Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
No Result
View All Result
Economica
Home In-Depth

Melawan Stigmatisasi Kesehatan Mental

by Nadhifa A. Zahra, Syskia Anelis & Gabriella Dian
4 Oktober 2019
in In-Depth, Umum

*Peringatan: Jika Anda memiliki keinginan bunuh diri, mengalami depresi atau gangguan mental yang sudah tidak dapat Anda kendalikan, segera cari pertolongan profesional (psikolog dan atau psikiater).


Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahum 2018, enam belas juta penduduk Indonesia mengalami depresi,namun hanya satu dari sepuluh orang yang menjalani pengobatan medis. Stigma yang melekat terhadap penderita gangguan mental menjadi salah satu penyebab yang signifikan di balik rasa enggan seseorang untuk berobat.

Menurut Asosiasi Psikiater Amerika (APA), gangguan kesehatan mental adalah kondisi kesehatan di mana seseorang mengalami perubahan emosional, pemikiran, perilaku, atau kombinasi di antara ketiganya yang mempersulit seseorang dalam hubungannya dengan orang lain maupun pekerjaannya. Menurut World Health Organization (WHO), seseorang yang sehat adalah seseorang yang berada dalam keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Ketika seseorang menderita gangguan mental maka seseorang tersebut tidak dapat dikatakan sehat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Kesehatan Jiwa, terdapat dua fase saat seseorang mengalami masalah kesehatan mental. Pertama disebut sebagai Orang Dengan Masalah Kesehatan (ODMK), yaitu orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, dan pertumbuhan perkembangan atau kualitas hidup sehingga berisiko terkena gangguan jiwa. Yang kedua adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yaitu orang yang didiagnosis menderita gangguan jiwa setelah melakukan serangkaian proses pemeriksaan oleh psikolog maupun psikiater. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, terjadi kenaikan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun di Indonesia dari 6% pada tahun 2013 menjadi 9.8% pada tahun 2018. 

Psikologi Universitas Indonesia, Melia Christia M. Psi, M. Phil, menjelaskan bahwa stigma negatif dari dan terhadap penderita gangguan mental merupakan salah satu penyebab sulitnya penanganan kesehatan mental di Indonesia. Berdasarkan Journal of Counseling and Development yang diterbitkan tahun 2007, stigma berasal dari kata stigmata yang berarti tanda atau sikap yang diberikan saat mempermalukan atau merendahkan orang lain. Ketika seseorang menerima stigma dari masyarakat, tentu akan memmengaruhi pikiran, tindakan, dan perilakunya. Dikutip dari artikel Physic World yang berjudul “Fighting the Stigma”, stigma terhadap kesehatan mental meliputi keengganan banyak orang untuk membicarakan gangguan mental yang dialaminya secara terbuka. Entah karena mereka merasa malu atau takut akan penilaian orang lain. Sehingga, kebanyakan penderita memilih untuk menyembunyikannya.

Menurut Benny Siauw, pendiri Into the Light – sebuah komunitas advokasi, riset dan pencegahan bunuh diri di Indonesia-, penderita gangguan mental menerima berbagai bentuk stigma dari dirinya sendiri maupun masyarakat. Stigma tersebut diantaranya adalah ketika seseorang terindikasi mengalami masalah kesehatan mental, ketika penderita memiliki keinginan untuk meminta bantuan kepada tenaga profesional, dan ketika penderita harus menjalani pemeriksaan rutin. Ketiga bentuk stigma tersebut memiliki dampak yang berbeda terhadap penerimanya.

Self-Stigma

Stigma pertama diterima oleh individu ketika ia menyadari bahwa dirinya mengalami masalah kesehatan mental. Dalam Journal of Counseling and Development yang berjudul “Stigma dan Kesehatan Mental,” bentuk stigma ini dapat disebut juga sebagai self-stigma yaitu sikap di mana seseorang mengevaluasi atau menilai kondisi dirinya sendiri. Seseorang mulai menyadari bahwa ia memiliki masalah kesehatan mental saat mengalami ciri-ciri gangguan psikologis seperti susah tidur, sering merasa cemas, dan panik, serta sedih berkepanjangan. 

Sejatinya gangguan mental harus diperlakukan sama halnya dengan penyakit fisik. Saat seseorang demam, ia akan segera mencari obat penurun demam dan beristirahat. Akan tetapi, saat seseorang depresi atau stres apakah mereka secara langsung sadar dan berobat? Atau beristirahat? Seseorang yang mengesampingkan kondisi psikologi yang sedang dialami atau menganggap hal itu tidak penting, secara tidak langsung telah memberikan stigma negatif terhadap gangguan mental yang sedang dialaminya. 

Adanya stigma tersebut mengakibatkan penderita menyangkal kondisi kesehatan mentalnya dan enggan untuk mencari bantuan kepada orang yang ahli di bidang tersebut. Sehingga masalah kesehatan mental yang awalnya masih dapat diatasi dan dicegah, justru semakin parah dan berpotensi untuk mencapai tahap gangguan jiwa.

Stigma Sosial

Bentuk stigma kedua didapatkan ketika seseorang ingin mendatangi tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater. Umumnya, penderita akan menerima stigma bahwa pergi ke tenaga profesional akan menghabiskan banyak uang, membongkar aib sendiri, tanda seseorang lemah, sampai dianggap gila. Padahal sama halnya dengan penyakit fisik, pergi ke tenaga profesional merupakan salah satu upaya untuk mencegah suatu penyakit bertambah parah. 

Akibatnya, orang tersebut akan menunda untuk pergi ke tenaga profesional, atau menyembunyikan fakta bahwa ia pergi ke sana agar tidak diketahui oleh orang-orang terdekat karena hal ini dianggap memalukan. Hal ini tentu saja berlawanan dengan metode penyembuhan masalah kesehatan mental. Sebab seseorang pasien yang melakukan terapi dan pengobatan dengan tenaga profesional, juga harus didukung oleh orang-orang disekitarnya untuk membantu proses terapi.

Stigma juga dapat diterima ketika penderita memutuskan untuk melakukan terapi dan pengobatan rutin. Data Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa hanya satu dari sepuluh penderita depresi yang melakukan pengobatan medis. Rendahnya angka tersebut dapat dipengaruhi oleh stigma yang ada di masyarakat terhadap penderita yang  melakukan pengobatan rutin dengan datang ke psikolog serta psikiater. 

Stigma yang umumnya mereka dapat adalah anggapan bahwa mereka gila, mengalami gangguan jiwa serius karena butuh obat, dan sebagainya. Adanya stigma menyebabkan ODGJ  yang seharusnya melakukan pengobatan secara rutin untuk menyembuhkan penyakitnya, menjadi enggan untuk berobat. Tentu, hal ini berdampak pada lambatnya proses penyembuhan dan meningkatnya peluang untuk kembali mengalami gangguan jiwa.

Stigma terhadap Keluarga Penderita 

Stigma tidak hanya diterima oleh penderita gangguan kesehatan mental, tetapi juga dapat berdampak kepada keluarga penderita, terutama orang tua. Orang tua penderita kerap kali menerima stigma bahwa mereka tidak bisa mendidik anak dengan benar. Padahal kenyataannya, semua orang memiliki peluang yang sama untuk terkena gangguan kesehatan mental, tidak peduli perempuan atau laki-laki, berapa pun umurnya, dan apa pun profesinya. 

Menurut Benny stigma yang diterima oleh orang tua, menyebabkan sebagian dari mereka tidak dapat menerima fakta bahwa anaknya mengalami gangguan kesehatan mental dan harus segera disembuhkan agar kondisinya tidak semakin parah. Tidak hanya itu, mereka  cenderung menolak pemberian obat untuk anaknya, dan memaksakan agar sang anak dapat disembuhkan hanya dengan melakukan terapi. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa penderita gangguan kesehatan mental yang diberikan obat, memiliki kondisi gangguan mental yang sudah akut. Padahal, obat yang diberikan bertujuan untuk membantu menjaga keseimbangan kimiawi pada otak yang berfungsi memberikan impuls untuk mengatur suasana hati dan emosi. 

“Ada juga anggapan lebih baik bawa anak ke mantri, orang pintar, atau paranormal dibandingkan ke tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater karena si anak dianggap kena guna-guna atau kerasukan,” tambah Benny. Anggapan seperti ini justru dapat memperparah kondisi penderita karena penderita tidak mendapat penanganan yang baik dan sesuai. Padahal salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam kesembuhan gangguan kesehatan mental adalah adanya dukungan dari keluarga. Ketika orang tua dan keluarga dapat menerima kondisi anak, maka terapi yang dijalani penderita akan memberikan hasil yang positif. Hal ini dapat diwujudkan apabila keluarga berperan  sebagai salah satu support system dalam proses terapi.

Minimnya Fasilitas Kesehatan Jiwa

Selain stigma yang diberikan oleh masyarakat, faktor lain yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan masalah kesehatan mental adalah fasilitas kesehatan jiwa di Indonesia. Fasilitas kesehatan mental bukan hanya sebatas alat-alat terapi dan ketersediaan obat psikotropik, namun juga ketersediaan tenaga profesional di bidang kesehatan mental seperti psikolog klinis, psikiater, dan perawat jiwa. WHO menetapkan standar perbandingan jumlah tenaga profesional kesehatan mental dengan jumlah penduduk di suatu negara adalah 1:30.000 orang. Namun kenyataannya, angka tersebut masih sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah psikolog dan psikiater di Indonesia. Per Februari 2015, jumlah penduduk di Indonesia adalah 250 juta jiwa. Sementara itu hanya terdapat 451.000 psikolog klinis (15 psikolog per 1.000 penduduk), 773.000 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500.000 orang (2 per 100.000 penduduk). Kurangnya tenaga profesional yang dapat menangani masalah kejiwaan menyebabkan tidak semua penderita gangguan kesehatan jiwa dapat ditangani oleh tenaga profesional karena terbatasnya sumber daya manusia.

Walaupun sudah terdapat peningkatan dalam jumlah psikolog klinis yang telah diverifikasi oleh Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia di tahun 2018 menjadi 1.143.000, jumlah tersebut masih belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh WHO. Sebenarnya, mahasiswa dengan jurusan psikologi untuk program sarjana di Indonesia sangat banyak, yaitu mencapai 83.230 mahasiswa yang tersebar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan menduduki urutan kedua jurusan terfavorit menurut Riset Mandiri Tirto. Namun, banyaknya bidang yang dicakup oleh ilmu psikologi seperti personalia, dosen, dan research and development membuat ke tiga profesi tersebut lebih diminati oleh mahasiswa dibandingkan dengan profesi psikolog klinis. Terlebih untuk dapat menjadi psikolog klinis, lulusan sarjana strata satu (S1) psikologi harus mengambil program lanjutan, yaitu program magister profesi psikologi strata dua (S2). Tentu, diperlukan tenaga, waktu, dan materi lebih untuk mengambil program tersebut. 

Tidak meratanya persebaran Rumah Sakit Jiwa (RSJ) juga menjadi permasalahan terkait fasilitas kesehatan jiwa di Indonesia. Dilansir dari tirto.id dalam artikel yang berjudul Defisit Psikiater dan Psikolog, Sebarannya Terpusat di Pulau Jawa, hanya terdapat 48 Rumah Sakit Jiwa di Indonesia. Lebih dari setengah RSJ tersebut terletak di empat provinsi, dan terdapat delapan provinsi di Indonesia yang tidak memiliki RSJ. Ketimpangan ini menyebabkan belum terselesaikannya masalah kesehatan jiwa di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa. 

Melawan Stigmatisasi

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, pemerintah mulai mencanangkan program-program untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya kesehatan jiwa. Salah satunya tujuan undang-undang ini  adalah menghilangkan stigma yang beredar di masyarakat mengenai ODGJ. Peningkatan fasilitas kesehatan jiwa dan penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan jiwa juga menjadi salah satu pembahasan di undang-undang tersebut. Tidak hanya itu,  dalam Pasal 52 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2014, setiap provinsi harus memiliki setidaknya satu puskemas.

Pada Peringatan Hari Kesehatan Jiwa tahun 2009, telah disosialisasikan bahwa pelayanan kesehatan jiwa sudah dapat dilakukan di sarana pelayanan kesehatan primer, puskesmas, dengan biaya yang cukup terjangkau sehingga tidak lagi memberatkan masyarakat. Dokter umum yang bertugas di puskesmas juga diberikan pelatihan agar dapat menangani pasien dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan kesehatan jiwa. Bila terdapat pasien yang dirasa tidak dapat ditangani di puskesmas atau puskesmas tersebut tidak memiliki poli jiwa, pasien akan mendapat rujukan ke rumah sakit. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa juga dirasakan oleh para pengguna layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, karena biaya pelayanan kesehatan jiwa dapat diklaim dengan BPJS. Sehingga, pasien yang seharusnya merogoh kocek hingga jutaan rupiah saat melakukan pengobatan, dapat diminimalisir dengan penggunaan BPJS selama diagnosa yang diberikan dokter masih sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 59 Tahun 2015.

Untuk mengurangi dan menghilangkan stigma masyarakat terhadap masalah kesehatan mental diperlukan adanya keseimbangan antara edukasi, sosialisasi, dan peningkatan fasilitas kesehatan jiwa. Sosialisasi diperlukan agar masyarakat menyadari bahwa semua orang memiliki peluang yang sama untuk mengalami gangguan jiwa, namun kesehatan jiwa merupakan suatu hal yang dapat dicegah dan diobati. Pemahaman yang benar mengenai masalah kesehatan mental, dapat dilakukan melalui edukasi seperti cara penanganan yang tepat terkait masalah kejiwaan, dan bagaimana cara mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa mulai dari Puskesmas hingga rumah sakit. Sementara itu peningkatan fasilitas kesehatan jiwa, tidak hanya dilakukan pada kelengkapan alat dan obat-obatan, namun juga tenaga profesional kesehatan jiwa seperti dokter dan perawat jiwa. Aksesibilitas untuk mencapai rumah sakit atau bahkan sarana pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas dari pemukiman juga harus diperbaiki, agar penderita gangguan kesehatan jiwa dapat ditangani dengan baik serta sesuai, dan tidak dibiarkan di tempat tinggalnya. Usaha ini tentu perlu dilakukan oleh beberapa pihak, tidak hanya pemerintah, namun masyarakat, ahli kesehatan jiwa, tokoh masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan jiwa, serta tenaga profesional kesehatan jiwa. (Selanjutnya: Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?)

Editor: Larasati Eka Wardhani, Rani Widyan, Harnum Yulia Sari

Ilustrator: Fanindya Dwi Martha

Referensi:

Riset Kesehatan Dasar 2018, Kementerian Kesehatan

Tesh, Sarah. Artikel Physics World: “Fighting the Stigma.” 2018.

Overton, Stacy; Mediana, Sondra. Journal of Conseling and Development: “The Stigma of Mental Illness.” 2008.

https://www.moneysmart.id/manfaatkan-bpjs-kesehatan-buat-kesehatan-jiwa-gini-caranya/. Diakses pada 20 Juli 2019

https://www.alodokter.com/lebih-jauh-tentang-psikiater-atau-dokter-spesialis-kedokteran-jiwa. Diakses pada 20 Juli 2019

In-Depth adalah program kerja divisi Penerbitan Badan Otonom Economica berupa tulisan yang mengupas suatu fenomena secara mendalam dan detail.

Tweet627

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    6412 shares
    Share 2565 Tweet 1603
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    6319 shares
    Share 2528 Tweet 1580
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    3938 shares
    Share 1575 Tweet 985
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3722 shares
    Share 1489 Tweet 931
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3238 shares
    Share 1295 Tweet 810
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi
  • id Indonesian
    ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT
id Indonesian
ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish