Baru-baru ini, Facebook kembali mengejutkan publik denganskandal baru melalui aplikasi terbaru mereka, Facebook Research. Aplikasi ini meminta penggunanya yang berusia 13 hingga 35 tahun untuk memberikan akses terhadap seluruh aktivitas di gadget mereka seperti histori pencarian, isi pesan pribadi (teks dan gambar), hingga screenshotorder pengguna di Amazon. Seluruh informasi ini diberikan kepada Facebook dengan bayaran berupa gift cardsebesar US$20 per bulan. Dalam konfirmasinya kepada TechCrunch, Facebook menyatakan bahwa aplikasi ini ditujukan untuk mengumpulkan informasi terkait kebiasaan pengguna.[1]Dengan data sebanyak itu, beberapa pengguna mengaku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bagi mereka, praktik tersebut tergolong lumrah dengan menimbang bahwa penyedia layanan lain seperti Amazontelah sejak lama melakukan hal yang sama dan tanpa imbalan uang sama sekali.[2]
Realita ini membawa kita kepada pertanyaan baru yang hendak dijawab pada Diskusi Kayu Putihminggu lalu. Sejauh apa pihak lain memiliki akses terhadap informasi pribadi kita? Berapa nilai dari data? Adakah regulasi yang secara khusus mengatur mengenai permasalahan ini? Pada 26 April 2019, Diskusi Kayu Putih diadakan dengan tema “In Search of Comfort: The Price of Privacy” untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dari perspektif partisipan dan publik.
Data Pribadi vs Data Publik
Di Indonesia, undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 1 ayat 22 menyatakan bahwa “Data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya”. Hal ini berarti, secara legal, tidak ada definisi yang secara konkret mengatur perbedaan antara data pribadi dan data publik. Meskipun terkesan tidak memberikan kepastian dan perbedaan yang jelas, peraturan ini sesungguhnya cukup akomodatif, menimbang bahwa setiap orang memiliki standar tersendiri mengenai penggolongan informasi privat dan publik. Nomor telepon dan alamat kantor bisa saja menjadi informasi yang bersifat sangat privat bagi beberapa orang. Akan tetapi, untuk orang-orang tertentu seperti anggota legislatif, informasi seperti yang telah disebutkan justru menjadi suatu hal yang harus diketahui masyarakat luas.
Salah satu poin menarik dari pasal tersebut adalah pernyataan bahwa data pribadi adalah data perseorangan tertentu. Artinya, suatu informasi akan dianggap sebagai data pribadi apabila dapat merujuk ke orang tertentu. Jika data yang tersedia tidak merujuk pada individu tertentu, maka data tersebut termasuk dalam data mentah yang tidak memiliki kewajiban untuk dilindungi.
Dalam diskusi yang dilaksanakan, tidak ditemukan suatu titik pasti dimana data pribadi dapat secara mutlak disebut data pribadi, dan sebaliknya. Setiap usaha dalam diskusi tersebut untuk menentukan data yang termasuk pribadi secara universal tidak menemukan titik konsensus. Hal ini mendukung bahwa privasi, dalam konteks ini data pribadi dan data publik, adalah sesuatu yang bersifat subjektif. Penetapan untuk posisi data pribadi dalam hukum dan proses legal secara umum berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh setiap pihak yang terlibat (terms & conditions).
Harga Mahal Kenyamanan
Contoh dari pemanfaatan data mentah adalah personalisasi media sosial. Aplikasi seperti Instagrammemiliki halaman ‘explore’ berisi akun maupun postingan yang diperkirakan sesuai dengan minat penggunanya. Rekomendasi ini disusun berdasarkan riwayat pencarian akun maupun jenis konten yang disukai atau dilihat berulang kali. Sebagai ilustrasi, Instagrammelalui algoritmanya, menyediakan halaman exploreuntuk setiap penggunanya agar dapat menemukan konten-konten yang terkait dengan ketertarikan setiap pengguna.[3]Dengan cara ini, Instagram menyelekesi dari rata-rata 70 juta foto yang diunggah menjadi beberapa foto yang paling sesuai dengan ketertarikan pengguna sesuai dengan aktivitas pengguna pada Instagram dan menjamin pengalaman pengguna menjadi sebaik mungkin yang ditentukan oleh algoritma tersebut.
Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, berapa harga yang seharusnya dibayar untuk kemudahan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat melihat kembali kasus Cambridge Analyticayang sempat heboh beberapa waktu lalu. Sederhananya, Facebook mengizinkan pihak ketiga untuk membuat aplikasi yang dapat mengumpulkan informasi pengguna. Celah ini digunakan oleh pihak Cambridge Analyticayang kemudian berhasil mendapatkan data dari 87 juta akun Facebook.Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan, pengguna yang dinilai sesuai dengan profil klien Cambridge Analyticaakan diarahkan kepada kampanye-kampanye yang bias dan subjektif.[4]Isu ini telah dibicarakan dalam diskusi, bahwa seleksi informasi justru menjadi bumerang bagi pengguna karena mereka terbiasa memandang suatu isu hanya dari satu sisi. Fenomena ini memperburuk bias yang dimiliki manusia dalam suatu isu sehingga penilaian masyarakat tidak berimbang dan bias. Jika tidak didukung dengan budaya berpikir kritis dalam masyarakat, hal ini dapat menyebabkan terancamnya pemikiran terbuka dalam pemikiran dan pilihan politik dengan setiap pendukung suatu parpol/ideologi merasa paling benar dengan afirmasi dari informasi bias yang mereka terima. Pada titik ini, tak jarang tindakan ekstrim dilakukan atas dasar keyakinan politik yang bias, seperti demonstrasi ‘Not My President’, padahal Trump telah terpilih pada pemilu yang sah.[5]
Selain permasalahan personalisasi yang justru menghilangkan objektivitas pengguna, pemberian akses terhadap informasi pribadi kita juga dapat memberikan yang efek yang kurang menguntungkan. Orbitz Worldwide Inc., penyedia jasa online travel, mengaku bahwa mereka memasang harga yang lebih mahal kepada calon pelanggan yang mengakseslayanan mereka melalui Mac.[6]Hal ini diterapkan dengan dasar asumsi diskriminasi bahwa pemilik Mac pada umumnya memiliki kemampuan finansial yang lebih baik, sehingga mereka dapat membeli tiket yang lebih mahal.
Dalam diskusi, partisipan pada umumnya setuju dengan adanya diskriminasi ini. Diskriminasi ini bukan suatu isu yang mengkhawatirkan, karena walaupun komoditas yang ditawarkan sama, diskriminasi yang ada akan menuju kesempurnaan pasar. Pada keadaan optimal, dimana informasi yang didapatkan oleh perusahaan sudah cukup untuk sesuai kenyataan, setiap pembeli akan membayar sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini dapat menguntungkan setiap pihak, dimana pembeli yang lebih mampu membayar lebih mahal sesuai dengan keinginan untuk membayarnya dan pembeli yang kurang mampu dapat diberikan harga yang seminimal mungkin selama tidak merugikan perusahaan. Secara teori, praktik ini justru dapat mengurangi dead weight loss seminimal mungkin, dimana semua pembeli potensial yang memiliki kemampuan membayar dapat melakukan transaksi, kecuali mereka yang hanya mampu membeli di bawah biaya produksi atau justru menciptakan kerugian bagi perusahaan sehingga manfaat dari barang tersebut dapat dirasakan oleh sebanyak mungkin konsumen.
Regulasi
Menyusul diberlakukannya Consumer Privacy Act di negara bagian California, Amerika Serikat dan General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa, Indonesia saat ini sedang menggodok Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi yang tengah menjadi program legislasi nasional di DPR. Regulasi baru ini diharapkan menciptakan keseimbangan antara manfaat dan resiko dari penggunaan data pribadi.
Sepintas, tujuan tersebut baik dan bermaksud untuk kepentingan publik. Hanya saja, yang menjadi poin kritik adalah, apakah masyarakat Indonesia telah memiliki kesadaran untuk menjaga data pribadi mereka sendiri? Berapa banyak orang yang dengan ceroboh membagikan informasi mereka di media sosial? Peraturan yang terlalu banyak dan eksesif, dibarengi dengan kurangnya respon dari pengguna itu sendiri, bisa jadi malah menjadi beban bagi dunia usaha maupun inhibitor dari inovasi.
Dalam diskusi, tidak ada yang merasa bahwa regulasi akan berpengaruh banyak terhadap keadaan privasi informasi. Privasi adalah hak, sehingga yang mampu menentukan penyerahan hak tersebut adalah pemilik hak. Selama pemilik hak tidak menggunakan dan menjaga hak tersebut dengan baik dan tidak ceroboh, regulasi apapun tidak akan merubah keadaan privasi data manusia. Namun bukan berarti regulasi yang ada atau sedang dalam rancangan dicabut atau dibatalkan. Regulasi tetap penting sebagai landasan hukum pembeda antara data publik dan data pribadi. Landasan hukum tersebut juga sebagai dasar dari pergerakan negara untuk melindungi warganya atas pelanggaran privasi sesuai kebutuhan. Walaupun dikotomi data pribadi dan data publik subjektif, namun negara tetap berkewajiban melindungi hak-hak warga negaranya.
Kesimpulan
Perlindungan terhadap data privasi adalah hak dari setiap manusia, tetapi tidak banyak yang sadar akan pentingnya hal tersebut. Seringkali, persyaratan dan ketentuan yang kita setujui di awal penggunaan aplikasi hanya menjadi sekadar formalitas semata. Salah satu permasalahan utama dari sulitnya perlindungan data pribadi adalah kecerobohan dari pemilik hak sendiri, dimana masyarakat membagikan data-data yang bersifat sensitif kepada publik atau pihak yang tidak terjamin kepercayaannya. Regulasi hanya akan menjadi formalitas dan tidak berpengaruh. Masyarakat perlu mendapat edukasi lebih lanjut mengenai pentingnya privasi dan agar dapat menimbang manfaat dan resiko dari penggunaan data secara lebih baik.
[1]Constine, J. (2019, January 29). Facebook Pays Teens to Install VPN that Spies on Them.Retrieved from https://techcrunch.com/2019/01/29/facebook-project-atlas/
[2]Palus, S. (2019, January 31). Facebook Paid People $20 a Month for Access to All Their Digital Activity. Why Did They Sign Up?. Retrieved from https://slate.com/technology/2019/01/facebook-research-vpn-app-teens-paid-data-collection-project-atlas.html
[3]Marr, B. (2018, March 16). The Amazing Ways Instagram Uses Big Data and Artificial Intelligence. Retrieved from https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2018/03/16/the-amazing-ways-instagram-uses-big-data-and-artificial-intelligence/#32f78e45ca63
[4]Chang, A. (2018, May 2). The Facebook and Cambridge Analytica Scandal. Retrieved from https://www.vox.com/policy-and-politics/2018/3/23/17151916/facebook-cambridge-analytica-trump-diagram
[5]Associated Press. (2017, February 20). Demonstrators Come Together in New York for ‘Not My President Day’ Rally Against President Donald Trump. Retrieved fromhttps://www.telegraph.co.uk/news/2017/02/20/demonstrators-come-together-new-york-not-president-day-rally/
[6]Mattioli, D. (2012, August 23). On Orbitz, Mac Users Steered to Pricier Hotels.Retrieved from https://www.wsj.com/articles/SB10001424052702304458604577488822667325882
Kontributor: Adela Pravita, Rama Vandika
Editor: Miftah Rasheed Amir
Desain: Priskila Teresa
Diskusi Kayu Putih adalah diskusi rutin antarmahasiswa yang digawangi oleh Divisi Kajian BO Economica untuk membahas berbagai isu agar mendapatkan pencerahan bersama.
Discussion about this post