Dekade ketiga abad ke-21 dimulai dengan berbagai kejadian yang menimbulkan syak wasangka di dunia. Seperti halnya banjir Jakarta pada malam tahun baru, konflik antara AS-Iran yang konon hampir mencetuskan perang dunia, ratusan eks-ISIS yang meminta kepada Presiden Joko Widodo agar dapat kembali ke Indonesia, dan yang saat ini sedang terjadi secara global, yakni pandemi Coronavirus Disease atau Covid-19. Korban meninggal pertama dilaporkan pada 10 Januari 2020 di Hong Kong.
Virus yang sampai saat ini belum ditemukan vaksinnya menjadi penyebab kekacauan global dalam berbagai aspek, ditambah lagi dengan tingkat penyebaran yang cepat dibandingkan dengan flu biasa. Deteksi dari terpaparnya virus ini juga tidak memiliki gejala yang spesifik. Mayoritas penderita mengalami gejala demam dan batuk Gejala lebih lanjut adalah penderita mengalami sesak pada bagian dada dan kesulitan bernafas.
Common signs of infection include respiratory symptoms, fever, cough, shortness of breath and breathing difficulties. In more severe cases, infection can cause pneumonia, severe acute respiratory syndrome, kidney failure and even
– World Health Organization
Penyebaran yang mudah dan gejala yang sangat awam menyebabkan kepanikan di kalangan masyarakat. Dalam menghadapi krisis berskala besar seperti ini, tindak tanduk pemerintah menjadi acuan masyarakat untuk bergerak. Lantas, bagaimana pemerintah Indonesia menanggapi pandemi ini? Bagaimana negara lain menghadapinya? Mengapa Indonesia merasa aman di awal munculnya virus ini?
Penanganan Covid-19 merupakan tugas pemerintah sebagai penyedia kebutuhan publik. Selain program penanganan, kebijakan informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah berperan krusial dalam penanganan pandemi [1]. Penunjukan Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menjadi juru bicara pemerintah terkait penanganan Covid-19 pada 3 Maret silam menjadi langkah awal pemerintah pusat mengenai pemberian informasi terhadap publik [2] [3]. Pasca ditetapkannya dua WNI berstatus positif Covid-19, pemerintah pusat mulai melakukan surveillance tracking dan pengawasan di bandara langsung diperketat untuk mencegah penyebaran dan melacak siapa saja yang diduga mengidap virus ini [4].
Presiden Joko Widodo mengaku tidak memberikan data yang utuh kepada masyarakat dengan dalih menghindari kepanikan yang akan terjadi jika data tersebut disampaikan secara utuh kepada khalayak umum [5]. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki sikap yang berbeda dengan pemerintah pusat. Anies menganggap keterbukaan informasi sangatlah penting untuk menghadapi pandemi ini [6] . Sikap pemerintah provinsi tercermin dengan mengeluarkan data persebaran tempat tinggal terduga dan pasien positif Covid-19 pada laman resmi pemerintah provinsi DKI Jakarta [7]. Selain penyampaian informasi, pemerintah pusat menegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan lockdown di tingkat pusat maupun daerah, kewenangan berada di tangan pemerintah pusat, namun tetap ada pemerintah daerah yang melaksanakan lockdown tanpa adanya restu dari pemerintah pusat [8] [9]. Koordinasi pemerintah terkesan kacau: pemerintah daerah yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat justru bergerak sendiri.
Di luar polemik birokrasi, terdapat pertanyaan besar yang perlu dijawab terlebih dahulu. Apakah kebijakan pemerintah pusat terkait dengan komunikasi dan penyebaran data sudah tepat? Lalu, segawat apakah krisis yang dihadapi Indonesia? Apakah lockdown memang diperlukan? Jika tidak, maka sejauh mana langkah-langkah perlindungan yang diperlukan?
Transparansi Informasi dalam Pandemi
Transparansi informasi dalam kasus darurat kesehatan diperlukan untuk memastikan bahwa risiko dapat diminimalisir. Seperti kasus Covid-19, intervensi membutuhkan waktu dan sumber daya, vaksin masih belum ditemukan, sedangkan banyak sekali orang yang bisa terdampak oleh virus ini. Oleh karena itu komunikasi yang baik dan jelas diperlukan sebagai alat kontrol utama. Riset WHO menyatakan bahwa ada tiga alasan utama yang menyebabkan kesulitan dalam upaya transparansi, yaitu ketakutan untuk memberikan informasi risiko kesehatan kepada masyarakat yang mungkin terpengaruh tanpa kepastian saintifik, kebiasaan untuk menahan informasi yang dapat mengganggu sektor industri dan ekonomi negara, dan bentuk organisasi yang menitikberatkan pada kontrol informasi yang kuat di dalam organisasi sehingga mempersulit upaya koordinasi [10]. Alasan kedua ini dapat dilihat dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada masa awal penyebaran Covid-19, seperti pemberian insentif terhadap industri pariwisata melalui anggaran promosi sebesar Rp72 miliar dan potongan harga tiket pesawat sebesar 50 persen [11]. Serta, anggapan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto seputar harga masker yang melonjak juga tidak membantu menenangkan masyarakat terhadap kondisi Covid-19 yang baru ini [12].
Rendahnya transparansi dan urgensi dari pemerintah terhadap pandemi ini menyebabkan kekhawatiran dari beberapa lapisan masyarakat. Melihat cepatnya penyebaran Covid-19 pada negara lain yang lebih mapan sistem kesehatannya serta spekulasi bahwa virus tersebut sudah masuk di Indonesia sebelum ada kasus yang terkonfirmasi menimbulkan berbagai kepanikan pada masyarakat, salah satunya dalam bentuk panic buying [13]. Kepanikan ini menyebabkan kurangnya persediaan dan naiknya harga berbagai alat kesehatan masal seperti masker dan hand sanitizer. Informasi yang berbeda dari pemerintahan pusat dan pemerintah daerah juga menyebabkan keresahan pada masyarakat. Mulai dari Kota Malang yang memutuskan untuk lockdown tanpa persetujuan pemerintahan pusat, pembatasan kendaraan umum yang diadakan hanya sehari sebelum diberhentikan pemerintah pusat, hingga informasi tentang pasien terdampak yang kontradiktif, pemerintah dilihat tidak responsif dan tidak transparan [14] [15].
Alasan lain mengapa pemerintah kurang transparan dalam proses penanganan Covid-19 ini juga dispekulasikan dengar harapan bahwa masyarakat tidak terlalu menyadari seberapa berbahaya Covid-19 sehingga tidak mengganggu ekonomi dan tidak terjadi kepanikan massal. Namun hal tersebut diragukan dapat berhasil sesuai keinginan karena sudah semakin banyak masyarakat yang mendengar dan mengetahui tentang Covid-19 dan risikonya. Apabila informasi ini menyebar lebih luas tanpa ada tindakan yang jelas, maka masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah untuk menangani hal besar seperti pandemi kali ini dan mempersulit pergerakan pemerintah kedepannya
Tindakan yang dilakukan dinilai kurang tepat karena mengakibatkan efek bingung pada masyarakat. Seharusnya pemerintah tegas dalam menentukan kebijakan di saat genting seperti ini. Dengan kondisi pengidap Covid-19 sudah melebihi angka 1000 pada Jumat (27/3), gerakan yang agresif harus dilakukan oleh pemerintah untuk menenangkan dan mencegah penyebaran Covid-19 ini semakin luas.

Manajemen Risiko Pandemi
Covid-19 adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Virus ini menyebar terutama melalui tetesan yang dihasilkan ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin, atau melalui tetesan air liur atau cairan yang keluar dari hidung. Kasus pertama Coronavirus dilaporkan pada Desember 2019 di Kota Wuhan, Cina. Sejak itu, virus tersebut telah menginfeksi lebih dari 198.000 orang di lebih dari 150 negara, dan telah membunuh lebih dari 7.500 jiwa. Berdasarkan fakta tersebut, World Health Organization mengkategorikan Covid-19 sebagai pandemik pada hari Rabu, 11 Maret 2020 [17]. Direktur Jenderal WHO menyatakan bahwa pandemi tersebut bukanlah permasalahan yang dapat diselesaikan dengan sembrono. Ini adalah permasalahan yang dapat menyebabkan ketakutan yang tidak masuk akal, atau penerimaan yang tidak dapat dibenarkan bahwa pertarungan telah berakhir, yang mengarah pada penderitaan dan kematian yang tidak perlu [18].
Penanganan Covid-19 dilakukan dengan sistem respons khusus untuk bahaya pandemi. Hal ini bukan sesuatu yang baru karena banyak metode yang didapatkan dari pandemi sebelumnya. Oleh karena itu risk management dapat disatukan ke dalam suatu sistem yang dinamakan Emergency Risk Management For Health (ERMH). Ada 6 kategori yang penting dalam ERMH adalah : policies and resource management; planning and coordination; information and knowledge; health infrastructure and logistics; health and related service; and community emergency risk management capacities [19]. WHO mengeluarkan “Critical preparedness, readiness and response actions for Covid-19” yang berisi beberapa hal yang harus dilakukan untuk menyiapkan suatu negara dalam menghadapi Covid-19 yang sudah dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO. WHO mengeluarkan empat skenario negara yaitu : negara yang belum mempunyai kasus (no cases); negara yang sudah memiliki kasus sebanyak 1 atau lebih, dari impor maupun lokal; negara yang memiliki kasus berkluster pada suatu lokasi (cluster Of cases); negara yang mengalami penyebaran wabah penyakit lokal yang lebih besar (community transmission) [20].
Negara-negara yang terkait harus mengikuti ERMH untuk mengantisipasi risiko yang didapatkan dari pandemic ini. Menurut Dr Hans Henri P. Kluge, WHO Regional Director for Europe, banyak negara yang sudah masuk Cluster of Cases dan Community Transmission. WHO mengekspektasi dalam beberapa hari atau bulan kedepan akan terjadi kenaikan total cases dan total death secara cepat, Jadi masyarakat harus menaikan responnya untuk mengambil aksi preventif kapan saja mereka bisa. Aksi berikut mungkin dapat membantu untuk memperlambat penyebaran, dan membantu sistem healthcare untuk menyiapkan diri dan mengurangi dampaknya [21].

Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan selama beberapa hari karena belum adanya tindakan preventif sebelum kasus Covid-19 ini ditemukan. Setiap negara menunjukan kenaikan yang signifikan pada awal munculnya virus ini di negara mereka, namun beberapa negara yang bisa melakukan ERMH dan precautionary principle dengan baik menyebabkan penyebaran virus ini menurun seperti Korea Selatan dan Singapura.


Indonesia memiliki kenaikan dalam total kematian sehingga Indonesia sekarang memiliki recovery rate (proporsi dari orang yang sembuh dengan kasus yang sudah ditutup, baik sembuh maupun meninggal) sebesar 34,6% oleh Covid-19. Hasil ini rendah jika dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, Singapura yang memiliki recovery rate yang tinggi pada 98,9% dan Malaysia yang mendapat recovery rate 90%. Recovery rate Indonesia juga lebih rendah dibandingkan dengan negara seperti Italy dan Filipina yang pada saat penemuan virus corona tidak melakukan ERMH dengan baik.
Sifat yang dimiliki virus Covid-19 adalah asymmetric uncertainty yakni tidak bisa ditebak atau tak menentu, maka akan sulit untuk menentukan kebijakan mana yang efektif dalam menghadapi masalah ini namun bukan berarti negara hanya bisa diam saja. negara harus melakukan general precautionary principle (strategi dalam menghadapi masalah yang belum ada bukti scientific kuat), yaitu dengan mempelajari masalah-masalah yang telah terjadi dan melakukan tindakan preventif sesuai dengan masalah yang dihadapi. Menurut precautionary principle kita harus menghadapi masalah virus ini sama dengan virus lain yang menyebabkan masalah pernapasan dan transmissible. Kita harus mengurangi penyebaran dengan mengurangi kontak jarak dekat di public maupun dalam area medik. Menurut CDC merekomendasi bahwa Covid-19 dinyatakan airborne (dapat ditransmisi melalui udara) dalam precautionary untuk penanganan orang yang terpapar [22], meskipun hal ini belum di konfirmasi oleh peneliti.
Fatalisme dan Keengganan untuk Bertindak

Fatalisme beranggapan bahwa semua ini adalah takdir yang tidak diubah jadi tidak ada aksi untuk melakukan tindakan preventif, orang yang percaya pada fatalisme akan beranggapan bahwa hal ini akan selesai sendiri tanpa campur tangan dia, namun anggapan ini adalah salah, menurut data dari CDC, hal yang preventif seperti lockdown, self-isolation, working from home. dapat memperlambat lajunya infeksi dan memberikan waktu untuk rumah sakit untuk bertindak. jika tidak ada tindakan preventif maka kedepannya akan ada ancaman tidak tersedianya tenaga medik yang dapat melayani orang terpapar [24]. Menurut data dari OECD indonesia memiliki tingkat yang rendah untuk ketersediaan rumah sakit [25] jadi cepat atau lambat mungkin akan terjadi kelebihan permintaan atas pelayanan rumah sakit jika tidak ada tindakan preventif [26].

Indonesia adalah salah satu negara yang belum siap menghadapi pandemi yang terjadi dan tidak adanya respon yang baik dari masyarakat memperparah keadaan di indonesia. Pablo M. De Salazar [27] dkk melakukan penelitian yang berjudul “Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases” yang menjelaskan negara mana yang seharusnya melaporkan jumlah kasus yang lebih besar karena air travel. Model penelitian ini menggunakan metode Poisson dengan 95 persen prediction interval, dan menggunakan tiga data yaitu, data tentang kasus Covid-19, data volume penerbangan harian, dan data tentang kasus impor diagregatkan yang didapatkan dari WHO. Dari hasil penelitian terdapat hubungan positif antar kasus impor dengan negara dengan pengawasan yang tinggi dan volume penerbangan harian, dan pengolahan data dari peneliti itu ditentukan bahwa kenaikan 14 penumpang pada setiap penerbangan akan diasosiasikan satu kasus positif Covid-19. Dari hasil pengolahan data, Singapura berada dalam tingkat yang tinggi dalam tingkat ketepatan dalam mendeteksi kasus impor corona dengan 95% PI dapat mendeteksi 12 kasus lebih banyak yang diperkirakan, Namun, Indonesia salah menjadi salah satu negara yang dapat dicurigai tidak melakukan pengawasan yang tepat terhadap kasus impor, karena menurut penelitian itu Indonesia berada pada titik yang probabilitas yang sangat kecil terjadi, pada penelitian dijelaskan Indonesia seharusnya sudah mendapat 5 kasus impor Covid-19 namun Indonesia melaporkan kalau di negaranya belum ada kasus Covid-19.

Perbandingan dengan Negara Lainnya
Dalam penanganan Covid-19, Italia dan Korea Selatan adalah dua negara yang bisa menjadi contoh apa yang dapat terjadi dalam situasi pandemi. Italia berawal dengan menanggapi virus Covid-19 secara santai. Pada tanggal 27 Februari, empat hari setelah 11 kota di bagian utara Italia dikarantina, Nicola Zingaretti, Ketua Umum Partai Demokratik, berkunjung ke Milan untuk berbincang dengan sekelompok pelajar. “We must not change our habits,” beliau tulis di sebuah post social media. “Our economy is stronger than fear: let’s go out for an aperitivo, a coffee or to eat a pizza. [28]” Pada hari yang sama, Beppe Sala, Wali Kota Milan, membagikan sebuah video yang berisi foto orang berpelukan, makan di restoran, berjalan di taman, dan menunggu di stasiun dengan slogan “Milan does not stop.” Sembilan hari setelah kunjungan Zingaretti ke Milan, beliau mengumumkan bahwa beliau telah terkena virus Covid-19.
Giuseppe Pantaleo, seorang psikolog sosial dari Vita-Salute San Raffaele University di Milan, mengatakan: “Pada awalnya masyarakat tidak terlalu mempercayai apa yang terjadi sehingga politisi seperti Zingaretti berusaha untuk menenangkan masyarakat. Dia pergi ke Milan untuk menunjukkan bahwa beberapa perlakuan sosial masih aman dan pemerintah sedang bergerak menuju sebuah solusi, namun tentu saja dia meremehkan risikonya.” Cium pipi dan pelukan memang dilarang dan social distancing disarankan, namun masyarakat secara besar masih sering keluar, mengunjungi bar, restoran, taman, dan pantai. Dengan liburnya sekolah atau universitas, banyak anak muda dan pelajar yang menggunakannya sebagai kesempatan untuk bersosialisasi dan bermain lebih banyak dengan teman-temannya. Kehidupan berjalan kurang lebih secara normal.
Kondisi menjadi lebih serius pada tanggal 8 Maret ketika kematian dari Covid-19 melonjak lebih dari 50 persen. Perdana Menteri Giuseppe Conte menyuruh seluruh area Lombardy dan 14 provinsi utara lain yang terdampak untuk dikarantina. Namun, berita seputar karantina bocor kepada media beberapa jam sebelum pengumuman resmi, mendorong ribuan orang untuk pulang ke kampungnya, berisiko membawa Covid-19 bersamanya. Pada tanggal 10 Maret Italia mengadakan lockdown nasional dan beberapa hari kemudian semua toko yang menjual barang tidak pokok ditutup. Dengan 59.138 kasus dan 5.476 kematian, Italia berada di situasi lockdown penuh tanpa tanda-tanda pelandaian kurva.
Korea Selatan memiliki cerita yang berbeda [29]. Awal mula kasus Covid-19 di Korea mirip seperti yang terjadi di Italia yang bermula dari jumlah kasus sedikit sebelum akhirnya meledak jumlahnya. Ledakan jumlah pasien Covid-19 di Korea bisa difokuskan pada “patient 31.” bagian dari sekte Shincheonji Church of Jesus, yang walaupun memiliki tanda-tanda tetap datang ke pertemuan sektenya. Beberapa hari setelah itu Korea Centers for Disease Control and Prevention mengumumkan bahwa ada 9.300 orang yang datang pada pertemuan sekte bersama patient 31 dan 1.200 di antara mereka melaporkan gejala flu. Ratusan lalu dinyatakan positif selama beberapa hari kedepan dan pada akhir Februari jumlah kasus di Korea Selatan melompat diatas 5.000 orang.
Walaupun begitu, Korea Selatan, dengan 8.961 kasus dan 111 kematian pada 23 Maret, mengalami penurunan pertumbuhan kasus dengan kasus harian pada tanggal 23 Maret hanya 64 kasus baru. Jumlah ini jauh dari periode paling buruk pada bulan Februari, di mana Korea Selatan mencatat lebih dari 900 kasus per hari. Penurunan pertumbuhan kasus ini terjadi karena keberhasilan Korea Selatan dalam melakukan tes massal yang dibantu dengan karantina terhadap siapapun yang bersinggungan dengan pembawa virus. Setelah kegagalan besar dalam menangani wabah MERS pada tahun 2015, Korea Selatan merapikan sistem kontrol penyakitnya meningkatkan kualitas sistem kesehatan skala besar, dan menyiapkan industri biotech yang dapat memproduksi test kits dengan cepat. Untuk memastikan bahwa penyebaran Covid-19 dapat diawasi, Korea Selatan menggunakan smart city infrastructure untuk mengetahui lokasi seorang pasien dan melihat siapa saja yang mungkin bersentuhan dengan orang tersebut [30]. Ada tiga cara Korea melacak masyarakatnya.
Pertama adalah kartu kredit dan debit. Korea selatan memiliki proporsi transaksi cashless terbesar di dunia. Dengan melacak transaksi, sangat memungkinkan untuk melihat pergerakan seseorang. Kedua adalah handphone. Sebagai salah satu negara dengan kepemilikan handphone yang paling besar di dunia, lokasi handphone secara otomatis tercatat dengan akurat karena tersambung dengan satu hingga tiga pemancar. Lebih penting lagi perusahaan handphone mewajibkan semua pelanggan untuk memberikan nama dan angka pengenal nasional mereka sehingga memungkinkan untuk melacak posisi siapapun melalui handphone. Yang terakhir adalah CCTV yang berjumlah banyak di kota-kota Korea Selatan. Pada tahun 2010, penduduk dapat dilihat melalui kamera rata-rata 83.1 kali per hari.
Seorang pasien baru dapat dibandingkan dengan pasien-pasien sebelumnya menggunakan data geografis yang bisa menentukan kapan, di mana, dan siapa yang menyebabkan pasien baru. Apabila pasien tidak bisa disambungkan kepada pasien yang sudah ada, maka bisa disimpulkan bahwa ada pasien yang tidak terdaftar dan pemerintah dapat mengidentifikasikan orang tersebut menggunakan sistem yang sama. Hasil tracking ini digunakan bukan hanya oleh petugas kesehatan, namun juga dibuka untuk publik melalui website pemerintah pusat, aplikasi gratis yang menunjukkan lokasi wabah, dan sms yang mengabarkan tentang kasus lokal. Hal ini membantu masyarakat untuk menghindari daerah-daerah rawan tanpa perlu melakukan lockdown besar-besaran. Tentu saja hal ini bisa dilihat sebagai pembobolan kebebasan pribadi, namun dengan mengorbankan sedikit data pribadi pemerintah bisa memastikan bahwa virus semacam Covid-19 dapat ditangani dengan korban yang minim.
Sama halnya dengan Singapura [31]. Singapura adalah adalah salah satu negara yang tanggap dalam mengatasi permasalahan Covid-19 ini dan Singapura juga memiliki mortality rate terendah di dunia. Hal ini terjadi karena kesiapan singapura dalam menghadapi virus Covid-19, komunikasi pemerintah tentang Covid-19 dan kebijakan preventif berperan besar dalam pencapaian tersebut. Pada awal januari, Singapura sudah melakukan tindakan preventif untuk mencegah penyebaran Covid-19 di negara mereka, menteri kesehatan singapura melakukan himbauan untuk melakukan pengecekan temperatur untuk semua orang yang datang dari Cina ke Singapura melalui bandara changi saat Covid-19 ini belum dinyatakan sebagai pandemik oleh WHO, dan pada akhir januari saat dunia mulai mengetahui bahaya dari Covid-19, mereka memperketat hal tindakan preventif mereka dengan melakukan pengecekan temperatur pada setiap mode transportasi dan melakukan travel ban untuk orang yang pernah ke Cina dalam 14 hari terakhir. Karena mulai banyaknya orang yang memerlukan bantuan medis, lalu Singapura menggunakan vila liburan untuk dijadikan pusat isolasi, membagikan empat masker gratis setiap rumah tangga dan menghimbau orang yang rentan kepada Covid-19 (manula dan anak anak) untuk tetap dirumah. Pada bulan Februari, akibat tingginya kasus penyebaran domestik, Singapura mulai melakukan tracking kepada orang yang pernah kontak dekat dengan orang yang pernah ke Cina dan melakukan isolasi 14 hari untuk warga singapura dan pemegang izin tinggal jangka panjang yang datang ke singapura dari luar negeri. Pada awal Maret, Singapura mengeluarkan kebijakan yang lebih ketat lagi kepada pendatang yaitu melakukan ban terhadap pengunjung jangka pendek yang pergi ke Singapura dan mewajibkan warga Singapura untuk memiliki pernyataan kesehatan untuk masuk ke Singapura.
Kebijakan di Indonesia
Pemerintah saat ini sudah mengimpor 500 ribu alat tes dari Tiongkok walaupun alat tes tersebut tidak dibagikan secara gratis. Pemerintah juga memesan 5 juta obat chloroquine, yang diharapkan mampu membantu menangani gejala Covid-19 dan Avigan sebanyak 5 ribu butir sebagai uji coba. Walaupun begitu pemerintah dirasa masih belum cukup baik baik menangani penyebaran dan penanganan Covid-19. Sampai saat ini belum ada rencana dari pemerintah pusat untuk memberlakukan lockdown, walaupun Ikatan Dokter Indonesia dan berbagai pihak lain sudah mendorong pemerintah untuk melakukan itu [32]. Apabila pemerintah ingin mengikuti jejak Korea Selatan, maka pemerintah pun belum melakukan cukup banyak tes dan tidak menyediakan cara bagi masyarakatnya untuk menjalankan peregangan sosial (social distancing) dengan baik. Kebijakan pemerintah yang saat ini dijalankan seputar peregangan sosial seperti kerja dari rumah dan belajar dari rumah juga tidak berjalan secara maksimal. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah masyarakat yang masih hidup lewat gaji harian/mingguan yang tidak dapat menjalankan kerja dari rumah. Belum lagi membicarakan tentang ketersediaan sistem kesehatan yang dapat diakses oleh siapapun. Sudah muncul beberapa kasus dimana seseorang ditolak tes Covid-19 oleh rumah sakit rujukan walaupun sudah menunjukkan berbagai gejala yang diasosiasikan terhadap Covid-19. Hal ini bersamaan dengan biaya tes yang tidak murah menyebabkan banyak orang yang memutuskan untuk tidak melakukan cek, meningkatkan potensi penyebaran massal.

Dari timeline diatas, dapat dilihat bahwa pemerintah Italia baru mulai bertindak pada tanggal 4 Maret dengan meliburkan sekolah dan universitas seperti yang terjadi di Indonesia sekarang walaupun sudah tercatat lebih dari 3 ribu orang positif. Keputusan drastis dari pemerintah untuk melakukan karantina baru ada beberapa hari kemudian pada beberapa provinsi dan akhirnya baru menjalankan karantina nasional ketika jumlah positif Covid-19 sudah melebihi jumlah 10 ribu orang dan sudah lebih dari 600 orang yang meninggal. Namun, pertumbuhan penyebaran Covid-19 tidak menunjukkan tanda-tanda perlambatan dan terus mengikuti trayeksi yang diprediksikan.


Kejadiannya berbeda dengan Korea Selatan dan Singapura yang telah melakukan berbagai kebijakan sebelum penyebaran meledak jumlahnya. Baik itu melalui pengecekan suhu di bandara, larangan masuk siapapun yang telah mengunjungi China selama 14 hari terakhir, hingga tracking untuk mereka yang diperkirakan terjangkit Covid-19. Hal ini digabungkan dengan respons cepat terhadap kasus yang terjadi, ketersediaan tes yang mudah bagi masyarakat, dan informasi jelas tentang penyebaran Covid-19 membantu Korea Selatan dan Singapura untuk memperlambat laju penyebaran.
Oleh karena itu pemerintah Indonesia perlu melakukan aggressive tracing agar jelas lokasi mereka yang positif Covid-19 serta menyediakan fasilitas kesehatan yang murah dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah juga perlu dengan cepat melakukan travel restrictions untuk hal-hal yang tidak esensial untuk mengurangi kesempatan terjadinya penyebaran lebih lanjut. Untuk memastikan bahwa masyarakat tidak panik dan bisa mengikuti aturan pemerintah juga harus menjamin bahwa rakyat bisa tetap melakukan kegiatan konsumsi dan sehat selama masa travel restrictions ini. Sumber daya pemerintah juga perlu dengan cepat dialokasikan ulang untuk mempercepat pembiayaan dan penyediaan layanan kesehatan dan pemeriksaan Covid-19. Apabila pemerintah tidak melakukannya dengan cepat, maka Indonesia akan mengulang hal yang terjadi di Italia. Keterlambatan untuk bertindak justru akan memperparah efek totalnya dan memaksa negara untuk memberlakukan lockdown.
RALAT: Pada 29 Maret 2020 pukul 12.06, Redaksi mengubah kalimat “Indonesia memiliki kenaikan dalam total kematian sehingga Indonesia sekarang memiliki recovery rate (proporsi dari orang yang sembuh dengan orang yang meninggal akibat virus)…” menjadi “Indonesia memiliki kenaikan dalam total kematian sehingga Indonesia sekarang memiliki recovery rate (proporsi dari orang yang sembuh dengan kasus yang sudah ditutup, baik sembuh maupun meninggal)…”. Kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan
Referensi
- WHO. (2020). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan. [online] Tersedia di: https://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf?ua=1.
- Katadata.co.id. (2020). Achmad Yurianto, Dokter Militer yang Jadi Jubir Penanganan Corona – Katadata.co.id. [online] Tersedia di: https://katadata.co.id/berita/2020/03/05/achmad-yurianto-dokter-militer-yang-jadi-jubir-penanganan-corona
- Suara.com. (2020). Pemerintah Tunjuk Yurianto Jadi Jubir Penanganan Virus Corona di Indonesia. [online] Tersedia di: https://www.suara.com/news/2020/03/03/131729/pemerintah-tunjuk-yurianto-jadi-jubir-penanganan-virus-corona-di-indonesia
- Putri, Z. (2020). Begini Pengawasan Corona di Bandara Soetta Setelah WNI Positif Corona. [online] detiknews. Tersedia di: https://news.detik.com/berita/d-4923894/begini-pengawasan-corona-di-bandara-soetta-setelah-wni-positif-corona
- Kompas. (2020). Jokowi Akui Pemerintah Rahasiakan Sejumlah Informasi soal Corona. [online] KOMPAS.com. Tersedia di: https://nasional.kompas.com/read/2020/03/13/16163481/jokowi-akui-pemerintah-rahasiakan-sejumlah-informasi-soal-corona
- Tribunnews Jakarta. (2020). Persebaran Corona di Jakarta, Anies Baswedan: Hampir Semua Kecamatan Ada Kasus – Halaman 2 – Tribun Jakarta. [online] Tersedia di: https://jakarta.tribunnews.com/amp/2020/03/13/persebaran-corona-di-jakarta-anies-baswedan-hampir-semua-kecamatan-ada-kasus?page=2
- Jakarta Tanggap COVID-19. (2020). Jakarta Tanggap COVID-19. [online] Tersedia di: https://corona.jakarta.go.id/peta
- Putri, T.H. (2020). [BREAKING] Jokowi: Lockdown di Daerah Diputus Pemerintah Pusat. [online] IDN Times. Tersedia di: https://banten.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/jokowi-lockdown-cegah-virus-corona-di-daerah-diputus-pemerintah-pusat-regional-banten/full
- CNBC (2020). Jokowi Melarang, Pemkot Malang Tetap Lockdown Kota Mulai Lusa. [online] news. Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200316164659-4-145259/jokowi-melarang-pemkot-malang-tetap-lockdown-kota-mulai-lusa
- WHO. (2020). WHO | Transparency during public health emergencies: from rhetoric to reality. [online] Tersedia di: https://www.who.int/bulletin/volumes/87/8/08-056689/en/
- katadata.co.id. (2020). Insentif Diskon Tarif Pesawat 50% Berlaku Mulai Besok, 1 Maret – Katadata.co.id. [online] Tersedia di: https://katadata.co.id/berita/2020/02/29/insentif-diskon-tarif-pesawat-50-berlaku-mulai-besok-1-maret
- Kompas (2020). Masker Mahal, Menkes Terawan Singgung Mekanisme Pasar. [online] KOMPAS.com. Tersedia di: https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/17221361/masker-mahal-menkes-terawan-singgung-mekanisme-pasar
- tirto.id. (2020). Kemenkes Nilai Kabar Hoaks Corona Jadi Penyebab Stok Masker Habis. [online] Tersedia di: https://tirto.id/kemenkes-nilai-kabar-hoaks-corona-jadi-penyebab-stok-masker-habis-ewRy
- detikcom. (2020). Kebijakan “Lockdown” Kota Malang yang Akhirnya Dianulir dan Direvisi. [online] detiknews. Tersedia di: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4941992/kebijakan-lockdown-kota-malang-yang-akhirnya-dianulir-dan-direvisi
- Kompas (2020). Pembatasan Operasi Angkutan Umum ala Anies yang Hanya Bertahan Sehari Halaman all. [online] KOMPAS.com. Tersedia di: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/17/08254891/pembatasan-operasi-angkutan-umum-ala-anies-yang-hanya-bertahan-sehari?page=all
- Covid19.go.id. (2020). Home. [online] Tersedia di: https://www.covid19.go.id/
- Gumbrecht, Jamie and Jacqueline Howard (2020). WHO declares novel coronavirus outbreak a pandemic. [online] CNN. Tersedia di: https://edition.cnn.com/2020/03/11/health/coronavirus-pandemic-world-health-organization/index.html.
- WHO (2020). WHO Director-General’s opening remarks at the media briefing on COVID-19 – 11 March 2020. [online] Tersedia di: https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020.
- WHO. (2020). Pandemic Influenza Risk Management Guidance. [online] Tersedia di: https://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf?ua=1.
- WHO (2020). Critical preparedness, readiness and response actions for COVID-19. [online] Tersedia di: https://www.who.int/publications-detail/critical-preparedness-readiness-and-response-actions-for-covid-19
- WHO Europe (2020). WHO announces COVID-19 outbreak a pandemic. [online] Tersedia di: http://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19/news/news/2020/3/who-announces-covid-19-outbreak-a-pandemic.
- Brosseau, L. (2020). COMMENTARY: COVID-19 transmission messages should hinge on science. [online] CIDRAP. Tersedia di: http://www.cidrap.umn.edu/news-perspective/2020/03/commentary-covid-19-transmission-messages-should-hinge-science.
- Barclay, E. (2020). How canceled events and self-quarantines save lives, in one chart. [online] Vox. Tersedia di: https://www.vox.com/2020/3/10/21171481/coronavirus-us-cases-quarantine-cancellation.
- Barclay, E. (2020). How canceled events and self-quarantines save lives, in one chart. [online] Vox. Tersedia di: https://www.vox.com/2020/3/10/21171481/coronavirus-us-cases-quarantine-cancellation.
- OECD. (2017). Health equipment – Hospital beds – OECD Data. [online] Tersedia di: https://data.oecd.org/healtheqt/hospital-beds.htm.
- OECD. (2017). Health equipment – Hospital beds – OECD Data. [online] Tersedia di: https://data.oecd.org/healtheqt/hospital-beds.htm.
- De Salazar, P.M., Niehus, R., Taylor, A., Buckee, C.O. and Lipsitch, M. (2020). Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases. Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases.
- Giuffirda, Angela. (2020). Italy struggled to convince citizens of coronavirus crisis. What can Europe learn? The Guardian. [online] 23 Mar. Tersedia di: https://www.theguardian.com/world/2020/mar/23/a-warning-to-europe-italy-struggle-to-convince-citizens-of-coronavirus-crisis.
- Bedingfield, W. (2020). What the world can learn from South Korea’s coronavirus strategy. [online] Wired UK. Tersedia di: https://www.wired.co.uk/article/south-korea-coronavirus
- Sonn, J.W. (2020). Coronavirus: South Korea’s success in controlling disease is due to its acceptance of surveillance. [online] The Conversation. Tersedia di: https://theconversation.com/coronavirus-south-koreas-success-in-controlling-disease-is-due-to-its-acceptance-of-surveillance-134068.
- Financial Times. (2020). How Singapore waged war on coronavirus. [online] Tersedia di: https://www.ft.com/content/ca4e0db0-6aaa-11ea-800d-da70cff6e4d3.
- Republika Online. (2020). IDI Minta Pemerintah Segera Berlakukan Lockdown. [online] Tersedia di: https://republika.co.id/berita/q7l7wi409/idi-minta-pemerintah-segera-berlakukan-emlockdownem
Editor: Rama Vandika, Miftah Rasheed Amir, Azaria Hashina, Fadhil Ramadhan
Discussion about this post