“Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.” – Joko Widodo
Kamis, 24 Oktober 2019 yang lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen.[1] Kenaikan iuran yang signifikan ini lantas menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat, mengingat dampaknya yang besar bagi rakyat Indonesia. Sebagian mendukung, sebagian lain mengungkapkan keberatannya atas kebijakan ini. Namun, tak sedikit juga yang bertanya-tanya, sebenarnya separah apa permasalahan yang menimpa BPJS Kesehatan, sampai-sampai harus menaikkan iuran sedemikian tinggi?
Pemasukan yang Kecil, Pengeluaran yang Besar
Sebelum menelisik lebih lanjut terkait kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, ada baiknya kita memahami defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Dilansir dari CNBC Indonesia, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, menjelaskan bahwa defisit BPJS Kesehatan tahun ini diprediksi meningkat lebih besar dari prediksi awal Rp 28 triliun menjadi Rp 32 triliun. Defisit ini disebabkan oleh peserta golongan mandiri atau Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang mampu untuk membayar iuran, namun tidak melakukannya.[2]
Menurut Abdillah Ahsan, dosen dan peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang berkonsentrasi di keuangan publik, tak hanya bermasalah dari segi iuran, anggaran dari alokasi APBN untuk BPJS juga belum memadai. Berdasarkan pembagian alokasi APBN, alokasi anggaran kesehatan dari APBN adalah sebesar lima persen. Anggaran sebesar lima persen tersebut harus dibagi dua antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPJS.
Alokasi yang terbatas ini menyebabkan tarik menarik antara Kemenkes dan BPJS. Dalam hal ini, anggaran untuk Kemenkes seakan-akan diambil oleh BPJS. “Misalnya, anggaran APBN untuk kesehatan sebesar 50 triliun rupiah. Seharusnya, 50 triliun rupiah tersebut digunakan untuk Kemenkes semua, tetapi setelah adanya BPJS, anggaran Kemenkes menjadi 25 triliun rupiah saja,” jelas Abdillah.
Tarik ulur dana ini menjadi problematis karena terdapat pergeseran peran Puskesmas dalam menjaga kesehatan masyarakat. Semula, Puskesmas berperan untuk mengurus kesehatan masyarakat, dalam aspek promotive (promosi kesehatan) dan preventif (deteksi dini), seperti vaksinasi dan imunisasi. Namun, setelah BPJS, peran Puskesmas terreduksi menjadi peran kuratif (penanganan pasien yang sakit).
Iuran yang tak terbayar, tarik ulur alokasi APBN, dan jumlah klaim masyarakat yang besarlah yang menjadi penyebab utama defisit BPJS. Abdillah memberikan analogi yang tepat terkait defisit yang dialami BPJS Kesehatan ini. “Ibaratnya, jika dianalogikan, [BPJS Kesehatan] seperti [sedang mengalami] anemia dan penyakit penyumbatan pembuluh darah. Anemia ini disebabkan karena uang yang keluar jauh lebih banyak daripada uang yang masuk,” tuturnya.
Dalam mencari solusi bagi defisit BPJS Kesehatan, Abdillah menggunakan teori necessary dan sufficient condition yang ada dalam ilmu ekonomi. Teori tersebut digunakan Abdillah untuk mengidentifikasi dua kondisi dalam fenomena defisit BPJS. Pertama, identifikasi necessary condition, dimana sebuah kondisi (kondisi A) harus terjadi untuk memastikan kondisi konsekuensi (kondisi B). Dalam konteks masalah ini, menaikkan iuran menjadi necessary condition untuk mengatasi defisit. Kedua, identifikasi sufficient condition, dimana sebuah kondisi (kondisi A) yang terjadi cukup untuk memastikan terjadinya kondisi selanjutnya (kondisi B). Dalam konteks masalah ini, perbaikan tata kelola BPJS menjadi salah satu kondisi yang dapat memastikan terselesaikannya masalah defisit BPJS.
Kenaikan Premi sebagai Solusi
Untuk mengatasi defisit yang sangat besar ini, pemerintah menentukan kenaikan iuran BPJS untuk setiap kelas sebagaimana dalam Perpres: kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.[3] Kenaikan yang mencapai 100 persen inilah yang menimbulkan polemik di masyarakat. Sebagian tidak keberatan dengan kenaikan iuran asuransi kesehatan ini, mengingat manfaat asuransi yang jauh lebih menguntungkan ketimbang nominal yang harus dibayarkan setiap bulannya. Sementara sebagian lagi merasa kenaikan ini sangatlah memberatkan, terutama bagi pekerja di sektor informal yang tidak memiliki pendapatan yang tetap. Sentimen ini dikemukakan dengan vokal lewat tagar #BPJSMenyengsarakan yang trending di Twitter pada Kamis, 31 Oktober 2019. [4]
Terkait kenaikan ini, Abdillah menilai bahwa polemik ini sangatlah wajar, karena kenaikannya yang mencapai 100 persen. Abdillah berpendapat bahwa efek kejut yang beredar di masyarakat ini dapat dihindari dengan cara menaikkan tarif iuran secara bertahap, ketimbang menaikkan nominal iuran secara sekaligus. “Katakanlah tarif keekonomian yang ideal itu 100, dan tarif yang berlaku saat ini 70. Agar kenaikan tidak terasa mengejutkan, tarif iuran jangan segera dipatok menjadi 100, tapi perlahan-lahan secara bertahap saja. Misalnya, dari 70 ke 75 atau 80, selanjutnya ke 90, baru ke 100, dalam jangka waktu selama tiga tahun,” rinci Abdillah.
Perbaikan Tata Kelola BPJS
Berdasarkan penjelasan Abdillah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa reformasi dan pembenahan tata kelola BPJS menjadi langkah krusial yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi defisit BPJS. Menurut Abdillah, langkah ini cukup rumit karena kompleksnya aspek tata kelola internal BPJS sendiri, yang mencakup sistem pengadaan, harga obat, impor obat yang terkena tarif mahal, honor dokter yang terlalu murah, penipuan (fraud) yang dilakukan pasien, dan pentarifan Indonesian Case Based Groups (INA-CBG), dimana sistem pembayaran yang diterapkan BPJS menggunakan system ‘paket’ berdasarkan penyakit yang diderita pasien.
Sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS harus bekerja sama dengan pihak-pihak luar. Pihak-pihak yang terkait dengan BPJS di antaranya adalah peserta, provider, apoteker, perusahaan obat, rumah sakit, dan puskesmas. Menurut Abdillah, meski kompleks, perubahan tak akan terjadi apabila pemerintah menunggu seluruh komponen ini membaik. Usaha pembenahan harus tetap dilakukan secara serentak untuk mengatasi isu tata kelola ini.
Pajak Rokok sebagai Solusi yang Potensial
Dalam upaya mengatasi permasalahan defisit ini, pemerintah berusaha mencari sumber pendanaan lain sebagai solusi. Mekanisme yang ditetapkan adalah dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah, 75%-nya dari pajak rokok daerah dialokasikan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. Besaran pajak rokok yang dikutip daerah sebesar 10% dari penerimaan cukai.
Pada dasarnya, rokok dikenakan beberapa pajak. Pertama adalah cukai yang diatur di UU no. 39 tahun 2007, sebagai pengendalian konsumsi. Kedua, PPN sebesar 10%. Ketiga, pajak rokok daerah yang mulai berlaku sejak tahun 2014, berdasarkan UU no. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Totalnya terdapat 5 pajak provinsi, dan 24 pajak kabupaten kota.
Untuk memberi ilustrasi potensi penerimaan negara dari pajak rokok, Abdillah menjelaskan, “Katakanlah pada tahun 2018 penerimaan cukai rokok adalah sebesar 150 triliun rupiah. Sepuluh persen dari 150 triliun adalah 15 triliun rupiah. Dari 15 triliun rupiah itu, setengahnya, yaitu 7,5 triliun rupiah digunakan untuk kepentingan kesehatan, menutup defisit ini. Lantas, apakah 7,5 triliun rupiah cukup untuk menutup defisit yang ada sekarang? Tentu saja tidak cukup.”
Mengingat nominal penerimaan cukai yang belum bisa menutup defisit BPJS, Abdillah mengusulkan pajak keempat sebagai alternative, yang merupakan penambahan pungutan atas rokok. Ia menyebutnya sebagai pungutan untuk rokok bagi kesehatan. Pajak baru tersebutlah yang akan dialokasikan dan didedikasikan untuk defisit BPJS, sehingga tidak mengambil hak daerah.
Lebih lanjut Abdillah menjelaskan potensi pungutan ini. “Saat ini, produksi rokok mencapai sekitar 336 milyar batang per tahun. Jika nominal tersebut dikalikan 50 rupiah, maka pemerintah akan mendapatkan 15 triliun rupiah. Dengan begini, alokasi pajak untuk BPJS tidak mengganggu hak daerah,” jelasnya. Tak sampai di situ, Abdillah menegaskan urgensi penerapan kebijakan ini. “Harus ada kebijakan dan eksekusi atas kebijakan ini. [Pasalnya], rokok dipuja-puja sebagai penyelamat BPJS, padahal pada tahun 2019 tidak ada kenaikan cukai rokok. Kalau seperti itu, yang diuntungkan, kan, hanya industri rokok itu sendiri,” tutup Abdillah.
Editor: Vibi Larassati
Ilustrator: Utari Nanda
Referensi
[1] https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/30/085838165/sah-iuran-bpjs-kesehatan-naik-100-persen-mulai-1-januari-2020?page=all
[2] https://www.cnbcindonesia.com/news/20191007153718-4-104993/wamenkeu-ungkap-borok-bpjs-kesehatan-hingga-defisit-rp-32-t
[3] https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/30/085838165/sah-iuran-bpjs-kesehatan-naik-100-persen-mulai-1-januari-2020?page=all
[4] https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/31/141154265/kenaikan-iuran-bpjs-diteken-presiden-ditolak-dpr-hingga-diamnya-sri-mulyani?page=all.
Discussion about this post