“You see, their morals, their code, it’s a bad joke. Dropped at the first sign of trouble. They’re only as good as the world allows them to be. I’ll show you. When the chips are down, these… these civilized people, they’ll eat each other.”
-The Joker, The Dark Knight
Merebaknya pandemi Covid-19 di hampir setiap negara di dunia memporakporandakan situasi masyarakat saat ini. Hampir seluruh aktivitas ekonomi fisik dihentikan (kecuali layanan tertentu yang penting untuk publik), sekolah-sekolah diliburkan dengan metode pembelajaran yang diubah, hingga pembelian massal terhadap komoditas-komoditas esensial seperti masker, hand sanitizer, dan tisu toilet. Masyarakat di benua Eropa dan Amerika melakukan pembelian massal terhadap tisu toilet yang menjadi kebutuhan pokok 1Daniels, K., 2020. As Pandemic-Panicked Shoppers Clamor For Toilet Paper, Bidet Sales Are On The Rise Amid Coronavirus Crisis. [online] Nydailynews.com. Available at: https://www.nydailynews.com/coronavirus/ny-coronavirus-bidet-sales-soar-toilet-paper-20200320-sjrk2x3qwbgmjohx4g4e42fcdi-story.html. Beberapa toko swalayan di Amerika Serikat telah kehabisan tisu toilet akibat dari pembelian massal tersebut, salah satunya di daerah Oregon 2Wray, M., 2020. Oregon Police Tell Citizens To Stop Calling 911 ‘Just Because You Ran Out Of Toilet Paper’. [online] Global News. Available at: https://globalnews.ca/news/6690521/coronavirus-toilet-paper-shortage. Sedangkan di Indonesia, pembelian massal dilakukan untuk komoditas masker dan hand sanitizer yang menyebabkan pelonjakan harga pada kedua barang tersebut 3teknologi. 2020. Heboh Corona, Harga Hand Sanitizer Meroket Di Ecommerce.[online] Available at: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200313141841-185-483160/heboh-corona-harga-hand-sanitizer-meroket-di-ecommerce. Ada juga mereka yang melakukan penimbunan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam beberapa waktu kedepan karena terhambatnya aktivitas ekonomi dalam periode tersebut. Apakah seluruh hasil penimbunan memang diperlukan sebagai bahan pokok selama isolasi diri ke depan? Banyak orang yang tidak mendapatkan barang yang mereka perlukan, namun penimbun malah memiliki sisa banyak dan menjadi sampah di rumahnya saja setelah pandemi berakhir.
Sifat kepanikan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para penjual untuk kemudian melakukan price gouging, dimana penjual meningkatkan harga komoditas secara eksponensial yaitu 2 hingga 3 kali lipat dalam jangka waktu yang pendek4teknologi. 2020. Heboh Corona, Harga Hand Sanitizer Meroket Di Ecommerce.[online] Available at: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200313141841-185-483160/heboh-corona-harga-hand-sanitizer-meroket-di-ecommerce. Harga untuk sebuah hand sanitizer mulanya berkisar di antara Rp15.000 hingga Rp20.000 kemudian meroket menjadi Rp40.000. Kenaikan tersebut merupakan indikator yang sesuai dengan adanya shock peningkatan permintaan atas barang tertentu. Pada akhirnya, shock permintaan tersebut berujung dengan alokasi sumber daya yang tidak efisien, dengan banyak produk yang mengendap dalam supply chain tanpa digunakan dan pada saat yang sama terjadi stockout di beberapa negara 5Nyawira, S., 2020. Coronavirus News Triggers Panic Shopping In Nairobi. [online] The Star. Available at: https://www.the-star.co.ke/news/2020-03-13-coronavirus-news-triggers-panic-shopping-in-nairobi/6Hinshaw, M., 2020. Masks Run Short As Coronavirus Spreads. [online]. Dalam teori ekonomi klasik, seharusnya permintaan dan/atau penawaran dapat menyesuaikan diri untuk mengembalikan harga menuju tingkat optimum. Namun, tampaknya harga tidak akan menurun dengan cepat walaupun barang tersebut telah berubah menjadi barang yang dibutuhkan publik dalam waktu dekat.
Sebenarnya, apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang melakukan panic buying dan price gouging? Apakah manusia sungguh begitu egoisnya, walaupun dalam kondisi krisis? Kemana nilai kemanusiaan dan “gotong royong” yang kita agung-agungkan? Ataukah justru, tindakan seperti ini merupakan bentuk rasionalitas yang wajar, dan sejatinya mencerminkan tabiat manusia?

Lahir dan Matinya Panik
Panik, secara garis besar, merupakan semacam kecemasan dengan ciri diserang rasa takut yang luar biasa, beriringan dengan timbulnya perasaan bahwa suatu bencana akan terjadi, atau adanya ketidakmampuan untuk mengendalikan diri sekalipun sebenarnya tidak ada sesuatu yang buruk yang benar-benar terjadi. 7panic | Search Online Etymology Dictionary”. Diakses tanggal 2019-06-26.. Ketidakmampuan individu untuk mengendalikan diri ini bisa menular kepada orang lain sehingga memengaruhi kelompok disekitar individu tersebut dan pada akhirnya memunculkan mass-panic 8Brown, Roger (1954), “Mass Phenomena,” in Handbook of Social Psychology, ed. Gardner Lindzey, Reading, MA: Addison-Wesley, 833-876..
Perilaku panik juga dapat disebabkan oleh adanya suatu kesadaran komunal, yaitu sebuah perilaku individu yang didasari oleh perilaku kelompoknya. Hal tersebut dapat disebut sebagai informational cascade, yaitu fenomena yang mencerminkan adanya kesamaan pilihan individu ketika dihadapkan pada situasi yang sama. Adapun kesamaan pilihan tersebut tidak dilakukan secara bersamaan, melainkan secara beruntun, sehingga menimbulkan efek yang serupa seperti efek domino. Kepanikan yang berawal dari beberapa individu atau kelompok kecil meluas menjadi mass panic. 9Lohmann, S. (1994). The Dynamics of Informational Cascades: The Monday Demonstrations in Leipzig, East Germany, 1989–91. World Politics, 47(1), 42-101. doi: 10.2307/2950679.
Pembelian massal dalam kurun waktu singkat, sebagai akibat dari kepanikan, turut mengamplifikasi tingkat kepanikan yang sudah ada10Brown, Roger (1954), “Mass Phenomena,” in Handbook of Social Psychology, ed. Gardner Lindzey, Reading, MA: Addison-Wesley, 833-876.. Panic-buying merupakan respon psikologis masyarakat yang merasa membutuhkan suatu produk meskipun sebenarnya produk tersebut bukanlah prioritas utama, melainkan untuk menenangkan kepanikan diri. Walaupun barang yang dibeli bukan merupakan prioritas utama (seperti masker) dalam kehidupan normal/ sehari-hari, ketika terjadi krisis pandemi, komoditas ini menjadi sangat diburu11Impor Terhambat Dampak Corona, Pengusaha Indikasikan Harga Pangan Naik – Katadata.co.id. (2020). Retrieved 19 March 2020, from https://katadata.co.id/berita/2020/03/12/impor-terhambat-dampak-corona-pengusaha-indikasikan-harga-pangan-naik. Hal ini dikarenakan dalam sebuah keadaan krisis, manusia akan mengalami penurunan kemampuan intelektual dalam memproses informasi, menganalisa lingkungan dan mencari keputusan alternatif sehingga manusia akan menjadi indecisive dalam mengambil keputusan. 12Strahle, W., & Bonfield, E. (2020). Understanding Consumer Panic: a Sociological Perspective. Retrieved 19 March 2020, from https://www.acrwebsite.org/volumes/6964/volumes/v16/NA-16.
Terkejutnya dunia, tak terkecuali Indonesia, karena Covid-19 menyebabkan ketakutan dan keresahan. Infeksi virus ini menyebar secara eksponensial dengan begitu cepatnya 13Mediatama, G. (2020). Waspada ancaman virus corona, pemerintah perbarui kajian efek ke perekonomian. Retrieved 19 March 2020, from https://nasional.kontan.co.id/news/waspada-ancaman-virus-corona-pemerintah-perbarui-kajian-efek-ke-perekonomian. Virus ini sudah menjangkiti 227,764 orang secara global per 19 Maret 2020, sejak kasus pertamanya pada 31 Desember 2019. 14(2020). Retrieved 19 March 2020, from https://www.worldometers.info/coronavirus/15Siapa orang pertama yang memicu wabah virus corona?. (2020). Retrieved 19 March 2020, from https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51586103. Cepatnya persebaran virus Corona ini menyebabkan akselerasi reorganisasi sosial sebagai upaya masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan yang ada 16Robert M.Z. Lawang,1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Hlm. 79.
Akal Manusia dan Rasionalitas yang Agung
“Rational people think at the margin” 17Mankiw, N., Goh Soo Khoon., Ong Hway Boon., Yen Siew Hwa., Cheng Ming Yu., Muszafarshah Mohd Mustafa., & Yvonne Lee Lean Ee. (2013). Principles of Economics. Andover: Cengage Learning.
-Greg Mankiw, Principles of Economics
Berdasarkan margin yang ada, orang yang rasional pasti akan memilih untuk membeli suatu komoditas sebanyak-banyaknya demi mengamankan dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun, apakah menjadi rasional selalu merupakan pilihan yang tepat?
Fenomena panic buying dapat dijelaskan melalui kerangka game theory. Contoh Prisoner’s Dilemma yang disempurnakan oleh Albert W. Trucker pada tahun 1950 dapat menjadi framework yang tepat untuk menganalisis perilaku tersebut18Von Neumann, J., & Morgenstern, O. (2007). Theory of games and economic behavior. Princeton, N.J.: Princeton University Press.. Permainan ini pada dasarnya merupakan sebuah contoh sederhana dan penjelasan mengapa 2 orang yang rasional cenderung tidak akan bekerja sama dalam kondisi tertentu. 19Von Neumann, J., & Morgenstern, O. (2007). Theory of games and economic behavior. Princeton, N.J.: Princeton University Press..
Permainan tersebut secara umum merupakan sebuah permainan koordinasi. Dalam kasus panic-buying ini, kita dihadapkan dengan 2 kemungkinan, masyarakat yang membeli barang sebanyak-banyaknya (panic buying) dan masyarakat yang bersikap normal. Normal yang dimaksudkan disini adalah tidak melakukan penimbunan atau belanja berlebihan. Hasil terbaik dari contoh ini adalah ketika masyarakat bersikap normal dan Anda juga bersikap normal. Hal ini akan menjamin ketersediaan stok barang dan memudahkan pendistribusian komoditas kepada masyarakat. Namun, apabila Anda bersikap normal, apakah masyarakat akan bersikap normal juga? Masyarakat tidak dapat berkoordinasi secara massal dengan sendirinya. Ketidakpastian koordinasi antar masyarakat ini menyebabkan secara logis tentunya lebih baik untuk ikut panic-buying, karena apabila Anda tetap bersikap biasa saja ditengah masyarakat yang melakukan panic buying, tidak akan ada apapun yang tersisa untuk Anda!20Paloyo, A. (2020). Toilet paper panic has basis in reality: people aren’t crazy. Retrieved 19 March 2020, from https://www.mandurahmail.com.au/story/6674422/toilet-paper-panic-has-basis-in-reality-people-arent-crazy/.

Hasil di atas menggambarkan ketidakpastian pilihan individu yang menentukan keputusan individu yang menurut mereka paling rasional pada tingkat individu. Keputusan ini diambil sebagai strategi dominan, dimana apapun keputusan orang lain, Individu tersebut mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan alternatifnya. Panic buying secara massal menunjukkan bahwa, dihadapkan dengan kemungkinan hasil yang sama antar individu, semua orang akan mengambil pilihan untuk memborong barang-barang yang diinginkan. Kondisi inflasi dan kelangkaan barang tertentu menunjukkan hasil dari semua orang mengambil strategi dominan (Nash Equilibrium), dimana semua orang merugi. Dihadapkan dengan kondisi ini, Pemerintah perlu berperan dengan mengubah hasil dari keputusan sehingga mengganti strategi dominan (ex: pajak atau denda untuk pembelian dengan jumlah besar) atau melarang pengambilan keputusan tertentu (ex: kuota barang untuk setiap warga negara).
Panic-buying masker, makanan, dan komoditas lainnya dapat diibaratkan seperti sebuah bank-run, yaitu keadaan dimana banyak orang menarik uangnya dari bank karena takut bank tersebut bangkrut21Merriam-Webster Dictionary. Accesible at https://www.merriam-webster.com/dictionary/bank%20run. Orang membeli masker, makanan, dan komoditas lainnya sebagai antisipasi kelangkaan. Dalam kasus ini, sebenarnya sangat masuk akal apabila orang membeli barang karena mereka takut kehabisan dan sangat masuk akal pula apabila orang menarik uangnya apabila takut banknya akan bangkrut. Tetapi, apabila semua orang menarik uangnya secara bersamaan dari bank yang diyakini akan bangkrut, bank tersebut akan benar-benar bangkrut; lantas menjadi sebuah self-fulfilling prophecy.22Von Neumann, J., & Morgenstern, O. (2007). Theory of games and economic behavior. Princeton, N.J.: Princeton University Press.23Paloyo, A. (2020). Toilet paper panic has basis in reality: people aren’t crazy. Retrieved 19 March 2020, from https://www.mandurahmail.com.au/story/6674422/toilet-paper-panic-has-basis-in-reality-people-arent-crazy/.
Sifat Dasar Kebuasan Manusia
Tentunya kita tahu bahwa Homo Sapiens yang kita ketahui tidak serta merta rasional dan egois seperti Homo Economicus24Heukelom, F. (2009). Kahneman and Tversky and the making of behavioral economics. Amsterdam: Thela Thesis.. Namun, hal yang membedakan manusia dengan binatang adalah bahwa manusia dapat membuat dirinya berpikir rasional dikarenakan kemampuan kognitif yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Namun apakah berarti keputusan yang diambil manusia selalu lebih baik dari binatang?
Jawaban pertanyaan tersebut tentunya beragam, tergantung pada conceptual framework apa yang digunakan untuk menilai. Hal ini juga didukung bahwa pada realitanya rasionalitas manusia tidaklah sempurna dan justru terbatas (bounded rationality). Gagasan tersebut dikemukakan Herbert Simon dalam publikasinya yang berjudul Administrative Behavior: A Study of Decision Making Processes in Administrative Organizations25Herbert Simon, Tom C. W. Lin, A Behavioral Framework for Securities Risk, 34 Seattle U. L. Rev. 325 (2011), available at https://scholarship.law.ufl.edu/facultypub/114/.(New York: The Free Press, 1997). Herbert menjelaskan tentang perilaku manusia mengambil keputusan yaitu kodrat manusia sebagai pemburu keuntungan. Teori ini juga didasari teori klasik Adam Smith mengenai sifat manusia yang sepenuhnya egois, cinta pada diri sendiri, dan mendahului kepentingan sendiri. Hal tersebut menciptakan cognitive bias, yaitu pola pengambilan keputusan yang cepat dan low-effort analysis26Andrew E. Taslitz, Prosecutorial Preconditions to Plea Negotiations, 23 CRIM. JUST. 14, 21 (2008). karena hanya berfokus pada keuntungan diri sendiri. Tidak memperhitungkan pengaruhnya pada manusia lain, lingkungan ataupun stabilitas umum di masa depan. Dengan jangka waktu pendek dan informasi terbatas, pembelian barang secara massal tidak dapat dikatakan sepenuhnya tidak rasional.
Tentu sikap manusia seringkali tidak rasional. Rasionalitas manusia hanya asumsi yang dipakai untuk menganalisis satu dimensi dari ekonomi. Homo Economicus adalah manusia imajinasi yang selalu dilayani oleh ekonom. Dengan arus informasi yang cepat dari dunia internasional dan kondisi Indonesia yang terlambat mengalami outbreak Covid-19, manusia yang rasional seharusnya memiliki peralatan yang cukup untuk menciptakan keadaan yang optimal. Jika ada lonjakan harga, fluktuasi tersebut seharusnya dengan cepat terkendali. Tidak tercapainya hal tersebut didukung beberapa fungsi kognitif manusia yang mendorong keputusan panic buying.
Dalam jangka waktu yang sangat singkat dan perubahan keadaan yang tiba-tiba (outbreak Covid-19), Manusia seringkali menggunakan metode heuristik. Heuristik adalah metode pengambilan keputusan manusia untuk secara praktis menyelesaikan permasalahan dalam waktu singkat (ex: rule of thumb, intuisi, perkiraan cepat). Heuristik membantu manusia menyederhanakan keadaan dan menghemat waktu dalam mengambil keputusan, namun juga berisiko27Myers, David G. (2010). Social psychology. (Tenth ed.). New York, NY. ISBN9780073370668OCLC 667213323..
Fenomena Covid-19 merangsang perilaku “ikut-ikutan” manusia atau Herd behavior, yaitu pemikiran bahwa manusia cenderung bertingkah dan berpikir sedemikian rupa karena orang lain juga bertingkah dan berpikir demikian 28Robert K. Goidel & Todd G. Shields, The Vanishing Marginals, the Bandwagon, and the Mass Media, 56 J. POL. 802 (1994);.Intuisi ini (heuristik) yang mendorong manusia untuk mengikuti perilaku orang lain untuk membeli barang yang sejatinya tidak mereka inginkan dan butuhkan29Harvey Leibenstein, Bandwagon, Snob, and Veblen Effects in the Theory of Consumers’ Demand, 64 Q. J. ECON. 183 (1950);30Vicki G. Morwitz & Carol Pluzinski, Do Polls Reflect Opinions or Do Opinions Reflect Polls?, 23 J. CONSUMER RES. 53 (1996). Perilaku ini tidak akan menjadi masalah bila sistem ekonomi dapat menyesuaikan dengan perilaku manusia tersebut. Namun, perilaku ekonomi jauh dari rasional, melainkan tidak rasional secara sistemiki31Ariely, D. (2008), Predictably Irrational: The Hidden Forces Which Shape Our Decisions. pp. 23932Stephen Choi & Adam Pritchard, Behavioral Economics and the SEC, 56 STAN. L. REV. 1, 2 (2003)33 John Conlisk, Why Bounded Rationality?, 34 J. ECON. LIT. 669, 671, 682-83 (1996); Jolls et al., supra note 5, at 1475.
Masker ditumpuk di rumah walaupun orang lain membutuhkannya. Berbagai seruan telah didengungkan untuk tidak menumpuk masker secara berlebihan. Begitu juga dengan beras, sebanyak apapun beras yang dibeli sekaligus, jumlah beras yang dikonsumsi per harinya tidak akan berubah. Lalu apa yang berbeda? Yang berbeda adalah pemanfaatan nilai utilitas dari barang tersebut. Barang yang seharusnya dapat dipakai pada bulan itu menjadi tidak berguna pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena perilaku heuristik dan egoistik manusia yang menunjukkan diri.
Manusia pada dasarnya bersifat barbar dan egois, seperti binatang buas yang rela membunuh untuk berebut wilayah atau mangsa. Filsuf Inggris ternama Thomas Hobbes menyatakan bahwa kondisi alamiah manusia adalah “Bellum omnium contra omnes,” di mana manusia terus menerus saling berperang dengan tujuan utama kepuasan diri. Namun kondisi tersebut sangat berisiko, sehingga muncul dorongan kolektif untuk mengesampingkan kepentingan individu, untuk berdamai dan bekerja sama dengan membentuk “kontrak sosial” demi kepentingan bersama dan keuntungan yang lebih besar 34Thomas, Hobbes (2006). Thomas Hobbes : Leviathan. Rogers, G. A. J.,, Schuhmann, Karl (A critical ed.). London: Bloomsbury Publishing. p. 12. ISBN9781441110985.882503096..
Kontrak sosial memberi batasan terhadap ambisi manusia untuk mengambil keuntungan maksimum secara individu dengan menyesuaikan dengan realita yang ada demi meraih suatu keuntungan yang hanya bisa diraih secara kolektif. Kontrak sosial yang paling umum di masa sekarang adalah sistem regulasi pemerintahan. Kebiasaan dan kebudayaan yang telah lama mengikat masyarakat dalam berperilaku dan mengambil keputusan juga merupakan kontrak sosial.
Stereotip mengenai masyarakat Indonesia yang bergotong royong dan saling membantu juga merupakan kontrak sosial. Namun apa yang terjadi saat Covid-19 datang? Kontrak sosial kehilangan kuasanya karena realita telah berubah. Meningkatnya risiko di masyarakat akibat informasi yang asimetris membuat masyarakat hidup dalam ketakutan, takut akan ketidakpastian di masa depan 35Tom C. W. Lin, A Behavioral Framework for Securities Risk, 34 Seattle U. L. Rev. 325 (2011), available at https://scholarship.law.ufl.edu/facultypub/114/.. Di Indonesia sendiri sudah terjadi demikian. Simpang siurnya informasi yang sampai pada masyarakat, ditambah tindakan menteri kesehatan yang kurang efektif dalam menangani pandemi ini membuat kepercayaan masyarakat turun terhadap jaminan dari ‘kontrak sosial’ mereka, yaitu pemerintah. Keuntungan yang ditawarkan ‘kontrak sosial’ melemah dan manusia melindungi diri sendiri.
Apakah manusia akan selalu kembali menjadi binatang buas?
Adam Smith mengemukakan Theory of Moral Sentiments yang menjelaskan bahwa seegois apapun seorang manusia, terdapat prinsip alamiah di mana ia akan tertarik terhadap kesuksesan orang lain, walaupun ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa puas saat melihat hal tersebut36Smith, Adam (1761). Theory of Moral Sentiments (2 ed.). Strand & Edinburgh: A. Millar; A. Kincaid & J. Bell.. Begitu juga saat mendapati orang lain menderita, manusia cenderung merasa sedih. Hal ini disebabkan tidak peduli seegois apapun seorang manusia, mereka tetap memiliki emosi dan empati yang menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keputusan tersebut tidak rasional dalam perspektif ekonomi. Namun irasional bukan berarti negatif, terutama untuk menghadapi permasalahan sosial di masa kini. Jika rasionalitas adalah keputusan yang memaksimalkan kepuasan individu, maka justru saat ini, irasionalitas dibutuhkan.
Di kondisi krisis atau peralihan, dengan sistem yang belum memadai untuk menyediakan kontrak sosial yang bisa mengontrol perilaku manusia dengan jaminan stabilitas, peran manusia sebagai homo economicus harus berubah menjadi Homo reciprocans sebagaimana dikemukakan oleh pemikir anarkis Rusia Peter Kropotkin. Dalam pandangan Kropotkin, justru sifat kooperasi dan tolong menolong lah yang menjadi pendorong utama kemajuan dan evolusi manusia 37Kropotkin, P. (1976). Mutual Aid: A Factor of Evolution. Extending Horizons Books..
Teori mutual aid Kropotkin berpatokan pada tradisi dan budaya daripada sifat dasar manusia yaitu berebut antar sesama, di mana kontrak ini menekan pentingnya pengambilan keputusan yang etis terhadap pembagian kepemilikan barang-barang pokok/penting. Dalam kondisi seperti ini, barang-barang penting seperti alat-alat kesehatan yang merupakan barang penting tidak seharusnya menjadi komoditas pasar, melainkan fasilitas yang dapat dijangkau secara adil masyarakat. Begitu juga dengan barang-barang pokok lainnya, masyarakat dituntut untuk membatasi ambisi mereka dalam memiliki barang-barang tersebut untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di lingkungannya.
Kesimpulan
Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa himbauan pemerintah untuk social-distancing hanya berlaku secara fisik. Sedangkan secara prinsip, kepedulian dan kerja sama kita harus kuat untuk menghadapi pandemi Covid19 ini. Panic buying merupakan salah satu fenomena yang wajar terjadi dalam krisis seperti ini, namun bukan berarti benar.
Fenomena seperti panic buying menunjukkan bahwa kondisi inheren manusia sebagai makhluk rasional, namun egois apabila tidak terkontrol. Sifat tersebut dapat berujung kehancuran untuk seluruh masyarakat secara kolektif. Dalam masyarakat yg kapitalistik dengan nilai-nilai kolektif yg lemah, warga sepertinya belum dapat dibebaskan untuk bertindak baik dan beradab dengan sendirinya, terutama pada masa krisis. Pada kondisi ini, kontrak sosial yang kuat dibutuhkan untuk meyakinkan agar masyarakat tetap tenang dan kondusif. Pemerintah dapat, secara mekanistik, mengubah payoff matrix melalui berbagai kebijakan untuk mendorong masyarakatnya menuju hasil yang lebih optimal. Sejatinya, kita hanya akan bisa menghadapi krisis bersama-sama, bukan sendiri-sendiri.
Editor : M Daffa Nurfauzan, Rama Vandika Daniswara, Miftah Rasheed Amir
Illustrator : Utari Nanda
Referensi
↵1 | Daniels, K., 2020. As Pandemic-Panicked Shoppers Clamor For Toilet Paper, Bidet Sales Are On The Rise Amid Coronavirus Crisis. [online] Nydailynews.com. Available at: https://www.nydailynews.com/coronavirus/ny-coronavirus-bidet-sales-soar-toilet-paper-20200320-sjrk2x3qwbgmjohx4g4e42fcdi-story.html |
---|---|
↵2 | Wray, M., 2020. Oregon Police Tell Citizens To Stop Calling 911 ‘Just Because You Ran Out Of Toilet Paper’. [online] Global News. Available at: https://globalnews.ca/news/6690521/coronavirus-toilet-paper-shortage |
↵3, ↵4 | teknologi. 2020. Heboh Corona, Harga Hand Sanitizer Meroket Di Ecommerce.[online] Available at: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200313141841-185-483160/heboh-corona-harga-hand-sanitizer-meroket-di-ecommerce |
↵5 | Nyawira, S., 2020. Coronavirus News Triggers Panic Shopping In Nairobi. [online] The Star. Available at: https://www.the-star.co.ke/news/2020-03-13-coronavirus-news-triggers-panic-shopping-in-nairobi/ |
↵6 | Hinshaw, M., 2020. Masks Run Short As Coronavirus Spreads. [online] |
↵7 | panic | Search Online Etymology Dictionary”. Diakses tanggal 2019-06-26. |
↵8, ↵10 | Brown, Roger (1954), “Mass Phenomena,” in Handbook of Social Psychology, ed. Gardner Lindzey, Reading, MA: Addison-Wesley, 833-876. |
↵9 | Lohmann, S. (1994). The Dynamics of Informational Cascades: The Monday Demonstrations in Leipzig, East Germany, 1989–91. World Politics, 47(1), 42-101. doi: 10.2307/2950679 |
↵11 | Impor Terhambat Dampak Corona, Pengusaha Indikasikan Harga Pangan Naik – Katadata.co.id. (2020). Retrieved 19 March 2020, from https://katadata.co.id/berita/2020/03/12/impor-terhambat-dampak-corona-pengusaha-indikasikan-harga-pangan-naik |
↵12 | Strahle, W., & Bonfield, E. (2020). Understanding Consumer Panic: a Sociological Perspective. Retrieved 19 March 2020, from https://www.acrwebsite.org/volumes/6964/volumes/v16/NA-16 |
↵13 | Mediatama, G. (2020). Waspada ancaman virus corona, pemerintah perbarui kajian efek ke perekonomian. Retrieved 19 March 2020, from https://nasional.kontan.co.id/news/waspada-ancaman-virus-corona-pemerintah-perbarui-kajian-efek-ke-perekonomian |
↵14 | (2020). Retrieved 19 March 2020, from https://www.worldometers.info/coronavirus/ |
↵15 | Siapa orang pertama yang memicu wabah virus corona?. (2020). Retrieved 19 March 2020, from https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51586103 |
↵16 | Robert M.Z. Lawang,1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Hlm. 79 |
↵17 | Mankiw, N., Goh Soo Khoon., Ong Hway Boon., Yen Siew Hwa., Cheng Ming Yu., Muszafarshah Mohd Mustafa., & Yvonne Lee Lean Ee. (2013). Principles of Economics. Andover: Cengage Learning. |
↵18, ↵19, ↵22 | Von Neumann, J., & Morgenstern, O. (2007). Theory of games and economic behavior. Princeton, N.J.: Princeton University Press. |
↵20, ↵23 | Paloyo, A. (2020). Toilet paper panic has basis in reality: people aren’t crazy. Retrieved 19 March 2020, from https://www.mandurahmail.com.au/story/6674422/toilet-paper-panic-has-basis-in-reality-people-arent-crazy/ |
↵21 | Merriam-Webster Dictionary. Accesible at https://www.merriam-webster.com/dictionary/bank%20run |
↵24 | Heukelom, F. (2009). Kahneman and Tversky and the making of behavioral economics. Amsterdam: Thela Thesis. |
↵25 | Herbert Simon, Tom C. W. Lin, A Behavioral Framework for Securities Risk, 34 Seattle U. L. Rev. 325 (2011), available at https://scholarship.law.ufl.edu/facultypub/114/.(New York: The Free Press, 1997 |
↵26 | Andrew E. Taslitz, Prosecutorial Preconditions to Plea Negotiations, 23 CRIM. JUST. 14, 21 (2008). |
↵27 | Myers, David G. (2010). Social psychology. (Tenth ed.). New York, NY. ISBN9780073370668OCLC 667213323. |
↵28 | Robert K. Goidel & Todd G. Shields, The Vanishing Marginals, the Bandwagon, and the Mass Media, 56 J. POL. 802 (1994); |
↵29 | Harvey Leibenstein, Bandwagon, Snob, and Veblen Effects in the Theory of Consumers’ Demand, 64 Q. J. ECON. 183 (1950); |
↵30 | Vicki G. Morwitz & Carol Pluzinski, Do Polls Reflect Opinions or Do Opinions Reflect Polls?, 23 J. CONSUMER RES. 53 (1996 |
↵31 | Ariely, D. (2008), Predictably Irrational: The Hidden Forces Which Shape Our Decisions. pp. 239 |
↵32 | Stephen Choi & Adam Pritchard, Behavioral Economics and the SEC, 56 STAN. L. REV. 1, 2 (2003 |
↵33 | John Conlisk, Why Bounded Rationality?, 34 J. ECON. LIT. 669, 671, 682-83 (1996); Jolls et al., supra note 5, at 1475 |
↵34 | Thomas, Hobbes (2006). Thomas Hobbes : Leviathan. Rogers, G. A. J.,, Schuhmann, Karl (A critical ed.). London: Bloomsbury Publishing. p. 12. ISBN9781441110985.882503096. |
↵35 | Tom C. W. Lin, A Behavioral Framework for Securities Risk, 34 Seattle U. L. Rev. 325 (2011), available at https://scholarship.law.ufl.edu/facultypub/114/ |
↵36 | Smith, Adam (1761). Theory of Moral Sentiments (2 ed.). Strand & Edinburgh: A. Millar; A. Kincaid & J. Bell. |
↵37 | Kropotkin, P. (1976). Mutual Aid: A Factor of Evolution. Extending Horizons Books. |
Discussion about this post