“Good health is not something we can buy. However, it can be an extremely valuable savings account” Anne Wilson Schaef
Sejalan dengan pepatah yang berbunyi “Kesehatan tidak dapat dibeli” Dr. Anne Wilson Schaef, dalam bukunya menitikberatkan kesehatan yang baik terhadap tabungan masa depan yang tidak ternilai harganya. Tentu saja, dengan tubuh yang sehat, seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya perawatan di rumah sakit atau mengambil cuti kerja yang dapat memengaruhi kinerja dan pendapatan orang tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kesehatan memengaruhi kegiatan ekonomi seseorang dan bahkan dapat memengaruhi ekonomi suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kesehatan dan Produktivitas
Dilihat dari segi mikroekonomi, kesehatan memiliki dampak positif terhadap produktivitas kerja. Berdasarkan penelitian dari World Health Organization (WHO) dan Australian Public Service Commission, setidaknya terdapat dua kemungkinan yang terjadi akibat kesehatan tenaga kerja yang kurang memadai. Pertama, absensi yaitu ketidakhadiran pekerja dikarenakan kondisi kesehatan. Kedua, presensi yaitu kehadiran pekerja tetapi dengan partisipasi yang rendah dikarenakan kondisi kesehatan yang kurang baik. Dua alasan tersebut jelas akan mengurangi produktivitas individu sehingga berdampak pada kinerja perusahaan secara menyeluruh.
Secara makro, faktor kesehatan pekerja memengaruhi biaya ekonomi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Black di tahun 2008 menunjukkan bahwa Inggris mengeluarkan biaya ekonomi sebesar 100 miliar euro per tahun akibat penyakit atau kondisi kesehatan penduduk usia produktif. Berbeda dengan Inggris, pada tahun 2015 biaya kesehatan di Amerika mencapai US$ 225,8 miliar yang digunakan sebagai bentuk kompensasi atas penyakit yang diderita oleh pekerja maupun kecelakaan kerja. Selain berdampak pada biaya dan produktivitas pekerja, permasalahan pada kondisi kesehatan pekerja juga diasosiasikan dengan tingkat pengunduran diri yang tinggi, kemampuan bekerja yang hilang, dan kesehatan mental pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan secara signifikan memengaruhi kinerja pekerja yang akan berdampak pada biaya ekonomi yang ditimbulkan sebagai kompensasi terhadap kondisi kesehatan pekerja.
Kesehatan Mental dan Ekonomi
Menurut WHO, kesehatan mental secara spesifik adalah keadaan di mana seseorang menyadari potensinya, dapat menghadapi keadaan stres dari kehidupan normal, dapat bekerja dengan baik dan produktif, serta dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat disekitarnya. Sedangkan menurut Mayo Clinic, penyakit mental terjadi ketika kondisi mental kurang baik dimana kondisi tersebut dapat memengaruhi perilaku, suasana hati, dan pikiran seseorang.
Kesehatan mental sangat penting untuk diperhatikan, penelitian dari WHO memperkirakan penyakit mental akan menjadi penyakit terbanyak kedua pada tahun 2020 setelah penyakit jantung (Murray and Lopez, 1996; Schulz et al., 2008). Pada tahun 2016, 165 juta orang di Eropa setiap tahunnya mengalami kondisi mental yang tidak stabil seperti rasa cemas, suasana hati yang berubah-ubah, dan lainnya. Sama seperti penyakit fisik lainnya, penyakit mental juga memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari sehingga berpengaruh pada tingkat kinerja dan produktivitas seseorang. (Trautmann et al., 2016).
Selain itu perawatan terhadap penyakit mental tentu saja akan mengeluarkan biaya ekonomi yang tidak sedikit. Menurut Trautman dalam penelitiannya yang berjudul “The Economic Cost of Mental Health” perawatan terhadap penyakit mental akan menimbulkan dua jenis biaya, yaitu biaya terlihat dan tidak terlihat. Biaya terlihat diantaranya adalah biaya kunjungan dokter, konsumsi obat-obatan, terapi psikologi, dan lainnya. Sedangkan, biaya tidak terlihat ditimbulkan dari ketidakmampuan orang tersebut melakukan tanggung jawab sehari-hari yang berdampak pada pendapatan, pekerjaan, kinerja dan produktivitas.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2010, secara global biaya ekonomi yang ditimbulkan dari penyakit mental adalah US$4,2 triliun dan diproyeksikan akan menjadi dua kali lipat lebih banyak pada tahun 2030. Secara ekonomi, dampak penyakit mental terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat dikalkulasikan dengan mempertimbangkan hilangnya output ekonomi yang terjadi ketika seseorang tidak mampu melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Pada tahun 2011 hingga tahun 2030, output ekonomi yang hilang akibat penyakit mental diperkirakan mencapai US$16,3 triliun secara global.
Menakar Tingkat Disabilitas Kesehatan Mental
Untuk mengeatahui banyaknya produktivitas yang hilang akibat gangguan mental, dapat dilakukan melalui perhitungan Disability-Adjusted Life Years (DALY) (red: daleys). Metode ini memperhitungkan durasi hilangnya total tahun produktif seseorang akibat kondisi yang disebabkan oleh kematian prematur, disabilitas, penyakit yang melumpuhkan dan kecelakaan*. DALY memiliki skala yang berkisar pada nilai nol sampai dengan satu. Skala nol menandakan kondisi kesehatan yang sempurna, sedangkan skala satu menandakan kematian. Prinsipnya, semakian besar DALY maka semakin buruk status kesehatannya.
Menurut Liza Munira, dosen Ekonomi Kesehatan FEB UI, perhitungan DALY mempertimbangkan bobot disabilitas yang memperhitungkan tingkat mortalitas dan morbiditas dalam kondisi kesehatan seseorang. Sehingga dalam praktiknya, DALY sering digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi beban penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduknya. Di Indonesia, penyakit menular masih membebani masyarakat, namun komposisi DALYs didominasi oleh penyakit tidak menular, membuat Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai ‘double whammy‘ (beban ganda).**
Selain DALY, terdapat metode lain untuk mengukur dampak dari kematian manusia di usia produktif yaitu Quality-Adjusted Life Years (QALY) yang mengukur keuntungan dari suatu perawatan akan disabilitas atau kecelakaan. Menurut Salomon, QALY adalah gejala-gejala konkrit dan kerugian fungsi yang diukur berdasarkan perawatan yang diberikan sehingga seseorang mampu untuk mengalokasikan dana kesehatannya.

Berdasarkan tabel di atas, negara yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung mengalami kerugian makro yang lebih besar yakni sebesar 463 miliar dolar atau setara 29% DALY global. Hal ini dapat terjadi karena kinerja individual atau kelompok pada negara dengan pendapatan tinggi secara signifikan akan memengaruhi produktivitas negara tersebut. Untuk itu, tidak jarang ditemui bahwa investasi negara berpendapatan tinggi terhadap kesehatan akan lebih besar dibandingkan dengan negara yang berpendapatan rendah.
DALY dan Penyakit Mental
Menurut data Global Diseases Burden (GDB) pada tahun 2010 unipolar depressive disorder atau gangguan depresi berada di urutan ke delapan dari dua puluh penyakit utama yang menyebabkan disabilitas seseorang atau ketidakberdayaan seseorang untuk melakukan pekerjaannya sehari-hari. Hal ini menunjukkan meskipun gangguan kesehatan mental belum banyak diperhatikan, penyakit ini memiliki dampak yang signfikan terhadap kemampuan kerja seseorang.
“Tahun 2017 penyakit mental menempati urutan ketujuh dan delapan dalam Top Leading Burden Disease. Posisi tersebut naik dari urutan kedelapan dan sembilan pada tahun 2007,” jelas Liza. Sejalan dengan fakta tersebut, WHO mengeluarkan data mengenai kontribusi setiap penyakit mental terhadap DALY secara global pada grafik berikut:

Seperti yang terlihat pada grafik, depressive disorder masih menjadi faktor pendorong kontribusi penyakit mental terhadap DALY secara global. Murray dan Lopez memprediksi bahwa pada tahun 2020, depressive disorder akan menjadi salah satu faktor pendorong utama kontribusi penyakit mental terhadap DALY secara global.
Di Indonesia, penyakit mental dan gangguan perilaku merupakan salah satu faktor pendorong pada Years Lived with Disability yang termasuk dalam indikator perhitungan DALY. Penyebaran kasus penyakit mental dan perilaku tersebut didominasi pada penduduk usia produktif antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Hal tersebut tentu saja berdampak pada pola absensidan presensi pekerja yang dapat memengaruhi produktivitas.
Apabila dibandingkan dengan GDB negara lain yang memiliki pendapatan per kapita tidak jauh berbeda, Indonesia menduduki peringkat pertama untuk tingkat YLD dan peringkat kesepuluh untuk tingkat Years of Life Loss (YLL). Menurut Liza, tingginya tingkat YLD dan YLL Indonesia populasi penduduk yang besar, karena DALY pada dasarnya mempertimbangkan jumlah penderita. Akan tetapi, tetap saja, tingkat DALY yang tinggi merupakan indikasi bahwa kondisi kesehatan terutama kesehatan mental di Indonesia perlu diawasi dengan ketat. Investasi akan kesehatan sudah saatnya menjadi prioritas bukan lagi pilihan. Lagi-lagi, kesehatan adalah tabungan di masa depan, paling tidak, untuk mereka yang percaya.
Editor: Larasati Eka Wardhani, Rani Widyan, Harnum Yulia Sari
Ilustrator: Shahifa Assajjadiyyah
Redaksi melakukan koreksi dan penambahan atas permintaan narasumber pada tanggal 16/10/2019
* “Metode ini memperhitungkan durasi hilangnya total tahun produktif seseorang akibat kematian yang disebabkan karena disabilitas, kematian prematur, penyakit yang melumpuhkan, kecelakaan” menjadi ” Metode ini memperhitungkan durasi hilangnya total tahun produktif seseorang akibat kondisi yang disebabkan oleh kematian prematur, disabilitas, penyakit yang melumpuhkan dan kecelakaan.”
** Di Indonesia, penyakit menular masih membebani masyarakat, namun komposisi DALYs didominasi oleh penyakit tidak menular, membuat Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai ‘double whammy‘ (beban ganda)
In-Depth adalah program kerja divisi Penerbitan Badan Otonom Economica berupa tulisan yang mengupas suatu fenomena secara mendalam dan detail.
Discussion about this post