Pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan. Kesunyian minggu pagi lenyap oleh raungan mesin. Ratusan pesawat melintasi langit pulau sepi di lautan Pasifik. Membawa malapetaka bagi para penjelajah samudera. Hanya dua pilihan yang tersedia bagi mereka, tenggelam atau terbakar di lautan yang mereka lindungi.
Dari deretan tokoh militer Jepang yang berkuasa semasa Perang Dunia II, nama Isoroku Yamamoto muncul sebagai salah satu orang yang dicatat sejarah mengingat ia lah yang merupakan otak dibalik penyerangan Pearl Harbour. Yamamoto menjabat sebagai panglima tertinggi Rengo Kantai (armada utama Angkatan Laut Jepang dalam Perang Dunia II) sampai kematiannya pada tahun 1943.
Awal Karier Militer
Selepas lulus dari akademi militer Kaigun Heigakkō pada tahun 1904, Isoroku Yamamoto berpartisipasi dalam perang Rusia-Jepang dengan bergabung dengan kapal perang Nisshin. Pada salah satu pertempuran dalam perang itu, pertempuran Tsushima, Yamamoto terluka parah. Ia kehilangan sebagian dari pahanya dan dua jari tangan kirinya karena ledakan sebuah meriam. Meskipun terluka parah, Yamamoto tetap melanjutkan tugasnya. Edwin P. Hoyt di dalam bukunya yang berjudul Yamamoto: The Man Who Planned The Attack on Pearl Harbour mengatakan bahwa Isoroku Yamamoto hanya mengikat jarinya yang hampir lepas dengan sapu tangan dan berada di posnya sampai akhir pertempuran.
Tahun 1908, Yamamoto berlayar di lautan Manchuria dengan kapal Maezuru sebagai wakil letnan. Ia kemudian berlayar di lautan Tiongkok selama beberapa bulan hingga dipromosikan menjadi letnan. Setelah promosinya itu, Yamamoto kemudian melanjutkan studinya di Kaigun Daigakkō pada tahun 1913. Pada masa studinya, kerja keras Yamamoto dan penolakannya untuk mengonsumsi alkohol memberikannya keunggulan akademis dibandingkan dengan rekan-rekannya yang mayoritas merupakan penggemar alkohol akut. Yamamoto lulus pada tahun 1916 dan tahun itu juga ia bergabung dengan skuadron pertempuran kedua.
Menyadari keberadaan Amerika Serikat sebagai salah satu calon musuh potensial, Jepang mengirim beberapa petugasnya–termasuk diantaranya Yamamoto–ke negara-negara Barat untuk melakukan pengamatan dan belajar, terutama untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mereka. Yamamoto lantas meninggalkan Jepang pada 1919 dan pergi menuju Cambridge. Semasa kuliahnya, Yamamoto diangkat menjadi kolonel angkatan laut Jepang. Kolonel Yamamoto melanjutkan studinya dengan mengambil kelas yang mempelajari Amerika. “Satu hal yang menarik bagi Yamamoto adalah penerbangan” terang Edwin P. Hoyt di dalam Yamamoto: The Man Who Planned The Attack on Pearl Harbour. Yamamoto menghabiskan waktunya di Amerika Utara hingga ia kembali ke Jepang pada 1921.
Yamamoto dalam Dunia Penerbangan
Hasrat Yamamoto pada dunia penerbangan mulai terpenuhi saat dirinya dijadikan staff Korps Penerbangan Kasumigaura pada tahun 1924. Anggota korps tersebut mempertanyakan keberadaan Yamamoto mengingat dirinya hanya berfokus mempelajari semua hal mengenai penerbangan angkatan laut di Jepang. Anggota korps seringkali mencibir usaha sang “orang tua” belajar menerbangkan pesawat. Menyadari kesulitan yang dihadapinya, Yamamoto merasa bahwa dirinya harus mempelajari teknologi yang benar-benar baru baginya dengan lebih keras.
Akhir tahun 1924, Yamamoto memberikan kejutan yang amat dahsyat kepada para kadet korps. Ia diangkat menjadi Pegawai Eksekutif dan Direktur Studi Kasumigaura. Pada pidato pertamanya, Yamamoto menyampaikan pengetatan beberapa peraturan. Hal ini tidak disambut hangat oleh para kadet. Banyak dari mereka mengajukan protes dan bahkan resign, berharap Yamamoto menyerah saat melihat banyaknya penentangan. Melihat hal tersebut, Yamamoto tidak lantas berubah pikiran. Ia tetap berdiri teguh, tanpa bergeming sedikit pun. Saat kadet-kadet korps yang telah resign kembali untuk menciptakan masalah, Yamamoto menerapkan sistem keamanan untuk mencegah kedatangan mereka. Yamamoto sendiri acap kali mengambil tugas keamanan tersebut hingga membuatnya dilihat sebagai sosok yang bersahabat bagi bawahannya.
Salah satu hal yang paling dikagumi oleh para kadet dari diri Yamamoto adalah kedisiplinan yang tidak bersebelah tangan. Dia yang menciptakan peraturan, ia pula yang pertama mematuhinya. Saat berada di area kampus bahkan saat kewajibannya sudah terpenuhi, Yamamoto tetap bertindak sesuai aturan. Ia tidak sungkan untuk makan di mes kadet, dengan sikapnya yang siap mendengarkan segala keluh kesah kadet lain. Yamamoto tidak menganggap kadet-kadet berada di bawahnya meskipun ia sendiri memiliki jabatan yang tinggi.
Yamamoto menerapkan perubahan-perubahan yang memberatkan para kadet. Kendati demikian, mereka tahu bahwa setiap kesulitan yang mereka lalui, akan dilaluinya jua. Saat sebuah tragedi terjadi, dimana sejumlah kadet ditenggelam di musim dingin, Yamamoto mencurahkan waktunya, siang dan malam, saat salju maupun badai, memimpin operasi penyelamatan, hingga semua orang yang hilang ditemukan kembali. Yamamoto kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap para kadet saat ia mengajukan dirinya untuk mengendarai pesawat-pesawat baru hingga titik batas pesawat-pesawat tersebut. Yamamoto tidak pernah menaruh seseorang di dalam bahaya yang ia sendiri tidak pernah alami atau tidak ingin alami. Hal inilah yang menanamkan loyalitas di hati para bawahannya.
Atas keberhasilannya di berbagai kesempatan, Yamamoto akhirnya dijadikan kapten kapal Akagi, sebuah kapal induk, pada tahun 1928. “Ia menunjukkan dirinya sebagai nahkoda handal, kapten yang sangat efisien, dan seseorang yang dihormati oleh perwira-perwiranya” tutur Edwin P. Hoyt di dalam Yamamoto: The Man Who Planned The Attack on Pearl Harbour. Yamamoto teramat ramah kepada perwira-perwira yang berada di bawah naungannya. Dirinya tak pernah sungkan mengunjungi para perwira di ruangan mereka, bahkan untuk sekadar bermain shōgi (catur Jepang) dengan mereka.
Peristiwa Pearl Harbour
Menyadari betapa dekatnya waktu perang yang ditentukan, terlebih setelah penandantangan aliansi Tokyo-Berlin-Roma, Yamamoto berfokus pada ekspansi kekuatan armadanya. Ia mengajukan pelipatgandaan jumlah armada, peningkatan kapal induk, dan penambahan armada pesawat terbang pada Pemerintahan Tokyo.
Saat mendengar kabar Amerika menciptakan armada Pasifik mereka dan menetapkan Pearl Harbour sebagai markas, Yamamoto melihat dua potensi besar. Markas yang dijadikan pusat angkatan laut tersebut lantas ditargetkan Yamamoto untuk penyerangan berikutnya. Dibantu oleh pencapaian-pencapaian teknologi penerbangan, Laksamana Yamamoto mematangkan rencananya dan mengajukan hal tersebut kepada petinggi-petinggi angkatan laut yang kemudian disetujui pada Januari 1941.
Yamamoto mengetatkan sistem angkatan laut. Latihan secara rutin dan intens menjadi fokus utamanya. Kapal-kapal diperintahkan untuk berlatih di perairan tertutup sehingga kerap kali hampir bertabrakan. Kapal selam dan kapal perang baru turut dilibatkan dalam latihan secara konstan. Ia juga mengadu armadanya satu sama lain untuk melatih mereka cara perang yang “sesungguhnya”.
Mendekati akhir tahun 1941, banyak usaha diplomatik dengan Amerika mulai bergagalan. Kesepakatan demi kesepakatan tidak berhasil ditemukan hingga puncaknya, pada 6 November 1941, dikeluarkan titah Angkatan Laut Imperial Jepang yang menginstruksikan persiapan perang. Sejak saat itu, perang dengan Amerika menjadi sebuah kepastian.
Menjelang tanggal penyerangan, Yamamoto diliputi banyak kesibukan. Petinggi-petinggi angkatan laut Jepang mulai berdatangan. Salam perpisahan dari para tentara terdengar riuh di sana-sini, enggan berharap dapat kembali dengan selamat. Pada tanggal 2 Desember 1941, Yamamoto mendapatkan kabar bahwa konferensi dengan Amerika telah sepenuhnya gagal. Keesokan harinya, Laksamana Yamamoto pun mendapat titah Kaisar untuk menjalankan tugas (rencana)nya. Titah ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya surat perintah menyerang AS pada 8 Desember 1941, tepatnya pukul 03.00 dini hari waktu setempat.
Ratusan pesawat lepas landas dari kapal-kapal Jepang menuju Pearl Harbour. Kabar demi kabar baru silih berganti berdatangan; penyerangan Malaysia tertunda kabut, Pemerintah Thailand menyerah kepada Jepang, telah dilakukannya pengeboman pada Manila, hingga penyerangan pada Hong Kong yang sudah dimulai.
Tidak ada kabar yang penting hingga hari kedua setelah serangan dimulai, tepatnya pada 10 Desember 1941 saat armada Jepang berhasil menenggelamkan kedua kapal Inggris yang ada di Asia Tenggara. Dua hari kemudian, diberitakan bahwa invasi Jepang atas Filipina juga berjalan lancar, diikuti kabar kerusakan Pearl Harbour pada 17 Desember 1941 dengan kondisi empat kapal perang tenggelam, empat kapal lainnya rusak parah, dan kapal lain sisanya rusak terkena serangan. Hal ini menandakan kesuksesan Jepang dibawah kendali Laksamana Yamamoto atas eksekusi rencananya.
Kejatuhan Sang Laksamana
Angkatan laut Jepang mengalami banyak kesuksesan ditandai penguasaan Jepang atas sebagian besar Samudera Hindia dan Pasifik. Bersebaran di Samudera Raya, armada Jepang melaju dengan percaya diri. Meski demikian, keadaan berbalik ketika pertempuran Midway dimulai tertanggal 4 Juni selama empat hari lamanya. Amerika berhasil memecahkan kode perang yang digunakan Jepang hingga dapat mengetahui gerakan armada Jepang saat itu. Kekalahan demi kekalahan pun harus ditelan Jepang mulai saat itu. Dalam empat hari pertempuran Midway, Jepang kehilangan empat kapal induk, dua kapal penjelah, serta ribuan pelaut.
Melihat hasil perperangan, Yamamoto menjadi terpuruk. Ia tak lagi yakin akan kemampuan Jepang. Terlebih lagi, Jepang tidak mampu menghasilkan senjata dan teknologi baru. Teknologi-teknologi Jepang mulai menjadi outdated menghadapi kemampuan Amerika yang piawai dalam mengembangkan teknologi jauh lebih baik dari Jepang.
Keadaan diperparah saat Amerika meluncurkan invasi ke Guadalcanal, Kepulauan Solomon. Amerika meluncurkan serangan besar-besaran ke daerah tersebut pada 8 Agustus 1942 yang kemudian langsung menarik mundur pasukan mereka. Hal ini membuat Jepang mengira Amerika meninggalkan rencana penyerangan mereka. Jepang pun menganggap remeh pasukan Amerika yang tertinggal dan hanya mengirimkan segelintir penyerang untuk “membersihkan” Guadalcanal dari mariner Amerika Serikat pada 21 Agustus 1942.
Sayangnya, yang terjadi justru benar-benar meleset dari perkiraan Jepang. Yamamoto mendengar dikejutkan dengan berita bahwa seluruh pasukan yang dikirimnya musnah. Selain itu, terdapat laporan bahwa kapal musuh telah terlihat di daerah Guadalcanal. Yamamoto tersadar bahwa ia telah meremehkan kondisi yang ada. Pada akhir kampanye militer, Jepang kehilangan 38 kapal, ratusan pesawat, dan lebih dari 19.200 tentara. Dengan berakhirnya kampanye militer Guadalcanal yang berbuah kekalahan, berakhir jua kesempatan Jepang untuk memenangkan perang melawan salah satu poros dunia kala itu.
Dalam salah satu usaha terakhir untuk memutarbalikkan kondisi, Yamamoto memerintahkan penyerangan lapangan udara yang ada di Kepulauan Solomon dan Pulau Papua yang dikenal dengan sebutan “Operasi I” yang diluncurkan pada 7 April 1943. Saat para penerbang meninggalkan lapangan udara menuju angkasa raya, pandangan terakhir yang ditangkap mata mereka adalah sesosok laksamana yang melambaikan topinya kepada tiap-tiap dari yang hadir saat itu. Mereka kembali dengan berita kemenangan. Para penerbang berhasil menenggelamkan beberapa kapal perang Amerika di dekat Guadalcanal. Selama empat hari Jepang melaksanakan serangan besar. Setiap para penyerang pergi, Yamamoto ada di sana. Keberadaannya mengobarkan semangat para pasukan. Keberadaan Yamamoto pada setiap saat pasukan lepas landas juga menandakan pentingnya serangan-serangan tersebut. Hari demi hari, pasukan Jepang selalu kembali dengan berita kemenangan. Hingga pada 16 April, tidak ada lagi pesawat Amerika yang terlihat. Dengan segala pencapain tersebut, Operasi I dinyatakan berakhir dengan hasil yang berbuah manis.
Laksamana Yamamoto dan Laksamana Ugaki berkeinginan mengunjungi garis depan pertempuran untuk memberi dukungan moril pada pasukan mereka. Mereka berdua sadar akan bahaya yang yang menghadang, namun, Yamamoto percaya bahwa tanpa hal tersebut, kemenangan tak akan terjadi. Yamamoto dan Ugaki direncanakan akan terbang dari Rabaul ke Bougainville dengan dua pesawat pengebom. Rencana tersebut diumumkan di saluran komunikasi. Hal ini, anehnya, meresahkan hati Laksamana Muda Joshima. Akan tetapi, Yamamoto sudah memutuskan untuk tetap pergi. Kekhawatiran Joshima lantas terjawab saat pesawat yang ditumpangi Yamamoto dan Ugaki berada di barat Bougainville dengan 24 pesawat musuh mengejar mereka. Pada kejadian itu, pesawat Yamamoto terjatuh. Saat tim penyelamat melakukan pencarian, mereka menemukan Yamamoto terikat di kursi pilot pada 18 April 1943, dengan menggenggam pedang samurai dengan tetap berwajah tenang. Bagi mereka, Yamamoto terlihat hidup dan mati dengan terhormat, hingga beberapa saat kemudian, dirinya dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembak di tubuhnya.
Kontributor: Philipus Susanto
Editor: Komang Gita P.
Discussion about this post