“Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami,
Karena jika Engkau tidak menangkan,
Kami khawatir ya Allah, Kami khawatir ya Allah,
Tak ada lagi yang menyembah-Mu”
Begitulah doa, yang berupa puisi, dikumandangkan oleh Neno Warisman pada saat acara Munajat 212 yang diadakan pada tanggal 21 Februari 2019 lalu. Beribu-ribu mata memandang Neno, beratus-ratus ponsel pintar merekam pembacaan puisi Neno. Spontan, tindakan Neno ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Terang saja, Neno dikecam banyak pihak karena dalam puisinya, karena Neno mengancam Tuhan.
Sebelum membahas lebih lanjut terkait doa Neno Warisman, ada baiknya kita pahami konteks acara Munajat 212 dahulu. Munajat 212, menurut penjelasan oleh pihak MUI, merupakan acara terbuka bagi para muslim untuk berdoa dan berdzikir bersama, serta sebagai mobilisasi bagi kelompok 212 untuk bersatu kembali.
Meski dinyatakan sebagai acara yang tidak memuat unsur politik, nyatanya dalam acara ini banyak para peserta yang menyeru-nyerukan pilihan politik mereka. Para peserta menyatakan dukungannya terhadap pasangan nomor 2 dalam Pilpres 2019 mendatang. Tak hanya itu, tokoh-tokoh yang menghadiri Munajat 212 merupakan tokoh-tokoh yang mendukung paslon tersebut. Tokoh Islami yang tidak mendukung pasangan nomor 2 tak tampak batang hidungnya di acara ini. Sebut saja, Ma’ruf Amin. Beliau tidak diundang ke Munajat 212. Logikanya, jika acara ini memang tidak mengandung unsur politis sama sekali, acara ini seharusnya terbuka dan dihadiri oleh semua pemuka agama Muslim, terlepas apapun pilihan politiknya. Konteks acara inilah yang menjadi alasan masyarakat menilai puisi Neno sebagai aksi politik.
Namun, tak semua pihak menganggap perbuatan Neno Warisman adalah penistaan agama. Titiek Soeharto berargumen bahwa puisi yang dibacakan Neno harus dipahami secara keseluruhan, bukannya sepenggal-penggal. Puisi tersebut hanyalah isi curahan hati seorang ibu yang mengungkapkan kekhawatirannya akan calon pemimpin bangsa, tanpa bermaksud untuk menyudutkan kubu tertentu.
Menjadi perkara pelik apabila kita menilai doa seseorang. Doa merupakan urusan privat antara seorang hamba dengan Tuhannya. Semua orang memiliki hak untuk berdoa, hak bagaimana menyampaikannya, apapun isinya. Terlepas apapun isinya hanya Tuhan yang mengerti hamba-Nya. Begitu pula dengan Neno Warisman. Ia memiliki hak individu yang beragama untuk mendoakan apapun untuk tujuan apapun kepada Tuhannya. Doa merupakan hubungan yang sangat privat antara seseorang dengan Tuhannya.
Tetapi yang menjadi permasalahan adalah cara Neno menyampaikan doanya ini. Doa yang sifatnya sangat pribadi ia bacakan di acara dzikir bersama, yang dibuka secara umum bagi para muslim di Indonesia. Dengan membacakan doa berupa puisi di khalayak umum, doa tersebut menjadi sesuatu yang tidak privat lagi. Mempertimbangkan isi doa tersebut, tak selayaknya doa tersebut dibacakan dalam acara umum yang tidak diintensikan untuk aksi politik. Doa tersebut, bisa jadi, salah satu faktor yang mengubah esensi Munajat 212 menjadi sarat akan unsur politik.
Apabila Neno hanya ingin pemimpin yang terbaik untuk bangsa ini, mengapa ia harus mengatakan ‘menangkan kami’ ? Apakah ‘berikan kami pemimpin yang terbaik’ pun masih tidak cukup dalam menyampaikan harapannya kepada Tuhan?
Penulis: Rania Yolanda
Editor: Vibi Larassati
Ilustrator: Syskia
Discussion about this post