tidak menikah dengan siapapun pada akhirnya. Karena desakan sang editor, Jo pun membuat karakter utama di tulisan ini menikah dengan rekan kerjanya selama di New York.
Greta Gerwig berhasil melampaui ekspektasi para penikmat kisah “Little Women” dengan memberi warna baru terhadap alur cerita. Film “Little Women” kali ini disajikan dalam alur cerita yang non-linear atau maju mundur antara masa kecil dan masa sekarang. Meskipun begitu, penonton tetap dapat mengikuti keseluruhan cerita dengan baik karena setiap transisi antar kejadian dikemas dengan sangat apik.
Secara keseluruhan, film ini berhasil memanjakan penikmatnya dan menjadi wajah baru dari kisah novel klasik “The Little Women”. Alur cerita dengan segala intrik di dalamnya hingga pesan feminisme yang erat kaitannya dalam film ini mampu membuat para penonton terkesima dengan hasil karya Greta Gerwig. Hal inilah yang mengantarkan film ini dalam enam nominasi piala Oscars dan memenangkan kategori Adaptasi Film Terbaik dari Critics’ Choice Movie Awards serta sederet penghargaan lainnya.
Editor: Rani Widyaningsih
Discussion about this post