Awal Juni lalu, Apple mengumumkan kematian iTunes setelah hidup selama 18 tahun. Tidak ada tangis di Cupertino hari itu lantaran dalam empat tahun terakhir Apple sibuk menggodok layanan distribusi musiknya sendiri. Model bisnis terbaru ini dianggap solusi jitu dalam menggerus praktik pembajakan. Siapa sangka dalam kurun waktu satu dekade, cara kita mengonsumsi musik bisa berbeda dari apa yang pernah ada sebelumnya?
Kita tidak bisa memungkiri betapa signifikan Apple Music dan Spotify dalam industri musik saat ini. Hanya dengan membayar 50 ribu rupiah per bulan, pengguna bisa menikmati seluruh pustaka masing-masing layanan. Sebuah tawaran yang menggiurkan karena jumlah ini hanya sanggup membeli satu album pada lima tahun lalu. Konsumen jelas “menang banyak” dalam kondisi ini.
Ketimpangan Industri Musik Digital
Berbanding terbalik dengan konsumen, pelaku industri justru kena batunya, terutama artis-artis skala kecil. Hal ini disebabkan nilai pendapatan dari industri ini yang sangat rendah, hanya berkisar 0,0004 – 4 USD per play. Mustahil penghasilan sekecil ini mampu memberikan balik modal dari biaya rekaman, atau bahkan untuk bisa makan sehari-hari.
Di lain sisi, perusahaan layanan music streaming menemukan tambang emasnya, teristimewa dalam kasus Spotify. Pada kuartal pertama tahun 2019, Spotify mencatat keuntungan operasional pertamanya sebesar 107 juta USD. Sekilas, hal ini memang terdengar seperti berita baik. Namun, tidak banyak yang mengetahui permasalahan sistem kompensasi artis yang tersembunyi di balik pintu.
Perusahaan label rekaman besar—Sony, Universal, dan Warner—mendapatkan setidaknya 70% dari pendapatan streaming Spotify. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketergantungan Spotify terhadap tiga label besar ini untuk memperpanjang lisensi. Hidup dan mati perusahaan unicorn ini berada di tangan raksasa industri musik tersebut.
Kita tidak perlu kaget mengetahui bagaimana jerih payah Spotify membujuk Taylor Swift untuk tidak menarik diskografinya, atau bagaimana spesialnya Billie Eilish dan Drake di daftar putar Spotify. Big Machine Label Group yang menaungi Taylor Swift dan Interscope yang menaungi Billie Eilish merupakan anak perusahaan Universal Music Group. Drake dengan OVO Sound-nya merupakan anak perusahaan Warner Music Group. Sedangkan Tyler the Creator dengan Columbia Records dan Brockhampton dengan RCA Records merupakan anak perusahaan Sony Music Entertainment. Ini hanya sebagian kecil dari nama-nama artis yang menjadi bagian dari tiga label besar tersebut.
Suara Rakyat, Suara Tuhan
Mungkin Anda tahu ke mana arah tulisan ini, tapi yang jelas saya tidak bermaksud untuk mengajak memboikot atau bahkan turun ke jalanan demi menggembosi praktik ketimpangan relasi kuasa ini. Lagi pula, kebanyakan artis-artis ini punya rekam jejak yang rumit untuk bisa menjadi seperti sekarang. Substansi yang ingin saya sampaikan adalah masing-masing dari kita punya andil dalam membangun industri musik yang sehat.
Langkah pertama, belilah rilisan fisik atau digital. Seperti dikatakan salah satu penemu Bandcamp, Ethan Diamond, cara terbaik untuk mendukung musisi adalah dengan memberi mereka uang secara langsung. Platform Bandcamp sendiri punya cara unik dalam memfasilitasi pendengar untuk mendukung musisi. Musik digital yang terdaftar di Bandcamp bisa dibeli dengan nilai sesuai preferensi pendengar. Selain itu, musisi juga bisa mengetahui siapa saja yang mendukung karyanya. Rilisan fisik sendiri memang tidak sepraktis rilisan digital, namun rilisan ini spesial karena thank-you letter-nya atau kadang kala disertai dengan lirik lagu. Akhir-akhir ini, model distribusi tersebut mulai dilirik kembali lantaran memiliki nilai tersendiri sebagai barang koleksi.
Kedua, datang ke acara musik. Banyak musisi dan band menjadi besar karena bermain dari panggung kolektif kecil, pentas seni sekolah, hingga festival. Selain merupakan cara terbaik membangun fanbase yang kuat, gigs dan festival merupakan satu-satunya sumber pendapatan konsisten kebanyakan musisi dan band. Datanglah ke acara musik yang berbayar dan sebisa mungkin selektif dalam memilih panggung yang Anda datangi. Anda bisa tebak sendiri apa (atau siapa) yang menjadi komoditas dari acara musik yang disponsori industri tertentu.
Ketiga, beli merch mereka. Merch bisa dibilang cara paling menguntungkan musisi dalam menghasilkan pendapatan. Anda bisa dengan mudah menemukan kaus-kaus band di profil Instagram mereka atau ketika datang ke salah satu panggung.
Tentu, ajakan-ajakan ini cukup obvious dan memerlukan komitmen. Namun, imbauan ini sejatinya merupakan tanggung jawab moral bagi kita, pengguna layanan music streaming yang sesungguhnya memiliki peran terbesar. Setiap uang yang kita keluarkan dan partisipasi kita akan menentukan siapa yang bisa bertahan hidup di industri ini.
Kontributor: Yosia Manurung
Editor: Timuthy Ey Maharani
Discussion about this post