Semua memang berawal dari sepeda.
Waktu itu kita memang belum kenalan, namun senyum lucumu dan pita rambut merah jambu yang tidak pernah absen itu menarik perhatian. Belum lagi kalau kamu berjalan–masih suka jatuh, kan? Sampai harus diawasi terus-terusan. Aku yang hanya memantau dari pintu rumahku saja geregetan.
Sampai akhirnya kamu bawa sepeda ke taman. Mau latihan, kata pembantumu, kudengar dari kejauhan. Gowes, jatuh. Gowes, jatuh. Ah, gowesanmu tidak pernah lebih dari dua! Aku memutuskan untuk turun tangan. Tadinya niatku hanya ingin mengajarkan, sampai akhirnya kita bertatapan—air matamu sudah menggenang di pelupuk mata. Kutanya, ada apa? Kamu menunjuk kakimu yang berdarah. Aku menghela napas ringan dan memapahmu ke bawah pohon rindang. Di sana kita bertukar nama. Kutempel plester di atas luka. Kamu balas dengan cerita-cerita ceria. Lalu kita pulang – kamu kubonceng, habis kamu nggak bisa jalan.
Sejak itu, kita kemana-mana berdua. Baik waktu main sepeda, ke pesta ulang tahun Anika, ke warung sebelah, maupun ke sekolah–aku di sekolah dasar dan kamu masih di taman kanak-kanak. Kita selalu sama-sama.
Beranjak besar, aku mulai mengajarkanmu bukan hanya cara naik sepeda. Mulai dari ekonomi, akuntansi, geografi, matematika, fisika, kimia, hampir semua kita lahap bersama. Yang kamu tidak suka malah hapalan. Aku heran. Biasanya perempuan lemah di hitungan, tapi kamu malah jagoan. Logikamu jalan.
Aku juga menghiburmu bukan hanya karena tangis jatuh dari sepeda. Sedih putus pacar, sebal dengan sahabat karena habis bertengkar, luka bekas cakar (iya, kucingku ganas, maaf ya). Semuanya menghabiskan tisu. Dan juga waktu, karena menghiburmu harus dengan main gitar dan nyanyi lagu-lagu kesukaanmu. Capek, tau.
Sungguh, kalau boleh jujur, kamu merepotkan. Belum lagi kalau tugas paper dari dosenku minimal empat puluh halaman. Ditambah kamu yang suka minta telepon tiap malam. Haduh, badanku rasanya remuk redam!
Akhirnya, ketika aku pulang, aku memutuskan untuk membuatmu mandiri. Kamu harus bisa berdiri sendiri. Aku tak akan selalu ada di sisimu nanti.
Aku ajak kamu bersepeda. Keliling komplek rumah kita, sama seperti dahulu kala. Lalu kita naik ke atap rumah, ke tempat nongkrong kita paling aman.
“Aku punya pertanyaan,” kataku.
***
“Aku punya pertanyaan,” katamu dengan mimik muka serius.
“Apa?”
“Kenapa sepeda nggak bisa berdiri sendirian?”
Aku berpikir keras. Biasanya kamu suka ngasih pertanyaan jebakan, tapi mungkin kali ini kamu lagi serius betulan.
“Hmm… nggak tahu, nyerah. Emang kenapa?”
Wajahmu berubah—cengiran nyebelinmu mulai kelihatan.
“Karenaaa… it’s two tired (two tired: beroda dua, too tired: terlalu capek—permainan rima)!”
Dan, seperti biasanya, aku cuma bisa memutar kedua bola mataku. Kelakuanmu yang model begini sudah jadi makanan sehari-hari. Untuk ngambek pun aku sudah bosan.
“Terserah kamu, ah.”
“Yee, kok ngambek. Tapi, aku punya pertanyaan. Kali ini beneran.”
Kali ini, kubiarkan daguku mengedik—menjawabmu.
“Kamu mau sampai kapan harus aku temenin terus? Kan aku bisa aja nanti tiba-tiba pergi duluan,” kamu bertanya lagi. Matamu masih terpaku ke atas, seolah menikmati langit malam—yang sebenarnya polos sama sekali, karena bintangpun sedang enggan memunculkan diri. Tapi, aku tahu kamu menunggu jawaban. Aku yang belum bisa memikirkan jawaban yang pantas memutuskan untuk mengikuti gayamu.
“Sampai… sampai kamu two (too) tired sama aku!” Aku menyahut, cengengesan.
Gantian, sekarang kamu yang memutar bola mata. Dasar, kamu tidak pernah berubah. Aku memang tidak pernah berharap kamu berubah. Setidaknya, biar aku saja yang mengalah.
Aku sedang bahagia-bahagianya waktu kamu mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Tertulis nama salah satu universitas terbaik di negeri Kota Singa. Saat itu pula aku tahu aku kehilanganmu–entah hanya sementara, atau untuk selamanya. Raut mukamu gelisah. Sebelum kamu berbicara, lebih baik aku masuk ke dalam rumah saja. Kamu paling benci melihatku menangis, kan? Dasar, kamu tidak pernah berubah. Aku memang tidak pernah berharap kamu berubah. Jadi, biar aku saja yang mengalah.
***
Tepat di tepi teluk Singapura sepedaku terhenti. Aku hanya bisa menatap ponselku yang sebentar lagi layarnya mati.
Mana aku tahu bahwa hari itu hari terakhir kita bertemu? Kukira kamu hanya ngambek denganku, karena ke bandara mengantarku saja kamu tidak mau.
Mana aku tahu bahwa hari itu hari terakhir kita bersepeda? Kukira kamu sudah menemukan penggantiku, karena memberi kabar ada sesuatu yang salah saja kamu tidak sudi.
Mana aku tahu bahwa hari itu benar-benar hari terakhir kita bertemu?
Mana aku tahu bahwa kabar terakhir tentangmu adalah pesan teks dari ibuku, menyuruhku pulang untuk menghadiri pemakamanmu?
***
“Kamu mau sampai kapan harus aku temenin terus? Kan aku bisa aja nanti tiba-tiba pergi duluan,”
Jawaban sejujurnya dariku?
“Aku yang nanti bakal tiba-tiba pergi duluan, bodoh.”
Kontributor: Aletheia Tan
Discussion about this post