Penulis: Audhi Ahmad Balya, Maria Tiominar, Ries Lawren Pasista Ginting
Editor: Bertha Fania Maula
Empat puluh tahun berlalu sejak Sundari Soekotjo kecil terkagum dengan nyanyian yang didendangkan oleh Waldjinah, legenda keroncong Indonesia. Semenjak saat itu, timbul ketertarikan Sundari untuk mendalami musik keroncong. Musik keroncong sendiri bukanlah hal yang asing bagi Sundari. Ayahnya, seorang TNI Angkatan Udara bernama Soekotjo Ronodihardjo, hobi bermain musik dan bernyanyi keroncong. Sang ayah juga memiliki suatu komunitas keroncong yang sering berlatih di rumahnya.
Bakat menyanyi Sundari dilihat oleh sang ibunda, sehingga Sundari sering diikutkan lomba menyanyi di sekitaran sekolahnya, yaitu SD Halim. Mengikuti banyak lomba menyanyi ketika duduk di bangku SD, Sundari berhasil menjadi juara pertama sebuah ajang menyanyi asuhan AT Mahmud yang diselenggarakan oleh TVRI pada usia 10 tahun. Kemenangannya di lomba keroncong wanita yang diadakan oleh Bintang Radio TV membuat Sundari memantapkan hati untuk terus konsisten di musik keroncong.
Sosok Sundari melekat dengan tampilan anggun berbalut kebaya dan kain, lengkap dengan rambutnya yang disanggul. Sore bulan Januari 2016 pada salah satu perumahan elit di bilangan Jakarta Selatan, kami menemui legenda hidup keroncong Sundari Soektojo yang meneruskan jejak idolanya, Waldjinah. Kesan anggun tetap terpancar dari sang legenda, meski dengan setelan kemeja biru muda dan celana alih-alih kebaya. Dengan nada suaranya yang santun dan lembut, sang legenda pun bercerita mengenai musik keroncong yang kini banyak dilupakan orang sebagai nyanyian identitas bangsa.
Riwayatmu Kini
Lawas merupakan anggapan yang muncul di zaman ini terkait musik keroncong. Anggapan tersebut tidak ditanggapi secara berlebihan oleh Sundari. Dia menyatakan bahwa bukanlah anggapan orang yang penting, namun bagaimana menyiasati musik keroncong menjadi musik Indonesia yang lebih dikenal oleh generasi muda. Agar mereka mau mendengarkan serta melestarikan musik keroncong adalah hal yang menjadi perhatian bagi musik keroncong saat ini.
Musik keroncong sekarang mulai tergerus oleh kehadiran musik-musik luar negeri. Banyak anak muda yang mengganggap musik luar negeri lebih menarik dibandingkan dengan musik keroncong. Namun menurut Sundari, setiap genre musik tentu sudah memiliki penggemarnya masing-masing. Musik keroncong buanlah musik yang memiliki masa keemasan seperti musik pop atau musik lainnya. “Musik keroncong selalu ada selama masih ada yang bernyanyi dan mendengarkan musik keroncong,” terang diva keroncong yang juga menjadi dosen tetap program pascasarjana di Institut Bisnis Nusantara dan pengajar di Universitas Negeri Jakarta ini.
Musik keroncong pada hakikatnya sedang dihadapkan situasi yang nampak seperti pisau bermata dua, yaitu digitalisasi. Digitalisasi menguntungkan dalam sisi halangan untuk masuk ke dunia keroncong semakin tipis. Pada zaman ketika musik rekaman baru beredar di Indonesia, sangat sulit bagi orang biasa untuk bisa masuk label rekaman tanpa koneksi atau “orang dalam”. Orang biasa perlu memenangkan perlombaan dengan taraf yang cukup tinggi, seperti memenangkan perlombaan di radio untuk bisa masuk ke televisi dan dapur rekaman. Namun sekarang, siapapun dengan akses internet bisa mempedengarkan lagu miliknya ke khalayak luas tanpa banyak kesulitan.
Di sisi lain, terdapat juga kerugian bagi para pemusik keroncong di era digital. Musik keroncong yang telah dibajak dan disebarluaskan secara cuma-cuma di internet merugikan banyak produsen musik keroncong. Produsen musik keroncong tidak mendapatkan komisi sehingga mengurangi insentif bagi pemain musik keroncong untuk memasarkan lagu.
Mau tidak mau, pemasaran musik keroncong pun harus mengikuti perubahan zaman. Sundari mengemukakan solusinya agar dia tetap mampu berproduksi dengan mengikuti perkembangan zaman adalah dengan membuat CD, tapi penjualannya secara online. Penjualan juga dilengkapi dengan kemasan yang menarik. Sistem pre-order dengan sentuhan personal seperti bonus selendang batik dan tanda tangan pun menjadi strateginya dalam menjual musik keroncong di era digital.
Pertaruhkan Idealisme
Kesadaran Sundari untuk mengikuti perkembangan zaman banyak dipengaruhi oleh saran sang anak, Putri Intan Permata Sari, yang kini juga mengikuti jejaknya sebagai penyanyi keroncong. Atas masukan dari Intan, Sundari mulai meningkatkan eksistensi keroncong ke ranah media sosial seperti twitter, instagram, dan youtube. Menurut Intan yang kini berusia 24 tahun, mengikuti perkembangan zaman sangat diperlukan agar musik keroncong selalu ada. “Boleh idealis asalkan mengikuti perkembangan zaman, seperti membuat kolaborasi ataupun acara dengan anak-anak muda sehingga mereka pun ingin ikut belajar musik keroncong,” ujar Intan.
Berangkat dari kepedulian terhadap musik keroncong, Sundari, Intan, dan Dinda (keponakan Sundari) pun kemudian mendirikan YAKIN (Yayasan Keroncong Indonesia). Keinginan Sundari agar anak muda mau belajar dan mencintai musik keroncong mendorong pembentukan YAKIN. Pada tahun 2015, diselenggarakan sebuah pagelaran musik keroncong bertajuk Kejora (Keroncong Juara Nusantara) yang digagas oleh YAKIN. Acara dilaksanakan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia pada tanggal 7 hingga 12 April 2015
Kejora diselenggarakan sebagai sebuah percobaan pertunjukan untuk mengetahui sejauh mana animo masyarakat, khususnya anak muda, terhadap musik keroncong. Sundari berkolaborasi dengan berbagai genre musik seperti pop, jazz, rock untuk menarik masyarakat khususnya anak muda. Kecemasan sempat melada Sundari pada awal pelaksanaan. Dirinya takut apabila tidak ada penonton yang datang dalam pertunjukan tersebut. Di luar dugaannya, sejak hari pertama hingga hari terakhir, percobaan pertunjukan ramai akan pengunjung. Anak muda juga mulai memenuhi pertunjukan sejak hari ketiga acara.
Percobaan pertunjukan ini tidak hanya menampilkan para pemusik senior, tetapi juga mengundang penyanyi muda mulai dari anak-anak SD yang memang sering berlatih keroncong. YAKIN ke depannya berencana mengadakan konser empat dekade perjalanan Sundari di dunia keroncong serta mengadakan roadshow ke berbagai daerah di Indonesia. Roadshow dilakukan agar pergerakan musik keroncong di kalangan anak muda tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut Sundari, kolaborasi dengan perkembangan zaman tidak akan menggerus idealisme musik keroncong. Pernah tahun 2008, pada saat Sundari melakukan kolaborasi dengan Purwacaraka di Solo, banyak yang berpendapat bahwa keroncong tidak boleh diubah. Akhirnya kolaborasi tersebut ditampilkan melalui layar tancap di Keraton Solo dan ternyata semua orang tetap dapat menikmatinya. Dari pengalaman inilah Sundari berpendapat bahwa boleh-boleh saja jika ada modifikasi dalam musik keroncong.
Intan sendiri berpendapat bahwa salah satu cara untuk mendongkrak eksistensi musik keroncong adalah dengan mengaransemen ulang musik keroncong dan memadukannya dengan musik pop. Pada pelaksanaan Kejora, Intan membawakan lagu perpaduan keroncong dengan salah satu lagu genre EDM terkenal berjudul Clarity oleh Zedd. Intan menyatakan bahwa dengan perpaduan seperti inilah musik keroncong bisa dikenalkan kembali pada generasi muda.
Identitas Nusantara
Bagi Intan, musik keroncong menjadi salah satu cerminan musik Indonesia. Salah satu alasan Intan mempelajari musik keroncong adalah karena dia ingin membawa sejarah dalam bentuk musik. Terdapat banyak pelajaran sejarah yang dapat diketahui melalui lirik lagu-lagu keroncong. “Jika ada pertanyaan musik Indonesia itu apa, maka saya akan menjawab musik Indonesia ya musik keroncong. Karena berbagai daerah memiliki musik keroncongnya masih-masing, bukan hanya di Jawa saja,” tanggapnya.
Sampai saat ini, Sundari kerap dipanggil ke luar negeri untuk membawakan musik keroncong. Ketika Sundari diundang untuk bernyanyi di Eropa, tiga bulan sebelum pertunjukan sudah dipromosikan sehingga pada hari pertunjukan orang-orang dari Jerman dan Perancis bersama-sama naik bus untuk melihat musik keroncong. Belum lama juga Intan diundang ke Korea Utara untuk membawakan musik keroncong yang berhasil membuat penontonnya terkagum-kagum saat membawakan aransemen lagu Korea Utara.
Keduanya sepakat bahwa di luar negeri musik keroncong memang masih dapat dibanggakan. “Terdapat perbedaan antusiasme yang sangat jauh antara penonton dalam negeri dan penonton luar negeri. Di luar negeri cukup diapresiasi,” kenang Sundari dengan miris.
Tantangan Zaman
Minimnya sarana dan prasarana mempengaruhi jumlah anak muda yang mempelajari musik keroncong. Diakui Sundari, memang sudah ada anak muda yang awalnya mempelajari musik keroncong, tapi mereka terkendala dengan sarana tempat tampil sehingga akhirnya malas untuk kembali mempelajari keroncong. Selain itu, ada beberapa anak muda yang tidak sabar dengan menganggap bahwa membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan uang melalui musik keroncong, sehingga lebih memilih untuk mempelajari genre musik lain.
Intan yang masih tergolong muda mengungkapkan bahwa meneruskan untuk bernyanyi musik keroncong merupakan suatu panggilan jiwa. Pada awalnya, Sundari tidak memperbolehkan Intan untuk terjun ke musik keroncong karena menurutnya membutuhkan perjalanan panjang untuk dapat berkarir di bidang itu. Menurut Sundari, lebih baik Intan kuliah dan akhirnya kerja. Akan tetapi menurut Intan, panggilan jiwa memang tidak dapat ditentang. Intan tetap menyelesaikan kuliahnya untuk memenuhi keinginan sang ibu yang menganggap pendidikan adalah nomor satu. Seiring berjalannya waktu, Intan juga terus mempelajari musik keroncong lebih dalam lagi.
“Jangan lupa identitas kita adalah Indonesia dan musik Indonesia adalah musik keroncong,” Pesan Intan bagi sesama kalangan muda agar tetap open-minded dan jangan melupakan asal-muasal budaya Indonesia.
Sundari sebagai diva keroncong Indonesia ingin agar masyarakat jangan hanya menerima budaya-budaya dari luar negeri saja. Tidak semua budaya dari luar negeri itu buruk, tapi tetap kita harus mencintai musik budaya Indonesia dan kalau bisa ikut membantu melestarikan supaya musik keroncong masih bergema di Indonesia. “Jangan pernah takut mempelajari suatu buadaya yang dianggapnya susah, tapi cobalah minimal mendengarkan musik keroncong tersebut,” pesannya menutup perbincangan kami di hari yang telah menjelang senja.
*tulisan dimuat dalam salah satu rubrik Majalah Economica 55 yakni “Yang Terlupakan”. Majalah Economica bisa didapatkan di Sekretariat Badan Otonom Economica, Student Center Lt. 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Kampus UI Depok. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Ahmad Fajrul (0812 9168 1859) atau Dimas (0815 7882 2523).
Discussion about this post