“Kami harus melakukan pemblokiran, pembatasan terhadap konten-konten yang membahayakan negara, termasuk konten hoaks di dalamnya,” kata Fernandus Setu, Pelaksana Tugas Kabiro Humas Kemenkominfo.
Kisruh pemblokiran akses internet di daerah Papua oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi media massa. Pemblokiran tersebut didasari atas dalih menjaga kondusifitas. Terdapat dugaan bahwa banyak beredar berita-berita yang memuat SARA, hoax, maupun menebar kebencian (BBC Indonesia, 2019). Pemblokiran akses juga pernah dilakukan sebelumnya pada 21 dan 22 Mei lalu ketika terjadi kerusuhan di depan Bawaslu dengan alasan serupa. Adapun, kisruh muncul akibat ketiadaan informasi sentral terlebih dahulu atau koordinasi dengan masyarakat. Alhasil, pemblokiran ini tidak hanya merestriksi akses penyebaran hoax maupun berita SARA, tetapi juga merestriksi akses penyebaran informasi terhadap kegiatan dalam masyarakat luas. Hal ini sangatlah bertentangan dengan narasi reformasi dalam mendukung kebebasan berekspresi.
Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan dalam penetapan kebijakan terkait dengan penyebarluasan Informasi melalui media massa. Kondisi masyarakat dalam menghadapi hal tersebut juga turut mengalami perubahan. Dinamika yang diawali dari keterbatasan pers hingga akhirnya kebebasan pers disambut hangat terutama dalam dunia jurnalistik, penggagas media massa, maupun pembaca yaitu masyarakat sendiri. Namun, kondisi terkini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih belum mampu beradaptasi dengan adanya perubahan kondisi tersebut. Contohnya, keberagaman informasi yang diterima masyarakat tanpa mengetahui kebenarannya membuat segelintir masyarakat Indonesia mudah percaya dengan berita hoax.
Menurut Laras Sekarsih, dosen Psikologi Media Universitas Indonesia, banyak masyarakat mempercayai hoax karena dua hal. Pertama, heterogenitas berita memungkinkan orang memilah sesuai dengan pandangannya. Kedua, anonimitas dari penyebar berita itu sendiri. Berita hoax yang tersebar umumnya diawali dengan kalimat “sekadar share dari grup sebelah…”, sehingga membuat penyebar merasa tidak menanggung beban atas kebenaran informasi (Respati, 2017).
Hal tersebut sangatlah problematis, mengingat media massa memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi serta membangun persepsi (worldview) masyarakat. Berkat media massa, informasi penting dapat tersebar hingga seluruh pelosok negeri. Contohnya, berita mengenai kemerdekaan yang tersebar ke seluruh daerah nusantara menjadi tonggak kesadaran akan rasa persatuan. Hal ini mencerminkan pentingnya ketersampaian informasi sebagai aspek penting dalam membangun persatuan persepsi (Kartodirdjo, 1993). Dengan adanya kebebasan pers, informasi yang dihasilkan cenderung bersifat majemuk dan sulit dalam melakukan penilaian objektif terhadap informasi-informasi tersebut. Hal yang akan kami garis bawahi dalam tulisan ini adalah dampak perubahan rezim pemerintah (Orde Baru dan Reformasi) terhadap perubahan kebijakan media massa sebagai penyebaran informasi dan implikasinya terhadap persepsi masyarakat.
Absolutisme Media Informasi pada Zaman Orde Baru
Pada masa Orde Baru, media dikontrol oleh pemerintah melalui ketatnya persyaratan mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), serta melalui pengawasan Departemen Penerangan, Badan Koordinasi Stabilitas Nasional, Badan Koordinasi Intelijen Negara, Sekretariat Negara dan lainnya sesuai dengan Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) 01/1984 pasal 33h. Pasal tersebut menyerukan untuk media massa yang bebas dan bertanggung jawab. Namun, kebebasan yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah kebebasan pemerintah dalam mengatur aktivitas media massa dalam tema, materi, arah substansi, dan corak ketimbang dalam kebebasan pengelolaannya maupun konsumennya. SIUPP juga dibentuk dengan fungsi penertiban. Salah satu kasus pembredelan terjadi pada 21 Juni 1994 terhadap penerbitan Tempo, Detik dan juga Editor (Dwi, 2000). Terlebih, pemerintah menerapkan berbagai praktik koersif, seperti telepon yang ditujukan kepada redaksi yang berisi imbauan untuk memuat atau tidak memuat berita yang bersinggungan dengan elit politik (Dwi, 2000). Oleh karena itu, pemerintah memegang kendali total atas berita yang mengalir di ruang publik setiap harinya.
Kuasa penuh pemerintah Orde Baru kepada media membentuk persepsi informasi yang bersifat absolut, dimana tidak ada media yang mampu memberitakan selain yang telah diizinkan. Contoh salah satu propaganda yang disebarkan melalui jaringan media saat Orde Baru ialah “Dua Anak Cukup”, yang merupakan slogan pemerintah dalam rangka program Keluarga Berencana Nasional (Lusy S. Mize, 2006:20-21). Slogan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah orde baru untuk menekan angka kelahiran, sekaligus menggambarkan citra “keluarga ideal” di tengah masyarakat modern. Dengan keluarga berencana, kita akan mendapatkan keluarga yang sehat, sejahtera baik jasmani, rohani maupun sosial.”(Mize, 2006).
Kebijakan kuasa penuh media massa pada masa Orde Baru tersebut tentu menciptakan monopoli citra dan arus informasi oleh penguasa, serta membentuk takaran baku untuk kebenaran (measurement of truth) di tengah masyarakat. Takaran baku yang termaktub dalam segala macam informasi yang dikeluarkan oleh media massa saat itu mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap keabsahan media massa. Menurut katadata (dilansir dari Elenwen), saat ini Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang mempercayai keabsahan media massa dalam angka 68%. Kondisi ini mencerminkan mudahnya masyarakat untuk membaca dan menerima informasi yang disampaikan dalam berita oleh media massa. Padahal, media massa bisa saja mendistraksi masyarakat dari fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. Hal ini sejalan dengan narasi simulacra yang menunjukkan bahwa sumber sekunder suatu fakta yang telah diromantisasi, akan lebih menarik ketimbang kejadian langsung yang terjadi di lapangan (Baudrilliard, 1981). Masyarakat lebih tertarik untuk mengobservasi informasi yang telah diromantisasi oleh media ketimbang mengobservasinya secara langsung di lapangan.
Dampak kemajemukan informasi hari ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru. Kuasa penuh terhadap arus informasi publik akan membangun konsep “benar dan salah” yang absolut dalam kepala masyarakat. Konstruksi narasi yang dibangun media saat itu menjadi “pagar” atas kebenaran dari kejadian apapun, sehingga budaya media saat orde baru menjadi ukuran baku akan kebenaran suatu realitas.
Kebijakan Media Informasi Era Reformasi dan Perkembangan Teknologi
Reformasi telah membuka gerbang kebebasan pers. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers nasional (Dwi, 2000). Selain itu, pemerintahan Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan (Aprianto, 2016).
Keberanian pers dalam mengkritik pemerintah menjadi lazim dan tidak terbebani. Dengan ini, lahirlah kebebasan berekspresi yang nyata di Indonesia, ditandai oleh fenomena kemunculan berbagai media baru. Mulai dari media massa hingga media sosial yang turut menjadi medium penyebaran informasi. Akibat yang ditimbulkan dari kebebasan berekspresi ialah keberagaman dalam penyampaian informasi, dimana media massa kini tidak terkekang oleh kepentingan pemerintah dan pers memiliki keleluasaan dalam menentukan substansi produk jurnalistik. Hal ini menunjukkan suatu aksi demokratis, namun di lain sisi dapat menimbulkan bermacam permasalahan, diantaranya adalah mudahnya penyebaran berita hoax (tidak mengandung fakta/kebenaran informasi), banyaknya perbedaan dalam penyampaian informasi, dan yang terakhir adalah menimbulkan bias konfirmasi.
Salah satu dampak dari wujud kebebasan pers adalah bebasnya industri media massa menyebarkan informasi sesuai dengan kepentingannya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan ketika pemerintah pada masa orde baru mengambil kekuasaan dalam media massa, yaitu membelokkan pandangan masyarakat melalui media massa sehingga sesuai dengan agenda kepentingan mereka. Hal itu menimbulkan perbedaan penyajian yang mendorong ketidakpercayaan masyarakat terhadap media massa.
Demokratisasi media bukan hanya hasil tunggal dari proses reformasi, melainkan juga hasil dari kemajuan teknologi hingga hari ini. Perubahan teknologi turut mengubah cara pandang dan perilaku sosial-masyarakat. Pergeseran cara penyebaran informasi dari media cetak ke media digital tentu mengubah pola masyarakat dalam menerima informasi. Penyebaran informasi melalui media digital relatif lebih cepat daripada media cetak, tetapi belum tentu diiringi dengan realitas yang terjadi di lapangan (Heryanto, 2008). Penyebaran informasi yang cepat memungkinkan disisipi subjektivitas penyebar berita dan ditafsirkan dengan perspektif lain oleh pembaca. Hal ini memungkinkan pembaca untuk menyebarkan informasi melalui penafsiran berbeda.
Postmodernisme, Bias Konfirmasi, dan Polarisasi Masyarakat
Kemajemukan informasi pada era reformasi merefleksikan realitas sosial postmodern, dimana kebenaran bersifat relatif, sehingga tidak ada takaran baku atas realita objektif. Sulit menjelaskan pengertian postmodernisme dengan baku. Namun, kami mencoba memaparkan ciri postmodernisme sesuai pada konsensus para filsuf postmodern.
Postmodernisme mengenal adanya eklektik atau sifat pemilih yang cenderung menginginkan yang terbaik (Wijayati et.al., 2019). Istilah Postmodernisme lekat hubungannya dengan istilah modernisme, dimana akhir dari era “modern” ditandai dengan kelahiran postmodernisme sebagai kritik atas realitas pada era modernisme. Era modernisme memungkinkan ilmu pengetahuan mampu dicapai melalui penelitian logis berdasarkan rasionalisme dan penyajian bukti-bukti empiris. Bersebrangan dengan itu, postmodernisme memiliki keengganan untuk menerima metodologi modernis dan lebih menerima anggapan bahwa kebenaran dibangun oleh masing-masing individu yang dipengaruhi lingkungan sosialnya. Cara mendapatkan atau menakar suatu kebenaran dalam tataran modernisme menjadi inti kritik dari postmodernisme.
Postmodernisme menegaskan bahwa manusia sesungguhnya tidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar. Manusia hanya dapat mengakses sebuah versi dari realita, bukan kebenaran mutlak dan bukan secara keseluruhan (Wijayati et.al., 2019). Kehadiran media sebagai sarana arus informasi publik serta pembangun citra dapat dipandang sebagai realitas hari ini. Dengan kemajemukan berita yang dihadirkan dalam ruang publik, media telah menghilangkan measurement of truth yang berada di tengah masyarakat.
Postmodernisme dalam media massa terutama sebagai pemberi informasi kepada masyarakat digaungkan oleh Jean Baudrilliard pada karyanya Simulacra and Simulation. Baudrilliard menjelaskan bahwa gambar dan simbol menjadi pembentuk realitas sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, media informasi menjadi salah satu komponen penting dalam pembentukan realitas sosial. Keberadaan peristiwa yang disorot media massa selain bencana alam seperti, perang antarnegara, kemiskinan, protes unjuk rasa, hingga kericuhan memiliki peluang untuk direkayasa. Perekayasaan peristiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh kuasa media massa, dalam hal ini merajuk pada penerbit pers yang menentukan bagaimana informasi akan disajikan kepada masyarakat. Hal ini memungkinkan terjadinya penyimpangan kebenaran informasi, sehingga setiap anggota masyarakat akan memiliki persepsi yang diarahkan sesuai dengan media yang ia konsumsi.
Pada masa Orde Baru, pemerintah melalui media penyiaran televisi menayangkan film dokumenter yang bercerita tentang kekejaman peristiwa “pembantaian” oleh Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965 (G30S PKI). Media saat itu berupaya untuk membingkai peristiwa G30SPKI tanpa berupaya untuk menceritakan suatu hal yang sebenarnya terjadi di lapangan (Heryanto, 2008). Dengan lazimnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap media massa saat itu, film tersebut berhasil membangun persepsi negatif terhadap PKI, serta mendorong minat masyarakat untuk lebih mempercayai rekayasa dari peristiwa tanpa mengalaminya secara langsung. Realitas yang terbentuk pada akhirnya menyatakan bahwa PKI merupakan musuh dari masyarakat yang perlu ditumpas.
(Sumber : https://nasional.tempo.co/read/910003/6-fakta-tentang-film-g-30-s-pki-yang-wajib-diketahui)
Dengan deregulasi kebijakan-kebijakan media, informasi yang sebelumnya bersifat absolut kelak menjadi relatif. Tidak ada takaran baku atas kebenaran inheren informasi dalam media massa. Relativitas kebenaran informasi dalam media massa ini meruntuhkan konsensus masyarakat umum, dimana mereka tidak dapat memilah informasi maupun menentukan kebenaran dari informasi yang diberikan melalui saluran media massa.
Heterogenitas nilai, budaya, hingga norma yang ada pada masyarakat di berbagai daerah, akan menjadi komponen-komponen penting dalam penilaian masyarakat untuk menentukan kebenaran dalam media massa. Masyarakat akan menerima keabsahan suatu informasi baik secara penuh maupun parsial tergantung dari seberapa menyentuhnya kebenaran tersebut dengan nilai yang mereka anut. Hal itu menyebabkan peluang terjadinya bias konfirmasi semakin tinggi, dimana masyarakat akan menerima suatu kebenaran dari informasi yang telah direka oleh media massa. Misalkan pada ranah politik, masyarakat yang mendukung salah satu kubu partai politik akan lebih menerima informasi yang menerangkan kebaikan dari kandidat partai maupun partai tersebut secara umumnya. Contoh nyata di Indonesia terjadi saat stasiun televisi TV ONE memenangkan Prabowo dalam Pilpres 2014 padahal hasil akhir dari keputusan KPU tidak mendukung kebenaran tersebut.
Bias konfirmasi tersebut menimbulkan permasalahan baru, yakni polarisasi pandangan. Polarisasi pandangan merupakan pemecahan atas berbagai pandangan yang berbeda karena adanya katalis seperti budaya, norma, atau pandangan politik. Polarisasi dalam pandangan itu akan menyulitkan pembentukan norma baru dan konsensus dalam masyarakat. Relativitas dalam kebenaran informasi ini serupa dalam skema perkembangan postmodernisme yang salah satu bagiannya, yaitu fenomena post-truth yang menggambarkan bagaimana tiap individu memiliki kebenaran tersendiri menurut pandangan masing-masing, konsumsi informasi yang dialaminya membentuk kepribadian dan falsafah hidup dari individu terkait. Fenomena ini dikembangkan menjadi konsep yang dinamakan echo chamber. Echo chamber merupakan suatu terminologi yang menjelaskan tentang ruangan-ruangan yang membatasi tiap individu atas kepercayaan mereka terhadap informasi (Barbera, 2015). Ruangan-ruangan ini terbentuk atas heterogenitas dari pandangan tersebut yang terjadi akibat bias konfirmasi.
Namun, realitas sosial yang relatif sesuai dengan metanarasi postmodernisme telah menimbulkan adanya kejutan sosial masyarakat terutama bagi golongan konservatif yang belum beradaptasi secara penuh terhadap kondisi saat ini. Golongan tersebut merupakan golongan yang mudah mempercayai segala macam informasinya yang secara langsung didapat ketimbang menilik lebih dalam informasi tersebut sehingga berita hoaks menjadi suatu hal yang prevalen (Gerintya, 2018). Tidak dapat dipungkiri bahwa absolutisme informasi pada masa orde baru yang berlangsung selama 32 tahun telah melekat menjadi landasan fundamental nilai masyarakat dan sulit untuk dihilangkan. Pada akhirnya, resistensi terhadap kemajemukan informasi yang disiarkan oleh media massa tidak dapat dihindarkan.
Kebijakan Pemerintah saat 21 Mei dan Akses Internet Papua
Kebijakan pemerintah dalam mengontrol arus informasi di masyarakat pada beberapa waktu lalu dinilai sebagai upaya pengembalian kebijakanmedia massa ke zaman orba. Melihat gentingnya situasi yang ada, pemerintah menilai perlu mengambil alih arus informasi publik. Penilaian pemerintah untuk mengambil alih tentu menimbulkan berbagai tafsiran yang berbeda pula. Seakan pemerintah hanya ingin meredam suasana yang genting tanpa menyelesaikan masalah yang benar-benar terjadi. Langkah pemblokiran yang dilakukan dianggap tanpa dasar yang cukup kuat (menimbun hoax) dan kali ini seluruh akses internet diblokir yang menyulitkan akses komunikasi dan menghentikan beberapa aktivitas bisnis (BBC, 2019).
Bentuk intervensi pemerintah dalam upaya kontrol arus informasi ialah menyampaikan konfirmasi tunggal kebenaran berita melalui platform “Cek Fakta Kominfo”. Sebuah platform dalam media sosial Kemkominfo untuk mengonfirmasi kebenaran suatu berita dengan memberi cap “hoax” kepada berita-berita yang dinilai bohong. Hal ini mirip dengan tugas Departemen Penerangan saat Orde Baru mengonfirmasi kebenaran lewat berita resmi yang dihasilkan oleh pemerintah. Namun hal ini berpotensi melahirkan kembali budaya absolutisme informasi seperti saat Orde Baru.
Contoh Berita dengan Stamp Cek Fakta Kominfo
(Sumber:https://www.kominfo.go.id/content/detail/20996/hoaks-pria-saudi-membeli-2-pesawat-airbus-a350-untuk-kado-ulang-tahun-anaknya/0/laporan_isu_hoaks)
Konfirmasi tunggal yang dihasilkan menjadi dasar masyarakat dalam menilai kebenaran informasi yang diterima. Sayangnya platform “Cek Fakta Kominfo” berpotensi memberikan akses untuk mendukung narasi yang hanya ‘diinginkan’ pemerintah. Dilansir dari tirto.id dengan Yovanta Arief Mulki Hadi, peneliti media sekaligus Direktur Eksekutif Remotivi, menilai tidak masalah atas keterlibatan pemerintah dalam menguji fakta dan hoax. Namun, menjadi masalah ketika pemerintah menafikan fakta berbeda dari temuannya. Yovanta juga menilai “cek fakta” mempertontonkan bagaimana pemerintah mendelegitimasi fakta yang sebenarnya terjadi, sebab polisi kerap menjadi pengendali informasi tunggal atas peristiwa yang terjadi disana. (Alaidrus, 2019)
Narasi kontrol pemerintah atas dasar meredam suasana yang genting bersifat dilematis, terkait dengan prinsip kebebasan media itu sendiri. Di satu sisi masyarakat perlu mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi, di sisi lain arus informasi yang simpang siur dapat memantik gerakan-gerakan subversif. Hal ini menjadi dilema ketika pemerintah menjadikan platform “Cek Fakta Kominfo” menjadi corong tunggal kebenaran informasi.
Kesimpulan
Dinamika kebijakan yang telah terjadi pada media massa di Indonesia melalui perubahan rezim orde baru menuju reformasi telah membuahkan realitas sosial baru, dimana peredaran informasi lebih heterogen dan bebas. Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan posmodernisme kebenaran dan moral yang bersifat relatif terbentuk dari simbol maupun gambar turut mengalami kemajemukan (Baudrilliard, 1981). Dalam lanskap media massa yang bebas, permasalahan baru muncul di permukaan, yakni bias konfirmasi pada masyarakat yang kewalahan dengan aliran air bah informasi tiada henti. Akibatnya, timbul polarisasi masyarakat dan pembentukan echo chamber.
Kondisi yang terjadi merefleksikan bagaimana masyarakat masih memiliki kepercayaan terhadap berita hoax, yang dimunculkan akibat masih kuatnya hegemoni orde baru yang menjunjung tinggi absolutisme informasi dalam media massa. Perbedaannya adalah kepercayaan terhadap informasi yang pada mulanya memiliki satu kesatuan dalam orde baru akan berubah menjadi kepercayaan terhadap informasi yang dinahkodai atas nilai atau budaya yang mereka anut. Penerimaan informasi tanpa seleksi tersebut menunjukkan bahwa realitas sosial masyarakat menunjukan ketidaksiapan mereka dalam menghadapi arus dinamika media informasi tersebut dan pemikiran posmodernisme yang mempercayai bahwa kebenaran menjadi sesuatu yang relatif belum sepenuhnya termaktub dalam konsensus masyarakat.
Hasil dari demokratisasi media membawa pemerintah untuk mengontrol kembali arus informasi publik. Seakan kebebasan yang diperjuangkan saat reformasi terlalu ‘liar’ untuk dibiarkan bebas. Sehingga perlu dipertanyakan kembali seberapa ‘bebas’ demokrasi yang kita impikan?
Referensi:
Blokir internet di Papua disebut tanpa dasar hukum, pegiat hak digital akan gugat pemerintah ke pengadilan. (2019). Retrieved 4 September 2019, from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49435057
Respati, Sheila (2017), “Mengapa Banyak Orang Percaya Hoax?” [online] Kompas.com, available at: https://nasional.kompas.com/read/2017/01/23/18181951/mengapa.banyak.orang.mudah.percaya.berita.hoax.?page=all [accessed by 27 June 2019]
Dwi N., Susilastuti (2000), “Kebebasan Pers Pasca Orde Baru”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Vol.4 No.2 , Yogyakarta
Martini, Rina (2014), “Analisis Peran dan Fungsi Pers Sebelum dan Sesudah Reformasi Politik di Indonesia”, Jurnal Ilmu Sosial Vol.13 No.2 Agustus 2014 1-9, Semarang, available at: https://media.neliti.com/media/publications/101204-ID-analisis-peran-dan-fungsi-pers-sebelum-d.pdf [accessed by 26 June 2019]
Laporan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Tahun 1999:7
Aprianto, Epran (2016), “Peran Abdurrahman Wahid dalam Politik di Indonesia (1999-2001)”, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Indonesia ,Intelektualita, Vol.5 No.2, Palembang, available online at http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intelektualita [accessed 27 June 2019]
Hadi, Dwi Wahyono; Kasuma, Gayung (2012); “Propaganda Orde Baru 1966-1980”, Universitas Airlangga, Surabaya, available online at www.journal.unair.ac.id/filerPDF/4_jurnal%20propaganda_dwiwahyonohadi.pdf
Baudrilliard, Jean. (1981). Simulacres et Simulation. Paris: Éditions Galilée
Mize, Lucy S. dkk. 2006. 35 Years Commitment To Family Planning In Indonesia: BKKBN and USAID’s Historic Partnership. Bloomberg: John Hopkins Bloomberg School of Public Health Center for Communication
Alaidrus, Fadiyah (2019), “Sebut hoaks tapi keliru, Cek Fakta Kominfo ‘Mirip Deppen Orba’”, tirto.id, available online at https://tirto.id/sebut-hoaks-tapi-keliru-cek-fakta-kominfo-mirip-deppen-orba-egKs [accessed 04 August 2019]
Rafika D, Holly (2015), “Orde Baru dan Pembentukkan Keluarga”, IndoProgress, LKIP Edisi 28, available online at https://indoprogress.com/2015/08/orde-baru-dan-pembentukan-keluarga/
Barberá, Pablo, et al. “Tweeting from left to right: Is online political communication more than an echo chamber?.” Psychological science 26.10 (2015): 1531-1542.
Turiman (2015), “Metode Semiotika Hukum Jacques Derrida Membongkar Gambar Lambang Negara Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, (44), (2): 308-339
Wijayati, Hasna; R, Indriyana (2019), Postmodernisme: Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20,Yogyakarta: Sociality
Kontributor: M. Daffa Nurfauzan
Editor: Miftah Rasheed Amir
Ilustrator: Dhea Monica
Kajian Online adalah program kerja rutin Divisi Kajian B.O. Economica berupa tulisan argumentatif berlandaskan keilmuan yang mengangkat dan menanggapi fenomena sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi dengan tajam, komprehensif dari sebuah sudut pandang.
Discussion about this post