Pembahasan mengenai moral rasa-rasanya menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pandangan umum soal asal usul moralitas adalah bahwa sejak kecil, kita diajarkan tentang klasifikasi baik buruknya suatu tindakan. Klasifikasi inilah yang kemudian membentuk preferensi pribadi dan cara seseorang memandang moralitas. Konsep lain yang juga diajukan para teoretikus dari kelompok nativist memandang moralitas sebagai sesuatu yang dibentuk secara bawaan, entah dari Tuhan atau secara genetik, sebagaimana diangkat oleh Charles Darwin. Terlepas dari perbedaan cara pandang tersebut, terdapat konsensus bahwa preferensi moral adalah akar dari tindakan manusia. Namun, hal ini membawa kita pada pertanyaan selanjutnya, seberapa relevankah eksistensi moralitas terhadap peradaban manusia?
Diskursus inilah yang mendorong terselenggaranya Bedah Buku oleh Divisi Kajian Badan Otonom Economica pada Selasa, 12 November 2019 silam. Mengangkat buku The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion, diskusi ini mencoba merangkum komplikasi perihal moral dan peradaban manusia.
Teori Pondasi Moral dan Komplikasinya dalam Berbagai Jenis Kelompok
Dalam The Righteous Mind, Jonathan Haidt memaparkan secara umum enam pondasi moral utama yang menurutnya menjadi landasan nilai-nilai moral bagi berbagai kelompok dalam masyarakat. Enam pondasi moral tersebut adalah care (kepedulian), fairness (keadilan), liberty (kebebasan), loyalty (kesetiaan), authority (kepatuhan pada otoritas), dan sanctity (kesucian). Tiap-tiap dari moral tersebut mengandung muatan yang distingtif antara satu dan lainnya. Haidt menemukan bentuk nyata dari pondasi-pondasi tersebut di Amerika Serikat, di mana terdapat dua partai besar yaitu Demokrat dan Republik; kubu Demokrat yang dibanjiri dengan kelompok moderat memiliki preferensi yang tinggi pada care dan fairness, sedangkan kelompok Republikan yang mayoritasnya adalah masyarakat kaum konservatif memiliki pondasi yang merata di antara setiap pondasi moral. Perbedaan preferensi ini pada akhirnya melahirkan perdebatan tanpa titik terangnya karena kedua belah pihak saling mencari justifikasi atas pondasi moralnya masing-masing.
Kompleksitas Moral dan Rasionalisasinya dalam Perdebatan
Roby Muhammad, seorang behavioral scientist, secara gamblang memaparkan beberapa poin terkait kompleksitas pembentukan moral dan akibatnya terhadap masyarakat sesuai dengan The Righteous Mind. Pada mulanya, para psikolog berteori bahwa moral didasarkan pada faktor psikologis yang berbeda-beda pada tiap individu sehingga diferensiasi moral dapat terjadi berdasarkan kemampuan dan perkembangan kognitif masing-masing orang. Namun, buku tersebut kemudian menyatakan bahwa sesungguhnya moral didasarkan lebih pada konsensus sosial masyarakat yang bersifat sensitif dan jauh lebih rumit dari presumsi para psikolog. Sensitivitas terhadap moral dicontohkan dalam ilustrasi masyarakat agama A dan B yang memiliki moral yang berbeda terkait adab berjabat tangan. Masyarakat A diharuskan untuk berjabat tangan menggunakan tangan kanan sedangkan masyarakat B diharuskan berjabat tangan menggunakan tangan kiri. Masing-masing agama menyatakan bahwa pelanggaran atas perintah itu akan berakibat dosa. Dengan kondisi tersebut, apabila masing-masing kelompok hendak bertemu dan berjabat tangan, salah satu masyarakat harus dapat mengorbankan preferensi moralnya dan berbuat berdosa. Contoh lainnya, seperti peperangan dan konflik, dapat terjadi salah satunya karena adanya komplikasi moral dari kedua belah pihak. Konflik hanya bisa dicegah jika kedua kelompok tidak melakukan kontak sama sekali atau salah satu maupun keduanya mau berbuat dosa.
Kompleksitas moral lainnya adalah sifatnya yang intuitif. Semua presumsi atau penilaian cepat individu atas suatu kasus didorong oleh pondasi moral mereka masing-masing. Mayoritas orang tidak mau untuk makan kecoa meskipun higienitasnya telah terjamin. Jika sudah demikian, apakah ada alasan lain dibalik dari penolakan tersebut? Jawabannya ternyata adalah struktur moralitas masyarakat yang beranggapan bahwa kecoa adalah hewan kotor. Contoh selanjutnya adalah perihal apakah incest (hubungan seksual antara saudara kandung) yang aman dan dilakukan hanya satu kali diperbolehkan? Mayoritas menanggapi bahwa mereka tidak setuju. Meskipun rasionalisasi mereka telah dipatahkan, namun justifikasi tetap diberikan secara spontan sehingga menunjukkan bahwa penilaian tersebut didorong oleh moral yang bersifat sangat intuitif.
Oleh karena itu, apabila terdapat perdebatan antara dua orang terkait mengenai moralitas secara rasional maka tidak akan terjadi titik temu karena mereka memiliki basis moral yang berbeda. Rasionalisasi terhadap argumentasi mereka bukan dalam rangka mencari kebenaran dari moral yang diperdebatkan melainkan pembenaran terhadap basis moral mereka masing-masing. Permasalahan lain yang muncul adalah moral bersifat sangat mendarah daging dalam jati diri manusia sehingga perdebatan maupun diskursus yang memiliki basis moral berbeda akan sulit untuk menemukan titik terangnya karena mereka memiliki arah pembenaran yang berbeda.
Analisis pondasi Moral berdasarkan Kasus yang Terjadi di Indonesia
Bagus Takwin, seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berfokus pada bidang psikologi sosial, menjelaskan bahwa contoh kasus yang sering dipaparkan dalam buku Jonathan Haidt hanya mencangkup daerah Amerika Serikat karena penelitiannya juga dilakukan pada daerah bersangkutan. Apabila buku tersebut digunakan untuk analisis kasus di Indonesia tentunya akan memberikan hasil yang sangat berbeda. Di Indonesia, melalui ideologi pancasila dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat sangatlah kuat dalam keenam pondasi moral tersebut sehingga hampir seluruhnya bersifat konservatif dan kolektif. Hal yang berbeda hanyalah dukungan politik pada dua pasangan calon presiden. Kedua kubu sejatinya memiliki karakteristik moral yang sama. Beberapa hal yang berbeda hanya pada beberapa pondasi moral seperti misalnya pada ormas islam yang memiliki nilai sanctity (kesucian) paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Sedangkan untuk pendukung Jokowi, nilai yang tinggi ada pada fairness (keadilan) dibandingkan kelompok lainnya. Namun perbedaan tersebut hanya terdapat pada satu dari enam nilai yang dipegang sehingga karakteristik kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia kurang lebih cukup serupa.
Dengan perbedaan kasus tersebut, penelitian lebih lanjut di berbagai negara selain Amerika Serikat sangat diperlukan. Menurut Bagus, isu mengenai moral merupakan suatu hal yang sangat relevan dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan analisis konflik-konflik yang terjadi di dunia. Adapun penyesuaian lebih lanjut sangat diperlukan mengingat perbedaan dari tiap-tiap negara sehingga perlu merumuskan instrumen penelitian yang lebih cocok.
Moral dalam Manusia Prasejarah, Gut Feeling, dan Intuisi Moral
Setelah melewati pemaparan singkat oleh para pembicara, moderator kemudian melemparkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah bagaimana moral menjadi sangat kompleks dan mengubah peradaban sedangkan pada zaman prasejarah yang kita tahu masyarakatnya hanya mengenal sikap approach or leave saja. Roby menanggapi bahwa pandangan tersebut merupakan pandangan yang sangat liberal dan tidak benar secara historis. Moral sudah lama terbentuk kala itu, apabila tidak ada moral maka tidak akan ada kelompok-kelompok dalam peradaban kuno tersebut. Perbedaan yang ada hanyalah terdapat pada perkembangan ilmu mengenai moral yang kala itu belum berkembang. Namun hal tersebut tidak berarti peradaban prasejarah terdiri dari kumpulan manusia yang simplistik tetapi justru lebih kompleks.
Pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan moderator adalah mengenai apakah moral mempengaruhi pilihan individu untuk menjadi lebih utilitarian dengan menggunakan contoh salah satu cuplikan film Avengers: Infinity War ketika karakter antagonisnya dihadapkan pada dua pilihan yaitu membunuh anak perempuannya dalam rangka menyelamatkan alam semesta atau membiarkan anaknya hidup namun alam semesta akan hancur. Bagus menanggapi bahwa apabila dihadapkan pada gut feeling maka orang-orang akan cenderung memilih pilihan pertama namun apabila pertanggungjawaban dari pilihan tersebut tidak kuat maka rasionalisasi akan muncul sebagai solusinya. Mungkin dapat diaplikasikan pada pejabat publik yang dalam menentukan kebijakannya tidak berdasarkan gut feeling tetapi rasionalisasi secara mendalam dari berbagai pilihan kebijakan. Roby kemudian menambahkan bahwa moral bersifat sosial dan tidak individualistik sehingga individu akan memilih pilihan berdasarkan gut feeling yang menguntungkan secara komunal.
Pertanyaan berikutnya adalah terkait gut feeling yang tidak hanya diberikan oleh moderator namun dilanjutkan secara spesifik oleh peserta. Bagus berpendapat bahwa gut feeling sejatinya merupakan reaksi spontan yang bersifat intuitif yang didorong oleh pondasi moral individu tersebut. Mulanya gut feeling yang diturunkan oleh leluhur serta pengalaman individu sehingga tertanam di DNA sebagai bentuk adaptive toolbox yang dimiliki manusia untuk menghadapi berbagai macam situasi. Bentuk dari gut feeling sendiri tentunya sangatlah heterogen dan kepastiannya harus dicek terlebih dahulu. Sejatinya, tidak setiap saat gut feeling akan berarti pada kebenaran karena sesuai dengan konteks yang terjadi dalam peristiwa yang dialami individu tersebut. Roby kemudian menambahkan argumentasi cukup berbeda yang menyatakan bahwa sejatinya arti literal gut feeling berasal dari usus yang memiliki komposisi bakteri yang lebih banyak dibandingkan sel manusia itu sendiri. Hal tersebut memantik hipotesis bahwa segala macam keputusan gut feeling disebabkan oleh sebagian besar para bakteri tersebut bukan atas dasar keinginan otak manusia itu sendiri. Pengujian akan hal tersebut masih berkembang dalam diskursus mikrobiologi tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa memang ada hubungan antara bakteri di dalam usus manusia dengan pengambilan keputusan.
Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa moralitas memiliki peranan penting dalam peradaban manusia dimulai dari pondasinya yang membentuk pola pikir dan berperilaku, dilanjutkan dengan bagaimana individu berupaya merasionalkan pilihan moral mereka dengan oposisi yang menyebabkan konflik, hingga perkembangan moral sejak zaman prasejarah, dan eksistensi gut feeling. Apabila ditanya terkait apakah moral cukup relevan terhadap kehidupan manusia maka jawabannya adalah iya, dan itu menjadi vital ketika masyarakat menjadi sangat dependen terhadap hal tersebut. Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa moral kembali lagi adalah hasil dari konsensus komunal dan bukan dari kriteria individu akan berbagai hal sehingga menjadi salah satu alat yang menyatukan berbagai individu dan menjadi sesuatu yang mendarah daging pada individu dalam kelompok kesatuan moral tersebut. Oleh karena itulah moral telah terbangun jauh sejak zaman manusia prasejarah dan terus mengalami perkembangan. Moral yang kompleks ini bersifat sangat intuitif dan mendorong berbagai reaksi spontan terhadap suatu hal dimana salah satunya adalah gut feeling.
Referensi
Haidt, J. (2012). The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion. Vintage.
Discussion about this post