“…Kalau Anda, meskipun sebenarnya dapat, tetapi Anda memilih untuk tak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga kemungkinan: Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang pyscho-freak.” -Franz Magnis-Suseno, Golput (Kompas, 12 Maret 2019)
Opini Franz Magnis-Suseno (Romo Magnis) tentang golongan putih (golput) terus menggulirkan bola salju perdebatan golput. Golput memang menjadi fenomena yang tak kunjung henti untuk dibahas sejak Pemilhan Umum (Pemilu) 1971 [1]. Pada awalnya, golput lahir sebagai gerakan atas muaknya mahasiswa terhadap 10 partai politik dan Golongan Karya (Golkar) yang bertanding di Pemilu 1971. Salah satu tokoh sentral golput saat itu adalah Arief Budiman, Imam Walujo, dan Asmara Nababan.
Lebih lanjut, di era Orde Baru, golput merupakan sarana bersuara bagi rakyat yang jemu atas demokrasi semu yang diterapkan Orde Baru. Tersumbatnya saluran rakyat bersuara disebabkan oleh fusi partai yang membuat partai kontestan Pemilu menjadi hanya dua partai saja, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)[2], beserta Golkar. Puncaknya, tingkat golput mencapai 10,07 persen pada tahun 1997, tahun di mana PDI terpecah menjadi kubu Soerjadi (yang didukung Orde Baru) dengan kubu Megawati Soekarnoputri (yang menjadi Ketua Umum PDI setelah Kongres Medan).
Setelah Reformasi, tingkat golput kian hari kian meningkat. Pada Pemilu 1999, Pemilu bebas pertama setelah Orde Baru, tingkat golput tercatat sebesar 10,40 persen. Padahal, terdapat 48 partai yang bertanding dalam Pemilu 1999, jauh lebih banyak jika dibandingkan Pemilu Orde Baru. Bahkan, tingkat golput meningkat sejak Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, Pileg dan Pilpres 2009, hingga Pileg dan Pilpres 2014 berturut-turut menjadi 15,9 dan 23,4 persen, 29,1 dan 28,3 persen, 24,89 dan 30 persen.
Konsekuensi Hukum Golput
Indonesia sendiri memandang “tidak memilih” sebagai hak, bukan pengingkaran kewajiban. Pasal 22E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali. “Bebas” dalam asas Pemilu yang tercantum dalam Pasal 22E UUD 1945 dapat diartikan bahwa memilih merupakan “hak” yang bebas untuk ditunaikan maupun tidak ditunaikan.
Selain itu, Pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Hal ini kembali mengisyaratkan bahwa kebebasan golput telah dijamin oleh konstitusi.
Undang-undang nomor 7 tahun 2017 Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak mewajibkan warga negara Indonesia untuk memilih. Namun, Pasal 515 UU Pemilu melarang kampanye golput dan peserta pemilu menggunakan iming-iming uang. Pasal ini utamanya ditujukan bagi pelaku politik uang, yang biasanya pada hari pencoblosan memberikan “serangan fajar” dalam bentuk sejumlah uang bagi pemilih[3]. Hal ini semakin menegaskan bahwa golput di Indonesia merupakan hak, bukan pelanggaran hukum.
Wacana Golput dalam Pilpres 2019
Golput dalam Pilpres 2019 menjadi isu hangat. Bahkan, isu ini bergulir menjadi bola salju setelah twit aktivis Lini Zurlia yang memuat foto dirinya memegang kertas bertuliskan “Saya Golput” dan gambar tangan tanpa jari ungu (simbol orang tidak memilih) viral. Warganet terbelah dalam menyikapi sikap Lini. Ada yang mendukung, ada yang menolak, bahkan ada pula yang mencaci sikap golput. Lini sendiri beralasan bahwa “…menyadari ada ketidakberesan itu setelah banyaknya janji-janji pemilu, janji-janji politik, yang tidak dijalankan” merupakan alasannya memilih golput[4].
Menilik tulisan Romo Magnis, terdapat 3 label bagi orang yang golput, yakni bodoh, watak benalu, dan psycho-freak. Label “bodoh” diberikan bagi orang yang tidak memilih karena “…tak ada calon yang betul-betul sesuai dengan cita-cita Anda”. Lalu, label “watak benalu” diberikan untuk orang yang bersikap “peduli amat” dengan siapa yang dipilih, tidak bersedia “membuang waktu” untuk memilih, dan hanya memikirkan kariernya sendiri.
Label ketiga, “psycho-freak” atau “mental tidak stabil”, diberikan kepada orang yang tidak mau memilih karena kecewa terhadap kedua calon presiden (capres) yang ada. Jika mengikuti labelingdari Romo Magnis, sikap Lini Zurlia yang terlihat kecewa akan komitmen kedua capres dalam menepati janji-janji politiknya dapat dikategorikan sebagai “psycho-freak”.
Bukan hanya Romo Magnis yang menciptakan kategorisasi golput, melainkan juga Hasanuddin Ali, CEO Alvara Resarch Center. Hasanuddin mengutarakan bahwa terdapat 3 kategori golput, yakni golput teknis, apatis, dan ideologis[5]. Golput teknis terjadi ketika pemilih tidak memilih karena hal-hal teknis. Seperti permasalahan waktu pelaksanaan pencoblosan dan persoalan KTP elektronik. Sedangkan golput apatis terjadi karena pemilih memang tidak peduli dengan ingar-bingar pesta demokrasi.
Lain pula dengan golput ideologis, yangterjadi karena pemilih merasa kedua pasangan calon tidak ada yang sesuai dengan ekspektasinya. Sikap Lini Zurlina tentu saja dapat dimasukkan ke dalam golput ideologis.
Hubungan Presidential Threshold dengan Golput
Permasalahan golput ideologis, terlebih dengan alasan kecewa terhadap kedua capres merupakan kulminasi dari berbagai permasalahan. Namun, ada permasalahan mendasar yang luput dilihat oleh berbagai pihak, yakni presidential threshold.
Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden adalah syarat minimal dukungan pencalonan yang harus dimiliki oleh capres. Sebagai contoh, Presiden Joko Widodo dapat menjadi calon presidenpada tahun 2014 setelah dicalonkan oleh PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat[6]. Gabungan partai politik tersebut meraih total suara sebesar 40,33 persen suara nasional, melebihi presidential threshold sebesar 25 persen suara nasional[7].
Presidential threshold pada Pilpres 2019 diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu (Pileg) dapat mencalonkan pasangan capres dan cawapres jika memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional.
Sekilas, ini merupakan hal yang wajar, apalagi jika kita bandingkan dengan Pilpres sebelumnya. Namun, ini merupakan sebuah komedi yang sangat spektakuler jika kita mengingat bahwa Pilpres dan Pileg 2019 digelar serentak. Atas dasar apa Komisi Pemilihan Umum (KPU) menentukan partai apa yang berhak mencalonkan presiden jika Pileg saja digelar serentak dengan Pilpres?
Ternyata, jawaban dari pertanyaan itu adalah KPU menggunakan hasil Pileg 2014 sebagai dasar pencapresan dalam Pilpres 2019. Lagi-lagi sebuah komedi. Adanya presidential threshold membuat capres akan terkonsentrasi dari partai yang suaranya signifikan. Selain itu, presidential threshold juga menihilkan kesempatan bagi partai kecil ataupun partai baru untuk menawarkan alternatif lain.
Masih segar dalam ingatan kita bahwa bursa pencapresan diramaikan oleh berbagai nama. Selain Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, ada nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Jenderal Gatot Nurmantyo, Gubernur Anies Baswedan, bahkan hingga Muhaimin Iskandar dan Zulkifli Hasan masih diperhitungkan sebagai bakal calon kontestan Pilpres 2019.
Pada Oktober 2015, survei Litbang Kompas mencatat bahwa jika Pilpres 2019 dilakukan saat itu juga, maka ada 29,6 persen responden akan memilih Jokowi, 22,1 persen responden akan memilih Prabowo, 31,8 persen responden akan memilih tokoh lain, dan 16,5 persen responden tidak menjawab akan memilih siapa. Hal yang patut diperhatikan adalah pada awal masa Pemerintahan Jokowi, terdapat potensi 48,3 persen suara nasional yang tidak akan memilih Jokowi atau pun Prabowo. Lalu, apakah hasil survei ini tetap relevan?
2,5 tahun setelah survei tersebut, Litbang Kompas kembali mengadakan survei pada April 2018. Elektabilitas Jokowi meningkat hingga 55,9 persen, sedangkan elektabilitas Prabowo menurun hingga 14,1 persen. Sisanya? 22,1 persen responden akan memilih tokoh lain, sedangkan 7,9 persen responden tidak menjawab. Sekilas, terjadi pengerucutan dukungan kepada Jokowi dan Prabowo. Namun, masih ada suara-suara yang ingin adanya tokoh alternatif pada laga Pilpres 2019.
Lain lagi dengan survei yang diadakan oleh Poltracking pada akhir Januari 2018. Dalam pertanyaan terbuka mengenai capres, 45,4 persen responden menjawab akan memilih Jokowi pada Pilpres 2019, sedangkan Prabowo dipilih oleh 19,8 persen responden. Lalu, ada 5 persen responden yang menjawab secara jelas akan memilih berbagai tokoh alternatif seperti AHY, Gubernur Anies, Gubernur Ridwan Kamil, Wakil Presiden Jusuf Kalla, hingga Jenderal Gatot Nurmantyo dan Zulkifli Hasan. Dan masih ada 29 persen responden yang tidak menjawab pertanyaan. Hal ini lagi-lagi menunjukkan bahwa terdapat suara-suara yang ingin adanya tokoh alternatif pada laga Pilpres 2019.
Namun, apa daya tokoh alternatif tidak dapat mengikuti laga Pilpres 2019 karena tidak memiliki dukungan yang cukup. Lagu lama laga Jokowi melawan Prabowo kembali terulang.
Presiden Jokowi sendiri mendukung adanya presidential threshold. Menurut Jokowi, presidential threshold diperlukan agar Presiden memiliki dukungan yang cukup di parlemen. Lebih lanjut, apabila presidential threshold adalah 0 persen[8], presiden akan sulit mendapatkan dukungan di parlemen.
Alasan tersebut didasari oleh pengalaman Jokowi setelah Pilpres 2014 mengalami kesulitan karena pengusungnya tidak menguasai mayoritas parlemen. Pada Desember 2014, Pemerintahan Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Premium menjadi Rp8.500 per liter dan Solar menjadi Rp7.500 per liter. Kebijakan pemerintah membuat berbagai anggota DPR ingin menggulirkan hak interpelasi terhadap pemerintah. Bahkan, menurut Bambang Soesatyo, anggota Fraksi Partai Golkar, hak interpelasi akan mengarah kepada hak angket[9].
Untungnya, hak interpelasi mengenai kenaikan harga Premium dan Solar tidak pernah terjadi. Bahkan, Pemerintahan Jokowi dapat mengontrol DPR akibat peralihan dukungan PPP, Partai Golkar, dan PAN (yang saat ini kembali menjadi oposisi). Malahan, Bambang Soesatyo, yang awalnya berseberangan dengan pemerintah, menjadi Ketua DPR[10].
Nampaknya, Pemerintah, DPR, dan KPU abai terhadap adagium “kompetisi membawa kompetensi”. Adanya presidential threshold memaksa Indonesia harus menerima ketiadaan calon alternatif, yang membuat minimnya terobosan ide dalam diskursus Pilpres 2019. Jokowi dan Prabowo seakan terlena dengan lagu lama yang mereka telah bawakan sejak 2014. Jokowi masih terpaku pada ideologi pembangunan yang ia junjung dan Prabowo masih memegang teguh dikotomi “Indonesia vs asing”.
Ditambah lagi dengan kekecewaan masyarakat terhadap janji Jokowi yang tidak terpenuhi seperti penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu[11], pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen[12], dan pengangkatan Jaksa Agung yang terbebas dari kepentingan partai[13]. Tetapi, Prabowo pun juga dinilai tidak bisa memenuhi ekspektasi, ditambah dengan sejarahnya sebagai jenderal yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran HAM berat[14].
Alhasil, wajar saja timbul sikap yang senada dengan sikap Lini Zurlia. Golput. Abstensi sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap calon–atau bahkan sistem politik—yang ada.
Lalu, Bagaimana?
Setelah opini Romo Magnis terbit di Kompas, demonisasi golput semakin berkibar. Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, melontarkan pertanyaan retorik “kamu orang Indonesia apa bukan sih?” kepada orang yang memilih golput[15]. Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, bahkan melontarkan ancaman pidana melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Terorisme bagi pihak-pihak yang mengajak golput[16].
Lalu, apakah golput, khususnya golput ideologis, mengancam keberlangsungan Pilpres? Arya Fernandes, peneliti CSIS, menjelaskan bahwa ada sekitar 7 persen pemilih yang memutuskan berlibur yang disimpulkan tidak akan hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ditambah lagi masih ada 14,1 persen pemilih yang masih merahasiakan pilihannya dan dapat diasumsikan golput[17]. Jika ditambahkan, maka tingkat golput berada di kisaran 21,1 persen, masih di bawah tingkat golput Pilpres 2014 (30 persen).
Menariknya, Hadar Nafis Gumay, peneliti senior Netgrit, mengatakan bahwa golput karena alasan ideologis cenderung tak signifikan, sedangkan golput karena alasan teknis lebih berpengaruh terhadap tingkat golput[18]. Sehingga, justru permasalahan golput bukan hadir dari golput ideologis, melainkan hadir dari persoalan administratif KPU.
Jika kita tinjau bersama, pilihan untuk bersuara dalam Pilpres dapat ditunaikan dengan memilih salah satu pasangan calon maupun tidak memilih sama sekali. Terutama bagi pihak-pihak yang tidak memilih karena alasan ideologis, salah satunya adalah ketidakpuasan terhadap kedua capres. Ketidakpuasan terhadap calon yang ada dapat diminimalisir dengan adanya alternatif lain yang muncul apabila presidential threshold tidak diterapkan.
Namun, tingkah polah demonisasi golput harus dihentikan agar tercipta pesta demokrasi yang sejuk. Setelahnya, mari kita berharap presidential threshold dihapuskan oleh DPR dan pemerintahan selanjutnyaagar tercipta pesta demokrasi yang semarak.
Catatan: Penulis akan tetap mendatangi TPS dan menyuarakan pandangannya dalam kertas suara. Tulisan ini bukan merupakan bentuk kampanye untuk mendukung salah satu calon presiden ataupun mendukung gerakan golongan putih.
Referensi:
Ansori, L.(2017). Telaah Terhadap Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27 diakses dari //ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/download/124/99
Ghoffar, A. (2018). Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengalaman di Negara Lain. Jurnal Konstitusi, 15(3), 480-501. doi: 10.31078/jk1532
Lini_ZQ. (2019, 28 Maret). #SayaGolput Kamu? [Twitter post]. Diakses dari //twitter.com/Lini_ZQ/status/1111260678570958850
Litbang Kompas: Elektabilitas Jokowi Mencapai 56%. (2018). Diakses dari //databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/04/23/litbang-kompas-elektabilitas-jokowi-mencapai-56
Magnis-Suseno, F. (2019, 12 Maret). Golput. Kompas,hal. 7.
Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2002). Jakarta.
Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (2017). Jakarta.
Poltracking Indonesia. (2019). Temuan Survei Poltracking Indonesia: Peta Elektoral Kandidat & Prediksi Skenario Koalisi Pilpres 2019[Ebook] (p. 15). Jakarta. Diakses dari //poltracking.com/wp-content/uploads/2018/02/PETA-ELEKTORAL-KANDIDAT-DAN-4-SKENARIO-KOALISI-PILPRES-2019.pdf
[1](Hutari, F. (2018). Bagaimana Golput Muncul Pertama Kali dalam Sejarah Indonesia? – Tirto.ID.)
[2]Fusi Partai-partai Politik – Kompas.Id. (2019). Retrieved from //kompas.id/baca/utama/2019/01/12/fusi-partai-partai-politik/
[3]Muchith, M. (2018). Memberi Sanksi Pidana pada Golput, Mungkinkah?. Retrieved from //news.detik.com/kolom/d-4083925/memberi-sanksi-pidana-pada-golput-mungkinkah
[4]Folia, R. (2019). Aktivis Lini Zurlia Bicara Soal Golput dan Intimidasi di Dunia Maya. Retrieved from //www.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/aktivis-lini-zurlia-bicara-soal-golput-dan-intimidasi-di-dunia-maya/full
[5]Halim, D. (2019). Ini Tiga Jenis Golput Menurut Pengamat, Ideologis Hingga Apatis. Retrieved from //nasional.kompas.com/read/2019/03/27/10051691/ini-tiga-jenis-golput-menurut-pengamat-ideologis-hingga-apatis
[6]Jokowi-JK resmi bakal capres-cawapres. (2014). Retrieved from //www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140514_deklarasi_jokowi.shtmls
[7]Ini Syarat dan Tata Cara Pengajuan Capres. (2014). Retrieved from //news.detik.com/berita/d-2578816/ini-syarat-dan-tata-cara-pengajuan-capres
[8]Ratnasari, Y. (2017). Jokowi Klaim Presidential Threshold Penting untuk Indonesia – Tirto.ID. Retrieved from //tirto.id/jokowi-klaim-presidential-threshold-penting-untuk-indonesia-ctBK
[9]3 Perseteruan Heboh Presiden Jokowi Versus DPR. (2014). Retrieved from //nasional.tempo.co/read/624381/3-perseteruan-heboh-presiden-jokowi-versus-dpr/full&view=ok
[10]Nurita, D. (2018). Bambang Soesatyo Resmi Diumumkan Menjadi Ketua DPR. Retrieved from //nasional.tempo.co/read/1050411/bambang-soesatyo-resmi-diumumkan-menjadi-ketua-dpr
[11]Syahni, M. (2014). Ini Janji Jokowi-JK soal HAM. Retrieved from //nasional.kompas.com/read/2014/05/21/1630112/Ini.Janji.Jokowi-JK.soal.HAM
[12]Pertumbuhan Ekonomi 7% Seperti Janji Jokowi Akan Terwujud di 2017. (2014). Retrieved from //finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2781264/pertumbuhan-ekonomi-7-seperti-janji-jokowi-akan-terwujud-di-2017
[13]Jokowi Jamin Jaksa Agung Bukan Politikus Partai. (2014). Retrieved from //nasional.tempo.co/read/618172/jokowi-jamin-jaksa-agung-bukan-politikus-partai/full&view=ok
[14]Cerita Agum Gumelar soal SBY ikut Teken Pemecatan Prabowo. (2019). Retrieved from //www.cnnindonesia.com/nasional/20190311101201-32-376115/cerita-agum-gumelar-soal-sby-ikut-teken-pemecatan-prabowo
[15]Nurita, D. (2019). Megawati: Kalau Mau Golput, Emang Kamu Makan Dari Mana?. Retrieved from //nasional.tempo.co/read/1192329/megawati-kalau-mau-golput-emang-kamu-makan-dari-mana
[16]Ristianto, C. (2019). Wiranto Ingatkan Mereka yang Mengajak Golput pada Pemilu 2019. Retrieved from //nasional.kompas.com/read/2019/03/27/15473811/wiranto-ingatkan-mereka-yang-mengajak-golput-pada-pemilu-2019
[17]Adhitia, F. (2019). CSIS Temukan Potensi Pemilih Golput di Pemilu 2019. Retrieved from //www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/pemilu-2019-csis-temukan-potensi-pemilih-golput/full
[18]Kompas. (2019, 4 April). Sosialisasi Aspek Teknis Diintensifkan, hal. 1 & 11.
Penulis: Fadhil Ramadhan
Editor: Miftah Rasheed Amir, Rama Vandika
Kajian Online adalah program kerja rutin Divisi Kajian B.O. Economica berupa tulisan argumentatif berlandaskan keilmuan yang mengangkat dan menanggapi fenomena sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi dengan tajam, komprehensif dari sebuah sudut pandang.
Discussion about this post