Indonesia dan Pembangunan Kesehatan Jiwa
“Masih belum terdapat pemahaman yang utuh mengenai pembangunan jiwa, sosial, dan spiritual,”
Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ., MPH
Sebelum merdeka, Indonesia dikenal sebagai penduduk yang berjiwa sehat, yaitu penduduk yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois, dan memiliki semangat jiwa yang tinggi untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Akan tetapi saat ini pembangunan pada infrastruktur lebih diprioritaskan. Dengan pembangunan ini negara terlihat memiliki kemajuan secara fisik, namun sudahkah manusia Indonesia dipersiapkan melalui pembangunan karakter?
“Masih belum terdapat pemahaman yang utuh mengenai pembangunan jiwa, sosial, dan spiritual,” begitulah yang dikatakan oleh Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ., MPH , selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Lebih lanjut, Dr. Fidiansjah menyebutkan bahwa jiwa memiliki sifat yang dinamis, berbeda dengan gangguan fisik yang penyebabnya tidak banyak berubah. Gangguan jiwa disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dapat berupa kemajuan teknologi dan perekonomian yang bersifat dinamis. Sedangkan faktor internal yang terbentuk dari aspek genetik dan pola asuh dapat memengaruhi reaksi seseorang terhadap perubahan yang ada. Pembentukan karakter seseorang menjadi suatu hal yang penting karena menjadi dasar dari kepribadiannya.
Menurut pasal 1 UU No. 36 Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Namun sebagian besar masyarakat lebih memahami mengenai kesehatan fisik dibanding tiga hal lainnya. Menurut Dr. Fidiansjah, ketidakpahaman ini disebabkan karena sehat mental, spiritual, dan sosial merupakan suatu hal yang abstrak, tidak seperti kesehatan fisik yang terlihat jelas. Akibatnya, kesehatan mental menjadi terabaikan dan menjadi salah satu inti permasalahan di Indonesia.
Kebijakan Pemerintah terhadap Kesehatan Jiwa
Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, Indonesia memiliki prevalensi rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1.000, artinya setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 7 kasus penderita skizofrenia. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2013 yang berkisar di angka 1,7 per 1.000. Selain itu, prevalensi gangguan emosional pada penduduk berumur lebih dari 15 tahun pada tahun 2018 mencapai 9,8%, angka ini juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 yang sebelumnya sebesar 6%. Peningkatan masalah kesehatan jiwa ini menunjukkan perlunya perhatian khusus terhadap kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Upaya bersama antar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Sebagai langkah awal untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa, pemerintah telah melakukan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2014 yang dijadikan sebagai landasan utama mengenai aturan kesehatan jiwa di Indonesia. Pada pasal satu dijelaskan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. UU No. 18 Tahun 2014 ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Upaya promotif dan preventif termasuk dalam upaya pencegahan. Sedangkan upaya pengobatan, berupa upaya kuratif dan rehabilitatif. Sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2014, upaya promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang bersifat promosi kesehatan jiwa. Upaya promotif bertujuan agar kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan jiwa dapat meningkat. Sedangkan upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Menurut Riskesdas tahun 2018, dari total penduduk berumur lebih dari 15 tahun yang mengalami depresi, hanya 9% yang melakukan pengobatan. Stigma atau anggapan negatif menjadi salah satu alasan masyarakat Indonesia enggan berkonsultasi ke psikolog/psikiater.
Program Promotif dan Preventif
“Pelayanan ini didirikan atas latar belakang banyaknya mahasiswa yang datang dengan keluhan fisik seperti sakit perut berulang, sakit kepala, migrain, dan sebagainya. Namun, setelah dianalisis oleh dokter hal tersebut berkaitan dengan dengan kondisi psikis dan stres yang dialami,”
Ibu Selvina, Psikolog Klinik Makara UI
Sejak tahun 2016 lalu, pemerintah mulai menjadikan tindakan preventif sebagai fokus utamanya. Pemerintah bersama dengan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) mulai memberikan edukasi mengenai cara menjadi ibu hamil yang tangguh, baik secara fisik maupun emosional sang ibu selama mengandung. Tidak hanya itu, disediakan pula konseling pra-nikah, edukasi parenting, hingga penyuluhan program yang berfokus kepada sekolah. Program yang berfokus pada sekolah dilakukan melalui guru konseling atau BK, umumnya konselin tersebut mengenai tindakan perundungan (bullying), seksual, dsb yang dilaporkan dengan rapor kesehatan.
Layaknya penduduk pada kelompok usia lainnya, mahasiswa juga rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti stres yang disebabkan oleh masalah akademis, sosial, maupun faktor lainnya. Menurut Peraturan Menristekdikti No. 46 Tahun 2017, perguruan tinggi dapat mendirikan layanan konseling bagi mahasiswa yang memiliki masalah kesehatan mental. Salah satu perguruan tinggi yang telah memiliki layanan konseling adalah Universitas Indonesia, yaitu Layanan Konseling Klinik Makara.
“Pelayanan ini didirikan atas latar belakang banyaknya mahasiswa yang datang dengan keluhan fisik seperti sakit perut berulang, sakit kepala, migrain, dan sebagainya. Namun, setelah dianalisis oleh dokter hal tersebut berkaitan dengan dengan kondisi psikis dan stres yang dialami,” ujar Ibu Selvina, Psikolog Klinik Makara UI. Hal ini mendorong peran Layanan Konseling Klinik Makara untuk melakukan upaya promotif terhadap masalah kesehatan mental bagi mahasiswa.
Upaya promotif yang telah dilakukan oleh Klinik Makara berupa sosialisasi keberadaan pelayanan konseling dan program Peer Conselor and Health Educated (PCHE). Peer Conselor merupakan mahasiswa yang diseleksi berdasarkan kriteria untuk menjadi konselor sebaya dan pendidik kesehatan yang bertujuan melakukan tindakan preventif dan promotif. Kelompok ini bertugas untuk melakukan pendektesian dini masalah psikologis yang dialami oleh orang-orang sekitar, terutama mahasiswa. Tidak hanya itu, mahasiswa yang telah menjadi peer counselor juga bertugas untuk mempromosikan keberadaan pelayanan konseling.
Selain pada tingkat universitas layanan konseling idealnya juga terdapat pada tingkat fakultas. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) merupakan salah satu contoh fakultas yang telah memiliki Badan Konseling Mahasiswa (BKM). Di FEB UI, BKM termasuk ke dalam unit di bawah koordinasi Wakil Dekan Satu (Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan). Menurut Cintavhati Poerwoto, selaku kepala Bimbingan dan Konseling, BKM seharusnya berada di dalam struktur agar memiliki power untuk melakukan sesuatu.
“Cuti di tengah perkuliahan sebenarnya tidak diperbolehkan, tetapi dengan bantuan BKM, prodi, dan kemahasiswaan, cuti tersebut bisa didapatkan apabila masalah yang dihadapi dianggap sudah cukup serius,” ujar Ibu Cintavhati Poerwoto. Masalah serius yang dimaksud tidak hanya berupa masalah kesehatan fisik, namun dapat berkaitan pula dengan kondisi kesehatan mental yang dapat mengganggu proses perkuliahan.
BKM FEB UI dalam upaya promotif dan preventif juga memiliki program peer conselor dan pembimbing akademik (PA). Namun, kepala BKM FEB UI merasa PA tidak berjalan dengan efektif, karena banyak dosen yang menjadi PA yang disibukan dengan hal lain. Idealnya PA mengetahui karakteristik dan kesulitan yang dihadapi anak didiknya. Untuk saat ini, BKM FEB UI tengah melakukan pengembangan PA dengan memberikan pelatihan setiap tahunnya.
Dalam institusi perguruan tinggi, bukan hanya mahasiswa saja yang bisa mengalami masalah mental, tetapi tenaga pendidik dan karyawan juga bisa mengalami hal tersebut.
“Dosen bisa merasakan stres karena adanya deadline, terlebih lagi adanya tuntutan untuk melakukan ketiga tri dharma. Selain mengajar, dosen juga harus melakukan penelitian dan publikasi ,” ujar Direktur Sumber Daya Manusia UI (DSDM UI), Riani Rachmawati, S.E, M.A, Ph. D. Stres juga bisa terjadi ketika dosen sedang mengikuti hibah penelitian, karena adanya deadline membuat laporan, dan sebagainya. Sehingga, dosen memiliki beban kerja yang cukup penuh, tentu saja hal ini dapat memicu stres.
Jika dilihat dari sisi karyawan, tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dan koordinasi antar unit yang tidak jelas, serta target yang terlalu banyak dapat menimbulkan stres. Berdasarkan data dari Medical Check Up (MCU) yang telah dilakukan oleh para karyawan, dapat diketahui bahwa tingkat stres Pusat Administrasi Universitas (PAU) berada dalam kategori sedang cenderung tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh berbagai alasan, salah satu alasannya yakni sistem administrasi sebagian besar masih bersifat manual tidak berbanding lurus dengan banyaknya tugas yang harus diurus.
Meskipun stres dan masalah kesehatan dapat terjadi kapanpun dan menjangkau siapapun, upaya promotif masih belum gencar dilakukan. Saat ini seminar kesehatan yang diadakan masih berfokus pada masalah kesehatan jantung dan kanker.Menurut DSDM UI, kampanye terhadap kesehatan jiwa harus dilakukan dengan cara yang tepat, seperti memberikan angle dan kampanye yang sesuai. Masih banyak orang yang jarang menyadari atau mengakui bahwa ia memiliki gangguan kesehatan mental, sehingga tindakan promotif memiliki peran yang sangat penting. Saat ini, DSDM UI berencana untuk mengadakan seminar kesehatan mental, namun mereka masih mencari cara agar orang memahami urgensi acara tersebut.
Dalam peraturan rektor belum ada aturan yang secara jelas mengatur mengenai kesehatan jiwa. Dalam Bab X pasal 44 mengenai Hak dan Kewajiban Pegawai, disebutkan bahwa pegawai berhak memperoleh jaminan kesehatan. Akan tetapi tidak disebutkan secara jelas mengenai kesehatan jiwa. Pada Bab XVI pasal 62 mengenai Perlindungan juga disebutkan bahwa UI wajib memberikan jaminan dalam bentuk bantuan psikologis. Dalam segi peraturan memang sudah ada payungnya, namun DSDM UI merasa bahwa peraturan tersebut perlu dikaji lebih lanjut agar lebih jelas.
Menurut DSDM UI, program kesehatan mental di institusi perguruan tinggi masih perlu dikembangkan lagi. Pentingnya kerja sama dengan unit terkait seperti Kesehatan, Keselamatan, Keamanan (K3L), klinik satelit, dan Rumah Sakit UI harus dilaksanakan sebagai langkah awal untuk meningkatkan mutu kepedulian perguruan tinggi terhadap kesehatan mental. Tidak hanya itu, perlu dilakukan pula edukasi mengenai kesehatan mental agar sivitas akademika menyadari pentingnya kesehatan mental. Apabila telah disadari, langkah selanjutnya yakni meningkatkan kualitas infrastruktur dengan menyediakan jumlah konselor yang memadai serta memfasilitasi kegiatan konseling dengan ruangan yang cukup dan nyaman agar kegiatan konseling menjadi efektif.
Upaya Kuratif dan Rehabilitatif
Menurut UU No. 18 tahun 2014, upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayan kesehatan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. Sedangkan upaya rehabilitatif merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi operasional, serta mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat.
Dalam melakukan upaya kuratif dan rehabilitatif, Kementerian Kesehatan menyasar pada kemudahan akses agar masyarakat tidak hanya bisa ditangani di rumah sakit, tetapi juga di puskesmas. Dr. Fidiansjah menyatakan untuk saat ini, sudah ada beberapa daerah yang memiliki psikolog klinis di puskesmas. Untuk mengatasi ketimpangan jumlah psikolog klinis yang terdapat di tiap daerah, Kemenkes berupaya melakukan pendelegasian wewenang kepada dokter dan tenaga perawat untuk melakukan pertolongan pertama kepada ODGJ. Dokter dan tenaga perawat diberikan sebuah workshop agar ilmu dari tenaga profesi rumah sakit jiwa dapat tersalurkan, mampu untuk menangani masalah kejiwaan, dan mempercepat proses intervensi sebelum terlambat.
Hotline Bunuh Diri
Pada awalnya, Kemenkes memiliki hotline khusus kesehatan jiwa di nomor 500-454. Namun, hotline tersebut kurang dimanfaatkan oleh pengguna, masyarakat kerap menanyakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan aspek kesehatan jiwa. Akibatnya, beban pembiayaan dan pemanfaatan menjadi tidak seimbang. Akhirnya, hotline tersebut digabungkan menjadi hotline kesehatan umum. Akan tetapi meningkatnya isu kesehatan mental membuat Kemenkes mencanangkan aplikasi yang berisi konten terkait kesehatan jiwa beserta proses dektesia masalah kesehatan mental.
Asuransi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga telah mengakomodasi persoalan kesehatan mental, seperti depresi. Namun, perihal percobaan bunuh diri untuk saat ini masih dalam tahap diperjuangkan agar dapat tercakup oleh BPJS. Dalam asuransi global, terdapat dua penyakit yang tidak akan pernah dibiayai, yaitu penyakit yang dibuat-buat oleh manusia itu sendiri, seperti bunuh diri dan narkotika. Mengacu pada disertasi dari mahasiswa doktoral UI mengenai bunuh diri, seharusnya tidak boleh ada diskriminasi terhadap dua penyakit yang tidak bisa diklaim tersebut. Dr. Fidiansjah menyatakan bahwa “Konotasi ‘penyakit yang dibuat-buat’ itu tidak ada, negara harus hadir saat warganya sakit, apapun itu,”.
Kesehatan dan Otonomi Daerah
Sejak desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan, program kesehatan menjadi salah satu aspek yang dibebankan pada pemerintah daerah. Kemenkes mengevaluasi kendala program kesehatan jiwa di Indonesia memiliki ciri khas pada masing-masing daerah. Kendala tersebut dapat berupa sumber anggaran, sumber daya manusia, dan kebijakannya. Otonomi daerah terkadang menjadi hal yang tidak mudah dipaksakan, karena tiap daerah memiliki kondisi yang berbeda-beda. Menurut Dr. Fidiansjah, kesehatan jiwa tidak dapat dikelola hanya dengan otonomi daerah, karena kesiapan daerah dalam menjawab persoalan kesehatan jiwa tidak sama. Sampai saat ini hanya ada empat Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang dikelola pusat, yaitu RSJ Grogol, Bogor, Magelang, dan Lawa. Rumah sakit lain di daerah masih dianggap “kembang kempis”. Banyaknya persoalan kesehatan fisik yang belum terselesaikan menyebabkan pemerintah daerah belum cukup perhatian pada masalah RSJ.
Tanggung Jawab Program Kesehatan Mental
Berkaca pada rumitnya permasalahan kesehatan mental, sudah sepantasnya masalah ini tidak hanya dibebankan pada satu institusi: Kemenkes. Tiap institusi termasuk institusi di bidang pendidikan harus turut andil dalam menyediakan program kesehatan jiwa, setidaknya pada tahap promotif dan kuratif. Sementara itu, meskipun masalah kesehatan telah diamanatkan sebagai urusan daerah, sudah semestinya pemerintah pusat turut mendorong pemerataan program kesehatan yang memadai. Tidak hanya terfokus pada kesehatan fisik, melainkan turut mencakup kesehatan mental.
“Jadi, kalau kita ingin melaksanankan lagu Indonesia Raya “Pembangunan Jiwa” yang merata, itu tidak bisa dilepaskan menjadi tanggung jawab daerah saja, harus ada kendali pusat yang memberikan subsidi dan program agar merata ke tiap daerah,” tutup Dr. Fidiansjah. (Selanjutnya: Menakar Beban Ekonomi Kesehatan Mental)
Editor: Rani Widyan, Larasati Eka Wardhani, Harnum Yulia Sari
Referensi:
Kemenkes (2019). Perlu Kepedulian untuk Kendalikan Masalah Kesehatan Jiwa. Juli 2019. http://www.depkes.go.id/article/view/19030400005/perlu-kepedulian-untuk-kendalikan-masalah-kesehatan-jiwa.html
Hasil Utama Riskesdas 2018. Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes (2014). Stop Stigma dan Diskriminasi Terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Juli 2019. http://www.depkes.go.id/article/print/201410270011/stop-stigma-dan-diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Undang-Undang No. 18 Tahun 2014
In-Depth adalah program kerja divisi Penerbitan Badan Otonom Economica berupa tulisan yang mengupas suatu fenomena secara mendalam dan detail.
Discussion about this post