Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
No Result
View All Result
Economica
Home In-Depth

Kisah Nyata Penderita Skizofrenia

by Shafia Nabila, Aurellia Nadhira & Renadia Kusuma
2 Oktober 2019
in In-Depth

 

*peringatan tulisan mengandung konten yang berat. Jika Anda memiliki keinginan bunuh diri, mengalami depresi atau gangguan mental yang sudah tidak dapat Anda kendalikan, segera cari pertolongan profesional (psikolog dan atau psikiater).

Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil kunjungan Tim In-Depth di Panti Rehabilitasi Jiwa dan Narkoba Getsemani Anugerah, Bekasi. Seluruh cerita merupakan hasil penuturan langsung dari petugas panti dan pasien, dan telah mendapatkan persetujuan untuk dipublikasikan.

***

Pagar panti rehabilitasi menjulang tinggi, setinggi harapan mereka. Mereka yang tengah berjuang melawan delusi, halusinasi, dan stigma ‘orang gila’ yang melekat pada diri mereka. Di panti itu tampak seorang remaja tengah memanjat pagar, Ibu yang menangis histeris, lelaki tua yang bercerita dengan melantur, dan tatapan kosong dari penghuni panti lainnya. Sementara itu petugas panti dengan tulus merawat mereka.

Cuaca Kota Bekasi hari itu sungguh panas. Entah hanya hari itu atau memang panas setiap hari. Akan tetapi, hal itu tidak menghalangi kami untuk berkunjung ke sebuah panti rehabilitasi jiwa di kota itu. Awalnya kami cukup kesulitan untuk menemukan tempat tersebut, hanya ada plang kecil bertuliskan “Panti Rehabilitasi Jiwa dan Narkoba Getsemani Anugerah” yang menjadi petunjuk bagi pencarian kami hari itu.

Panti ini terletak di pinggir jalan, bersebelahan dengan Rumah Sakit Anna Bekasi. Panti ini dikelilingi pagar tinggi dan dijaga oleh satpam. Seusai diterima oleh satpam yang berjaga di depan, kami dipersilahkan masuk dan bertemu dengan Pak Markus selaku ketua panti dan juga pendeta di sana.

Pak Markus bercerita kepada kami tentang awal mula panti ini didirikan pada tahun 1999. Waktu itu, ada seorang dermawan yang memiliki sebuah bengkel. Orang tersebut prihatin dengan kondisi para penderita gangguan jiwa yang saat itu diperlakukan kurang manusiawi oleh panti-panti milik dinas sosial. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk mendirikan sebuah panti bersama seorang pendeta kenalannya. Setelah dermawan itu wafat, panti ini kemudian dikelola oleh istri dan anak-anaknya.

Oleh Pak Markus kami diajak menuju sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Di dalam ruangan terdapat enam kursi dengan meja bundar di tengahnya. Ada juga lukisan-lukisan rohani dan beberapa rak buku. Selanjutnya, kami berkesempatan untuk bertemu dengan penghuni panti. “Saya cariin pasien yang nyambung diajak ngobrol ya. Ada dua cewek sama cowok,” ujar Pak Markus mempersilakan kami mengenal kehidupan panti.

Tanpa menunggu lama, masuklah dua perempuan dan satu laki-laki. Perempuan yang pertama bernama Ibu Lona yang berperan sebagai mentor rohani yang mendampingi pasien di panti tersebut. Sementara dua orang lainnya adalah Jessica, seorang wanita paruh baya dan Koh Akong yang merupakan pasien penderita skizofrenia.

Menurut Asosiasi Psikiater Amerika, skizofrenia merupakan satu bentuk gangguan kejiwaan berat yang dicirikan dengan delusi (tidak dapat membedakan imajinasi dan kenyataan), halusinasi (gangguan persepsi pada panca indera – dapat berupa halusinasi dengar, lihat, atau acap), gangguan konsentrasi, serta rendahnya motivasi. Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2017, prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia berada pada skor tujuh per-milnya. Artinya, setiap mil wilayah di Indonesia terdapat tujuh kasus penderita skizofrenia.

Jessica dan Koh Akong berbincang tampak santai saat kami ajak bicara. Jessica bercerita bahwa ia sudah satu tahun lebih tinggal di panti. Awalnya ia merasakan gangguan kesehatan mental ketika orangtuanya meninggal. Keluarga terdekat yang ia miliki hanyalah kakaknya. Sayangnya, sang kakak jarang mengunjunginya sehingga membuat Jessica merasa ditelantarkan. Suatu waktu, Jessica mengaku mengalami kejadian yang tidak begitu mengenakkan. “Aku jatuh dan harus dirawat di ICU. Tidak sadarkan diri sekitar dua sampai tiga bulan,” ungkapnya. Jessica menuturkan stres yang dialaminya saat itu, membuatnya harus tinggal di panti rehabilitasi sembari menunggu kesehatan mentalnya pulih kembali.

Cerita berlanjut dengan penuturan Ibu Lona. Ibu Lona menuturkan bahwa Jessica telah menceritakan hal yang tidak benar. Sementara Jessica diajak berpindah ruang, Ibu Lona menuturkan kisah Jessica. Menurut Ibu Lona, Jessica masuk ke panti rehabilitasi karena tidak rela kakak kandung laki-lakinya berbagi kasih dengan dirinya.  Jesica merasa bahwa sang kakak yang sudah berkeluarga tidak cukup perhatian padanya. Jessica tidak dapat menerima kenyataan tersebut dan seringkali berulah. Mengetahui ulah Jessica yang aneh, sang kakak menduga Jessica memiliki gangguan kejiwaan dan memutuskan untuk membawanya ke Panti. “Ya begitulah, antara omongan dan kenyataan sering berbeda,” tutup Ibu Lona.

Sementara itu, penghuni panti berikutnya adalah Koh Akong. Saat ditanya umurnya, ia dengan jelas menjawab, “Umur saya 60 tahun kelahiran tahun 1959 tanggal 24 bulan 10,”. Ia mengatakan sudah sepuluh bulan berada di panti. Menurut penuturan Koh Akong, awal mula ia mengalami gangguan kesehatan mental adalah ketika ibunya meninggal, sama halnya dengan Jessica.

Koh Akong menuturkan, sebelumnya ia hanya tinggal berdua dengan ibunya karena Koh Akong sampai sekarang belum menikah. Setelah ibunya wafat, Koh Akong tinggal sebatang kara dan tidak memiliki siapapun untuk berbicara dan bertukar pikiran di rumah. “Kakak saya menganggap saya gila karena suka berbicara sendiri. Padahal saya gak kenapa-kenapa, cuma stres aja,” tutur Koh Akong. Koh Akong berasal dari Karawang. Setiap kali selesai menjawab pertanyaan kami, Koh Akong selalu menceritakan tentang Karawang. Ia mulai bercerita tentang Karawang, “Karawang itu bagus loh. Ada banyak pabrik, sumber daya alamnya juga banyak. Main-main deh kalian ke Karawang,” tutur Koh Akong.

Jessica dan Koh Akong senang tinggal di panti karena fasilitas dan pelayanan yang diberikan sangat baik. Mereka juga senang karena banyak teman. Meskipun ada beberapa teman yang kurang bisa diajak mengobrol. “Ada yang kalo diajak ngobrol au au doang,” ucap Koh Akong. Koh Akong juga bercerita tentang penderita narkoba yang bernama Cici. Entah mengapa tiba-tiba Koh Akong terus-menerus bercerita tentang Cici. “Narkoba itu bahaya lho, karena langsung menyerang ke saraf-saraf dalam otak. Jadi jangan sekali-kali deh pakai narkoba,” ujarnya. Melihat perbincangan yang semakin panjang Ibu Lona mengambil alih, “Udahan aja kali ya, ganti pasien yang lain,” kata Ibu Lona menyudahi pembicaraan kami dengan Jessica dan Koh Akong.

Ibu Lona mengatakan bahwa mereka, para penderita gangguan jiwa, tidak pernah merasa bahwa mereka sakit, seperti yang dilakukan oleh Koh Akong dan Jessica. Penghuni panti tadi memang mengaku sehat meskipun sebenarnya mereka menderita skizofrenia dan secara aktif masih mengkonsumsi obat-obatan antipsikotik, seperti risperidon dan heximer yang berfungsi untuk mengatasi gangguan mental tertentu seperti skizofrenia, bipolar, dan autisme. Banyak pasien yang belum dapat menerima kondisinya saat ini.

Ibu Lona menjelaskan apabila seseorang menyadari bahwa ia sakit dan butuh obat, hal itu merupakan kondisi normal karena mereka sudah sadar dan ingin sembuh dari penyakitnya. Penyembuhan dapat dipercepat ketika mereka berpikir “Oh aku sakit, aku butuh obat,”. Pihak panti juga menilai kesehatan jiwa pasien telah pulih bukan hanya dari karakter, tetapi juga dari sikap mereka ketika berbicara, arah pembicaraan, dan kedisiplinan melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersih-bersih.

“Kegiatan bersih-bersih bisa merangsang saraf pasien untuk bekerja lebih baik lagi. Kita bisa lihat ada tidak inisiatifnya. Obat kan cuma membantu 15% ya sisanya dirinya sendiri yang menyembuhkan. Jadi kita harus dorong dengan kegiatan bersih bersih, walaupun kadang kita juga emosi tapi kita harus keras,” ujar Ibu Lona.

Panti ini mempunyai progres pasien setiap bulannya dan perkembangan pasien dipantau mentor. Jika dianggap baik, mentor akan menulis baik. Jika dianggap kurang, mentor akan menulis kurang. Mentor tidak bisa memberi penilaian secara asal. “Pernah ada kejadian, waktu itu ada yang dikasih nilai baik-baik saja, tapi setelah dipulangkan dia membunuh ibunya dan kembali lagi ke panti,” tutur Ibu Lona yang telah bekerja kurang lebih 15 tahun di panti tersebut.

Selanjutnya, kami dipertemukan dengan Ibu Dewi dan Ibu Karlina. Ibu Karlina mengidap penyakit paranoid atau menganggap orang lain selalu membahayakan dirinya. Saat ditemui, Ibu Karlina hanya sedikit bicara dan seringkali menangis jika ditanyai. “Iya dia ini nangis terus karena dicampakkan sama keluarganya,” ujar Bu Dewi. Mendengar perkataan tersebut  Ibu Karlina justru semakin menangis. Akhirnya Ibu Lona membawa Ibu Karlina keluar.

Perbincangan kami berlanjut dengan Ibu Dewi. Ibu Dewi yang merupakan pasien tertua di panti, usianya sekitar 63 tahun dan telah tinggal selama sepuluh tahun di panti. Ibu Dewi suka sekali bercerita, ia terus menceritakan tentang anaknya, cucunya, dan hobinya memasak. Ibu Dewi menyadari bahwa dirinya sakit dan memberi tahu kami bahwa ia aktif meminum obat anti-depresan. Pada saat normal, kondisi Ibu Dewi terlihat seperti orang kebanyakan. Akan tetapi, saat kambuh Ibu Dewi bisa berteriak histeris bahkan tak jarang menyerang penghuni panti yang lain.

Usai berbincang dengan Ibu Dewi kami diajak berkeliling panti ditemani oleh Ibu Ros. Sama halnya dengan Ibu Lona, Ibu Ros merupakan seorang mentor dan telah bekerja di panti selama dua belas tahun. Dari ruang tamu, kami berjalan menuju parkiran dan tiba di depan sebuah tempat yang memiliki pagar besi yang tinggi dan digembok. Setiap orang yang masuk harus melalui perizinan petugas keamanan panti. Secara singkat, mungkin beberapa orang berpikir pagar ini mengekang dan mengurung pasien. Akan tetapi, pagar tinggi tersebut sifatnya hanya membatasi agar pasien tidak kabur dalam kondisi yang tidak stabil.

“Mayoritas pasien di sini adalah penderita skizofrenia yang terkadang mengamuk dan sewaktu-waktu bisa lari. Dengan kondisi tersebut tentunya perlu penanganan khusus, salah satunya dengan pagar tinggi ini. Beda halnya jika pasien kami orang normal,” ujar Ibu Ros.

Dari luar pagar tampak seorang laki-laki remaja sedang makan sambil berdiri di atas pagar panti. Ibu Ros menuturkan bahwa hal itu memang menjadi kebiasaan remaja laki-laki tersebut. Lelaki itu trauma karena pernah tinggal di jalanan dan sering ddikejr oleh satpol PP. Berada di atas pagar membuatnya merasa aman karena ia merasa bahwa Satpol PP tidak akan berhasil menangkapnya di ketinggian seperti itu.

 Kami dibukakan pintu oleh petugas keamanan panti. Sesampainya di dalam, kami bertemu banyak sekali penghuni panti. Ruangan di balik pagar besi tinggi tadi sangat luas, di dalamnya ada lapangan multifungsi yang dapat dijadikan lapangan basket, futsal, dan lapangan badminton. Lapangan yang luas ini juga menjadi akses menuju kamar para penghuni panti. Di sana, ada seorang pasien yang berbicara kepada kami, “Saya dulu waktu sekolah di SD pakai seragam putih merah. Kalau hari kamis pakai seragam pramuka dan dasi,” ujar Jack, seorang anak laki-laki yang menderita autisme dan down syndrome. “Saya juga bisa berhitung satu ditambah satu itu dua,” cerocosnya.

Selanjutnya, Ibu Ros mengajak kami ke ruang kesehatan. Biasanya, ada dokter jiwa dan dokter umum datang setiap dua hingga tiga kali dalam seminggu. Hari itu sebenarnya adalah jadwal kunjungan dari dokter umum, tetapi dokter tersebut sudah pulang sehingga kami tidak dapat menemuinya. Selain mendampingi setiap pasien secara rohani – dengan bantuan mentor-, panti ini juga secara rutin memeriksakan kondisi pasien mereka kepada tenaga kesehatan profesional, seperti psikiater, psikolog, dan dokter umum.

Saat hendak keluar dari ruang kesehatan, kami dihadang oleh seorang pasien perempuan. “Kakak-kakak ini dari mana?” tanyanya. Kami pun menjawab dari universitas yang ada di Depok. Raut wajah pasien tersebut langsung bersemangat, ia mengatakan bahwa ia tahu Depok karena saudaranya ada yang tinggal di sana. Ia bercerita kesana-kemari menjelaskan bahwa pamannya baru saja meninggal dan ia pergi melayatnya. “Udah kamu sana istirahat di kamar kan sekarang waktunya istirahat,” ujar Bu Ros kepada perempuan tadi.

Ibu Ros menjelaskan penghuni panti di sini tidak selamanya berada di dalam panti. Sesekali, mentor bersama pengurus panti mengajak mereka jalan-jalan maupun mendampingi penghuni panti untuk pergi ke gereja. Menurut Ibu Ros, dengan mengajak pasien keluar untuk berjalan-jalan akan mempercepat pemulihan mereka, karena di luar mereka akan berinteraksi dengan banyak orang. Dengan berinteraksi pasien dapat lebih peka dengan realita, sehingga mengurangi delusi dan halusinasi.

Mayoritas dari pasien di panti ini memang masih diperhatikan oleh keluarganya. Pihak keluarga memang diharuskan untuk membayar iuran tiap bulannya, tergantung dengan kelas yang mereka pilih. Kelas termahal adalah kelas VIP seharga Rp 6.000.000, sedangkan kelas bangsal seharga Rp 3.500.000 per bulan. Untuk pasien yang tidak memiliki keluarga, panti ini tetap mengurus mereka dan seluruh kebutuhannya ditanggung oleh pihak panti. Panti sebenarnya juga mendapat bantuan dana dari dinas sosial setiap dua sampai tiga tahun sekali. Namun, jumlahnya tidak terlalu besar, sehingga iuran keluarga tetap jadi pembiayaan utama untuk kebutuhan sehari-hari pasien maupun gaji pengurus panti.

Di Indonesia, gangguan jiwa atau gangguan mental merupakan hal yang masih tabu untuk dibicarakan. Penderita gangguan jiwa seringkali diidentikkan dengan orang gila (orang yang mengamuk dan membahayakan orang lain), padahal tidak demikian. Diperlukan kesadaran dalam masyarakat bahwa kesehatan dan gangguan jiwa sama dengan penyakit fisik lainnya dan setiap orang dapat menderita gangguan jiwa. Membahas masalah kesehatan dan gangguan jiwa di muka umum dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai masalah kesehatan mental dan kesehatan jiwa. Melalui pemahaman tersebut maka stigma negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa dapat berkurang. (Selanjutnya: Melawan Stigmatisasi Kesehatan Mental)

Editor: Rani Widyan, Larasati Eka Wardhani, Harnum Yulia Sari

Ilustrator: Lulu Qolbi

 

 

Tweet523

Discussion about this post

POPULER

  • Pancasila di antara Sosialisme dan Kapitalisme

    6412 shares
    Share 2565 Tweet 1603
  • Program dan Kebijakan Kesehatan Mental, Tanggung Jawab Siapa?

    6319 shares
    Share 2528 Tweet 1580
  • Over-socialization: Is Social Media Killing Your Individuality?

    3938 shares
    Share 1575 Tweet 985
  • Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat?

    3722 shares
    Share 1489 Tweet 931
  • Indikasi Kecurangan Tim Futsal Putri FT UI dalam Olim UI 2019

    3238 shares
    Share 1295 Tweet 810
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi
  • id Indonesian
    ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish

© 2019 Badan Otonom Economica

No Result
View All Result
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Majalah Economica
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT
id Indonesian
ar Arabiczh-CN Chinese (Simplified)nl Dutchen Englishfr Frenchde Germanid Indonesianit Italianpt Portugueseru Russianes Spanish