*Peringatan: tulisan mengandung konten yang berat. Jika Anda memiliki keinginan bunuh diri atau mengalami depresi yang sudah tidak dapat Anda kendalikan, segera cari pertolongan profesional (psikolog dan atau psikiater).
Tidak setiap orang hidup serta merta dalam keadaan baik-baik saja, banyak hal yang menyesakkan, hingga tidak bisa diceritakan. Terkadang ada hal yang membuatmu ingin pergi saja, menjauh dari semua yang membuatmu merasa tak nyaman. Tetapi, adakalanya kamu bangkit, memilih untuk teguh daripada rapuh, membuktikan bahwa dirimu lebih berharga daripada dunia.
***
Menitipkan Pesan Terakhir
Hari itu di dalam sebuah kamar indekos, seorang mahasiswi bernama Tanisha menulis sebuah surat yang ditujukan untuk teman-teman, keluarga, dan petinggi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di fakultasnya perihal permintaan maaf dan pesan terakhir darinya. Ia juga membuat unggahan di media sosial pribadinya yang menyatakan bahwa hari itu adalah hari terakhir baginya.
Ia mengaku menikmati setiap detik hari itu, hari dimana ia akan meninggalkan semua permasalahan dalam hidupnya. Kemudian ia mendekatkan diri ke arah jendela kamar, melihat ke arah luar dan berpikir apakah ia bisa mengakhiri hidup dengan terjun dari jendela. Namun, semua pemikiran singkat itu gagal, dan ia bersyukur atas kegagalan itu. Tanisha mengurungkan niatnya tersebut setelah mengetahui bahwa banyak teman yang mencari dan mengkhawatirkan dirinya. Mereka semua peduli kepada Tanisha.
Trauma dalam Keluarga
Tanisha, mahasiswi salah satu universitas di Depok, bercerita kepada Tim Indepth bahwa ketidakharmonisan hubungan keluarga merupakan penyebab terbesar terganggunya kondisi psikologisnya saat ini. “Aku dari kecil udah pisah sama papa. Papa nikah lagi. Jadi aku tinggal bareng mama dan kakak,” ungkap Tanisha. “Dulu pas SMA pernah berantem sama papa karena masalah finansial,” tambahnya.
Perasaan marah kepada sang ayah membawa Tanisha kepada keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau self-harm. Suatu waktu, saat Tanisha masih duduk di sekolah menengah, ia nekat membawa pisau ke sekolah untuk menyakiti dirinya sendiri. Tanisha merasa dirinya sudah ‘kecanduan’ akan rasa sakit yang ditimbulkan dari perilaku self-harm.
Kondisi psikologis Tanisha semakin memburuk ketika memasuki perkuliahan. Ia memutuskan untuk bergabung dengan BEM fakultas, sayangnya di tengah kepengurusan ia merasa divisi pilihannya di BEM tidak sesuai dengan dirinya. Hal tersebut memicu stres dan mendorong perilaku self-harm. Kondisi psikologis yang buruk saat itu bahkan membuatnya harus mengulang salah satu mata kuliah.
Rendahnya kepercayaan diri Tanisha membuat Ia membandingkan diri dengan orang lain. Euforia kehidupan orang lain di instagram, seperti prestasi akademik, liburan, bahkan penampilan dan wajah cantik orang lain, acapkali membuat Tanisha merasa tidak berguna. Perasaan yang tidak menyenangkan itu, membuat Tanisha memutuskan untuk menghapus akun instagram lamanya dan memilih membuat akun baru yang dipergunakan hanya untuk mem-follow akun-akun yang bersifat Non-Government Organization (NGO) serta akun-akun info magang.
***
Menurut National Alliances of Mental Illness (NAMI), self-harm atau self-injury adalah kegiatan menyakiti diri sendiri dengan sengaja. Keduanya merupakan tanda dari tekanan emosional dan dilakukan sebagai pelarian suatu permasalahan. Perasaan ini dapat dimulai dengan perasaan marah, stres, frustasi, dan gangguan emosional lainnya. Ketika seseorang tidak mengerti bagaimana cara mengatasi emosinya tersebut, self-harm mungkin dipilih sebagai cara untuk melepaskan atau merasakan emosi mereka. Lebih lanjut lagi, ketika seseorang tidak dapat mengeluarkan semua emosi, mereka bisa saja melakukan self-harm untuk merasakan sesuatu yang “nyata” untuk menggantikan matinya rasa emosional.
Dalam sebuah jurnal psikiatris yang diterbitkan oleh Psychiatry (Edgmont), self-injury memang dapat mengatasi rasa sakit emosional secara sementara, akan tetapi cara ini tidak dapat mengatasi sumber masalahnya. Berbagi cerita kepada teman, keluarga, dan interpersonal lain merupakan metode penanganan yang paling direkomendasikan.
***
Bantuan dari Tenaga Profesional
Tanisha pun merasa dirinya memerlukan bantuan tenaga ahli untuk memulihkan kondisinya. Di tahun 2017, ia melakukan kunjungan pertamanya ke Badan Konseling Mahasiswa (BKM) di sebuah klinik kampus. Antrean yang lama hingga dua bulan dan saran yang kurang membangun, membuat Tanisha memutuskan untuk berkunjung ke psikiater di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok.
Setelah berkonsultasi, Tanisha didiagnosis mengalami depresi, kecemasan berlebih, bahkan Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), sehingga psikiater memberinya obat. Obat yang diberikan sangat membantu namun, setelah sekitar enam bulan masa pengobatan, Tanisha terpaksa berhenti meminum obat tersebut karena harga obat yang sangat mahal. Tanisha pun kembali berkonsultasi di BKM dengan psikolog yang berbeda. Hasilnya tetap sama, yakni depresi dan kecemasan berlebih. Berbeda dari kunjungan pertama, psikolognya saat ini dirasa cukup membantu Tanisha. “Yang ini paling nyaman. Kemarin aku baru konsul ke dia lagi,” ungkapnya.
Kondisi psikologis Tanisha kini berangsur membaik. Tanisha berusaha menjadi diri yang lebih baik dengan membaca buku, mendengar musik, membuat desain, dan menjadi volunteer atau sukarelawan di Into the Light, sebuah yayasan advokasi, riset dan edukasi untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia.
Menurutnya, penting untuk bercerita ataupun pergi ke tenaga professional saat merasa stres atau depresi. “Memendam masalah sendiri cuma nambah stresor dan tidak membantu progres penyembuhan. Jangan sungkan untuk (pergi) ke tenaga professional karena kalian tidak sendiri,” ujar Tanisha.
Selain Tanisha, DKP (inisial), mahasiswa salah satu universitas di Depok juga berbagi cerita tentang kondisi psikologisnya. Sore itu, kami bertemu DKP di dalam kamar apartemennya di Jalan Margonda, Depok. Di kamar berukuran dua kali dua itu hanya ada kami dan DKP. Sambil duduk bersila di lantai, DKP menghisap vape-nya dan bersiap untuk menceritakan kisahnya kepada kami.
***
DKP dan Awal Ceritanya
Sejak kecil, laki-laki berumur 20 tahun ini seringkali berhalusinasi, seperti menghubungkan imajinasi dengan realita. “Anak kecil kan dulu suka main pesawat-pesawatan. Nah tapi kalo gua suka ngeliat tempat sampah terbang-terbang dan gua seneng gitu. Itu sampe kelas 6 SD,” kenangnya.
Saat memasuki perkuliahan, DKP merasa perasaan dalam dirinya semakin janggal. Terkadang ia merasa tidak menjadi dirinya sendiri dan sering merasa lupa atas apa yang telah terjadi. “Gua sering ngerasa skip. Misalnya gua mau naik lift. Terus tiba-tiba skip gitu, gua lagi jalan balik ke kamar. Pas di kamar, temen gua nanya ‘lu berantem sama cewek lu ya’ Gua gak sadar. Pas gua cek, cewek gua itu udah gua siram,” ujar DKP.
Kejadian seperti itu tidak hanya sekali dua kali. DKP mengaku pernah memukul temannya, memukul diri sendiri, menangis, menggambar sesuatu, dan seluruh kegiatan tersebut dilakukan DKP dalam keadaan tidak sadar. Percobaan bunuh diri dengan melompat dari apartemennya bahkan pernah hampir dilakukan DKP.
Peran Keluarga yang Hilang
DKP mengaku kondisi mentalnya banyak dipengaruhi oleh keadaan keluarga: kurang perhatian dan sering ditekan.
DKP mengaku sudah lama merasa sendiri, orang tua dan sang kakak terlampau sibuk dengan urusannya. “Kalo gua pacaran sama orang, nyokap gua selalu gak suka sama orangnya. Bokap gua selalu nyuruh sukses, padahal gua udah hasilin duit sendiri sekarang,” tutur DKP.
Sampai saat ini, DKP belum berani untuk menceritakan kondisinya kepada keluarga.
“Kalo gua cerita ke keluarga gua, nanti gua diruqyah dikirain ada setannya di dalem gua,” ucap DKP.
Pertemanan yang Kandas
Ia pun memilih untuk mencari perhatian kepada teman-temannya. DKP akan bercerita kepada siapapun yang ia anggap bersedia untuk mendengarkan keluh kesahnya. Kadang menceritakan masalah hidupnya kepada orang asing terasa lebih nyaman karena orang tersebut tidak akan bertemu dan menanyakan kondisi DKP lagi.
“Even the worst, gua pernah nyewa jablay cuma buat dengerin cerita gua,” papar DKP. “Gua jadinya apa-apa sama temen dan ketika gua gak ada temen, gua bisa bener-bener stres. Gua kalo makan sendiri, gua muntah,” ungkapnya.
DKP terbiasa melakukan video call dengan sahabatnya di Bandung untuk menemaninya makan. Namun, pertemanan ini kandas karena sahabat DKP mengaku tidak ingin mendengar masalah yang dialami DKP. Hal ini membuat DKP percaya bahwa setiap pertemanan pasti akan mempunyai titik perpisahan.
“Gua gak percayaada temen yang bisa (bertahan) lama gitu karena sahabat gua aja ninggalin gua,” jelas DKP.
Sebelumnya pada saat duduk dibangku SMA, DKP pernah berusaha menceritakan kondisinya kepada salah seorang temannya. Alhasil, ia dianggap aneh dan dijauhi oleh teman-teman sekelas. DKP menolak dianggap spesial hanya karena ia memiliki gangguan mental. DKP menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan mengerti keadaan yang ia rasakan. Baginya, orang yang memberi stigma negatif tersebut tidak merasakan apa yang DKP rasakan.
“Ngapain dipikirin, nanti capek hati,” tutur DKP.
Mencari Jawaban Lewat Tenaga Profesional
Di awal masa perkuliahan, kondisi DKP makin memburuk, hampir mati karena kecelakaan mobil. Ia pun berusaha untuk mencari jawaban mengenai kondisinya lewat tenaga profesional. Sebelas psikolog dan enam psikiater pernah ia kunjungi. Diagnosis yang diberikan berbeda-beda, mulai dari bipolar, skizofrenia, hingga sociopath. Akan tetapi, upayanya untuk bercerita tentang kondisi mentalnya selalu berujung dengan pemberian resep obat, bukan saran yang membangun, seperti yang ia harapkan.
“Gua pernah ngelempar duit ke muka psikiater karena abis cerita panjang-panjang, gua cuma dikasih obat. Gua gak butuh obat,” jawab DKP dengan sedikit meninggikan suaranya.
Namun, kini obat itu terpaksa harus selalu ia bawa di dompetnya dan diminum saat ia mulai merasa sedikit ‘aneh.’ Setelah melakukan kunjungan ke belasan tenaga ahli, ada satu psikolog yang memikat hatinya.
“Dia nanya ‘hobi kamu apa? gua jawab berantem kali dan dia beneran beliin gua sarung tinju,” kata DKP.
Dari situlah DKP merasa bahwa psikolog ini tulus menjalankan profesinya untuk membantu pasien.
Fasilitas Konsultasi di Fakultas
DKP belum pernah mencoba konsultasi di lembaga yang tersedia di fakultas, yakni BKM. Menurutnya, saran yang diberikan orang tua cenderung tradisional, seperti mendekatkan diri dengan Tuhan, menulis diari atau jurnal, dan mengatur pola makan. Selain itu, DKP juga tidak berniat untuk melakukan konsultasi dan membahas akademik karena tidak memberikan dampak yang signifikan.
“Semua orang yang mengalami kondisi mental illness pasti pernah berada di titik yang melelahkan di mana ia tidak ingin disembuhkan,” ucap DKP.
DKP sendiri mengaku pernah berada di posisi seperti itu ketika ia tidak menerima semua saran dan masukan orang lain. DKP sadar bahwa hanya diri sendirilah yang bisa menyembuhkan kondisi seperti ini.
“Yang tau ceritanya kan gua bukan orang lain,” ujarnya.
Namun, ia juga berpesan bahwa penderita gangguan mental tidak seharusnya menutup diri dari orang lain. Menurut DKP, memendam masalah hanya akan membuat diri merasa sengsara. Apabila belum bisa mengunjungi ahli, lebih baik cerita kepada teman.
“Coba cerita ke orang yang lu percaya,” sebuah nasihat dari DKP.
Meskipun terkadang respon yang didapatkan tidak memuaskan atau sesuai keinginan, DKP akhirnya menerima kenyataan dan menurunkan ekspektasi terhadap orang lain.
***
Tyas dan ceritanya
Penyintas lainnya bernama Tyas. Saat ini ia bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas di Depok. Tyas adalah seorang korban kekerasan verbal dan fisik oleh mantan pacarnya. Kejadian itu berlangsung selama 2,5 tahun dari tahun 2013 hingga 2015. Waktu itu Tyas dan pacarnya masih berstatus sebagai mahasiswa di universitas yang sama.
“Waktu itu aku direndahin sama pacarku. Pacarku kan anak Teknik, sementara aku anak Sastra Inggris. Dia bilang Sastra Inggris gak berguna,” kata Tyas.
Selain kekerasan verbal tersebut, Tyas juga mengalami kekerasan seksual, seperti dipaksa melakukan hubungan intim.
Tyas memendam semuanya sendiri. Tidak bercerita kepada siapapun karena takut dihakimi. Ia pun mencoba mendatangi klinik kampus untuk bercerita dengan psikolog di sana. Namun, lagi-lagi ia takut bercerita dan memilih untuk berbohong.
“Aku ngerasa capek dan minta putus, tapi dia kayak air mata buaya gitu. Saat itu aku kasian sama dia jadi kita lanjut sampai aku lulus,” tuturnya.
Indikasi Awal
Sesudah lulus, Tyas ingin melanjutkan studinya di luar negeri dengan mendaftar beasiswa. Pendaftaran beasiswa pertamanya ditolak. Pacarnya tiba-tiba memutuskan hubungan.
“Dia bilang alasannya karena “gue gak mau punya cewek gagal kayak lo,” ujar Tyas.
Kesedihan pun menghampiri Tyas di hari itu. Esoknya, Tyas malah merasa senang karena bisa terbebas dari hubungan yang tidak sehat ini.
Singkat cerita, ia diterima beasiswa S2 ke London. Saat di London hingga Tyas kembali ke Jakarta, sang mantan pacar masih tetap mencoba menghubunginya.
“Setiap kali dikirim pesan, aku merasa aneh. Pernah gemetaran hebat, blackout, muntah-muntah, histeris,dan pingsan secara tiba-tiba,” paparnya. “Lagi di mal, ada teman yang nyebut nama dia aja, saya langsung nangis kejer, panik dan lari-lari.”
Kondisi Tyas juga diperparah saat ia mendaftar beasiswa S3. Daftar beasiswa puluhan kali, hasilnya ditolak lagi dan lagi. Sampai pada suatu saat, Tyas melakukan percobaan untuk gantung diri.
“Aku merasa tidak percaya diridan mengganggap apa yang dikatakan mantan pacarku itu benar, aku bodoh,” tutur Tyas. “Tapi nggak jadi gantung diri karena masih inget sama ibu saya.”
Mencari Jawaban atas Kondisinya
Karena penasaran dengan kondisi yang ia alami, Tyas berusaha mencari tahu lewat internet. Ternyata setelah diselidiki, gejala-gejala yang dialami oleh Tyas terindikasi sebagai trauma akibat kekerasan seksual.
Dari situ, Tyas memutuskan untuk bergabung bersama sebuah support group (kelompok untuk orang-orang yg pernah mengalami kejadian yang sama) yang bernama Lentera Sintas Indonesia.
“Aku juga berkonsultasi dengan psikolog di Yayasan Pulih Tanjung Barat yang khusus menangani korban kekerasan seksual,” tambahnya.
Ia juga pernah mengunjungi psikolog di Fakultas Psikologi UI.
“Psikolognya sangat membesarkan hati saya dengan bilang ‘ini kan semua ucapan mantan kamu dan kamu udah putus lama jadi harusnya udah berpengaruh dong ucapan dia ke kamu’ gitu,” ucapnya.
Berjuang untuk Pulih
Proses pemulihan kondisi Tyas juga dilakukan dengan membaca diari. Ia memang senang menulis diari yang berisi keluh kesahnya. Mulanya ia mengalami muntah-muntah, mual, dan kepanikan. Akan tetapi, dengan bantuan psikolog, sekarang Tyas kembali pulih.
Psikolog juga mengatakan bahwa Tyas harus berani bercerita dan tidak memendam masalahnya sendiri. Oleh karena itu, pada tahun 2017 ia memberanikan diri untuk bercerita kepada sahabat dan teman-temannya. Prasangka mengenai reaksi teman-teman di sekitarnya ternyata salah besar. Teman-teman Tyas justru sangat menghargai semua masa lalunya.
“Aku cerita ke orang lain biar mereka tau kalau kejadian seperti ini itu nyata adanya,” katanya.
Sayangnya, Tyas masih menutupi kisahnya ini kepada keluarganya. Saat hendak ke psikolog, Tyas selalu mengatakan bahwa ia punya masalah pekerjaan bukan masalah tentang mantan pacarnya.
Tyas merasa pengalamannya bisa menjadi survivor dari kekerasan seksual dapat membangkitkan semangat bagi para korban dan mencegah adanya korban berikutnya. Tyas akhirnya membuat support group di instagram bernama Sahabat Bicara yang bekerja sama bersama Yayasan Pulih. Di sana, macam-macam cerita dari orang lain Tyas dapatkan.
“Ada seorang wanita yang sudah menikah selama bertahun-tahun, tetapi belum berani melakukan hubungan suami-istri karena dulu dia pernah diperkosa oleh bapak tirinya,” tutur Tyas.
Tyas Bangkit
Di akhir 2018, Tyas benar-benar sembuh dari trauma dan bangkit. Tyas mulai menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang sangat suportif kepadanya dan membantu dalam menyembuhkan penyakitnya. Ia juga menjadi salah satu penerima S3 Fulbrigt dan akan berangkat ke Amerika akhir tahun ini dan akan menerbitkan sebuah novel. Tyas berpesan kepada korban lainnya untuk mulai berbicara walaupun berat karena harus melawan stigma negatif atau faktor lainnya.
Menurut Tyas bercerita bisa dimulai dengan kepada orang yang dipercaya. Jika membutuhkan bantuan profesional, datang ke psikolog. Jika ingin menuntut secara hukum, bisa mencoba ke LBH. Dengan adanya UU ITE, setiap orang bisa melaporkan kekerasan yang berbasis online, seperti penyebaran foto atau video tidak senonoh. “Menerima apa yang sudah terjadi sangat penting. Perlu juga untuk membangkitkan percaya diri. Harus berterima kasih kepada diri kita sekarang, bahwa kita sudah sampai sejauh ini,” ujar Tyas.
Ketika Tyas masih berusaha pulih, salah seorang teman pernah berkata “Kita nggak tau ini maksudnya apa, tapi suatu saat lo pasti akan tau maksud dari semua (hal)ini (dan)itu apa, dalam waktu dekat maupun nanti,” tutup Tyas. Bagi Tyas, ia dan korban lainnya harus tetap hidup agar tau apa maksud dari semua ini. (Selanjutnya: Kisah Nyata Penderita Skizofrenia)
Editor: Rani Widyan, Larasati Eka Wardhani, Harnum Yulia Sari
Discussion about this post