Matahari belum terbenam seluruhnya, sedikit oranye menyembul-nyembul dari balik tirai awan. Kopi hitam yang kupesan sepuluh menit yang lalu kini sisa setengah, lain cerita dengan teh manis pesanan Wasgi. Habis tak bersisa. Entah batang rokok ke-berapa yang kini tengah membara diantara jemariku, yang pasti aku dan Wasgi sudah duduk di warung kopi ini sejak pagi tadi. Bukan karena tidak punya kerjaan, tapi duduk di warung kopi ini merupakan bentuk pengisolasian diri ditengah segala hingar-bingar kasus Covid-19. Dan sekarang, Wasgi tengah menunjukkan sesuatu yang menarik dari layar telepon genggamnya.
“Aih, seru juga pertandingan voli ini.” Ujarku pada Wasgi, saat kami sedang menonton sebuah video pertandingan voli tim nasional wanita Indonesia. Servis demi servis, spike demi spike terus dilancarkan kedua tim saling berbalasan, saling menggempuri tanpa ampun. “Alamak, kalo aku ditaro disitu, habis lah.” Gumam Wasgi keheranan. Memang, bila dibandingkan denganku dan Wasgi yang bahkan sama sekali tidak punya kapabilitas untuk bermain voli, bagaikan langit dan bumi. Bisa jadi lebih.
Meski pada akhirnya Indonesia menelan kekalahan atas Thailand, video yang disetel Wasgi menunjukkan suatu hal baru kepadaku. Kenyataan bahwa pertandingan olahraga perempuan tidak kalah intens dan seru dibanding cabang laki-laki.
Dari segala nama yang muncul dalam pertandingan itu, ada satu nama yang amat menarik perhatian kami. Seseorang yang begitu kokoh menghadang bola-bola kencang dari lawan, kadang memukulnya balik. Aprilia Santini Manganang. Meski tingginya tidak setinggi yang lain, perawakannya macam binaragawan, bahunya lebar dan bidang, lengannya kekar, yang pasti posturnya lebih baik dariku yang keceng ini. Kira-kira jika kepalaku diletakkan di sikunya lalu ia melipat tangannya, tempurung kepalaku bakal remuk. Barangkali bawaan genetik yang bercampur dengan variabel lingkungan olahraga-lah yang membuat perawakannya sampai bikin iri banyak kaum adam.
“Eh, omong-omong soal perempuan yang bikin iri laki-laki, kau udah tau tentang si Heaven Fitch atau belom wak?” Tanya Wasgi.
“Hah, belom tau Gi, siapa dia?” Jawabku.
“Itu loh, perempuan yang menang kompetisi gulat SMA di North Carolina.”
“Ya terus kenapa Gi? Apa yang spesial? Bukannya kompetisi gulat SMA macam gitu emang pantasnya dimenangi sama anak SMA disana? Kalo yang menang itu anak kuliahan Indonesia macam kau baru lah awak kaget.”
“Bukan gitu kawan, masalahnya lawan si Heaven ini laki-laki. Dan lagi dia jadi perempuan pertama yang menang piala itu.” Pungkas Wasgi.
Luar biasa sekali, pikirku. Seorang perempuan mengalahkan laki-laki dalam cabang olahraga yang sarat otot.
Jadi teringat, beberapa saat yang lalu sempat merebak isu mengenai partisipasi transgender dalam Olimpiade Tokyo 2020. (yang rencananya bakal diadakan pertengahan tahun ini, tapi entah jadi atau tidaknya, sialan kau Covid-19) Banyak sekali pihak yang kontra dengan ide itu, kata mereka: “Wanita transsexual pun, tetap memiliki fisik alami seorang laki-laki. Jadi mana boleh diadu dengan perempuan, jelas perempuan-perempuan “tulen” bakal kalah.” Ah, tapi melihat Aprilia Santini Manganang dan Heaven Fitch, aku kok jadi punya pandangan lain ya?


Nilai Luhur Olahraga
Olahraga bukan cuma sekedar menggerakkan badan hingga berkeringat. Bukan pula sekedar mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, di dalamnya terkandung beberapa nilai yang dijunjung tinggi. Nilai-nilai tersebut terangkum dalam apa yang kita kenal sebagai sportpersonship. Sportpersonship menahkodai aturan-aturan yang berlaku di olahraga untuk saat ini1Iturbide-Luquin, L. and Elosua-Oliden, P., 2017. The Values Associated with the Sport: Analysis and Evaluation of Sportspersonship. Revista de Psicodidáctica (English ed.), 22(1), pp.29-36..
Didalam nilai sportmanship, ada sebuah nilai yang bernama fairness. Nilai tersebut menjelaskan bahwa, olahraga harus ditandingkan dalam lapangan yang adil. Maksudnya, barangsiapa yang berkompetisi, harus berada dalam level yang sama. Hal ini memicu pemisahan kelas olahraga berdasarkan gender. Karena laki-laki dianggap superior dalam olahraga.
Tapi, pemisahan berdasar gender tersebut tidaklah sepenuhnya fair bagi semua orang, karenanya beberapa orang malah tidak bisa berkompetisi sama sekali. Lalu bagaimana baiknya ya?
Apa Sebenarnya Transsexual itu? Apa Bedanya dengan Transgender?
Transgender adalah istilah luas untuk mendeskripsikan orang-orang yang bergender beda dengan apa yang dibawa mereka ketika lahir. Wanita transgender adalah pria yang menjalankan gender sebagai wanita, sedangkan pria transgender adalah sebaliknya. Adapula yang menggunakan istilah genderqueer atau non-binary, yakni mereka yang tidak mendefinisikan gender mereka kedalam kelompok laki-laki maupun perempuan, atau bahkan mereka adalah campuran dari keduanya. Mereka tidak harus berganti kelamin untuk bisa berganti gender, yang penting adalah bagaimana mereka mengekspresikan gender yang mendeskripsikan mereka2Transequality.org. 2016. Understanding Transgender People : The Basics. [online] Available at: https://transequality.org/sites/default/files/docs/resources/Understanding-Trans-Short-July-2016_0.pdf[Accessed 29 March 2020]..
Transsexual adalah salah satu cabang dibawah payung transgender. Orang-orang ini mengubah alat kelaminnya dari apa yang mereka bawa sedari lahir. Banyak faktor yang memengaruhi seseorang sebelum mereka memutuskan untuk mengubah jenis kelamin mereka. Dari faktor biologis hingga psikologis. Untuk faktor biologis, beberapa orang bisa saja lahir dengan kondisi reseptor hormon sexual yang berbeda. Pada umumnya, laki-laki terangsang oleh perempuan, perasaan itu timbul dipengaruhi oleh reseptor hormon bernama androgen receptor. Kelainan pada reseptor tersebut akan membuat laki-laki merasa “tertarik” dengan sesama jenisnya dan membuat otak mereka menjadi feminim. Untuk kasus pada perempuan, kelainan terdapat pada gen CYP173Hare, L., Bernard, P., Sánchez, F., Baird, P., Vilain, E., Kennedy, T. and Harley, V., 2009. Androgen Receptor Repeat Length Polymorphism Associated with Male-to-Female Transsexualism. Biological Psychiatry, 65(1), pp.93-96.. Lain lagi sisi psikologis, meski belum dapat dijelaskan secara pasti apa yang memengaruhi seseorang secara psikologis, bisa saja lingkungan keluarga, kondisi masa kecil, hingga ketertarikan terhadap konstruksi gender4American Psychologist, 2015. Guidelines for psychological practice with transgender and gender nonconforming people. 70(9), pp.832-864., ada satu hal yang pasti. Bahwa transsexual bukanlah gangguan jiwa5https://www.who.int.
Untuk bertransisi jenis kelamin sepenuhnya, transpeople akan melewati serangkaian tahapan. Biasanya mereka akan mengalami fase gender dysphoria terlebih dahulu, yaitu saat dimana seseorang merasa tidak sejalan dengan gender yang mereka miliki; seorang laki-laki menyadari bahwa dalam dirinya, ia seorang perempuan, atau sebaliknya. Setelah melewati fase itu, mereka harus berkonsultasi dengan dokter dan psikolog untuk menentukan langkah selanjutnya6Vidal-Ortiz, S., 2008. Transgender and Transsexual Studies: Sociology’s Influence and Future Steps. Sociology Compass, 2(2), pp.433-450.. Dari aspek sosial hingga operasi dan terapi yang akan diambil, semuanya harus dalam arahan profesional.
Para terapis akan meyakinkan orang-orang ini terlebih dahulu, apakah keputusan yang akan diambil adalah benar adanya dari dalam diri dan tidak bisa diganggu gugat. Karena kehidupan sosial yang akan dijalani pasca operasi tidaklah mudah, apalagi dalam lingkungan masyarakat yang intoleran. Berbagai label dan gunjingan akan kerap dilemparkan seperti “orang-orang gila,” “tidak mensyukuri pemberian tuhan,” “Jangan dekati mereka, nanti ketularan!”, dan sebagainya. Tekanan dari luar akan terus menggebu, dan para transsexual harus siap akan realita ini. Hal tersebut disebabkan karena mayoritas masih beranggapan bahwa transeksual merupakan suatu aktivitas yang menyimpang7Arfanda, F., 2015. [online] Journal.unhas.ac.id. Available at: <http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis/article/download/5/5> [Accessed 29 March 2020]..
Sedangkan untuk transformasi fisik dimulai perlahan-lahan dari operasi rekonstruksi alat kelamin. Dimulai dari pengubahan penis menjadi vagina untuk transwoman, dan sebaliknya untuk transman8Bizic, M., Stojanovic, B. and Djordjevic, M., 2015. Sex reassignment surgery. Medicinski podmladak, 66(1), pp.9-17.. Kemudian dilanjutkan dengan operasi-operasi minor tubuh bagian atas. Macam operasi pengangkatan payudara, operasi pengecilan bahu, dan operasi-operasi estetik lainnya. Baru ditutup dengan rangkaian operasi suntik hormon berkepanjangan, suntik testosteron untuk transman, dan suntik estrogen untuk transwoman9Fenwayhealth.org. 2018. Transgender Health : Injection Guide. [online] Available at: https://fenwayhealth.org/wp-content/uploads/2015/07/COM-1880-trans-health_injection-guide_small_v2.pdf [Accessed 29 March 2020]..
Benar salahnya tindak-tanduk transgender dan transsexual adalah subjektif, tidak ada aturan tertulis yang memperbolehkan, tapi begitu juga dalam hal melarang. Apabila ada yang tidak suka dengan operasi ganti kelamin, ya wajar-wajar saja, bahkan tuhan pun dibenci oleh setan. Tapi ketika mulai mendiskriminasi seseorang atas kebebasan yang dilakukan kepada tubuh mereka sendiri, mendiskriminasi mereka atas hak-hak mereka tanpa merugikan orang lain, adalah salah adanya. Mengucilkan mereka dalam masyarakat, melarang mereka bersosialisasi, adalah bentuk sanksi sosial yang melanggar hak manusia.
Perbedaan Fisik Laki-laki dan Perempuan
Pasca pubertas, melalui penglihatan mata saja, fisik laki-laki dan perempuan sudah nampak perbedaannya. Perempuan cenderung memiliki pinggul dan payudara lebih besar, sedang laki-laki cenderung memiliki bahu lebih lebar, adanya jakun pada leher, dan bulu-bulu halus (kumis dan jenggot) di sekitar wajah10Gray, H., 2012. Anatomy Of The Human Body. London, England: Bounty.. Sedangkan untuk hal-hal tak kasat mata seperti massa otot. Untuk urusan angkat-mengangkat beban (contoh: galon aqua, barbel) laki-laki cenderung lebih kuat karena massa otot mereka lebih besar daripada perempuan. (Jones, M., Jagim, A., Haff, G., Carr, P., Martin, J. and Oliver, J., 2016. Greater Strength Drives Difference in Power between Sexes in the Conventional Deadlift Exercise. Sports, 4(3), p.43.) Besarnya massa otot ini dipengaruhi oleh faktor hormonal, hormon testosteron yang normalnya tinggi pada laki-laki-lah pendorong pembentukan massa otot tersebut11Decroli, E., n.d. [online] Repo.unand.ac.id. Available at: http://repo.unand.ac.id/21869/1/Testosteron%20and%20the%20Benefit%20for%20Men%27s%20Health%20%2B%20abstrak-%20dr.%20Eva%20Decroli%2C%20SpPD.pdf [Accessed 29 March 2020]. Artinya, apabila ada perempuan yang memiliki massa otot yang besar, salah satu faktor penentunya adalah kadar testosteron yang tinggi (wanita macho).
Lain hormon testosteron yang dominan pada kaum adam, lain pula hormon estrogen yang dominan pada kaum hawa. Tingginya tingkat hormon estrogen dalam tubuh akan menginduksi pemanjangan otot dan kelenturan sendi. Maka dari itu, perempuan cenderung memiliki fleksibilitas badan yang lebih baik daripada laki-laki12Nugraha, D., 2014. [online] Lib.ui.ac.id. Available at: http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/S-pdf-Dary%20Alhady%20Nugraha> [Accessed 29 March 2020]..
Namun ada sebuah kasus anomali dalam fisik manusia. Dimana seseorang bejenis kelamin berbeda dengan ciri fisiknya. Anomali ini disebut Disorders of Sex Development (DSD) dan orang-orangnya kadang disebut sebagai intersex. Penyebabnya tak lain adalah kelainan pembelahan sel kelamin ketika masih dalam kandungan13Witcnel SF, Lee PA, Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA: Saunders, 2002; 111-33.. Agar makin jelas, seorang wanita, memiliki kadar testosteron–umumnya tinggi pada pria–yang tinggi, ia mendapati massa otot dan kekuatan seperti laki-laki, tapi untuk “benda” di selangkangannya, tetap vagina. Ya, kira-kira seperti itulah intersex.
Kenapa bisa sampai ada perbedaan pada fisik laki-laki dan perempuan? Ada sebuah teori yang menyatakan bahwa perbedaan ini terjadi karena diferensiasi pekerjaan yang sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu. Laki-laki berburu, wanita berkumpul. Laki-laki berperan melindungi sanak famili, perempuan perannya mengasuh mereka. Dan hasilnya adalah seperti sekarang ini, fisik dan psikis berevolusi dalam jalur yang berbeda14Pease, B. and Pease, A., 2000. Why Men Don’t Listen & Women Can’t Read Maps. New York, NY: Welcome Rain.. Namun, batasan antara pengaruh evolusi dengan keadaan inheren tidak menentu dan silih berganti sesuai dengan perkembangan teori. Dapat dilihat dari bentuk tubuh manusia sebelum pubertas. Tidak ada beda antara fisik laki-laki dan perempuan. “Bentuk” mereka masih sama karena dalam usia anak-anak itu, manusia belum mengambil peran mereka dalam keluarga15Jenike, M., 2000. Male, Female: The Evolution of Human Sex Differences. Evolution and Human Behavior, 21(4), pp.283-285.. Barangkali, ya barangkali, jutaan tahun yang lalu bahkan setelah mengambil peran, bentuk fisik kita semua sama adanya.

Anomali Dalam Dunia Olahraga
Dutee Chand adalah seorang pelari wanita asal India, sedangkan Caster Semenya berasal dari Afrika Selatan. Meski berasal dari dua negara yang berjauhan, keduanya punya persamaan, selain sama-sama pelari. Yaitu: kondisi hyperandrogenism mereka berdua sama-sama pernah bikin gempar dunia kompetisi lari.
Pada tahun 2014, setelah memenangi dua medali emas kompetisi atletik junior asia, nasib naas menipa Dutee Chand. Bukannya melanjutkan kegemilangan di tingkat yang lebih komunal, ia malah dilarang untuk mengikuti kompetisi lari. The International Association of Athletics Federations (IAAF) melarang keikutsertaan Dutee karena ia memiliki kadar testosteron jauh diatas wanita normal16BBC Sport. 2015. Dutee Chand Cleared To Race As IAAF Suspends ‘Gender Test’ Rules. [online] Available at: https://www.bbc.com/sport/athletics/33683779 [Accessed 29 March 2020]., yang menyalahi aturan hyperandrogenism-nya IAAF. Kondisi itu jelas menimbulkan pro dan kontra, karena kondisi fisik yang jauh diatas wanita normal itu adalah bawaan lahir, bukan semacam doping atau operasi suntik hormon. Akhirnya, carut-marut seputar Dutee berakhir pada tahun 2015 setelah IAAF melakukan pengubahan pada peraturan tersebut.17https://www.google.com/url?q=https://web.archive.org/web/20170704221029/http://www.tas-cas.org/fileadmin/user_upload/award_internet.pdf&sa=D&ust=1585485024258000. Dan, Dutee diperbolehkan untuk berlari kembali.
Kasus Caster Semenya tidaklah jauh beda dengan Dutee. Pada April 2018, IAAF membuat peraturan baru mengenai kadar testoseron dalam tubuh atlit perempuan18The Telegraph. 2018. Caster Semenya To Be Forced To Lower Testosterone Levels Or Face 800M Ban. [online] Available at: https://www.telegraph.co.uk/athletics/2018/04/25/caster-semenya-forced-lower-testosterone-levels-face-800m-ban/ [Accessed 29 March 2020].. Caster diminta menurunkan kadar testosteron dalam tubuhnya untuk dapat berkompetisi dalam ajang 800m. Dan tentunya, ia menolak. Menurut banyak pihak, peraturan ini terkesan janggal, karena berkesan menarget Caster secara spesifik. Sekarang akibatnya, status keikutsertaan Caster Semenya dalam Olimpiade Tokyo 2020 masih luntang-lantung.

Dua kasus diatas menimbulkan sebuah pertanyaan besar yang amat mengganjal. Mereka berdua, lahir sebagai perempuan–meski Caster Semenya memiliki ciri intersex, dia tetap perempuan–tetapi kondisi fisik membuat mereka dilarang untuk berkompetisi dengan perempuan-perempuan lain. Jika mereka dianggap terlalu “kuat” bagi kaum perempuan, lalu dengan siapa mereka harus berkompetisi?
Selain Caster Semenya dan Dutee Chand, ada satu orang lagi yang pernah bikin gempar dunia olahraga. Tenis lebih spesifiknya. Ia adalah Renee Richard. Pada tahun 1976, ia dilarang berkompetisi dalam U.S. Open karena menolak melakukan Barr Body Chromosome Test untuk memverifikasi jenis kelaminnya. Renee melakukan operasi transisi kelamin dari penis menjadi vagina pada tahun 1975, setelah bertahun-tahun mempertimbangkannya. Alasannya menolak adalah simpel, ia merasa, test tersebut melanggar haknya sebagai manusia. Dan merupakan diskriminasi terhadap kaum transsexual19Throwback Thursday: Transgender Tennis Trailblazer Renée Richards Takes on the U.S. Open, 2016.
Transsexual yang tidak melakukan tes kadar hormon saja dilarang untuk berkompetisi, bagaimana dengan transgender yang tidak melakukan operasi transisi kelamin?
Berbeda dengan transsexual yang saat ini aturannya sudah jelas, kasus transgender masih belum ada aturan tertulisnya. Transwoman misalnya, dia tetap boleh mengikuti olimpiade, meski dalam batasan yang ketat. Mereka tetap boleh berkompetisi asalkan kadar testoteron mereka tetap berada dalam batasan tertentu20Canadian Running Magazine. 2019. IAAF Rules On Trans Athletes’ Testosterone Levels – Canadian Running Magazine. [online] Available at: https://runningmagazine.ca/the-scene/iaaf-rules-on-trans-athletes-testosterone-levels/ [Accessed 29 March 2020].. Transman lebih fleksibel, selama mereka sudah melakukan operasi kelamin dan fisik hingga menyerupai laki-laki, mereka boleh ikut serta.
Transgender yang tidak melakukan operasi ganti kelamin harus diklasifikasikan kemana? Laki-laki secara fisik, tetapi perempuan secara gender, tidak boleh mengikuti kompetisi atas gender mereka. Lalu apakah itu artinya mereka tidak akan bisa mengikuti kompetisi olahraga? Bukankah itu pengebirian hak mereka sebagai manusia?21Un.org. 2020. Human Rights. [online] Available at: https://www.un.org/en/sections/issues-depth/human-rights/ [Accessed 29 March 2020]..
Faktor X Yang Turut Andil
Bola itu bulat. Apa saja bisa terjadi dalam pertandingan, tidak peduli sehebat apapun lawanmu, engkau masih punya peluang untuk memenangkan pertandingan. Kalimat barusan mirip dengan apa yang sering diutarakan oleh kapten kita bersama, Kapten Tsubasa, karakter serial kartun Captain Tsubasa. Dalam kartun tersebut, sering diceritakan tentang kemenangan kesebelasan si kapten yang sering dipandang sebelah mata dibanding lawannya. Biasanya, dimulai dengan kemenangan tipis lawan di babak pertama. Kemudian pada babak kedua: bagaimana heroiknya si kapten menyamakan kedudukan, kemudian pada menit-menit akhir, kedudukan berbalik jadi kemenangan untuk mereka.
KIsah semacam itu pernah pula terjadi dalam dunia nyata. Mungkin banyak yang tidak ingat tentang keajaiban FC Porto pada tahun 2004. Perjalanan yang begitu hebat hingga terdengar seperti dongeng. FC Porto, klub dari Liga Portugal, hanya akan terlihat seperti “klub kecil” apabila disandingkan dengan raksasa-raksasa sepakbola eropa saat itu, macam: Barcelona, Real Madrid, Manchester United, dan AC Milan. Dari segi finansial klub hingga deretan pemain-pemainnya yang tidak berlabel bintang, FC Porto jelas sudah kalah dalam perang perebutan Champions League.
Namun kenyataan berkata lain. Secara mengejutkan, mereka muncul sebagai kampiun untuk kemudian mengangkat si kuping besar (julukan untuk trofi champions league) tinggi-tinggi. Daud mengalahkan para Goliath, ya, “para” Goliath, karena mereka menaklukkan tidak hanya satu klub besar sebelum bisa menjadi juara.
Ada lagi cerita “dongeng” yang tidak kalah hebatnya. Pada tahun 2019 lalu Jasmin Paris, menjadi wanita pertama yang memenangi kompetisi Montane Spine Race, kompetisi lari yang menantang ketahanan tubuh itu jaraknya 268 mil! Dan hebatnya lagi, di sela waktu istirahatnya, ia menyusui anaknya! Kemenangan Jasmin disambut dengan meriah, karena selain ia memang tidak diperhitungkan dalam bursa juara sebelumnya, catatan waktunya–tercatat 85 jam 12 menit–mengalahkan dua rekor sekaligus, yang pertama adalah catatan waktu lari tercepat sepanjang sejarah kompetisi, milik Eoin Keith dengan 95 jam 17 menit. Yang kedua, catatan waktu tercepat yang pernah dicatat oleh perempuan, Carol Morgan, dengan 109 jam 54 menit. Itulah Jasmin Paris, si underdog. Dan ia menang bukan hanya sekedar menang, ia menang sembari mencatat namanya di buku sejarah22Ingle, S., 2019. Jasmin Paris Becomes First Woman To Win 268-Mile Montane Spine Race. [online] the Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/sport/2019/jan/17/jasmin-paris-first-woman-win-gruelling-286-mile-montane-spice-race-ultrarunning [Accessed 29 March 2020]..

Perjalanan mereka adalah salah satu bukti bahwa menjadi pihak yang tidak diunggulkan tidak semerta-merta merupakan hal buruk. Pihak tidak diunggulkan memang tidak memiliki kemampuan sebaik pihak yang diunggulkan, tapi mereka memiliki semangat juang yang lebih besar. Para underdogs cenderung bertanding tanpa beban, karena memang mereka tidak dibebani ekspektasi untuk menang. Berbanding terbalik dengan pasangan mereka, topdogs. Bertanding dibawah ekspektasi akan memberi tekanan ekstra, eksekusi setiap langkah dituntut untuk sempurna. Yang justru dalam beberapa kasus, bakal jadi bumerang, karena membuat atlit tidak mampu berpikir dengan jernih23Vandello, J., Goldschmied, N. and Richards, D., 2007. The Appeal of the Underdog. Personality and Social Psychology Bulletin, 33(12), pp.1603-1616..
Para penikmat olahraga juga jauh lebih menyukai kisah kemenangan para underdogs, yang artinya, tambahan dukungan moral, dorongan semangat bagi para atlit.
Menuju Olahraga Tanpa Gender
Dalam berbagai kesempatan, macam kasus Dutee, Caster, dan Renee, klasifikasi berdasar gender cuma bikin riweuh dunia olahraga. Orang-orang Intersex dan trans yang dirasa “kurang” pas apabila dimasukkan dalam dikotomi perempuan dan laki-laki jadi tidak bisa berkompetisi. Padahal kan, mengikuti kompetisi adalah hak manusia.
Melihat majunya teknologi sekarang, bagaimana kita bisa mengetahui seluk beluk fisik manusia hingga ke level kromosom, mengetahui massa ototnya, bentuk tulang, sampai-sampai kadar hormon, adalah baiknya untuk mengganti pengklasifikasian dalam olahraga menjadi klasifikasi murni berdasar kondisi fisiologis, tanpa memandang gender. Sehingga wanita-wanita “kuat” macam Dutee dan Caster, bisa berkompetisi dengan laki-laki. Toh, secara fisiologis mereka sama kuatnya. Kondisi ini juga secara langsung merangkul para trans agar dapat berkompetisi dalam olahraga yang lebih komunal dan menjauhkan mereka dari diskriminasi sosial.
Terlepas dari sudah adilnya pembagian kelas, dalam pengaplikasiannya nanti pasti tetap ada pihak yang tidak terima dan berkoar: “Gak adil! Perempuan pasti kalah!” Mereka-mereka adalah pihak yang melihat wanita sebagai pihak non-unggulan alias underdog. Tapi kan, menjadi underdog tidak selamanya buruk?
Olahraga tanpa gender adalah salah satu langkah lebih dekat dengan persamaan seluruh umat manusia. Selain itu, siapa yang tahu, jika pada zaman dahulu kala, fisik kita semua benar sama adanya, dan langkah ini juga bisa jadi awal dari garis evolusi baru manusia.
Editor : M Daffa Nurfauzan, Miftah Rasheed Amir, Rama Vandika Daniswara
Illustrator : Saffana Putri
Referensi
↵1 | Iturbide-Luquin, L. and Elosua-Oliden, P., 2017. The Values Associated with the Sport: Analysis and Evaluation of Sportspersonship. Revista de Psicodidáctica (English ed.), 22(1), pp.29-36. |
↵2 | Transequality.org. 2016. Understanding Transgender People : The Basics. [online] Available at: https://transequality.org/sites/default/files/docs/resources/Understanding-Trans-Short-July-2016_0.pdf[Accessed 29 March 2020]. |
↵3 | Hare, L., Bernard, P., Sánchez, F., Baird, P., Vilain, E., Kennedy, T. and Harley, V., 2009. Androgen Receptor Repeat Length Polymorphism Associated with Male-to-Female Transsexualism. Biological Psychiatry, 65(1), pp.93-96. |
↵4 | American Psychologist, 2015. Guidelines for psychological practice with transgender and gender nonconforming people. 70(9), pp.832-864. |
↵5 | https://www.who.int |
↵6 | Vidal-Ortiz, S., 2008. Transgender and Transsexual Studies: Sociology’s Influence and Future Steps. Sociology Compass, 2(2), pp.433-450. |
↵7 | Arfanda, F., 2015. [online] Journal.unhas.ac.id. Available at: <http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis/article/download/5/5> [Accessed 29 March 2020]. |
↵8 | Bizic, M., Stojanovic, B. and Djordjevic, M., 2015. Sex reassignment surgery. Medicinski podmladak, 66(1), pp.9-17. |
↵9 | Fenwayhealth.org. 2018. Transgender Health : Injection Guide. [online] Available at: https://fenwayhealth.org/wp-content/uploads/2015/07/COM-1880-trans-health_injection-guide_small_v2.pdf [Accessed 29 March 2020]. |
↵10 | Gray, H., 2012. Anatomy Of The Human Body. London, England: Bounty. |
↵11 | Decroli, E., n.d. [online] Repo.unand.ac.id. Available at: http://repo.unand.ac.id/21869/1/Testosteron%20and%20the%20Benefit%20for%20Men%27s%20Health%20%2B%20abstrak-%20dr.%20Eva%20Decroli%2C%20SpPD.pdf [Accessed 29 March 2020] |
↵12 | Nugraha, D., 2014. [online] Lib.ui.ac.id. Available at: http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/S-pdf-Dary%20Alhady%20Nugraha> [Accessed 29 March 2020]. |
↵13 | Witcnel SF, Lee PA, Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA: Saunders, 2002; 111-33. |
↵14 | Pease, B. and Pease, A., 2000. Why Men Don’t Listen & Women Can’t Read Maps. New York, NY: Welcome Rain. |
↵15 | Jenike, M., 2000. Male, Female: The Evolution of Human Sex Differences. Evolution and Human Behavior, 21(4), pp.283-285. |
↵16 | BBC Sport. 2015. Dutee Chand Cleared To Race As IAAF Suspends ‘Gender Test’ Rules. [online] Available at: https://www.bbc.com/sport/athletics/33683779 [Accessed 29 March 2020]. |
↵17 | https://www.google.com/url?q=https://web.archive.org/web/20170704221029/http://www.tas-cas.org/fileadmin/user_upload/award_internet.pdf&sa=D&ust=1585485024258000 |
↵18 | The Telegraph. 2018. Caster Semenya To Be Forced To Lower Testosterone Levels Or Face 800M Ban. [online] Available at: https://www.telegraph.co.uk/athletics/2018/04/25/caster-semenya-forced-lower-testosterone-levels-face-800m-ban/ [Accessed 29 March 2020]. |
↵19 | Throwback Thursday: Transgender Tennis Trailblazer Renée Richards Takes on the U.S. Open, 2016 |
↵20 | Canadian Running Magazine. 2019. IAAF Rules On Trans Athletes’ Testosterone Levels – Canadian Running Magazine. [online] Available at: https://runningmagazine.ca/the-scene/iaaf-rules-on-trans-athletes-testosterone-levels/ [Accessed 29 March 2020]. |
↵21 | Un.org. 2020. Human Rights. [online] Available at: https://www.un.org/en/sections/issues-depth/human-rights/ [Accessed 29 March 2020]. |
↵22 | Ingle, S., 2019. Jasmin Paris Becomes First Woman To Win 268-Mile Montane Spine Race. [online] the Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/sport/2019/jan/17/jasmin-paris-first-woman-win-gruelling-286-mile-montane-spice-race-ultrarunning [Accessed 29 March 2020]. |
↵23 | Vandello, J., Goldschmied, N. and Richards, D., 2007. The Appeal of the Underdog. Personality and Social Psychology Bulletin, 33(12), pp.1603-1616. |
Discussion about this post