“Kalo boleh egois aku tidak mau Hindia terkenal”- salah satu komentar pada video klip Secukupnya milik Hindia. Komentar tersebut merupakan salah satu refleksi penikmat musik indie di Indonesia. Eksklusivitas yang dibangun pendengar kerap menjadikan hal ini sebagai superioritas atas musik mainstream dengan label besar. Hal ini mendorong sang penikmat untuk mengintervensi ranah distribusi dan ketenaran sang musisi.
Beberapa tahun belakangan, industri musik Indonesia mulai melahirkan banyak musisi independen, atau akrab disebut indie. Musik indie memungkinkan sang musisi mengurus seluruh kebutuhan musik dari hulu hingga hilir secara mandiri. Ketiadaan pengaruh dari label atau pihak lain menciptakan kelas elit tersendiri. Kelas yang akan pudar karena status ke-elitannya sendiri.
Kebebasan Berujung Daya Tarik
Fenomena musik indie berpengaruh terhadap sisi konsumen. Penikmat musik indie seakan menemukan derajat baru di atas musik-musik yang beredar di pasaran hari ini. David Hesmondhalgh (2007) menjelaskan bahwa musik, selain sebagai pergerakan kolektif, kerap memiliki hubungan emosional dengan pendengarnya secara intensif. Ceruk pendengar yang relatif kecil menambah keintiman antara sang musisi dengan pendengarnya. Fenomena ini mendorong penikmat musik indie membentuk eksklusivitas dalam ceruk pendengarnya.

Eksklusivitas tersebut menciptakan validasi akan adanya musikalitas yang superior ketimbang pendengar musik mainstream. Pengetahuan dan preferensi akan musik tertentu memberikan kesan bahwa pendengarnya memiliki pengetahuan lebih. Sementara, kecilnya ceruk pendengar musik seakan-akan menjadi pembukti bahwa selera musik mereka berada di atas rata-rata. Dengan begitu, persepsi ini menciptakan kelompok elitis musik.
Tidak hanya di sisi konsumen atau pendengar, sisi produsen atau musisi sendiri juga mengalami hal yang sama. Produsen musik indie memiliki semangat bahwa mereka memiliki inovasi atau gaya baru dalam penggabungan komersialisasi dan kreativitas. Caroline Hamilton, dalam artikel Bursting The Bubble: Deconstructing The Sell-Out in Indie Music Discourse (2009), menyatakan bahwa kemunculan musik indie ditandai dengan rasa superioritas. Rasa superioritas tersebut didasari atas otentitas baru dalam membangun hubungan baru antara komersialisasi dan kreativitas.
Meski demikian, eksklusivitas tersebut tidak bertahan dengan bertambahnya pendengar sang musisi. Sebuah artikel Economics of Good Party (2007) oleh Elizabeth Curid menjelaskan bahwa musik indie secara alamiah akan mengalami penyesuaian sesuai kurva permintaan pasar. Meluasnya ceruk audiens tentunya mendorong pergeseran kurva permintaan, diikuti arus komersialisasi musik yang masif. Komersialisasi musik indie yang terjun ke industri untuk bersaing dengan musik mainstream akan menambah kapasitas ekonomi bagi sang musisi. Akan tetapi, komersialisasi itu turut menurunkan pula nilai dari suatu karya musik itu sendiri.
Pendengar, Penggerus Ekslusivitas
Tak bisa dipungkiri, ketika musisi memproduksi musik yang berhubungan dengan banyak orang, ia mampu mengekspansi jangkauan pendengarnya menjadi musik yang memiliki relasi emosional dan kesamaan identitas dengan sang pendengar. Seorang ahli antropologi, Finnegan (2003), dalam penelitian etnomusikologi, menjelaskan bahwa seorang musisi perlu menaruh perhatian lebih terhadap emosi dalam musiknya. Ia mengatakan bahwa musik menyajikan sumber daya manusia yang mampu menentukan jalan hidupnya dengan perasaan, pikiran, dan imajinasi yang tak terpisahkan. Secara paralel, hal ini akan berimplikasi secara signifikan terhadap seberapa baik musik mampu menjangkau pendengar yang kian bertambah.
Peningkatan jumlah pendengar tidak hanya dipengaruhi dari komposisi musik yang diproduksi saja, tetapi juga dapat melalui persepsi penikmat musik. Penikmat musik memiliki tendensi untuk berkompetisi meraih status sosialnya melalui musik. David Hesmondhalgh (2008) menjelaskan bahwa musik memiliki hubungan positif untuk menentukkan identitas diri seseorang. Penggunaan musik untuk self-realization dan self-recognition dapat dijadikan subjek atas kompetisi individualisme yang lazim di masyarakat modern. Bourdieu (1984) berargumen “Nothing more clearly affirms one’s ‘class,’ nothing more infallibly classifies, than tastes in music,” yang berarti bahwa tidak ada yang lebih sempurna menentukan kelas seseorang selain musik yang didengarnya.
Merujuk kepada power theory oleh Foucault (2000), analisis kritis diajukan sebagai upaya pengungkapan bagaimana individu dipersepsikan oleh lingkungannya. Gagasan ini mengungkapkan bahwa individu akan membentuk dirinya sesuai dengan produk budaya yang ia konsumsi. Jika dihubungkan dengan argumen Bourdieu, musik sebagai penentu kelas sosial, dapat ditarik kesimpulan bahwa individu akan ditentukan status sosialnya berdasarkan musik yang didengarnya. Fenomena ini tentu mendorong individu untuk mencapai status sosial tertentu dengan “masuk” ke dalam ceruk elit pendengar musik tertentu.
Akan tetapi, dorongan untuk masuk ke dalam suatu kelompok elit itu akan menjadi akhir bagi status yang ada. Seiring dengan meningkatnya anggota suatu kelompok, ekslusivitas kelompok tersebut pun akan tereduksi. Hal yang sama juga berlaku dalam musik. Ketika peningkatan jumlah pendengar terjadi, eksklusivitas atau status elitis akan memudar value-nya.
Penutup
Lekas apa yang pembaca percayai? Bahwa musik tidak selamanya memiliki ceruk pendengar yang kecil. Jumlah pendengar mampu dipengaruhi beberapa faktor, seperti komposisi suatu musik yang cukup emosional dan penentu status sosial sang pendengar. Lebih jauh, beberapa argumen juga disertakan di atas bahwa musik sebagai penentu self-identity. Hal ini dipertegas oleh Frith (1996) bahwa musik memiliki keterkaitan dengan identitas pendengarnya. Dengan kata lain, musik yang didengar merujuk kepada self-creation bagi penikmatnya. Sekali lagi kelompok elitis musik tidak selamanya tetap elit.
Kontributor: Haikal Qinthara
Editor: Yosia Kenneth Manurung, Rani Widyan, Fadhil Ramadhan, Philipus Susanto
Ilustrasi : Grup Musik Hari Libur (Aldrin Kevin)
Referensi:
Bagaskara, A. (2017). Menegosiasi Otentisitas: Kancah Musik Independen Indonesia dalam Konteks Komodifikasi oleh Perusahaan Rokok. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 235-255.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction. Trans. Richard Nice. London: Routledge.
Cicilia, Maria, Antaranews, “Mondo Gascoro: Sebutan Indie dan Mainstream Sudah Tak Relevan” available on: https://kalbar.antaranews.com/nasional/berita/762595/mondo-gascaro-sebutan-indie-dan-mainstream-sudah-tak-relevan?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_campaign=antaranews
Currid, E. (2007). The economics of a good party: Social mechanics and the legitimization of art/culture. Journal of Economics and Finance, 31(3), 386-394.
David Hesmondhalgh (2008) Towards a critical understanding of music, emotion and self‐identity, Consumption, Markets and Culture, 11:4, 329-343, DOI: 10.1080/10253860802391334
Finnegan, Ruth. 1989. The hidden musicians. Cambridge: Cambridge University Press. ———. 2003. Music, experience and the anthropology of emotion. In The cultural study of music, ed. M. Clayton, T. Herbert and R. Middleton, 181–92. London: Routledge.
Foucault, Michel. 2000. Technologies of the self. In Ethics: Subjectivity and truth, 16–49. Vol. 1 of Essential works of Foucault, 1954–1984. London: Penguin.
Frith, Simon. 1981. Sound effects. London: Constable. ———. 1996. Performing rites. Oxford: Oxford University Press.
Hamilton, C., Kelly, M., & Minor, E. (Eds.). (2009). The Politics and Aesthetics of Refusal. Cambridge Scholars Publishing.
Hesmondhalgh, David. 2007. The Cultural Industries: 2nd Edition. London: SAGE.
Martin-Iverson, Sean. 2011. The Politics of Cultural Production in the DIY Hardcore Scene in Bandung, Indonesia. Tesis Doktor Sosiologi dan Antropologi University of Western Australia.
Pickering, Michael. David Chaney. 1986. “Democracy and Communication:Mass Observation 1937-1943.” Journal of Communication. 36(1):41-56.
Discussion about this post