“You’re basically squeezing women and families from both ends of the stick. You’re squeezing them at their cost of living, and you’re squeezing them at the wage end, too.”
– Anna Chu
Kesetaraan gender tidak pernah absen dalam daftar isu yang santer dibahas. Tidak terhitung pula penelitian dan literatur mengenai gender-based disparity membahas bagaimana wanita yang berkarier menghasilkan pendapatan lebih rendah dibanding laki-laki. Disparitas ini kemudian berlanjut pada aspek wanita yang acap kali dikenakan pink tax. Pink tax merupakan istilah yang merujuk pada harga lebih tinggi yang dibebankan bagi wanita atas pembelian barang konsumsi atau jasa tertentu, bahkan produk dengan bentuk dan fungsi yang sama.
Melihat Fenomena Pink Tax
Barang konsumsi (consumer goods) mulai dari pakaian, produk kesehatan, produk perawatan diri, dan sebagainya sering ditampilkan dalam dua varian warna: pink untuk wanita dan biru untuk pria. Pada dasarnya, produk-produk “kembar” tersebut memiliki bentuk dan fungsi yang sama yang ditujukan bagi kaum pria dan wanita. Meskipun serupa, nyatanya produk tersebut memiliki perbedaan dari segi harga. Sebuah survei dilakukan oleh Department of Consumer Affairs di New York pada Desember 2015 terhadap 800 produk dari 90 brand berbeda dengan versi pria dan wanita 1 de Blasio, B., & Menin, J. (2015). From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer. A Study of Gender Pricing in New York City. The New York City Department of Consumer Affairs. Retrieved from https://www1.nyc.gov/assets/dca/downloads/pdf/partners/Study-of-Gender-Pricing-in-NYC.pdf . Hasil survei tersebut mendemonstrasikan bahwa rata-rata produk wanita dihargai lebih tinggi daripada produk pria. Secara spesifik, perbedaan harga produk wanita dibandingkan dengan produk pria tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
- 7% lebih mahal untuk mainan dan aksesoris
- 4% lebih mahal untuk pakaian anak-anak
- 8% lebih mahal untuk pakaian dewasa
- 13% lebih mahal untuk produk personal care
- 8% lebih mahal untuk produk senior/home health care
Tidak hanya di New York, masalah kesenjangan ini juga dirasakan hingga kini di negara-negara lain di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan studi oleh University of Central Florida, produk perlengkapan sehari-hari seperti sampo, sabun cuci muka, deodoran, hingga alat cukur dipasarkan dengan harga yang lebih mahal untuk target pasar para wanita. Disparitas ini berdampak pada wanita yang membayar gender-tax tahunan lebih tinggi atas produk identik dengan produk pria sebesar kurang lebih $1.351. 2 de Blasio, B., & Menin, J. (2015). From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer. A Study of Gender Pricing in New York City. The New York City Department of Consumer Affairs. Retrieved from https://www1.nyc.gov/assets/dca/downloads/pdf/partners/Study-of-Gender-Pricing-in-NYC.pdf
Alasan di balik Pink Tax
Alasan paling rasional yang mendasari adanya disparitas yang tercermin dari pengenaan pink tax ini adalah perbedaan biaya produksi barang atau jasa untuk produk laki-laki dan perempuan. 3 Challenges, D. (2016). How Gender-Based Pricing Hurts Women ’ s Buying Power. 250(December), 1–11. Misalnya, sebuah produk membutuhkan biaya lebih untuk menghasilkan bentuk, warna, dan aroma yang lebih feminin. Strategi pemasaran pun dilakukan secara berbeda untuk target pasar kaum wanita sehingga meningkatkan biaya pemasaran.
Strategi pemasaran yang umum digunakan adalah diferensiasi produk (product differentiation). Produsen membedakan tiap produk atau layanannya untuk membuat produk tersebut lebih menarik bagi target pasar tertentu, termasuk dengan mengubah warna, ukuran dan kemasan. Sebuah mantra populer dalam dunia pemasaran masih menjadi andalan sampai hari ini untuk menarik pasar kaum wanita, yakni: “shrink it and pink it.” Ungkapan ini merefleksikan strategi pemasaran yang membalut produk sehari-hari dalam naungan warna pink dan membuat ukurannya lebih kecil untuk digunakan wanita. Konsep ini paling jelas terlihat pada produk pisau cukur (razor). Akan tetapi, strategi ini biasanya berujung pada perempuan yang membeli produk dalam jumlah yang lebih sedikit dengan harga yang lebih mahal 4 Bhatia & Creek (2016). Shrink it and Pink It. Retrieved from: https://www.theodysseyonline.com/shrink-it-and-pink-it . Salah satu contoh nyata adalah dari industri pakaian. Pada tahun 2014, Old Navy pernah dikecam karena menjual plus-sized jeans untuk wanita lebih mahal dibandingkan ukuran normalnya, sedangkan plus-sized jeans pria dikenakan harga yang sama dengan ukuran regulernya. Hal ini menentang argumen akan adanya perbedaan biaya produksi produk pria dan wanita.
Alasan lain yang relevan di balik fenomena pink tax ini adalah diterapkannya diskriminasi harga (price discrimination). Diskriminasi harga merupakan istilah untuk mengenakan harga yang berbeda terhadap konsumen atas produk atau jasa yang sama. Dalam hal ini, produsen menarik pembeli yang memiliki willingness to pay rendah dengan harga yang lebih rendah, dan sebaliknya, membebankan harga yang lebih tinggi pada mereka yang bersedia membayar lebih. Jika wanita kurang sensitif terhadap perubahan harga, mereka sewajarnya akan bersedia membayar lebih mahal untuk produk atau layanan tertentu, dan karenanya produsen cenderung mengenakan harga yang lebih tinggi untuk versi produk yang dikhususkan bagi wanita 5 Challenges, D. (2016). How Gender-Based Pricing Hurts Women ’ s Buying Power. 250(December), 1–11. .
Batas Wajar Penetapan Pink Tax
Diskriminasi berbasis gender nyatanya memang merupakan isu lama yang terus muncul. Tidak hanya dalam hal upah, namun juga pada harga barang konsumsi atau layanan tertentu. Perbedaan harga berbasis gender memang dapat dikatakan sebagai strategi bisnis, dengan mempertimbangkan perbedaan biaya produksi maupun pemasaran yang ditanggung perusahaan. Namun, benarkah alasan tersebut dapat menjadi justifikasi penetapan pink tax bagi perempuan? Atau justru hal demikian dimanfaatkan oleh bisnis untuk memanipulasi pola pikir para wanita sehingga mewajarkan harga yang lebih mahal bagi produknya?
Referensi
↵1, ↵2 | de Blasio, B., & Menin, J. (2015). From Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer. A Study of Gender Pricing in New York City. The New York City Department of Consumer Affairs. Retrieved from https://www1.nyc.gov/assets/dca/downloads/pdf/partners/Study-of-Gender-Pricing-in-NYC.pdf |
↵3, ↵5 | Challenges, D. (2016). How Gender-Based Pricing Hurts Women ’ s Buying Power. 250(December), 1–11. |
↵4 | Bhatia & Creek (2016). Shrink it and Pink It. Retrieved from: https://www.theodysseyonline.com/shrink-it-and-pink-it |
Discussion about this post