Awal tahun ini, sebuah kasus pelecehan seksual terhadap anak di dalam kelas terungkap. Korbannya adalah seorang siswi SD kelas 4 di Probolinggo[1]. Ia dilecehkan 2 teman kelasnya yang masih berumur 8 tahun di depan kelas saat gurunya tidak ada di dalam kelas. 26 Februari 2019, seorang remaja berumur 15 tahun diperkosa oleh 2 orang pelajar SMA berumur 17 tahun, bersama seorang dewasa yang berprofesi sebagai nelayan[2]. Pertengahan tahun lalu, di Kabupaten Bogor, 6 anak yang masih duduk di bangku SD(6 sampai 11 tahun) memperkosa teman satu sekolahnya sendiri yang berumur 8 tahun di dekat rumah mereka[3]. Hal yang sama terungkap Februari tahun lalu. Di Lampasio, 9 anak berumur 10 sampai 15 tahun memperkosa siswi SD berumur 11 tahun[4]. Terkait kasus ini, Kapolres Tolitoli mengatakan, sebagian besar dari pelaku pernah mengakses film dewasa dari telepon genggamnya.
Empat berita ini hanyalah yang kebetulan dipublikasikan oleh beberapa media. Kemungkinannya, kasus child-on-child sex abuse (COCSA) adalah hal yang sudah sering terjadi di kalangan pertemanan bocah di bawah umur di balik supervisi orang dewasa. COCSA didefinisikan sebagai aktivitas sexual yang dilakukan antar anak di bawah umur yang terjadi tanpa persetujuan atau keseimbangan(fisik, mental, atau umur), dan merupakan dampak dari paksaan fisik atau emosi[5].
Lebih dari 1/3 pelaku pelecahan seksual pada anak di dunia adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun[6]. Beberapa dari pelaku ini merupakan korban pelecehan seksual oleh orang dewasa, namun kebanyakan dari pelaku ini tidak pernah dilecehkan sebelumnya[7]. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi perilaku pelaku COCSA antara lain impulse control disorder dan konten dewasa yang pernah ia lihat. Beberapa tindakan yang termasuk ke dalam COCSA antara lain adalah mengintip, exhibitionism, pemaparan pornografi, sexual harassment, dan fondling[8]. Umumnya, tindakan COCSA ini dilakukan oleh seorang anak yang menggunakan umurnya, kekuatan fisik, atau posisinya dalam status sosial, untuk menggunakan temannya ke dalam aktivitas sosial.
Prevalensi COCSA masih dapat dipertanyakan melihat sedikitnya kasus yang terungkap di Indonesia. Berbeda dengan kasus pelecehan seksual anak oleh orang dewasa yang sekarang ini sudah mulai banyak ditemukan di media, kasus COCSA lebih banyak yang tidak dilaporkan dan diberitakan. Hal ini kemungkinan terjadi karena tindakan dilakukan di luar supervisi orang dewasa atau dengan sengaja diabaikan orang dewasa.
Perbincangan tentang seks adalah hal yang tabu, terlebih lagi jika dibicarakan dengan anak di bawah umur. Anggapan umumnya adalah bahwa tidak sepatutnya anak yang masih di bawah umur memahami apa itu seks, apa tujuannya, kapan seks dilakukan, dan bagaimana cara melakukannya. Mereka dianggap masih belum siap dan belum membutuhkan edukasi semacam itu. Bahkan ada beberapa orangtua yang enggan membicarakan seks dengan anaknya dengan alasan membicarakan seks sama dengan mengajarkan anaknya untuk melakukan seks. Namun kenyataannya, saat tidak diberikan edukasi yang benar mengenai perubahan yang meleka alami terhadapa tubuh dan hasrat sexual mereka, muncul resiko anak akan mencari tahu sendiri dan mendapatkan persepsi yang keliru.
Perkembangan Seksual Anak
Kematangan seksual seseorang berkembang dengan pesat pada masa pubertasnya. Masa remaja awal (early adolescence), yang pada umumnya terjadi di antara umur 12 sampai 15 tahun, merupakan periode paling penting dalam perkembangan seksual manusia karena adanya perkembangan sexual fisik, kognitif, dan emosi anak yang terjadi di rentang waktu yang sama[9]. Pada umumnya, di umur yang ke 12 sampai 13 tahun, anak mulai menunjukan rasa keingin-tahuannya akan topik-topik seksual. Pengetahuan dan perilaku seksual anak dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu umur anak, observasi anak terhadap tindakan seksual teman dan keluarganya, serta apa yang diajarkan kepada anak(termasuk budaya dan agama)[10]. Beberapa anak memutuskan untuk mencari tahu dengan bertanya ke orang dewasa yang mereka rasa dekat seperti orangtua atau guru, sementara yang lain mencoba untuk mencari tahu sendiri melalui artikel atau gambar-gambar mengenai seks.
Namun, seperti yang terlihat pada kasus COCSA di awal, kebanyakan pelaku pelecehan berumur di bawah 12 tahun, di bawah umur umum pubertas. Sejatinya, manusia memang dilahirkan sebagai manusia seksual. Sejak sangat kecil, anak mulai mengeksplor tubuhnya sendiri dengan memegang, menarik, dan meraba bagian tubuh mereka, termasuk kemaluannya[11].
Keingintahuan yang Tidak Dapat Dihindari
Para pemegang keyakinan bahwa anak tidak patut diberikan edukasi tentang seks mungkin akan tetap beranggapan bahwa pengetahuan akan seks itu terlalu cepat, terlalu spesifik, dan terlalu menstimulasi.[12] Pengetahuan yang terlalu spesifik justru akan memperbanyak insiden hubungan pranikah. Anak memang memiliki keingintahuan akan topik seks, namun itu bukan berarti anak perlu tahu tentang topik itu. Orangtua dan orang dewasa sebagai pembimbing memiliki peran dan wewenang untuk tahu apa yang boleh dan tidak boleh diketahui anak.
Namun sebenarnya, walaupun dengan larangan dari orangtua, keingintahuan anak akan topik seks adalah sesuatu yang medis dan tidak dapat dihindari. Apabila tidak dipenuhi dengan tepat, keingintahuan anak akan topik-topik seksual ini justru akan menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan seksual anak. Jika orangtua atau orang dewasa di sekitarnya tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan anak sampai mereka puas(karena berbagai macam alasan seperti canggung atau tabu), anak cenderung mencari tahu sendiri melalui cara lain. Video pornografi saat ini dapat diakses dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, tidak terkecuali anak yang masih di bawah umur. Setelah sekali melihat artikel, gambar, atau video, anak memiliki kecenderungan untuk terus ingin tahu dan menulusuri lebih dalam lagi. Tanpa pengetahuan akan apa yang mereka lihat, mereka mencoba mempraktekan apa yang mereka lihat, dalam hal ini porno, kepada teman-temannya. Anak-anak pun dapat memuaskan rasa keingin tahuannya dengan “playing doctor”, sebuah frasa yang digunakan untuk menunjukan tindakan anak yang mengamati kemaluan teman-temannya atau mengikuti tindakan orang dewasa seperti berpegangan tangan atau bercumbu.
Terkadang, tindakan seksual yang dilakukan anak tersebut dilakukan tanpa konsensus. Tindakan seksual anak dianggap menjadi sebuah masalah ketika anak memaksa teman atau anggota keluarganya untuk melakukan hubungan seksual. Disini lah kasus-kasus COCSA seperti yang disebutkan di awal terjadi. Keingintahuan anak-anak tersebut terpenuhi lewat media yang salah, yaitu internet yang tidak tersaring. Anak kemudian memiliki tendensi untuk memperagakan apa yang mereka lihat dan bertindak sebagai seseorang dimana mereka merasa sudah dewasa.
Yang Normal Bukan Berarti Tidak Penting
Perkembangan rasa ingin tahu akan seks pada anak yang baru mengalami pubertas memang merupakan suatu hal yang lumrah dan terjadi pada semua anak. Namun, mengetahui sebuah fakta bukan berarti mengabaikannya. Pendidikan memiliki kunci penting agar seksualitas anak dapat berkembang dengan normal. Pendidikan seksual yang baik adalah pendidikan yang memberikan anak informasi yang cukup mengenai tubuh mereka sendiri, pubertas, cara merawat diri, apa itu ereksi dan masturbasi, serta bagaimana cara menjalani hubungan seksual. Yang terpenting, keefektifan pendidikan seks terjadi saat topik seks dibahas tanpa rasa malu dan anggapan bahwa seks adalah hal yang tabu.
Di Belanda,anak-anak belajar mengenai seks dan tubuh mereka sejak berumur 4 tahun[13]. Hal ini diatur oleh kementrian pendidikan Belanda sejak tahun 2012, karena dianggap bahwa semua anak sejak sekolah dasar(SD) perlu diberikan edukasi mengenai seksualitas yang mengajarkan kesehatan, toleransi, dan assertiveness. Di sana, anak diberikan gambaran menyeluruh mengenai tubuh dan seksualitas yang disesuaikan dengan umur mereka. Angka kehamilan remaja di Belanda pun tergolong sangat rendah. Hal ini dikarenakan, orangtua, pekerja kesehatan, dan tenaga pendidik sangat terbuka kepada anak mengenai tubuh dan hubungan manusia[13]. Penelitian di Belanda ini menghasilkan kesimpulan bahwa memulai edukasi seks lebih awal dapat membantu mengurangi pelecehan seksual.
Sebagai kesimpulan, edukasi seks harus diberikan, bukan hanya kepada anak sejak dini untuk mengurangi kasus COCSA. Dalam hal ini, orangtua dan lembaga pendidikan memegang peran penting untuk terbuka kepada anak akan hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu karena jika bukan dari mereka, anak akan belajar mengenai seks dari media lain yang mungkin membawa mispersepsi anak. Orang dewasa perlu memahami betul kebutuhan akan informasi seksual anak dan menyediakan jawaban yang sesuai dengan umur dan keingin-tahuan mereka.
Kontributor: Erika Tanudjaya
Editor: Miftah Rasheed Amir
Desain: Utari Nanda
Referensi
Sexual Behaviour on Children: When Is It a Problem and What to do About It. [online] https://depts.washington.edu/hcsats/PDF/TF-%20CBT/pages/3%20Psychoeducation/Child%20Sexual%20Behaviors/Sexual%20Behavior%20and%20Children.pdf
Fortenberry, Dennis. (2013). Puberty and Adolescent Sexuality. [online] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3761219/
Kar, Sujita Kumar. Ananya Choudhury. Abishek Pratap Singh. (2015). Understanding Normal Development of Adolescent Sexuality: A Bumpy Ride. [online] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4477452/
Wardhani, Dayne Trikora. (2012). Perkembangan dan Seksualitas Remaja. [online] https://media.neliti.com/media/publications/52859-ID-perkembangan-dan-seksualitas-remaja.pdf
Anindyaputri, Irene. (2017). Tips Memberi Pendidikan Seks Menjelang Anak Remaja. [online] https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/pendidikan-seks-bagi-praremaja/
Melker, Saskia de. (2015). The Case for Starting Sex Education in Kindergarten. [online] https://www.pbs.org/newshour/health/spring-fever
SickKids. (2011). Sex Education for Children: Why Parents Should Talk to Their Kids About Sex. [online] https://www.aboutkidshealth.ca/Article?contentid=718&language=English
Catatan Kaki
[1] Liputan 6. (2019, 26 Januari). [online] Available at :
https://www.liputan6.com/news/read/3880325/siswi-sd-di-probolinggo-dicabuli-oleh-dua-teman-sekelasnya
[2] Tribunnews. (2019, 26 Februari). [online] Available at : http://jambi.tribunnews.com/2019/02/26/remaja-15-tahun-diperkosa-pelajar-sma-dan-seorang-nelayan-korban-alami-trauma
[3] Tribunnews. (2018, 1 Maret). [online] Availble at : http://kupang.tribunnews.com/2018/03/01/miris-6-bocah-sd-lecehkan-teman-di-dekat-kandang-kambing
[4] Tribunnews. (2018, 6 Agustus). [online] Available at : http://www.tribunnews.com/regional/2018/08/06/siswi-kelas-5-sd-jadi-korban-asusila-9-pelajar-pengakuan-pelaku-tak-seperti-yang-dilaporkan
[5] Defend Innocence. 5 Facts About Child on hild Sex Abuse(COCSA). [online] Available at: https://defendinnocence.org/5-facts-child-child-sexual-abuse/
[6] Finkelhor, David, and Anne Shattuck. (2012, May). Crimes Against Children Research Center.[online]www.unh.edu/ccrc/pdf/CV26_Revised%20Characteristics%20of%20Crimes%20against%20Juveniles_5-2-12.pdf
[7] Bonner BL, Walker CE, Berliner L. Children with Sexual Behavior Problems: Assessment and Treatment. Washington, DC: Administration of Children, Youth, and Families, Department of Health and Human Services; 1999.
[8] National Center on Sexual Exploitation. Confronting the Rise of Child-on-Child Harmful Sexual Behavior. [online] Available at : https://endsexualexploitation.org/cocsa/
[9] Oswalt, Angela. The Development of Adolescent Sexuality. [online] https://www.mentalhelp.net/articles/the-development-of-adolescent-sexuality/
[10] The National Child Traumatic Stress Network. (2009). Sexual Development and Behaviour in Children. [online] Available at: https://www.nctsn.org/sites/default/files/resources/sexual_development_and_behavior_in_children.pdf
[11] Healthychildren.org. (2016). Sexual Behaviours in Young Children: What’s Normal, What’s Not?. [online] Available at: https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/preschool/Pages/Sexual-Behaviors-Young-Children.aspx
[12] Bhandari, Sushila Devi. (2014). Knowledge on Premartial Sex and Its Consequences Among Adolescent at a Higher Secondary School. [online] Available at : https://www.nepjol.info/index.php/MJSBH/article/view/12999
[13] Rough, Bonnie J. (2018). How the Dutch Do Sex Ed. [online] Available at: https://www.theatlantic.com/family/archive/2018/08/the-benefits-of-starting-sex-ed-at-age-4/568225/
Discussion about this post