Abad ke-21 memang membawa revolusi bagi kehidupan manusia. Sampai akhir abad ke-20, manusia masih mendapat hiburan dari sumber yang terbatas, antara lain, televisi ataupun buku (bagi kalangan pecinta buku, tentunya). Perkembangan internet pada abad ke-21 mengubah cara manusia mendapatkan hiburan. Televisi yang awalnya menjadi dewa hiburan justru perlahan tergusur oleh situs web video (Youtube, Vimeo, Dailymotion, dsb) dan penyedia konten Over-The-Top (Netflix, Spotify, HOOQ, Iflix, dsb).
Penyedia jasa internet juga menangkap pergeseran pola konsumsi hiburan. Mereka menyediakan berbagai paket yang ditujukan untuk mendorong pelanggan menggunakan layanan Over-The-Top (OTT) tertentu. Contohnya, Telkomsel yang menawarkan paket VideoMAX untuk berlangganan HOOQ dan mendapatkan kuota tambahan hanya untuk mengakses HOOQ. Indosat pun tak ketinggalan. Indosat menawarkan akses Iflix tak terbatas dan tanpa kuota bagi seluruh pelanggan Indosat sampai dengan 29 Desember 2017. Jika dilihat dari sudut pandang bisnis, hal tersebut wajar. Namun, ada anggapan bahwa hal tersebut melanggar netralitas net.
Frasa “netralitas net” pertama kali dicetuskan oleh Tim Wu, seorang profesor hukum dari University of Virginia, dalam jurnal yang berjudul “Network Neutrality, Broadband Discrimination” pada tahun 2003. Secara singkat, netralitas net memiliki arti pengakses internet berhak mendapatkan kecepatan akses yang sama terhadap semua situs atau menggunakan perangkat lunak yang legal.
Dari sisi konsumen, netralitas net menjadi penting karena memastikan konsumen tetap memiliki akses yang sama dan tak terbatas bagi seluruh layanan OTT. Sehingga, konsumen bebas memilih layanan OTT sesuai dengan keinginannya. Contohnya, konsumen dapat mengakses Facebook, Twitter, bahkan Salingsapa dengan kecepatan yang sama, tanpa mengalami hambatan artifisial.
Layanan OTT juga diuntungkan dengan adanya netralitas net. Netralitas net menjamin kompetisi yang setara antar layanan OTT, tanpa ada pengistimewaan salah satu layanan OTT. Kompetisi yang setara akan membuka keran inovasi dalam layanan OTT, bahkan dapat melahirkan pemain baru yang mengguncang bisnis internet. Berkat kompetisi yang setara, Google dapat menumbangkan hegemoni Yahoo! sebagai perusahaan internet terbesar di dunia. Padahal, Yahoo! sendiri merupakan salah satu investor dari Google.
Bayangkan jika penyedia jasa internet membatasi informasi—tidak hanya layanan OTT—yang dapat konsumen akses, bahkan menyeleksi informasi yang dapat konsumen akses. Saya, anda, kita semua sebagai konsumen hanya dapat mengikuti apa yang diinginkan oleh penyedia jasa internet. Terdengar seperti Big Brother dalam “1984” karya Geogre Orwell, bukan? Hal ini dapat terjadi. Penyedia jasa internet dapat saja membatasi akses konsumen terhadap situs web, termasuk layanan OTT, yang membebani lalu lintas data mereka. Beban lalu lintas data inilah yang menjadi dasar penarikan biaya oleh penyedia jasa internet kepada situs web. Apabila situs web membayar “pajak” ini, penyedia jasa internet akan mengutamakan arus data yang menuju situs web yang membayar. Sebaliknya, arus data yang menuju situs web yang tidak membayar akan menjadi arus data kelas dua sehingga kecepatan akses berkurang.
Adanya netralitas net menjamin bahwa penyedia jasa internet tidak akan bertindak seperti Big Brother. Konsumen mendapatkan akses yang setara kepada seluruh situs web. Situs web pun mendapatkan akses yang setara kepada seluruh konsumen tanpa mengalami perbedaan. Bahkan, konglomerasi media macam MNC tidak dapat mengistimewakan arus data MeTube dibandingkan dengan Netflix bagi pelanggan MNC Play.
Di Amerika Serikat, netralitas net menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir. Aturan netralitas net di AS lahir dari praktek pembayaran Verizon dan Comcast oleh Netflix agar kecepatan mengakses Netflix menjadi lebih cepat. Pemerintahan Obama, melalui regulator industri komunikasi, FCC, menerapkan aturan netralitas net pada tahun 2015, memberikan keterbukaan internet bagi masyarakat. Aturan tersebut menjamin persamaan hak antara satu situs web dengan situs web lainnya.
Yang menjadi penting, aturan tersebut mengubah definisi pita lebar (broadband). FCC mendefinisikan pita lebar sebagai utilitas, sehingga memberi wewenang bagi FCC sendiri untuk mengatur pita lebar sama halnya dengan mengatur jaringan telepon. Selain itu, FCC juga mewajibkan keterbukaan penyedia jasa internet mengenai bagaimana mereka mengelola arus lalu lintas data.
Pemrioritasan
Netralitas net di AS hanya bertahan selama 2 tahun. Pemerintahan Trump, melalui Ajit Pai–Ketua FCC–, memutuskan untuk menganulir sebagian besar aturan netralitas net. Kewenangan FCC untuk mengatur pita lebar dialihkan kepada FTC, badan pengawasan usaha AS. Sehingga, pengawasan FTC terhadap pita lebar tidak akan seketat pengawasan FCC. Pengawasan FTC hanya menitikberatkan masalah persaingan tidak sehat antarpenyedia jasa internet. Selain itu, FTC pun tidak memiliki wewenang untuk menerbitkan regulasi, lain halnya dengan FCC.
Namun, tidak semua aturan netralitas net dianulir oleh FCC. Aturan keterbukaan penyedia jasa internet mengenai bagaimana mereka mengelola arus lalu lintas data tetap dipertahankan oleh FCC. Hal ini menyebabkan konsumen mendapatkan informasi bagaimana praktek pengistimewaan situs web dijalankan penyedia jasa internet. Dengan informasi tersebut, diharapkan tidak terjadi disinformasi atas praktek penyedia jasa internet.
Lain ladang lain belalang, lain di AS lain pula di Indonesia. Isu netralitas net pertama kali dibahas secara masif ketika Internet.org, program yang diprakarsai oleh Mark Zuckerberg, bekerja sama dengan Indosat pada tahun 2015. Kerja sama tersebut memungkinkan pelanggan Indosat untuk mengakses situs tertentu tanpa mengeluarkan biaya apa pun. Hal ini memantik perdebatan tentang diperbolehkannya pengistmewaan salah satu situs dibanding situs lain.
Alexander Rusli, CEO Indosat (2012 – 2017), dengan tegas menolak netralitas net. Alex menganggap bahwa program Internet.org memiliki tujuan untuk kepentingan bersama (peningkatan akses internet) dan ekses yang timbul (dilanggarnya netralitas net) tidak menjadi masalah.
Setali tiga uang dengan Alex, Menkominfo Rudiantara pun terfokus pada peningkatan akses internet. Namun, Menkominfo menilai bahwa netralitas net diperlukan untuk meningkatkan pemerataan akses internet ke seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, dalam kasus Internet.org netralitas net harus diterapkan agar layanan lokal terlindungi dari eksploitasi asing.
Setelah ramainya kasus Internet.org, belum ada aturan khusus dari pemerintah yang mengatur netralitas net secara langsung. Payung hukum UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mencakup netralitas net. Namun, UU ITE menganut asas yurisdiksi ekstrateritorial[1], yang menandakan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan dalam wilayah nonteritorial, dalam hal ini internet. Sama halnya dengan Big Brother, pemerintah dimungkinkan untuk melakukan sensor atas internet oleh UU ITE. Wewenang yang diberikan oleh UU ITE terhadap pemerintah (dapat) menganaktirikan layanan OTT yang disensor. Hal tersebut menyiratkan bahwa Indonesia (mungkin saja) tidak menganut asas netralitas net.
Tidak adanya payung hukum yang jelas menyebabkan asas netralitas net seakan-akan tidak berlaku di Indonesia. Seperti yang disebutkan di awal, ISP dan operator acap kali memberikan paket khusus untuk mempermudah akses layanan OTT tertentu, bahkan dapat memblokir layanan OTT tertentu. Telkomsel bekerja sama dengan HOOQ dan kolaborasi Indosat dengan Iflix merupakan salah satu contoh signifikan dari pelanggaran asas netralitas net.
Bahkan, untuk mendukung kolaborasi ISP atau pun operator dengan layanan OTT, mereka tak segan untuk memblokir layanan OTT tertentu. Pada awal tahun 2016, terjadi kegegeran setelah Netflix masuk ke Indonesia karena Telkom mengumumkan pemblokiran Netflix. Pasalnya, Telkom merupakan salah satu ISP terbesar di Indonesia sehingga Netflix kehilangan pelanggan potensial. Geger bertambah ketika Telkom mengumumkan kerja sama dengan Iflix, kompetitor Netflix. Telkom menawarkan promo yang terkesan menganakemaskan Iflix. Lagi-lagi, hal ini terjadi karena belum ada regulasi yang jelas mengenai netralitas net di Indonesia.
Asas netralitas net kembali menjadi perbincangan ketika iklan serobot (intrusive ad) yang diterapkan oleh operator secara selektif dipermasalahkan banyak pihak. Pelanggan berpendapat bahwa mereka sudah membayar untuk layanan data yang disediakan oleh operator, sehingga operator tidak berhak memberikan iklan dalam menyediakan layanan data. Operator pun merasa memiliki hak untuk mengadakan iklan serobot karena layanan OTT tidak membayar atas penggunaan jalur lebar yang dimiliki oleh operator.
Situs web pun melayangkan protes keras. Praktik iklan serobot dilakukan tanpa seizin layanan OTT dan mengakibatkan terhambatnya akses situs web. idEA dan IDA, asosiasi e-dagang dan digital Indonesia, mengeluarkan pernyataan bersama dan petisi mengenai iklan serobot. Mereka menjadikan Etika Pariwara Indonesia sebagai salah satu dasar petisi. Etika Pariwara Indonesia Bagian 4.5.1 tentang Iklan pada media Internet, disebutkan bahwa “Tidak boleh ditampilkan sedemikian rupa sehingga mengganggu kebisaan atau keleluasaan khalayak untuk merambah (to browse) dan berinteraksi dengan situs terkait, kecuali telah diberi peringatan sebelumnya.”
Asas netralitas net memang menjadi perbincangan hangat beberapa tahun ini. Namun, perbincangan hangat tidak menjadikan pemerintah tanggap untuk membuat aturan mengenai netralitas net. Indonesia menganggap bahwa internet merupakan salah satu wilayah hukum, menyebabkan tidak adanya peraturan netralitas net justru membuka celah-celah hukum yang dimanfaatkan oleh operator dan ISP. Mereka untung, konsumen merugi. Sehingga, timbul pertanyaan: apakah internet sudah sewajarnya netral, atau boleh dicampur tangani oleh penyedia layanan internet?
Referensi:
[1] Atmaja, A. (2013). Konstruksi Hukum atas Kedaulatan Negara di Ruang-Maya. Law Reform, 9(1), 2.
Kontributor: Fadhil Ramadhan
Discussion about this post